Hak Asasi Kesehatan Manusia; Versi siapa?


by Agung Dwi Laksono

 


Isu ini sudah lama sebenarnya digulirkan, sejak jaman deklarasi Alma Ata (kalo gak salah taon 1978). Tapi tetep aja kita (ato ‘mereka’ aja.., aku gak mau terlibat didalamnya) banyak menyalahartikan dalam upaya pengejawantahannya menjadi sebuah kebijakan.

Pengobatan gratis? Jangan pernah mengira itu merupakan wujud kepedulian para pengambil kebijakan (level kabupaten/kota) atas kesehatan warganya. Apalagi untuk kesehatan sebagai hak asasi manusia. Itu lebih merupakan tekanan masyarakat atas janji yang dilontarkan pada saat kampanye.

Dan lagi-lagi itu bukan kebijakan yang benar menurut ‘saya’... sekali lagi menurut ‘saya’! Kebijakan pengobatan gratis hanya sampai tingkat dasar, pengobatan untuk sekedar rawat jalan sampai tingkat puskesmas, lebih merupakan omong kosong. Bullshit! Mbwujuk puwooll!

Gak percaya!!! Masyarakat kita, kalo cuman berobat ke puskesmas yang retribusinya cuman sepuluh ribu rupiah masih cukup kuat coy untuk menanggungnya. Yang dibutuhkan justru bila sampai tingkat lanjutan (rujukan), rawat inap di rumah sakit.

Kenapa emang?? Sistem kesehatan kita adalah sistem kesehatan terjahat di dunia! Orang yang kelasnya gak jelas kayak saya, miskin enggak kaya juga enggak (PNS mak!), akan jatoh miskin sengsara tujuh turunan kalo pake acara sakit yang harus rawat inap di RS.

Lahh nek wong mlarat piye? Masih mending ada askeskin. Sing sugih? Pan kuat bayar ndiri. Nahh! Masyarakat yang di batas abu2 inilah yang gak kepikiran...
(yang brasa sekelas dengan saya buruan deh ikut asuransi!)

Kebijakan askeskin di level pusat mau nggak mau harus diakui sebagai langkah awal pemerintah (pusat) untuk peduli pada hak rakyatnya, meski banyak kelemahan disono-sini.
Cuman kebijakan tersebut bisa menjadi kebijakan ‘konyol’ ketika anggaran kesehatan yang tidak seberapa, dialokasikan dengan salah pula.

Di pertiwi ini, diperkirakan hanya terdapat 15-20% penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20-30% saja yang dapat dilayani.

Jadi 20-30% dari 15-20% seluruh penduduk Indonesia; kira2 3-6% dari total penduduk yang menikmati anggaran kesehatan (kuratif/pengobatan). Dan sementara... penduduk lain yang lebih banyak sekitar 85%, yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah ora digatekke. Piye to? Gembul tenan!

Menurut saya... mbuh nek nurut sampean, bila kesehatan merupakan sebuah hak asasi... maka itu berlaku untuk seluruh rakyat, untuk seluruh penduduk. Bukan hanya untuk sebagian kecil penduduk. Kesehatan bukan melulu sembuh dari penyakit. Mencegah orang ‘gak kaya’ macam saya untuk tidak jatuh sakit dan menjadi jatuh miskin juga merupakan urusan penting kesehatan yang harus didahulukan.

Kados pundi?

Human Rights and Health

Introduction by Paul Hunt
U.N. Special Rapporteur on the Right to Health
and Professor of Law, University of Essex, UK

Over fifty years ago, the constitution of the World Health Organization recognized the enjoyment of the highest attainable standard of health is a fundamental human right. Since then, the right to the highest attainable standard of health (“right to health”) has been enshrined in a series of international and regional human rights treaties, as well as in over 100 constitutions worldwide.

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights includes as a central provision the right to health in international human rights law: “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health” (article 12). International treaties also recognize a range of other human rights of central relevance to health, including the rights to adequate shelter, food, education, privacy, non-discrimination and the prohibition against torture.
  1. There are a variety of links between health and human rights;
  2. Violations of, or inattention to, human rights can have serious consequences for health;
  3. Health policies and programs can either promote or violate human rights in the way that they are designed or implemented;
  4. Vulnerability and the impact of ill-health can be reduced by taking steps to respect, protect and fulfill human rights.

Human rights are relevant to a great many health issues, including prevention and treatment of HIV/AIDS; sexual and reproductive health; access to clean water and adequate sanitation; medical confidentiality; access to education and information on health; access to drugs; and the health of marginalized and vulnerable groups such as women, ethnic and racial minorities, refugees and people with disabilities. Human rights are also relevant to promoting health in broader contexts, such as in armed conflict, poverty reduction strategies, and international trade.

I greatly welcome this initiative by Human Rights & Human Welfare to draw together literature on the relationship between health and human rights. This resource will serve as a very useful starting point for research on many issues that are central to the promotion and protection of human rights in the contemporary world.

© 2004, Graduate School of International Studies, University of Denver

Polemik Kontaminasi Produk Susu Formula


by Oryz Setiawan

Kembali ke ASI adalah salah satu bentuk kampanye kesehatan yang paling efektif untuk menekan berbagai laju penyakit yang mengancam si jabang bayi sebab ASI secara alami mengandung antibodi yang dirancang khusus oleh Tuhan untuk menangkal terjadinya penyakit sekaligus palinng aman dan menyehatkan. Apalagi fenomena menyusui bayi oleh ibu adalah bentuk sentuhan psikologis paling dasar dalam membangun 'hubungan' batin yang secara reflektif dapat menumbuhkembangkan sifat kasih sayang yang hakiki.

Kontroversi seputar produk susu formula dan sebagian makanan bayi dan balita yang terkontaminasi bakteri berbahaya kini terus menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat terutama kalangan ibu-ibu yang memiliki bayi dan balita. Penyakit yang diduga bersumber dari bakteri yang disebut enterobacteri sakazakii disinyalir dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti diare, iritasi, gangguan metabolisme dan mengakibatkan gangguan radang selaput otak (meningitis) bahkan mengancam keselamatan bayi dan balita yang mengkonsumsinya.

Memang penemuan bakteri yang terdapat pada makanan balita di berbagai merek dagang susu formula yang kini beredar di pasaran adalah hasil penelitian dari IPB yang tengah memicu keresahan di masyarakat. Meski secara umum tingkat konsumsi susu dan produk makanan bayi di Indonesia paling rendah dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara namun tingkat ketergantungan terhadap susu formula baik berbentuk bubuk maupun cair sangat tinggi.

Seperti diketahui susu merupakan sumber makanan lengkap bagi bayi, balita hingga anak-anak yang mengandung berbagai zat-zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Hampir semua nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita ada pada produk susu formula.

Selain sebagai sumber makanan utama, produk susu juga telah menjadi sumber makanan untuk pendamping Air Susu Ibu (ASI) pada bayi diatas 6 bulan.

Pada bayi berumur 0 - 6 bulan diharuskan hanya mengkonsumsi ASI atau ASI eksklusif sehingga penggunaan susu formula lebih ditujukan pada bayi berumur lebih dari enam bulan. Tingkat komposisi produk susu formula baik yang berbentuk bubuk maupun cair pada umumnya mengandung lemak susu (casein) disamping protein, lemak, vitamin dan mineral-mineral esensial yang sangat diperlukan bagi perkembangan balita.

Adapun yang membedakan antarproduk adalah jumlah, komposisi dan prosentase zat-zat nutrisi. Di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok keluarga, keberadaan susu dan produk makanan bayi adalah salah satu prioritas utama dalam menjaga agar buah hati selalu sehat, tumbuh dan berkembang sesuai pertambahan usia dan terjaga dari setiap penyakit yang mengancam.

Kekhawatiran para ibu sangat beralasan oleh karena balita adalah kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi penyakit dan jangka panjang akan mempengaruhi warna generasi bangsa kelak dikemudian hari.

Kampanye ASI

Kembali ke ASI adalah salah satu bentuk kampanye kesehatan yang paling efektif untuk menekan berbagai laju penyakit yang mengancam si jabang bayi sebab ASI secara alami mengandung antibodi yang dirancang khusus oleh Tuhan untuk menangkal terjadinya penyakit sekaligus palinng aman dan menyehatkan.

Apalagi fenomena menyusui bayi oleh ibu adalah bentuk sentuhan psikologis paling dasar dalam membangun 'hubungan' batin yang secara reflektif dapat menumbuhkembangkan sifat kasih sayang yang hakiki. Oleh karena itu para ibu wajib memberi ASI eksklusif (hanya ASI) bagi bayi yang berumur hingga 6 bulan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 menunjukan bahwa ibu-ibu yang yang menyusui bayinya hingga usia enam bulan hanya 7,8 persen dan sebanyak 64 persen ibu yang menyusui bayinya hingga berumur kurang dari 2 bulan.

Adanya stigma bahwa memberikan susu formula lebih baik padahal harganya lebih mahal, bahkan tak jarang untuk berhemat mereka mengurangi takaran atau tidak sesuai anjuran sehingga asupan gizi berkurang. Sedangkan makanan pendamping ASI ditujukan pada bayi hingga berumur dua tahun.

Memang tidak semua ibu mampu menyusui secara sempurna akibat keterbatasan asupan susu ibu, gangguan hormone prolaktin, dan akibat faktor lain sehingga kasus-kasus yang demikian memerlukan pendampingan dan saran oleh tenaga kesehatan tentang makanan pendamping ASI (MP-ASI) untuk menunjang kelancaran asupan makanan bayi.

Dukungan sosial terutama bagi pekerja wanita atau wanita karier berupa cuti hamil, melahirkan dan tempat khusus untuk menyusui belum memadai sehingga kurang melegimitasi program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang (sebenarnya) telah lama digaungkan oleh pemerintah. Program GSI merupakan program yang didasari atas masih tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia sehingga semua pihak dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan ibu dan bayi bukan semata-mata hanya sebuah acara seremonial belaka.

Pemahaman yang benar atas perlakuan ibu terhadap bayi dan balita akan mendorong kesadaran kolektif untuk menghindarkan setiap potensi bahaya penyakit yang mengancam buah hatinya termasuk pemberian ASI, makanan tambahan balita dan lain-lain.

Terlepas dari terkontaminasinya suatu merek produk susu formula oleh bakteri enterobacteri sakazaki diperlukan upaya pencegahan antara lain : pertama, meski hingga kini pemerintah belum secara resmi melakukan pelarangan atau penarikan produk susu formula yang diduga kini tengah beredar di pasaran sikap waspada dan deteksi dini sangat diperlukan bagi ibu-ibu untuk mencegah penularan bakteri berbahaya tersebut.

Sebelum membeli produk susu maupun makanan balita, lakukan secara teliti apakah produk tersebut telah memenuhi syarat, kemasan, komposisi hingga masa kadaluarsa sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh si kecil.

Jangan terkecoh oleh produk susu yang murah atau menawarkan berbagai macam hadiah sebab di era perang dagang, iming-iming harga murah dan hadiah adalah bentuk persaingan merek produk di mata konsumen. Kedua, diperlukan upaya menjaga kebersihan peralatan minum, proses sterilisasi yang tepat, proses penyajian, penyimpanan hingga menjaga pola asupan ke bayi dan balita. Karakteristik bakteri pada umumnya adalah tidak tahan dan mati oleh suhu pemanasan minimal 80 derajat celsius selama 2-3 menit.

Susu sebaiknya langsung habis diminum guna menghindari kontak dengan udara yang merupakan media bagi penyakit sehingga ibu harus mengetahui takaran dan porsi bagi balita. Oleh karena itu aspek hieginitas dan pola sanitasi yang tepat merupakan salah satu upaya dini dan paling mudah untuk mencegah timbulnya penyakit yang bersumber pada produk makanan bayi.

Ketiga, menghindari makanan atau minuman yang tidak dibutuhkan oleh tubuh meski banyak disukai oleh balita sehingga tidak memenuhi standar gizi atau menurunkan daya tahan tubuh yang cenderung rentan. Oleh karena itu kebiasaan jajanan di luar rumah atau makanan ringan yang menstimulasi timbulnya penyakit selayaknyanya dihindarkan demi kesehatan balita maupun anak-anak.

Diterbitkan di harian Surya edisi 4 Maret 2008

Mengawasi Produk Susu Bermelamin


by Oryz Setiawan


Setelah kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri Entero Sakazakii beberapa waktu lalu, kini beredar kabar bahwa susu berformula yang berasal dari Tiongkok ditengarai terkontaminasi melamin.

Misalnya, China Daily melansir temuan Badan Pengawas Kualitas (AQSIQ) Tiongkok. Berdasar hasil uji terhadap 1.202 sampel susu, ternyata 10 persen positif terkontaminasi melamin.

Melamin merupakan senyawa kimia yang termasuk kategori logam berat yang bila dalam konsentrasi tinggi dan terakumulasi akan sulit diekskresi oleh tubuh, terutama organ ginjal, sehingga menyebakan kerusakan ginjal, gagal ginjal kronis, dan berujung pada kematian.

Menurut hasil penelitian, kandungan melamin (miligram per kilogram produk) dalam susu setelah tercampur bahan cair dalam tubuh di atas 60 kilogram berat badan atau lebih pada orang dewasa memang masih dapat diurai. Namun, sifat dan karakteristik melamin yang dalam batas dan jangka waktu tertentu akan terakumulasi berdampak buruk bagi kesehatan. Apalagi, produk susu didominasi kalangan balita dan anak-anak yang notabene sistem kekebalan (daya imunitas) tubuhnya masih sangat rentan terhadap penyakit.

Tiongkok memang dikenal sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dengan menawarkan harga yang murah, sehingga banyak produknya yang diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.

Seiring menjamurnya industri modern, industri berskala menengah, maupun tradisional atau home industry, pengelolaan dan kontrol terhadap suatu produk menjadi tidak ketat, apalagi terkait dengan produk susu (dairy product) dalam industri susu (dairy industry). Dalam iklim globalisasi dan perdagangan bebas, produk negara-negara lain sangat mudah beredar di berbagai negara.

Karena itu, pemerintah melalui Badan POM, Departemen Perindustrian, dan Departemen Perdagangan harus ketat serta kontinu memonitor peredaran berbagai produk susu atau bahan baku susu, terutama yang berasal dari Tiongkok.

Misalnya, Badan POM selaku institusi yang berwenang untuk pemilihan bahan baku, proses pembuatan, hingga pola distribusinya. Bukan hanya produk susu formula yang beredar baik yang menyangkut pengujian mutu pangan dan kandungan gizi suatu produk untuk memperoleh izin edar di pasaran, namun juga obat-obatan serta makanan lain yang dikonsumsi masyarakat luas.

Selain itu, dilakukan pengawasan rutin dan menguji ulang setiap produk yang diduga menyalahi aturan (ambang batas yang diperkenankan) dan merugikan konsumen.


Sensitivitas Balita

Belajar dari beredarnya kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri beberapa waktu lalu memang berimplikasi pada tingkat kepercayaan terhadap produk susu berformula, terutama bagi ibu-ibu yang memiliki balita. Kepanikan tak terhindarkan, mengingat susu formula dalam konteks kekinian (meski tak sesempurna dan seideal ASI) ternyata masih merupakan kebutuhan elementer yang tak tergantikan sekaligus menjadi makanan utama bagi balita.

Peredaran produk susu maupun makanan balita di pasaran sangat beragam, sehingga membutuhkan ketelitian, kecermatan, serta kecocokan dalam memilih produk bagi sang buah hati.

Di pihak lain, setiap bayi dan balita memiliki tingkat kerentanan maupun sensitivitas yang berbeda-beda dalam mengonsumsi susu formula, sehingga terkadang sangat memerlukan konsultasi pihak medis maupun ahli gizi.

Asumsi susu formula yang diproduksi luar negeri (susu impor) selalu lebih baik harus dikaji kembali. Sebab, pada dasarnya, di Indonesia bahan baku maupun pembuatan produk susu formula telah diuji secara ketat, sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi balita sesuai petunjuk pada kemasan.

Komposisi, izin produk, dan batasan masa edar hingga masa kedaluwarsa harus mutlak dicantumkan oleh industri susu formula. Ibu-ibu juga harus memiliki tingkat ketelitian dalam memilih produk sesuai kebutuhan balita. Seperti diketahui, susu merupakan sumber makanan lengkap bagi bayi, balita, hingga anak-anak yang mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh.

Hampir semua nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi serta balita ada pada produk susu formula. Selain sebagai sumber makanan utama, produk susu telah menjadi sumber makanan untuk pendamping ASI bagi bayi di atas 6 bulan. Penggunaan susu formula lebih ditujukan pada bayi berumur lebih dari 6 bulan.

Di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok keluarga, susu dan produk makanan bayi menjadi salah satu prioritas utama dalam menjaga agar buah hati selalu sehat, tumbuh, dan berkembang sesuai pertambahan usia serta terjaga dari setiap penyakit yang mengancam.

Kekawatiran para ibu sangat beralasan karena balita adalah kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi penyakit dan jangka panjang akan memengaruhi warna generasi bangsa kelak.


Kajian Penelitian

Upaya pengawasan produk pangan secara berkelanjutan bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penelitian seperti uji sampel acak (sampling), uji mutu produk, dan melakukan manajemen berbasis risiko demi mencegah timbulnya gangguan kesehatan atau keselamatan konsumen akibat kerusakan, terindikasi terkontaminasi sumber penyakit, dan tercemar bahan-bahan berbahaya.

Menurut sistem keamanan pangan generasi ketiga yang direkomendasikan WHO, telah diatur tentang analisis risiko pangan terdiri atas kajian risiko dan manajemen risiko. Kajian risiko pada sistem keamanan pangan berupa identifikasi bahaya, karakteristik bahaya, dan dampak yang mungkin timbul, kajian paparan, serta karakterisasi risiko.

Kajian risiko itu lebih banyak diperankan lembaga riset, perguruan tinggi, dan surveilans. Sedangkan manajemen risiko memuat berbagai tindakan untuk menentukan prioritas penanganan, mencari alternatif penanganan masalah, serta memilih opsi yang terbaik sesuai kondisi yang ada berupa penetapan standar dan regulasi.

Untuk mengantisipasi peredaran susu bermelamin di Indonesia, setidaknya menjadi ujian bagi Badan POM untuk semakin ketat menfungsikan diri sebagai institusi yang benar-benar mampu menjalankan fungsi pengawasan suatu produk pangan di tengah membanjirnya produk dalam iklim pasar bebas.

Di pihak lain, konsumen berhak mengetahui setiap informasi produk, termasuk potensi risiko yang ditimbulkan, khususnya terhadap kelompok rentan seperti bayi, balita, dan anak-anak.

Karena itu, hakikat penelitian berbasis ilmiah merupakan upaya pencerahan (enlightment) bagi perkembangan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat. Itu terutama untuk mencegah terjadinya bencana sosial dalam masyarakat kekinian, sehingga konsumen sadar terhadap hak-haknya.


Diterbitkan di Jawa Pos edisi Kamis, 25 September 2008