Wakatobi; Surga Laut yang Seharusnya Menginspirasi



Baubau, 14 Oktober 2012



Lanscape view from Benteng Hills

dear all,

Wakatobi, demikian kabupaten baru pemekaran Kabupaten Buton ini disebut. Nama kabupaten yang diambil berdasarkan singkatan nama empat pulau besar yang ada di wilayah ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan yang terakhir serta terjauh adalah Pulau Binongko.

Kabupaten yang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam kriteria DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan) ini beribukota di Wanci yang berada di pulau pertama, Pulau Wangi-wangi, yang merupakan pulau terbesar dan paling ramai dari ke-empat pulau besar di wilayah ini.

Kabupaten Wakatobi memiliki dunia ‘lain’ yang begitu menarik bagi wisatawan penggemar lanscape bawah laut. Dunia yang merupakan surga bagi penggemar dunia diving ataupun snorkelling, atau mungkin bahkan bagi yang tidak bisa berenang sekalipun. Bagaimana tidak? Lautan yang mendominasi wilayah kepulauan ini begitu jernih dan menampilkan spot-spot indah yang cukup dangkal di beberapa titik. Menampilkan indahnya biota laut, yang bahkan tanpa kita perlu berbasah-basah dengan hanya nangkring di atas ketinting.


Tomia Dive Centre, salah satu penyedia layanan wisata dasar laut yang dikelola investor asing

Wakatobi yang merupakan salah satu destinasi bawah laut yang sedang mendunia ternyata prestasinya dalam bidang kesehatan kurang begitu menggembirakan. Wakatobi merupakan salah satu wilayah DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan). Setidaknya Wakatobi menempati urutan ke-340 dari 440 kabupaten/kota saat pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tersebut dibuat, atau rangking 7 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Sultra.

Dalam bidang pergizian, setidaknya di kabupaten kepulauan ini didominasi oleh balita stunting (pendek atau sangat pendek) sebesar 52,67%. Indikator yang dihitung berdasarkan angka tinggi badan dibanding umur ini seharusnya tidak boleh terjadi di Kabupaten yang sumber protein hewani dari ikan begitu sangat melimpah ini. Masalah gizi lainnya, gizi buruk dan kurang juga masih cukup tinggi, yaitu 30,21% dari seluruh balita yang ada di kabupaten ini.

Indikator lain, yang memiliki bobot tinggi dalam IPKM, juga mempunyai masalah yang cukup berat, baik pada masalah kesehatan ibu dan anak maupun sanitasi dan ketersediaan air bersihnya.


Propinsi Sulawesi Tenggara dalam IPKM


JAMPERSAL DI WAKATOBI

Kedatangan kami sebagai tim di kabupaten kepulauan ini memang sedianya mengemban tugas untuk mengevaluasi pelaksanaan Jaminan Persalinan (Jampersal) di wilayah ini, meski juga akhirnya kami membuka mata sedemikian lebar serta memasang telinga dengan sungguh-sungguh untuk lebih banyak melihat dan mendengar apa yang menjadikan kabupaten ini bisa sedemikian terpuruk dalam bidang kesehatan.

Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di kabupaten ini kami berani mengatakan bahwa dalam hal mekanisme pembayaran klaim dan persyaratan jaminan, Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di Indonesia! Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota yang kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini. Bagaimana tidak? Kabupaten kepulauan ini begitu berani menetapkan (sesuai Juknis) bahwa persalinan yang bisa dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah keberanian yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup luas.

Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten Wakatobi memberikan seratus persen klaim langsung kepada pemberi layanan (bidan), tanpa ada potongan atau pajak apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan yang melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes). Biasanya di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan apapun bisa terjadi hanya pada ‘bidan swasta’ yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan.

Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten Wakatobi memang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang kami temui. Di kabupaten ini aliran keuangan Jampersal tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari Dinas Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui pengelola Jampersal di Puskesmas.

Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim bukan berarti implementasi kebijakan Jampersal dalam hal pelayanan menjadi lebih mudah di wilayah ini. Adat budaya untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya jumlah dukun bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam memberi pelayanan.

Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di rumah cukup merepotkan untuk mewujudkan cita-cita persalinan di fasilitas kesehatan. Pada akhirnya memaksa petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil yang mau melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk dibawa ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ, momennya pun harus tepat! Minimal harus menunggu pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap, atau kalau tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan nggrundel karena menunggu terlalu lama di Puskesmas.

Jumlah dukun bayi dan trust (kepercayaan) masyarakat yang begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan. Kepercayaan yang sedemikian tinggi pada dukun bayi benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini. Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada pelayanan gratis di Puskesmas.

Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang sekedarnya seperti layaknya dukun bayi di wilayah lain. Di wilayah ini sedemikian tingginya trust masyarakat kepada dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat prestis. Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar Rp. 400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya mencapai angka Rp. 900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun bayi di ibukota kabupaten? Sangat fantastis! Mencapai tiga kali lipat tarif pelayanan Bidan yang ditanggung oleh Jampersal. Rp. 1.500.000,-.


KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN

Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6 desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan harus mampu mencover dua desa.

Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk enam desa...” demikian keluh salah satu tokoh masyarakat.

Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.

“Saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu ditingkatkan lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau...” usul salah satu Kelapa Lingkungan kepada kami.

Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan tranfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu-satunya Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk sekedar bank darah. Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih belum tersedia.

Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan jadwal yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa kapal sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi penduduk wilayah ini, karena harga sewanya mencapai kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus pass away sebelum sampai ke tempat rujukan.

Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa mencapai tiga sampai tiga setengah jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak selengkap di Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia dokter obgyn di RSUD Kabupaten Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan.

Saat kedatangan kami pada hari Rabo (10 Oktober 2012) untuk wawancara dengan dokter obgyn di Wanci, beliau menyatakan sedang di Kota Baubau karena ada keluarganya yang sakit. Kami kejar untuk bisa wawancara di Kota Baubau, beliau mengatakan akan berangkat ke Kota Makassar. Kami kejar kembali untuk dapat wawancara di Makassar, beliau menyatakan akan ke Jakarta untuk membeli obat-obatan. Akhirnya kami dapatkan janji beliau untuk wawancara di Jakarta hari Senin ini (15 Oktober 2012). Semoga wawancara tersebut benar-benar bisa berlangsung.

Sebelum kelupaan, di wilayah Pulau Tomia ini, yang meskipun kepulauan, belum tersedia Puskel Laut (Puskesmas Keliling) atau Puskes Terapung. Semoga Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan) membaca tulisan ini. Meski sebenarnya sudah ada bantuan dari BUK sebuah Puskel laut untuk Kabupaten Wakatobi yang saat ini ditempatkan di wilayah Pulau Binongko, pulau terjauh. Tapi melihat kondisi dan wilayah yang harus dijangkau, minimal wilayah Wakatobi memerlukan dua lagi Puskes laut untuk Pulau Tomia dan Pulau Kaledupa.


PERKAMPUNGAN SUKU BAJO

Di Kabupaten Wakatobi bisa dikatakan didominasi oleh Suku Buton. Hal ini bisa dimaklumi, karena memang wilayah ini merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Sedang suku lain yang cukup mewarnai kabupaten ini adalah Suku Bajo, yang memiliki ciri khas selalu menempati wiayah pesisir, dengan membuat bangunan di atas laut.


Perkampungan Bajo Nelayan Bakti di Desa Mola

Di Kabupaten Wakatobi setidaknya Suku Bajo menempati tiga dari empat pulau besar yang ada di kabupaten pemekaran ini. Di Pulau Wangi-wangi sendiri ada satu koloni yang terdiri dari lima desa, komunitas dengan jumlah Suku Bajo yang terbesar. Pulau Ke-dua, yaitu Pulau Kaledupa, setidaknya ada tiga koloni yang bermukim di pesisir pulau, di sebelah utara satu koloni dan di sebelah selatan terdapat dua koloni. Pulau ke-tiga, yaitu Pulau Tomia, komunitas ini membentuk koloni di salah satu pulau di wilayah Kecamatan Tomia, yaitu di Pulau Onemoba’a. Sedang Pulau terakhir dari keempat pulau besar di Kabupaten Wakatobi adalah Pulau Binongko, yang sama sekali tidak terdapat komunitas Suku Bajo yang bermukim di pesisir pulau ini.

Ke’khas’an Suku Bajo ini dalam pengamatan kami bisa menjadi hambatan tersendiri bagi Kabupaten Wakatobi bila ingin terlepas sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan, atau sebut saja sebagai tantangan tersendiri bila kita ingin berpandangan optimis!

Di Pulau Onemoba’a yang penduduknya didominasi Suku Bajo, menurut pengakuan bidan pengampu wilayah tersebut, tidak ada satupun ibu yang bersalin ke tenaga kesehatan setahun terakhir. Mereka lebih memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Kenyataan ini masih ditambahi dengan kondisi sanitasi lingkungan yang khas perkampungan nelayan yang buruk, serta ketersediaan air bersih yang cukup menyulitkan.

Fasilitas pelayanan kesehatan sebenarnya sudah tersedia di tengah-tengah perkampungan Suku Bajo, tapi trust belum bisa didapatkan bidan yang masih relatif muda tersebut. Dalam pengamatan kami yang sempat berbaur di salah satu kampung Suku Bajo di Perkampungan Bajo Nelayan Bakti, ketersediaan sarana pembelajaran anak-anak pun sudah tersedia, bahkan menurut petugas dari Dinas Kesehatan, perkampungan ini sempat dikunjungi Menteri Kelautan tahun lalu.


Ceria Anak-anak Suku Bajo Bermain di Sore Hari

Yak, optimisme tersendiri melihat cerianya anak-anak Suku Bajo bermain di senja itu. Berlalulalangnya muda-mudi Suku Bajo yang pulang dari kuliah di Universitas Muhammadiyah setempat membersitkan banyak harap, semoga bisa membawa perubahan bagi komunitasnya. Semoga...


-ADL-

PERAMPUAN DAN ODONG-ODONG



Makassar, 08 Oktober 2012 


Puskesmas Perampuan adalah salah satu dari dua puskesmas yang mengampu wilayah Kecamatan Perampuan. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada kecamatan yang berlokasi di selatan Kota Mataram (ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat). Puskesmas Perampuan sendiri merupakan salah satu Puskesmas di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat.

Puskesmas Perampuan saat ini dipimpin oleh seorang perempuan, Ibu Andangsari, S.Si., Apt., M.Farm.Klin, seorang apoteker jebolan Universitas Hasanudin yang bertangan dingin dalam pengelolaan Puskesmas. Perempuan yang datang pada bulan Februari 2012 di Puskesmas Perampuan ini memulai aksinya bersama-sama dengan petugas Puskesmas sebagai sebuah teamwork efektif per Maret 2012.



Banyak perubahan yang telah dilakukan oleh Puskesmas Perampuan, termasuk di dalamnya upaya pemberdayaan. Pemberdayaan yang tidak hanya berhenti pada petugas kesehatan saja, tetapi meluas sampai kepada dukun bayi, tukang ojek, serta komponen masyarakat lainnya.


Dukun Bayi dan Tukang Ojek

Seperti kabupaten lainnya di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, di Kabupaten Lombok Barat masih banyak terdapat dukun bayi yang masih beroperasi aktif, tidak terkecuali di wilayah Puskesmas Perampuan. Hal ini seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan, terutama dalam upayanya meningkatkan persalinan melalui pertolongan tenaga kesehatan.

Dengan banyaknya dukun bayi yang masih beroperasi, Puskesmas Perampuan berusaha keras untuk mencari cara meminimalkan persalinan oleh non tenaga kesehatan. Hasil kesepakatan di Puskesmas menarik sebuah kesimpulan akhir pada suatu cara untuk pemberian insentif bagi dukun bayi yang mau merujuk (mengantar) ibu hamil yang akan bersalin ke tenaga atau fasilitas kesehatan.

Meski sederhana, ternyata langkah ini tidak begitu saja mudah diterapkan. Bagaimana tidak? Kota Mataram, sebagai tetangga berhimpitan dengan wilayah Puskesmas Perampuan, memilih strategi yang sama. Hanya saja Puskesmas di wilayah Kota Mataram memberi insentif yang mencapai angka Rp. 50.000,- per ibu bersalin yang dirujuk oleh dukun bayi. Strategi yang diterapkan di Puskesmas di wilayah Kota Mataram ini terbukti efektif menyedot perhatian dukun bayi, bahkan para dukun bayi yang sebenarnya masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Perampuan.

Dengan besaran angka pada kisaran tersebut, tentu saja Puskesmas Perampuan yang sederhana ini tak akan mampu menandinginya. Maka Puskesmas Perampuan berhitung dengan cermat dengan memperhatikan faktor selisih biaya transportasi antara Puskesmas Perampuan dan Kota Mataram. Hingga munculah angka Rp. 25.000,- per kali rujukan ibu bersalin oleh dukun bayi. Besaran angka ini adalah riil take home pay yang diterima oleh dukun bayi, riil penerimaan bersih. Penerimaan bersih? Ya penerimaan bersih, karena transportasi ditanggung oleh Puskesmas Perampuan. Bagaimana bisa? Di sinilah cerita pemberdayaan lainnya dimulai. Pemberdayaan tukang ojek.

Puskesmas Perampuan menggandeng ‘Tukang Ojek’ setempat untuk masalah transportasi rujukan ibu bersalin ke Puskesmas. Tukang ojek yang biasa mendapat tarif normal Rp. 5.000,-, dihargai Rp. 10.000,- oleh Puskesmas, dengan syarat Tukang Ojek yang sudah teredukasi tersebut turut siaga setiap saat untuk melakukan rujukan ke Puskesmas. Simbiosis mutualisme yang cukup manis dilakukan.

Tukang ojek yang dilibatkan dalam proses siaga ini sudah cukup teredukasi. Tukang ojek tersebut bisa melihat atau mendeteksi segala sesuatu tentang ibu hamil yang menjadi tanggung jawabnya dari stiker kehamilan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) yang ditempel di pintu rumah ibu hamil yang bersangkutan dipasang oleh Bidan Puskesmas.

Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan dukun bayi, Puskesmas juga memberikan bingkisan sederhana saat hari lebaran. Selain itu Puskesmas Perampuan juga memberikan award bagi dukun bayi yang melakukan rujukan terbanyak. Tentu saja ini sebuah langkah menarik untuk membangun motivasi dukun bayi, bukan masalah materi yang diberikan, tetapi lebih kepada penghargaan dan pengakuan ‘petugas resmi pemerintah’ kepada mereka. Sebuah langkah yang humanis, me’manusia’kan kembali manusia.


Sebutir Vitamin yang Menggerakkan

Sudah sangat jamak bila partisipasi masyarakat (baca; ibu dan balita) di Posyandu sudah semakin menurun dari tahun ke tahun, dari hari ke hari. Kondisi ini semakin parah pada balita dengan usia 2 (dua) tahun ke atas yang merasa imunisasi sudah tuntas dilakukan, tidak ada lagi gunanya datang ke Posyandu yang cuman hanya untuk penimbangan saja. Tidak ada lagi sesuatu yang menarik dilakukan di Posyandu.

Solusi untuk men-sweeping sasaran balita door to door, dari rumah ke rumah, memang dirasa cukup efektif, tetapi menimbulkan konsekuensi yang menyita cukup banyak sumber daya Puskesmas. Sementara pelayanan di Puskesmas harus tetap berjalan. Bila sweeping dilakukan setiap kali, setiap bulan, tentu saja akan menjadi masalah tersendiri bagi Puskesmas.

Di wilayah Kabupaten Lombok Barat sendiri sebenarnya ‘Pekan Penimbangan’ dilakukan sebanyak 4 (empat) kali selama setahun. Pekan penimbangan dilakukan pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Dalam masa pekan penimbangan ini bila ada balita yang tidak hadir di Posyandu, maka hukumnya ‘wajib’ dilakukan sweeping untuk pencapaian cakupan D/S yang maksimal.

Konsep Posyandu sendiri sebenarnya juga menuntut partisipasi masyarakat untuk datang ke Pos Pelayanan. Konsep Posyandu seharusnya tidak dengan memanjakan masyarakat dengan petugas yang mendatangi door to door. Di sinilah letak ujian ‘pemberdayaan’ masyarakat oleh petugas kesehatan yang sebenar-benarnya. Karena Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan angka partisipasinya cukup rendah, bahkan di wilayah Desa Trong Tawa seringkali sweeping yang harus dilakukan mencapai lebih dari 50% sasaran. Tentu saja konsekuensi yang cukup berat. Meski untuk upaya sweeping ini petugas dibantu oleh kader Posyandu setempat.

Puskesmas Perampuan menyadari pentingnya Posyandu, yang sekaligus Posyandu menjadi sangat penting sebagai entry point atau pintu masuk bagi masalah lainnya terkait balita, yaitu gizi kurang maupun gizi buruk. Dalam sebuah pertemuan mini lokakarya rutin di Puskesmas, tercetuslah ide untuk memberikan vitamin bagi balita yang datang ke Posyandu. Diharapkan dengan hal tersebut, ada ‘sesuatu’ yang bisa menarik ibu dan balitanya ke Posyandu. Dengan tujuan besarnya adalah mengurangi sweeping.

Langkah kecil ini terlihat biasa saja, hanya memberikan balita ‘sebutir’ vitamin, tapi dampaknya sungguh luar biasa. Trend cakupan balita yang datang dan ditimbang di Posyandu meningkat drastis, dan stabil pada kisaran 90% ke atas, yang artinya sweeping untuk memenuhi kewajiban penimbangan untuk seluruh balita hanya menyisakan pekerjaan yang tidak mencapai 10% dari total sasaran.



Dari diagram di atas terlihat trend cakupan D/S yang cenderung mendekati angka 100% meski tidak sedang pada masa ‘Pekan Penimbangan. Sedang secara detail berdasarkan angka absolutnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Sumber: Data Sekunder Puskesmas Perampuan
Angka di atas merupakan rekapitulasi dari seluruh Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan yang rekapitulasinya dilakukan sendiri oleh penulis dari laporan kegiatan Posyandu.

Katanya Puskesmas Perampuan bukan tergolong Puskesmas kaya? Kok bisa menyediakan vitamin tambahan untuk Posyandu? Berapa sih kebutuhan biayanya? Dengan hanya ‘sebutir’ vitamin, maka sebenarnya kebutuhan untuk menarik minat balita ini tidak banyak.
Puskesmas membeli vitamin merk Fitkom dalam botol yang berisi 30 butir yang di pasaran dalam kisaran harga Rp. 15.000,-, yang karena pembelian dalam jumlah besar Puskesmas Perampuan bisa mendapatkannya dengan harga Rp. 8.500,- per botolnya. Dengan sasaran dalam kisaran 3.000 balita, maka kebutuhan per bulan mencapai Rp. 850.000,-. Puskesmas memanfaatkan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) untuk pembelian vitamin ini.

“...untungnya ada BOK pak. Kalau tidak ada BOK puskesmas tidak bisa bergerak!”  kata Kepala Puskesmas Perampuan. Sebuah pemanfaatan dana BOK yang efektif dan sesuai dengan peruntukannya.

Dalam prakteknya di lapangan, pembagian vitamin ini juga dibarengi pembagian sirup vitamin Vical. Vitamin yang ini merupakan vitamin standar yang dibagikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat untuk seluruh Posyandu di wilayahnya.

“Setelah minum vitamin di Posyandu, anak saya makannya jadi kuat Bu. Dimana sih bu belinya vitamin itu (Vical)? kok saya mau membeli di apotek tidak ada...” tanya salah seorang ibu balita yang ikut datang ke Posyandu pada petugas yang mendampingi pelaksanaan Posyandu.

Efek domino ini tidak berhenti sampai di situ saja. Saat ini di wilayah Puskesmas Perampuan telah terbebas dari balita gizi buruk maupun gizi kurang. Sebuah kondisi yang pada awal tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya sulit ditemui, yang pada akhirnya memaksa Puskesmas mengalihkan anggaran yang sebelumnya dianggarkan untuk penanggulangan gizi kurang/buruk menjadi anggaran untuk keperluan lainnya.

Dalam kesempatan lain, Kepala Puskesmas juga berusaha memenuhi adanya 3 (tiga) jenis petugas yang hadir di Posyandu, untuk menjamin bahwa Posyandu adalah benar-benar Pos Pelayanan ‘TERPADU’. Tiga petugas itu terdiri dari komponen bidan, perawat dan petugas gizi. Hal ini juga lah yang mampu membuat masyarakat yang datang membawa balitanya merasa terperhatikan, kesehatan anaknya benar-benar dipantau secara baik, dan konsultasi kesehatan bisa benar-benar berjalan dan dilakukan.

Untuk memperbaiki pencatatan dan pelaporan Posyandu, Puskesmas Perampuan juga melakukan perubahan form standar dari Dinas Kesehatan. Proses penyusunan form baru ini mengadopsi dari beberapa form laporan standar yang digabungkan menjadi satu untuk memudahkan proses pencatatannya. Langkah yang demikian ini dipikirkan dan dibuat bersama-sama saat rapat rutin Puskesmas.

Cerita manis soal Posyandu ini bukannya mulus tanpa masalah. Saat ini Puskesmas sedikit kelimpungan karena hampir 70% bidannya sedang sekolah, sehingga memerlukan manajemen yang cukup merepotkan. Hal ini juga masih ditambah dengan masalah Posyandu yang terkait masalah politis, dengan akan dimulainya babak baru pergantian kepala desa. Upaya kesehatan, sebuah upaya yang seringkali menemui kendala non teknis, yang seringkali justru tidak berhubungan dengan hal teknis kesehatan itu sendiri.


Mini Lokakarya yang Diperluas

Banyaknya kemajuan yang dicapai Puskesmas Perampuan tidaklah berarti bahwa tim Puskesmas bekerja sendirian. Hal ini juga terkait dengan dukungan dari banyak pihak di luar ‘orang’ kesehatan. Pelibatan sektor dan pihak lain dimasyarakat juga tak luput dari perhatian.

Pada bulan Juli 2012, Puskesmas Perampuan berinisiatif meluaskan keterlibatan banyak pihak dalam mini lokakaryanya. Tercatat ada Dikpora (Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga) Kecamatan, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa serta kader, yang jumlahnya mencapai 80 orang.

“Sebuah mini lokakarya terbesar yang pernah diselenggarakan di wilayah Lombok Barat,” aku staf petugas Dinas Kesehatan yang berkesempatan mensupervisi mini lokakarya tersebut.

Dalam mini lokakarya ini dihasilkan beberapa kesepakatan yang diharapkan dapat memberikan dampak sustainabilitas dari gerakan perubahan yang telah dan sedang dilakukan. Di antaranya adalah mengaktifkan kembali desa siaga, yang didalamnya mengatur kesepakatan terkait pemetaan dan pembagian pekerjaan.

“Kami bersepakat membagi pekerjaan. Puskesmas melakukan apa, desa melakukan apa, kader melakukan apa...” kata Kepala Puskesmas.

Dalam forum yang sama juga dilakukan upaya alternatif pembiayaan operasional Posyandu dengan melakukan pemetaan calon-calon donatur yang ada di wilayah setempat. Selain itu juga disepakati untuk mengaktifkan kembali pola lama jimpitan. Jimpitan berupa urunan segenggam beras atau kacang hijau, yang semua peruntukkannya untuk operasional Posyandu. Kacang hijau akan diolah menjadi bubur untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan beras akan dikumpulkan untuk biaya operasionalnya.

Terakhir adalah ide dari Puskesmas Perampuan yang juga dilontarkan di forum tersebut, yaitu pengadaan odong-odong (kereta kelinci), untuk menarik dan tetap mempertahankan partisipasi masyarakat, terutama balita, di Posyandu. Saat ini sedang dihitung dan diupayakan kebutuhan biayanya, yang diprediksikan eksekusi pelaksanaannya pada akhir bulan November atau awal Desember tahun ini.

Ahh... ga sabar rasanya ingin bisa segera naik odong-odong ke Posyandu...!


-ADL-