PUSKESMAS DELIVERY UNTUK METROPOLIS



Melihat kondisi yang telah berjalan selama puluhan tahun perjalanan pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah, kita tidak bisa menutup mata memang telah menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan penduduk, tapi bila dibandingkan dengan peningkatan derajat kesehatan yang dicapai negara-negara di dunia atau negara tetangga di Asia Tenggara, kita jauh tertinggal.

Menurut Yusanto (1995), di Indonesia dipekirakan setiap saat terdapat 15% sampai 20 % penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20 - 30 % saja yang dapat dilayani, sementara penduduk lain yang lebih banyak sekitar 85 %, yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah tidak mendapat perhatian.

Dari kondisi tersebut jelas sekali ketimpangan yang terlihat antara penduduk yang kontak dengan institusi kesehatan dengan yang tidak kontak dengan institusi kesehatan. Artinya dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk sektor kesehatan tersedot sebagian besar hanya untuk 1 - 2 % persen penduduk, sedang sisanya yang tidak sakit terabaikan, tidak ikut menikmati anggaran yang diperuntukkan bagi kesehatan seluruh penduduk. Sebuah keadaan yang timpang dan kurang menyentuh rasa keadilan.

Dipandang dari segi ekonomi, upaya kesehatan yang menekankan penyembuhan penyakit (kuratif/rehabilitatif) pada umumnya lebih mahal, karena banyak menggunakan teknologi kedokteran hilir (bisa jadi yang modern dan canggih). Pelayanan kesehatan yang demikian itu sering dianggap sebagai pengeluaran konsumtif dan bukan sebagai investasi produktif.

Inovasi Pelayanan
Dalam sektor perdagangan swasta komersil, kita tidak asing lagi mendengar istilah delivery service atau layan antar. Produsen mendatangi atau memberikan jasa layanan pada konsumen langsung di tempat konsumen berada, entah di rumah, di kantor, dimanapun konsumen membutuhkan. Bukan mustahil metode delivery service ini diterapkan di institusi kesehatan, termasuk Puskesmas.

Hal ini sebenarnya termasuk konsep sederhana, yang telah dipahami dan dilakukan oleh tenaga kesehatan kita, bukan pada saat mereka bekerja di Puskesmas, tapi pada saat mereka masih di bangku kuliah. Entah sektor pendidikan kesehatan yang gagal, atau mahasiswa kesehatannya yang tidak memahami proses pembelajaran atau bahkan mereka lupa.

Dibangku kuliah, para calon tenaga kesehatan ini sudah dilibatkan secara tidak langsung ikut berpartisipasi di dalam pembangunan kesehatan. Mereka diterjunkan langsung ke masyarakat melalui ajang PKL (Praktek Kerja Lapangan), PBL (Praktek Belajar Lapangan), KKN (Kuliah Kerja Nyata), atau entah apalagi namanya.

Pada saat tersebut mereka langsung terjun ke masyarakat, jemput bola. Tanpa memikirkan pamrih mereka memberi penyuluhan, memotivasi masyarakat, bekerja sama dengan aparat, pamong desa, tokoh masyarakat, maupun ibu-ibu PKK, tidak ada sekat yang dapat membatasi para mahasiswa melakukan baktinya pada masyarakat, tidak ada kebuntuan komunikasi, tidak ada kendala uang transport, tidak ada jam kerja yang membatasi, ataupun kendala lain yang berarti, meski dengan ilmu dan pengalaman yang sangat terbatas. Sebuah konsep sederhana bukan?

Namun, saat mereka telah menjadi tenaga kesehatan di Puskesmas menjadi sebuah kontradiksi yang umum. Kegiatan tenaga kesehatan di Puskesmas hampir sembilan puluh persen berada di gedung Puskesmas, kunjungan atau kegiatan luar gedung hanya menjadi formalitas di atas kertas, sekedar memenuhi target pencatatan dan pelaporan. Sebuah kegiatan yang jauh dari harapan, menjadikan Puskesmas hanya sebagai ‘balai pengobatan’, bukan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan dan sebagai ‘Pusat Kesehatan Masyarakat’.

Kebijakan yang digariskan berdasar paradigma sehat yang mengedepankan intervensi preventif dan promotif tanpa melupakan kuratif/rehabilitatif masih sekedar formalitas. Aplikasi di lapangan, baik itu penetapan anggaran, maupun rencana kegiatan lebih besar ke arah kuratif/rehabilitatif.

Memanfaatkan Kelompok Warga
Pada era otonomi, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya dapat mengembangkan suatu inovasi kebijakan, tidak hanya menjalankan apa yang diarahkan oleh pusat (Depkes). Karena apa yang diarahkan oleh Depkes lebih bersifat umum tanpa melihat potensi lokal spesifik masing-masing daerah.

Surabaya sebagai kota metropolis, dengan pinggirannya yang masih berupa kampung-kampung mempunyai karakteristik lokal yang unik. Dimana tempat hiburan malam bertebaran di segala penjuru kota, tetapi majelis taklim maupun jam’aah Yasin tumbuh bak jamur di musim hujan, atau lihatlah Persebaya dengan puluhan ribu suporter bonek-nya yang fanatik, dan juga ludruk, kesenian khas Surabaya yang hampir punah itu.

Sampai saat ini baru terdengar upaya jemput bola berupa pemeriksaan sarang nyamuk yang kurang mendapat respon dari masyarakat, entah karena sosialisasi yang kurang dan tidak tepat, atau kesiapan tenaga (hanya mengandalkan Jumantik) dan alat kesehatan yang belum memadai, atau penetapan kebijakan yang kurang melihat potensi lokal.

Belum pernah terdengar ada ‘Puskesmas’ di Surabaya melakukan penyuluhan tentang AIDS di diskotik, penyuluhan flu burung di majelis taklim, sosialisasi masalah formalin di arisan ibu-ibu, penyuluhan cuci tangan di Kebun Binatang, sosialisasi masalah kesehatan reproduksi dan AIDS saat acara Deteksi Party, promosi perilaku hidup sehat dan bersih pada saat Persebaya main di Tambaksari, melibatkan Bejo Sugiantoro untuk mengajak bonekmania menghindari narkoba, atau nggandeng Cak Kartolo memasukkan materi kesehatan di parikan dan kidungan-nya.

Sudah saatnya Pemkot Surabaya berani melakukan inovasi kebijakan, memanfaatkan kondisi dan karakteristik lokal Surabaya. Puskesmas harus jemput bola, mendatangi dimana konsumen (bukan hanya pasien) berada.

Perlu segera disusun materi dan program yang jelas dengan melihat kemampuan dan sumber daya yang ada, perlu segera diinventarisir ada berapa majelis taklim di wilayah kita, ada berapa tempat hiburan yang bisa dimasuki, ada berapa sekolah yang bisa disuluh, dimana arisan ibu-ibu dilakukan bulan ini, kapan Persebaya tanding di Tambaksari, tanggal berapa akan ada konser musik yang mengundang massa. Atau bisa juga memanfaatkan momen hari Minggu di tengah keramaian pedagang kaki lima di Tugu Pahlawan atau pedagang kaki lima di halaman Majid Agung. Tidak ketinggalam hari libur di Kebun Binatang Surabaya dan Pantai Kenjeran.

Dengan demikian rasa keadilan terpenuhi, anggaran kesehatan lebih merata dan cost effective, tidak hanya terfokus pada yang sakit, tapi juga yang tidak sakit. Tidak ada proteksi berlebih pada pasien HIV/AIDS sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM, tidak ada ketakutan berlebih pada flu burung, sehingga tidak merugikan pedagang ayam, tidak ada kepanikan soal formalin, sehingga tidak membangkrutkan tukang bakso, mie, maupun pedagang ikan asin.

Juga, remaja terdidik, keluarga terbiasa berperilaku hidup sehat, masyarakat tidak terbebani, tidak terjadi kepanikan konyol akibat pengertian yang salah pada penyakit, karena kesehatan sudah menjadi budaya, bagian dari gaya hidup. Jelas, ini sebuah kegiatan inovatif sektoral yang berdampak sangat luas.

Maukah Pemkot Surabaya dan tenaga lapangan di Puskesmas melakukannya?

Sumber: Harian Pagi Jawa Pos Edisi Selasa 2 Mei 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar