e book 4 free; ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAAN, Sebuah Formulasi Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum - Agung Dwi Laksono





Penulis:
Agung Dwi Laksono
Widodo J. Pudjirahardjo
Iwan M. Mulyono

©2012, Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Email: healthadvocacy@information4u.com

Cetakan Pertama –Mei 2012
ISBN: 978-602-98177-7-5

244 pages


CONTENT

BAB 1  PENDAHULUAN                                                                              
BAB 2  METODE PENELITIAN                                                                   
BAB 3  PERUMUSAN DAN ANALISIS ISU PUBLIK                             
3.1.     Kondisi daerah                                                                              
3.2.     Kebijakan nasional terkait SDM kesehatan                       
3.3.     Kebijakan di Kabupaten Blitar terkait bidang kesehatan

BAB 4  MEMUTUSKAN ALTERNATIF DAN KRITERIA               
4.1.    Dasar penghitungan                                                                   
4.2.    Beban kebutuhan anggaran                                                    
4.3.    Pemilihan alternatif                                                                    

BAB 5  PERAMALAN                                                                                    
5.1.    Penilaian kebutuhan tenaga dokter umum              
5.2.    Hasil FGD peramalan kemampuan dan potensi Kabupaten Blitar            

BAB 6  MENENTUKAN TUJUAN DAN PRIORITAS                     

BAB7  TELAAH PENELITI                                                                             
7.1.    Bentuk Kebijakan                                                                        
7.2.    Strategi pengadaan                                                                     
7.3.    Pola insentif                                                                                   

BAB 8  PEMBAHASAN                                                                                
8.1.     Dokter Umum di Kabupaten Blitar                                           
8.2.     Review Kebijakan Nasional Terkait SDM Kesehatan 
8.3.     Review Kebijakan di Kabupaten Blitar Terkait Bidang Kesehatan
8.4.     Kemampuan Fiskal Kabupaten Blitar                                      
8.5.     Rasio Dokter Umum                                                                      
8.6.     Insentif                                                                                               
8.7.     Kinerja Sistem Kesehatan                                                           
8.8.     Masalah Dasar                                                                                  
8.9.     Tujuan yang Ingin Dicapai                                                            
8.10.   Substansi Kebijakan                                                                       
8.11.   Konsekuensi dan Resistensi                                                       
8.12.   Prediksi                                                                                               
8.13.   Rekomendasi Rancangan Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum di Kabupaten Blitar                         
8.14.   Usulan Rancangan Kebijakan Ketenagaan Dokter Umum              

BAB 9  KESIMPULAN & REKOMENDASI                                       
9.1.     Kesimpulan                                                                               
9.2.     Rekomendasi

do u want this e book? just reply an email or leaved a comment in the box below

Gado-gado ala Sampang!



Surabaya, home sweet home, 28 Mei 2012


Dear all,

Pagi ini kembali lagi kita kupas beberapa hal terkait Kabupaten Sampang untuk memetakan track record yang sudah dan akan dilakukannya untuk mencoba membawanya keluar dari dasar keterpurukan ranking IPKM di Propinsi Jawa Timur.

Seperti telah beberapa kali dituliskan, bahwa Kabupaten Sampang adalah kabupaten DBK yang menjadi penghuni dasar peringkatan IPKM di Propinsi Jawa Timur, yang data komparasinya dengan ranking satu Jawa Timur (Kabupaten Tulungagung) bisa dilihat pada dua grafik berikut;





Paparan data tersebut bersumber pada data survey Riskesdas pada tahun 2007. Pada saat ini, saya sangat berkeyakinan data tersebut telah berubah, kalau saya tidak boleh berlebihan dengan mengatakan melonjak drastis.
Atmosfir yang saya rasakan langsung di Kabupaten Sampang sangat positif, antusiasme para petugas kesehatan untuk memberikan yang terbaik sangat kentara. Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan berdasarkan pengakuan masyarakatnya.


Good Governance

Dalam era desentralisasi dan keterbukaan seringkali para penggiat pemerintahan mendengung-dengungkan jargon good governance, di Kabupaten Sampang good governance bukan sekedar jargon, setidaknya di Dinas Kesehatan. Perbaikan dari sisi administrasi dan manajerial begitu sangat terasa. Tidak hanya berdasarkan pengakuan policy maker di level Dinas Kesehatan saja, tapi setidaknya hal tersebut dirasakan oeh bidan sebagai pelaksana sekaligus sasaran kebijakan, yang juga dirasakan juga oleh masyarakat sasaran secara langsung.

Paling cepat proses klaim dari seluruh kabupaten/kota yang saya tahu.
“Pastikan (ibu hamil) lahir ke kamu (bidan), pastikan tidak mati, jadi saya akan memastikan pembayarannya...”

Dalam sebuah diskusi dengan para bidan yang terlibat dalam Jampersal, rata-rata bidan mengungkapkan bahwa proses pencairan klaim dana Jampersal sangat cepat. Mereka mengaku proses tersebut jauh lebih cepat dibanding dengan ‘saudara-saudara’ lainnya di wilayah Kabupaten lainnya di Pulau Madura. Bahkan untuk proses pencairan dari BPS (Bidan Praktek Swasta) yang melakukan PKS (perjanjian kerja sama) dengan Dinas Kesehatan proses bisa selesai dalam satu hari. Sebuah capaian good governance yang tidak pernah saya jumpai di banyak wilayah manapun di pelosok negeri ini yang saya datangi khusus untuk pengelolaan Jampersal.

Tata kelola yang menarik lainnya adalah kemauan pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan rumah singgah bagi masyarakat Kabupaten Sampang yang sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi, rawat inap di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya. Disediakan ambulan sampai ke lokasi, dan juga disediakan rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu pasien. Rumah tunggu yang beralamat di
Dharmahusada Gang 1 Nomor 17 tersebut selain menyediakan fasilitas akomodasi juga menyediakan konsumsi untuk 2 (dua) orang penunggu per pasien.


Banyak Bicara Banyak Kerja

Berbeda dengan jargon yang berhubungan dengan kinerja yang selalu diucapkan untuk memotivasi, yaitu ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja!’. Hal ini tidak berlaku untuk petugas kesehatan di Kabupaten Sampang, setidaknya di wilayah Puskesmas Robatal.

Banyak bicara banyak kerja...” demikian jargon yang ditekankan oleh Totok Sudirman, selaku Kepala Puskesmas Robatal kepada para petugas kesehatan di jajarannya.

Pendekatan jargon ini yang coba diterapkan dalam keseharian pelaksanaan tugas bukannya tanpa sebab. Berdasarkan data profil tahun 2011, dari seluruh penduduk di Kabupaten Sampang yang berjumlah 803.866 jiwa, sebanyak 86% tidak sekolah, tidak tamat SD, maupun tamat SD. Dengan tingkat pendidikan yang demikian maka media sosialisasi maupun promosi yang berisikan tulisan bisa dibilang menjadi kurang efektif, kalau tidak mau disebut sia-sia.

Budaya masyarakat kita cenderung pada budaya oral (percakapan) daripada budaya baca, apalagi dengan tingkat pendidikan yang mayoritas lulusan sekolah dasar ke bawah. Sudah tentu penyebarluasan informasi yang berupa buku panduan, leaflet, maupun baliho yang besar sekalipun, akan dianggap sebagai angin lalu.

Pendekatan paling efektif adalah ‘banyak omong’. Pendekatan penyampaian informasi yang getok tular dirasa paling efektif untuk dilakukan. Untuk itu petugas kesehatan yang jumlahnya terbatas sudah tentu tidak bisa bergerak sendiri, kerja sama dengan pak klebun, mbah modin, kader dan tokoh masyarakat lainnya menjadi mutlak diperlukan.


Community Empowerment

Dukungan tokoh masyarakat ini sangat nyata di Sampang. Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu, speaker di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian speaker akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran. Momen lain yang sering digunakan sebagai media cangkrukan info kesehatan adalah forum muslimatan, forum pengajian yang menjadi kegiatan umum bagi masyarakat muslim Madura yang cenderung agamis.



Di sisi lain, para tokoh masyarakat yang menjadi penggiat menjadi marketing hebat dalam menyarankan para ibu hamil untuk bersalin hanya ke bidan. Hal ini disertai dengan keikhlasan mengantar ibu hamil dan melahirkan ke bu bidan secara ber’jamaah’, bisa dengan cara digotong, ataupun sekedar naik motor bila lokasi jauh.

Penggiat lain yang berada di jajaran pemerintahan desa ikut membantu menyiapkan kelengkapan persyaratan administrasi bagi warga sasaran. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Madura banyak yang tidak mempunyai KSK (Kartu Susunan Keluarga) atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Untuk keperluan tersebut, Klebun (lurah) bersedia di’ganggu’ kapan saja, 24 jam, untuk pengurusan Surat Keterangan Domisili sebagai pengganti KSK atau KTP untuk kelengkapan persyaratan untuk mendapatkan Jampersal atau Jaminan Kesehatan lainnya.

Strategi-strategi ini terbukti efektif. Dengan keberadaan jumlah dukun bayi yang mencapai 516 dukun, hampir dua kali jumlah bidan yang 'hanya' mencapai 314 bidan (184 bidan PNS, sisanya bidan praktek swasta), ibu hamil yang melakukan persalinan tidak ke tenaga kesehatan hanya mencapai 5%. Capaian yang sungguh menjadi prestasi tersendiri bila melihat situasi dan kondisi yang ada.

Strategi lainnya adalah pembentukan ‘bagas’ (pembantu petugas). Bagas sendiri diambil dari para kader yang dinaikkan derajatnya dengan insentif sekedarnya dari bidan desa. Berdasarkan pengakuan bagas dalam diskusi, ada yang berinisiatif untuk menghimpun dana dari masyarakat. Yang telah terrealisasi adalah menghimpun ‘jimpitan’ Rp. 1.000,- perkali datang ke Posyandu, selain juga menghimpun dana donatur untuk membantu pelaksanaan Posyandu. Saat ini di salah satu Posyandu di wilayah Puskesmas Batulenger telah berhasil mempunyai kas mencapai tujuh juta, yang juga dikelola sebagai ‘simpan pinjam’ untuk anggota Posyandu yang memerlukan biaya saat sakit.

Sebuah jalinan emosi yang telah terjalin cukup kuat antara petugas (bidan) yang bekerja penuh keikhlasan dengan masyarakatnya...
"bu bidan itu semuanya baik-baik pak, gak ada yang sadis...""bu bidan itu suka memakai kata-kata... 'gini sayang... gini sayang...', gitu paak!”"kalau jam 6 pagi atau jam 3 sore di rumah Bidan itu seperti rumah sakit pak, saking sukanya masyarakat dengan bidan...""bu bidan itu lebih hapal siapa saja ibu yang hamil di wilayahnya daripada saya yang jadi kadernya pak...""bu bidan itu tetap melayani dengan baik pak, meski kadang hanya dibayar dengan jagung, kacang atau bawang..."

Apalagi yang bisa saya katakan?
ghirah itu telah saya rasakan... telah saya temukan di sini, Sampang.


-ADL-

Bagaimana menggunakan IPKM?


Surabaya, home sweet home, 22 Mei 2012


Dear all,

Sebagai sebuah indeks pemeringkatan ‘Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) terdiri dari 24 indikator yang diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan masyarakat di 440 kabupaten/kota yang datanya berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survey Potensi Desa (PODES). Semuanya merupakan data survey tahun 2007. Rencananya pada tahun 2013 nanti akan dirilis IPKM yang terbaru.

IPKM terdiri dari 3 kriteria indikator dengan pembobotan yang berbeda. Yang pertama adalah 11 indikator ‘mutlak’ dengan nilai pembobotan 5, yang ke-dua 5 indikator ‘penting’ dengan nilai pembobotan 4, dan yang terakhir 8 indikator ‘perlu’ dengan nilai pembobotan 3.



Bila sebuah kabupaten/kota ingin melakukan akselerasi atau percepatan pembangunan kesehatan, maka tidak perlu membabi-buta melakukan perombakan besar-besaran di semua indikator, terutama bagi kabupaten/kota yang jelas-jelas minim sumber pembiayaannya. Upaya bisa langsung difokuskan pada indikator-indikator yang mempunyai bobot besar, yang bisa diartikan indikator tersebut memiliki daya ungkit yang maksimal terhadap status kesehatan masyarakat.

Apa saja indikator dengan daya ungkit maksimal tersebut?
Tentu saja indikator mutlak yang menjadi targetnya!
Tapi tidak semua indikator ‘mutlak’ harus digarap maksimal. Perlu dipilih lagi, terutama indikator-indikator dengan upaya berbudget minimal.

‘Rasio dokter/puskesmas’ dan ‘rasio bidan/desa’ perlu dikeluarkan sementara, karena tentu saja tidak bisa kita upayakan secara cepat. Kemudian indikator ‘akses air bersih’ dan ‘akses sanitasi’ juga kita keluarkan, karena upayanya tidak bisa kita usahakan hanya dari Dinas Kesehatan saja, perlu melibatkan Bappeda/Bappeko untuk pengadaannya. So... bisa butuh waktu lebih dari lama untuk realisasinya.

Dari 11 indikator ‘mutlak’ dikurangi 4 indikator, jadi tersisa 7 indikator yang harus kita upayakan secara maksimal. Dan hampir semuanya berhubungan dengan ‘Posyandu’ sebagai media upayanya, dan ibu hamil serta balita yang menjadi sasarannya.

Bila ingin betul-betul mengupayakan pada 7 indikator tersebut, tentu saja kita harus benar-benar tahu sasaran kita! Bukan hanya target yang diproyeksikan dari angka-angka Badan Pusat Statistik (BPS). Kita tidak bisa lagi hanya menunggu balita dan ibu hamil datang ke Puskesmas atau Posyandu ataupun pelayanan kesehatan lainnya. Perlu dilakukan sensus menyeluruh terhadap sasaran tembak, total populasi sasaran. Pelayanan jemput bola.

Kita coba bedah data profil Kabupaten Sampang, ranking IPKM paling buntut di Propinsi Jawa Timur.
Berdasarkan data tahun 2010, dengan jumlah penduduk 837.275 jiwa, maka jumlah balita sekitar 10,1% atau 84.115 jiwa. Dengan jumlah desa 180, maka beban per desa adalah sekitar 468 balita. Rata-rata desa di sampang memiliki 6 dusun, maka tiap dusun harus mencari sekitar 78 balita selama setahun. Masih mungkin bukan dilakukan?



Kita coba bedah data ibu hamil. Jumlah ibu hamil diestimasikan sekitar 19.790 bumil. Jumlah bidan yang ada pada tahun 2010 ada sekitar 309 bidan. Bila semua kehamilan ditolong oleh bidan maka tanggung jawab setiap bidan adalah menolong 64 persalinan setiap tahunnya, yang artinya setiap bulan bidan wajib menolong 5-6 persalinan. Apanya yang tidak mungkin?

Untuk melakukan sweeping balita kita bisa menggunakan seluruh tenaga kesehatan yang ada sekitar 716 tenaga kesehatan tanpa memandang apapun latar belakangnya. Bila dikerjakan dan menjadi tanggung jawab bersama tentu menjadi lebih ringan lagi itung-itungan beban kerjanya. Belum lagi pemanfaatan tenaga kader Posyandu serta bantuan dari aparat desa/dusun atau pak klebun.

Faktor budaya ada dimanapun tempat di republik ini. Jangan dijadikan alasan, tapi mari kita jadikan kekayaan untuk pengembangan upaya kesehatan yang lebih baik.

Piye jal?


-ADL-

Pegunungan Bintang, Eksotisme Perbatasan di Pegunungan Tengah Papua


Jayapura_Papua, 14 Mei 2012


Dear all,

Berikut pengalaman muhibah di negeri atas awan Pegunungan Bintang, Papua. Banyak kesan mendalam yang ditinggalkan, semoga juga meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya.

Quote seorang saudara tua, Ernawati, saat berkomentar tentang Kepulauan Aru,
Keberagaman milik Indonesia tercinta ini harus disyukuri, kecuali keberagaman akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan...”

***

Oksibil_Pegunungan Bintang_Papua, 12 Mei 2012

Pagi yang tergesa dan kami yang masih malas beranjak, setelah menempuh perjalanan 11 jam dari Surabaya sehari sebelumnya. Pagi itu gerimis, sekitar jam 05.30 WIT, kami berangkat dari Jayapura menuju bandara Sentani. Menurut petugas Trigana Air Services kami sudah harus melapor di bandara setidaknya jam 06.00 WIT.

Trigana Air Services, maskapai dengan jadwal penerbangan paling tentatif sedunia! Apa pasal? Kami sudah berdiri di counter check in maskapai tersebut jam 06.15 WIT dan ternyata belum buka, dan bahkan baru dibuka pukul 09.00 WIT, dan bahkan berangkat baru jam 11.00 WIT dari jam 07.00 yang direncanakan semula, tanpa pemberitahuan apapun. Tak berlebihan rasanya bila saya menyebutnya sebagai ‘maskapai dengan jadwal penerbangan paling tentatif sedunia!’.

Saya tidak punya pilihan maskapai lain untuk menuju Kabupaten Pegunungan Bintang, meski dua bulan sebelumnya masih ada satu lagi operator penerbangan reguler yang beroperasi, Pelita Air. Tapi kondisi saat ini yang tersisa hanya Trigana Air Service, sisanya adalah pesawat-pesawat kecil, Cesna, yang dioperasikan secara full flight, atau lebih gampangnya disebut carter, dengan biaya 24-32 juta one way, sekali berangkat, ‘murah’ sekali bagi ukuran saya yang PNS. Hahaha...

Pesawat akhirnya berangkat dengan membawa 32 penumpang dari 50 seat yang tersedia dari pesawat jenis ATR ini, sisanya... kami harus berbagi seat dengan tumpukan beras berkarung-karung dan kebutuhan sembako lainnya. Sungguh perjalanan yang menyenangkan.
Tidak ada jalur alternatif transport lain menuju Oksibil dari daerah lainnya, semua kebutuhan di kabupaten tersebut dikirim melalui jalur penerbangan.



Penerbangan menuju Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, hanya ditempuh dalam waktu 52 menit. Waktu tempuh yang sangat singkat dibanding penantian panjang yang hampir 5 jam. Kedatangan saya di wilayah paling Timur Republik ini (berbatasan langsung dengan Papua Nuginie), dalam penugasan terkait riset etnografi untuk kesehatan ibu dan anak.
Dalam kunjungan lapangan kali ini, saya harus ‘menjenguk’ adik peneliti saya, Mas Aan Kurniawan, seorang anthropolog, yang sudah ‘ditanam’ di Pegunungan Bintang sepuluh hari sebelumnya, dan dia masih harus membaur di masyarakat setempat setidaknya sampai dengan dua bulan ke depan.
Dalam tim yang ‘ditanam’, ada 4 orang anggota tim, dua dari Universitas Cendrawasih, anthropolog yang juga putra daerah, ditambah satu orang rekan peneliti perempuan asli Serui dari Balai Biomedis di Jayapura.

Kami menginap di mess pastoran Gereja Katolik Paroki Roh Kudus. Sebenarnya ada penginapan di Kota Oksibil, Penginapan Gloria, satu-satunya penginapan yang ada di kota ini, tetapi untuk penelitian etnografi kali ini wajib bagi kami untuk berbaur dengan masyarakat setempat. Rencananya 3-4 hari ke depan tim akan bergeser untuk mukim di rumah penduduk di salah satu distrik.

***

Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, yang bahkan tak lebih luas dari Kecamatan Jambangan, sebuah kecamatan di Kota Surabaya tempat saya tinggal. Di kota kecil inilah semua kendali pemerintahan di Kabupaten Pegunungan Bintang dikendalikan.

Kabupaten berpenduduk 100.686 jiwa ini terdiri atas 34 Distrik atau setara kecamatan, dan 257 kampung atau setara desa. Jangan dibayangkan seperti kecamatan di wilayah lain di Republik ini. Distrik yang bisa dicapai dengan jalur darat, dengan mobil double gardan tentu saja! Hanya mencapai 4 distrik, yaitu distrik Okaom, Bulankop, Serambakon dan Kalomdol. Sisanya 30 distrik hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis Cesna. Sebenarnya jalur darat tetap bisa saja ditempuh, dengan keluar masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dengan waktu tempuh yang... entahlah...

Di wilayah yang berada di ketinggian 2.000-3.000 meter di atas permukaan laut ini, jalur komunikasi fix (telkom) tentu saja tidak tersedia, meski operator seluler Telkomsel hadir dengan sinyal cukup kuat, setidaknya di Oksibil. Sedang operator seluler lainnya tidak punya cukup nyali untuk bermain di wilayah berat ini. Sekali lagi kondisi ini hanya berlaku di Oksibil saja! Untuk distrik lain bisa dibilang hampir tidak ada satupun alat komunikasi yang bisa dipakai. Hanya ada radio komunikasi SSB untuk setidaknya konfirmasi cuaca untuk penerbangan yang melalui wilayah distrik-distrik tersebut.

Listrik sudah bisa nyala setiap hari. Dengan menggunakan tenaga diesel, tenaga listrik mulai dialirkan pada jam 5 sore sampai dengan jam 12 malam. Betul-betul hanya difungsikan sebagai tenaga penerangan pada malam hari saja.

PENCAPAIAN IPKM

Kabupaten Pegunungan Bintang adalah penghuni paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), atau ranking 440 dari 440 kabupaten/kota. Sebuah pencapaian mengenaskan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya sembilan tahun lalu. Dengan ranking IPKM yang demikian, sudah tentu kabupaten ini termasuk Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), sekaligus juga DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).

Dalam bedah data IPKM, pencapaian cakupan ‘sanitasi’ dan ‘akses terhadap air bersih’ kabupaten ini ‘0%’. Artinya sama sekali tidak ada air bersih dan sanitasinya sangat buruk sekali. Nyatanya kondisi di lapangan memang demikian, masyarakat untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan air hanya mengandalkan air tadah hujan. Jadi keberadaan air bersih sangat minim sekali. Bagaimana tidak? Air mineral dalam botol 1,5 liter di Oksibil dibanderol seharga Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal dari harga bensin premium seliter yang mencapai Rp. 35.000,-.

Dengan minimnya keberadaan air bersih, sudah tentu sanitasipun menjadi sangat minimal. Menurut beberapa rekan peneliti, sebetulnya sudah mulai ada PDAM yang khusus beroperasi di Oksibil, tapi pelayanannya masih di sekitar perumahan pejabat daerah saja. Alhamdulillah... akhirnya saya pun jadi punya alasan untuk tidak mandi, meski tidak tahu berapa hari tahan untuk tidak buang air besar.

Imunisasi lengkap balita di seluruh wilayah Kabupaten ini hanya mencapai 1,67%, dan persalinan di tenaga kesehatan pun hanya mencapai 10%. Meski demikian balita kurus hanya sedikit di kabupaten ini, hanya sebesar 8,77%, meski juga yang stunting atau pendek keberadaannya sangat banyak, sebesar 55,17%. Tidak! Tidak perlu mengurut dada untuk pencapaian ini! Yang dibutuhkan hanya aksi...

Seluruh data di atas didapatkan dari hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007, meski juga pada saat ini, lima tahun kemudian, kondisinya tetap saja sama. Kita akan lihat lagi pada tahun 2013 nanti, pada saat Riskesdas kembali dilakukan, apakah telah ada perubahan atau tidak pada status kesehatan di masyarakat.

SUMBER DAYA KESEHATAN

Kedatangan kami disambut ramah oleh Kadinkes Kabupaten Pegunungan Bintang.
Kita bersaudara..., semua petugas kesehatan bersaudara, ” katanya.
Ngobrol santai dengan Kadinkes ini berlangsung sore hari di rumah pribadinya yang sederhana. Tak ada lagi kantor Dinas Kesehatan baginya, setidaknya untuk saat ini. Kantornya telah lebur dihancurkan massa beberapa waktu lewat. Apa sebab? Entahlah... saya sedang tak ingin ikut berpolemik saat ini.



Menurut pengakuan Kepala Dinas Kesehatan, Darius Salamuk, SIP., dari 34 distrik (setara kecamatan) di kabupaten ini, hanya 29 Puskesmas yang tersedia. Keberadaan tenaga dokter umum hanya ada 10, dan pada bulan April 2012 kemarin sempat ada tambahan dokter PTT yang dibiayai pusat sebanyak 6 orang. Dari keseluruhan tenaga dokter, hanya 6 orang dengan status PNS.

Dari 29 Puskesmas yang ada, secara keseluruhan dikepalai oleh perawat lulusan SPK.
Di wilayah kabupaten ini secara keseluruhan ada 35 tenaga bidan, yang setengahnya (18 bidan) terdistribusi di 29 puskesmas, dan sisanya ada di rumah sakit.

Dengan uraian kekuatan tenaga kesehaan yang tersedia tersebut, tentu saja banyak puskesmas yang tidak tersedia tenaga dokter, dan bahkan meski juga hanya untuk sekedar tenaga bidan. Menurut Kadinkes ada beberapa puskesmas yang hanya ada kepala puskesmasnya saja, itupun hanya mantri lulusan SPK.

Ada satu Rumah Sakit di kabupaten ini, yang baru beralih fungsi dari ‘Puskesmas Perawatan Plus Oksibil’ sekitar bulan Maret 2011. Rumah Sakit type apa? Belum! Rumah sakit ini sama sekali belum pernah dan belum layak dilakukan akreditasi. Masih diperlukan perbaikan di sana-sini untuk menjadikannya layak untuk sekedar dilakukan akreditasi.

Palang Merah Indonesia dan atau sekedar bank darah pun juga tidak tersedia di kabupaten ini.



INOVASI KEBIJAKAN LOKAL

Dengan keseluruhan yang serba minimal, bukan berarti pemerintah setempat diam saja.
Dalam catatan ada beberapa upaya kreatif untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Tak kurang Bidan Christina Kasipmabin, Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak, menyebutkan pernah ada upaya pendirian rumah singgah di Kota Oksibil. Bidan lulusan P2B ini (lulusan SPK plus pendidikan bidan 1 tahun) menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 sempat didirikan rumah singgah dalam bentuk honai (rumah khas adat tanah Papua) untuk menampung ibu hamil dari luar Oksibil yang diwilayahnya tidak tersedia tenaga kesehatan. Tapi sayangnya saat ini ibu hamil menjadi tidak tertarik memanfaatkan fasilitas ini.

Pada tahun yang sama, sekitar tahun 2008-2010, bidan berputra dua ini menyebutkan, bahwa dalam rangka Gerakan Sayang Ibu (GSI) pernah dilakukan upaya sweeping ibu hami resiko tinggi di seluruh wilayah kabupaten untuk dirujuk ke rumah sakit di Jayapura. Tetapi, sejak tahun 2010 upaya ini tidak lagi dibiayai oleh pemerintah kabupaten, karena mahalnya biaya rujukan yang menggunakan transportasi udara karena tidak tersedianya alternatif jalur transport lainnya.

Menurut Kadinkes, sejak tahun 2009, pemerintah setempat mengajukan ke Kementerian Kesehatan untuk pendirian kelas khusus Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dan Sekolah Kebidanan yang akan bekerja sama dengan Biak. Kenapa mengajukan hanya SPK yang setara SLTA? Bukannya minimal harus setara D3? Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Minimnya sumberdaya dengan pendidikan yang memadai membuat pilihan ini yang jauh lebih masuk akal.

Akhirnya pada tahun ini, 2012, ijin didapatkan dari Kementerian Kesehatan (PPSDM). Maka dimulailah proses rekrutmen dan seleksi dari putra daerah setempat. Dengan mengambil 2 sampai 3 orang lulusan terbaik SLTP di setiap distrik. Kesemuanya akan dibiayai dari APBD setempat. Nantinya mereka akan disekolahkan dan diasramakan di Kota Biak.

Selain itu pemerintah kabupaten juga akan membiayai penuh siapa saja putra daerah yang mampu menembus Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih (FK Uncen), termasuk menyekolahkan spesialis bagi tenaga dokter umum yang mau ditempatkan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Pada saat ini ada 12 mahasiswa FK Uncen yang dibiayai, dan hanya dua yang baru mencapai sarjana kedokteran (dokter muda).

Inovasi lain yang cukup ‘gila’ dilakukan Dokter Bob. Menurut pengakuan dokter asal Batak yang sekaligus Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan ini sempat membuat pelatihan dukun bayi untuk Asuhan Persalinan Normal (APN), yang tentu saja tidak mempergunakan dana dari pemerintah. Alasannya sederhana saja,
“Saya belum pernah mendengar lonceng Gereja berbunyi yang memberitahukan ada kasus kematian bayi saat persalinan....”
Dengan persalinan ke tenaga kesehatan yang hanya 10%, siapa lagi yang berperan selain dukun??? Kebanyakan kematian bayi di Kabupaten ini dalam kisaran waktu dua minggu sampai satu bulan, bukan pada saat persalinan. Mungkin disinilah peran tenaga kesehatan lebih diperlukan.

Inovasi lain juga sempat datang dari akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akan menggandeng funding dari luar untuk outsourcing tenaga kesehatan dari luar Kabupaten Pegunungan Bintang untuk ditempatkan di wilayah ini selama satu tahun. Meski kabar ini terdengar segar, tapi menurut Dokter Bob belum jelas kapan akan ada realisasinya.

JAMKESMAS, JAMPERSAL, BOK & JAMKESPA

Beberapa permasalahan pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pusat (Jamkesmas, Jampersal, BOK), yang menimpa kabupaten di posisi paling timur Republik ini, hampir sama dengan daerah lain di Indonesia, terutama wilayah kepulauan, yang letak kantor KPPN-nya berada jauh dari wilayah kabupaten setempat. Kendala yang sering terdengar adalah biaya ‘perjalanan’ pengurusannya yang tidak tersedia.

Permasalahan lain terkait Jamkesmas dan Jampersal menurut Kadinkes adalah keharusannya memiliki rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk proses transfer dananya. Bukan masalah besar seharusnya, bila ‘ada’ keberadaan bank plat merah tersebut di kabupaten yang seluruh wilayahnya gunung ini. Sekali lagi diperlukan biaya ekstra untuk keseluruhan biaya ‘administrasi’nya di Jayapura.

Klaim Jampersal di daerah ini tidak melulu dilakukan oleh Bidan. Oleh sebab minimnya tenaga bidan, maka tenaga kesehatan lain, kebanyakan lulusan SPK, ikut melakukan pertolongan persalinan. Hal ini telah menjadi kebijakan khusus di daerah ini terkait Jampersal.

Menurut Bidan Christina Kasipmabin beberapa waktu lalu sempat diselenggarakan sosialisasi terkait BOK, Jamkesmas, dan Jampersal. Sasaran sosialisasi adalah seluruh bidan dan kepala puskesmas di wilayah tersebut. Acara diselenggarakan di Oksibil dengan biaya perjalanan yang tidak ditanggung oleh Dinas Kesehatan. Jadi biaya dari distrik ke Oksibil dibiayai masing-masing petugas. Entah bagaimana mereka mengupayakan biaya perjalanan untuk pembelian tiket pesawat tersebut?

Saat ini juga berlaku Jamkespa (Jaminan Kesehatan Papua), pembiayaan kesehatan yang juga berlaku di seluruh wilayah Papua yang diolah melalui dana otonomi khusus (otsus Papua). Jaminan pembiayaan kesehatan dasar sampai dengan paripurna ini hanya dikhususkan bagi rakyat Papua asli, tak peduli miskin atau kaya. Meski sempat juga terpikir, meski semuanya gratis, untuk apa bila pelayanannya tidak tersedia?

LOKAL WISDOM

Kabupaten Pegunungan Bintang memang terlihat terisolasi dari dunia luar, untuk itu dibutuhkan banyak kemauan dan kemampuan yang ditumbuhkan dari dalam, dari masyarakat Pegunungan Bintang sendiri.

Dalam banyak hal dukun masih sangat berperanan di kehidupan masyarakat. Dukun, mau tidak mau harus dilibatkan dalam pembangunan kesehatan. Satu langkah strategis telah diambil, merekrut tenaga dukun sebagai kader kesehatan, dengan penghargaan yang luar biasa dibanding kabupaten lain. Mereka diberi insentif Rp. 300.000,- per bulan yang diambilkan dari anggaran APBD. Di beberapa kampung dan bahkan distrik, yang tenaga kesehatan tidak tersedia, maka dukun di’ikhlas’kan menjadi penolong persalinan.

Di beberapa tempat pelayanan kesehatan, penulis banyak menjumpai sepinya kunjungan. Dalam beberapa hal tentang sakit dan kesakitan, self efficacy dengan memanfaatkan tanaman obat yang didapatkan dari alam maupun obat bebas pabrikan menjadi pilihan utama masyarakat. ‘Daun Gatal’ misalnya, dipergunakan masyarakat seperti ‘koyo’ yang ditempelkan pada bagian tubuh yang dirasakan capek. Efek yang ditimbulkan adalah gatal-gatal yang pada akhirnya berujung pada hilangnya semua rasa lelah. Rasa-rasanya teman peneliti di Tawangmangu perlu juga mengkoleksi tanaman ajib ini.



Kearifan lokal lain dipelopori oleh ibu bupati selaku Ketua Penggerak PKK Kabupaten yang memutuskan ‘Daun Yamen’ sebagai salah satu suplemen wajib yang diberikan pada ibu hamil dan anak-anak sebagai bahan PMT (pemberian makanan tambahan) di Posyandu. Sayuran asli Pegunungan Bintang ini terbukti banyak mengandung kalsium. Setidaknya hal ini telah diteliti oleh pihak Universitas Cendrawasih.

Terbersit rasa bangga saat menjelajah sudut-sudut Pegunungan Bintang sampai ke pelosok, tak satupun dari mereka yang ditemui tak bisa berbahasa Indonesia, meski yang tampak dari luar adalah kaki telanjang dengan pakaian yang lusuh menggendong potongan besar kayu dan tas noken yang menggantung di kepala.

Rasanya sudah terlalu banyak yang diceriterakan, meski terlalu banyak juga yang belum diceriterakan. Semoga bisa menambah rasa kecintaan pada Republik ini.

Salam,


-ADL-

Kepulauan Aru; Kabupaten DTPK yang DBK!


Surabaya, 07 Mei 2012

dear all,

berikut catatan perjalanan seminggu terakhir di Kabupaten Kepulauan Aru.
semoga bisa meninggalkan sesuatu yang berguna... semoga

***

Dobo_Kepulauan Aru, 04 Mei 2012


Siang itu, saat jam 16.30 waktu setempat, di sela teduhnya cuaca sehabis diguyur gerimis, kami mendarat di bandar udara Kota Dobo. Kesan pertama yang tertangkap, ahh... Dobo belumlah layak disebut sebagai kota, meski mereka menyebutnya sebagai ibukota kabupaten ini.

Sambutan belasan tukang ojek merayu kami untuk bersegera meninggalkan bandara yang tak lebih besar dari balai desa di Pulau Jawa. Tak perlu waktu lama menentukan pilihan, tak lebih sepuluh menit kami telah sampai di depan Hotel Suasana Baru, hotel yang menurut kami lebih layak disebut losmen. Tak apalah... toh penginapan ini adalah salah satu yang terbaik yang dimiliki kota ini.

Sepuluh menit dari bandara ke hotel?
Yak! Bukan karena jarak bandara ke hotel yang terlalu dekat, tetapi memang keseluruhan Kota Dobo bila diubek-ubek dari ujung ke ujung memerlukan waktu yang tak lebih dari satu jam saja.
Cukup besar bukan?

Saya bertandang di kabupaten ini ditemani mas Setia Pranata, seorang anthropolog, peneliti senior di tempat saya bekerja. Sedianya kami sedang dalam persiapan daerah penelitian untuk melaksanakan tugas dari kantor, melakukan evaluasi terkait Jaminan Persalinan (Jampersal).



Seperti judul tulisan yang saya pilih di atas, Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu kabupaten ‘Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan’ (DTPK) yang juga merupakan kabupaten yang tergolong sebagai kabupaten ‘Daerah Bermasalah Kesehatan’ (DBK).
Untuk yang belum paham DTPK dan DBK silahkan baca tulisan pada catatan-catatan sebelumnya.

Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten dari propinsi seribu pulau, Propinsi Maluku. Meski sebenarnya di Kabupaten Kepulauan Aru saja jumlah pulaunya sudah mencapai 547 pulau dengan 458 diantaranya yang tidak berpenghuni. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 3 pulau besar (Pulau Wokam, Kobror dan Trangan), dan 8 pulau lain yang merupakan pulau kecil terluar, antara lain Arapula (tidak berpenghuni); Karawaiala (tidak berpenghuni); Panambulai (berpenghuni); Kultubai Utara (tidak berpenghuni); Kultubai selatan (tidak berpenghuni); Karang (tidak berpenghuni); Enu (tidak berpenghuni) ; dan Batu goyang (berpenghuni).

Secara geografis, di sebelah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru adalah Laut Arafura, di sebelah Utara dan Timur berbatasan laut dengan bagian Selatan Papua Barat, sedang bagian timur berbatasan laut dengan bagian Timur Pulau Pulau Kei Besar (Kabupaten Maluku Tenggara) dan Laut Arafura.
Dalam catatan harum kepahlawanan, Laksamana Laut Yos Sudarso gugur di perairan Laut Arafura saat menolak dievakuasi pihak Belanda ketika kapal yang dikomandaninya dibom dan ditenggelamkan di laut ini.

Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh) kecamatan dengan jumlah puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi lebih dikarenakan terlalu banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja dinas kesehatan di sana.

Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga bisa dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana Air, setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air) menarik diri dari jalur tersebut.

Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Aru dari Kota Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota yang sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan jarak tempuh Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan tersebut kita tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung di lautan.

Bila kita membayangkan mencapai kabupaten kepulauan ini sulit, maka sesungguhnya mencapai wilayah kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur laut adalah jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat tergantung dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat. Iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang ekstrim.

Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru sudah cukup baik untuk golongan DTPK. Sudah ada jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel sebagai satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah hadir dengan sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya jaringan GSM.
Setidaknya saya masih bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.


PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Pengakuan dari Kamelia Assagaf (pengelola Jampersal Kabupaten Kepulauan Aru) cukup mengejutkan, bahwa dari 21 (dua puluh satu) puskesmas yang ada di Kabupaten Kepulauan Aru pada akhir tahun 2011, sampai pada saat tulisan ini dibuat hanya 11 (sebelas) puskesmas yang memiliki tenaga bidan di wilayahnya, itupun tidak merata di seluruh desa. Di wilayah Puskesmas Marlasi misalnya, dengan 16 (enam belas) desa yang menjadi wilayah kerjanya, hanya tersedia 3 (tiga) tenaga bidan. Entah bagaimana mereka membagi beban kerjanya?
Pengakuan inipun setidaknya diamini Haryati Kubangun selaku Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru.

Sedang 10 (sepuluh) puskesmas lainnya yang tidak memiliki bidan sama sekali di wilayah kerjanya, terdiri atas Puskesmas Kaben, Puskesmas Wakua, Puskesmas Kobadangar, Puskesmas Koijabi, Puskesmas Longgar Apara, Puskesmas Mesiang, Puskesmas Panambulai, Puskesmas Doka Barat, Puskesmas Ngaibor, dan Puskesmas yang terletak di wilayah paling selatan Kabupaten Kepulauan Aru, Puskesmas Batu Goyang. Prihatin sekali membayangkan berapa desa yang kosong tanpa ada tenaga kebidanan sama sekali.

Kekosongan bidan ini bukan tidak disadari oleh Dinas Kesehatan sebagai masalah yang harus segera diselesaikan, untuk itu Dinas Kesehatan membuat usulan pengangkatan semua lulusan Akademi Kebidanan setempat sejumlah 21 bidan pada tahun 2012 ini. Semua usulan pengangkatan adalah sebagai tenaga bidan PTT dengan usulan pembiayaan dari pusat. Usulan pembiayaan tenaga bidan PTT dengan pembiayaan dari daerah sepertinya gamang dilakukan. Dengan anggaran bidang kesehatan yang hanya 5,68% dari total APBD sebesar Rp. 521.397.899.791,- dirasa tidak cukup untuk membiayai keperluan tersebut, meski APBN juga telah andil sebesar Rp. 7.283.177.000,- untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Aru ini.

Lulusan bidan tahun 2012 ini merupakan lulusan reguler pertama Akademi Kebidanan satu-satunya di Kabupaten Kepulauan Aru. Tahun 2011 sebelumnya, Akademi Kebidanan ini sempat meluluskan 16 tenaga bidan, yang merupakan tugas belajar dari PNS Dinas Kesehatan dari sekolah kebidanan yang lebih rendah.

Berdasarkan data profil kesehatan Kabupeten Kepulauan Aru, jumlah ibu hamil pada tahun 2009 mencapai 2.004 ibu dan menurun sedikit pada tahun 2010 mencapai angka 1.989 ibu hamil.
Pada tahun 2010 jumlah ibu hamil yang memeriksakan diri saat kehamilan mencapai K1=1.596 ibu (80,2%) dan K4=1.195 (60,1%). Dari sejumlah kehamilan pada tahun 2010, 52,8%nya (1.013) ditolong oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan. Capaian ini masih jauh dari target SPM provinsi sebesar 90% dan target SPM nasional sebesar 95%.

Tidak jauh berbeda dengan data pelaporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di atas, data survey berbasis komunitas justru menunjukkan angka cakupan yang sedikit lebih baik. Berdasarkan data Riskesdas 2007 cakupan ibu yang memeriksakan kehamilan di Kabupaten Kepulauan Aru mencapai sebesar 83,3%. Sedang yang melakukan pemeriksaan neonatus mencapai 33,3% untuk KN-1 (0-7 hari) dan 42,9% (8-28 hari) pada KN-2.


PELAYANAN JAMPERSAL

Berbeda dengan laporan capaian cakupan pelayanan kesehatan ibu, laporan cakupan pelayanan penggunaan Jampersal menunjukkan angka yang sangat rendah.

Sejatinya, pelayanan Jaminan Persalinan (Jampersal) mulai masuk dan ada klaim untuk jasa pelayanan di Kabupaten Kepulauan Aru pada bulan Agustus 2011. Tetapi pencapaian pelayanannya relatif sangat sedikit dan tidak menunjukkan pola kecenderungan seperti daerah ‘normal’ lainnya. Entah dikarenakan sosialisasi yang kurang intensif, atau karena kondisi geografis kepulauan yang sangat ekstrim, atau karena ketersediaan tenaga bidan yang minim, atau bahkan kolaborasi dari kesemua faktor tersebut.

Data yang tersaji dalam grafik berikut memberi gambaran pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal pada tahun 2011. Grafik tersebut merupakan hasil rekapitulasi penulis atas klaim bulanan yang tercatat di pengelola Jampersal Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2011.



Pola yang ditunjukkan antara jumlah cakupan K-1, K-4, persalinan, KF-1, KF-2,dan KF-3 naik turun menunjukkan tidak adanya ‘continum of care’ pada pelayanan kesehatan ibu dan anak. Setiap pelayanan seakan berdiri sendiri-sendiri, tidak ada kesinambungan. Hal ini diakui oleh bidan, yang menurut mereka juga karena memang klaim Jampersal bukan sebagai paket utuh, tetapi parsial per pelayanan.

Lalu bagaimana dengan klaim untuk transport rujukan?
Nol besar! Bukan karena tenaga bidan di desa-desa kepulauan tersebut terlalu pintar, tapi lebih dikarenakan ekstrimnya transportasi yang harus ditempuh bila merujuk, yang bisa-bisa lebih memperparah kondisi si ibu.

Akhirnya... tak sampai hati juga rasanya menunjukkan apa yang ‘seharusnya‘, dan menuntut mereka melakukannya.

Butuh lebih dari sekedar rasa prihatin untuk membuat pelayanan kesehatan menjadi ‘ADA’!


-ADL-