PELAYANAN KESEHATAN KITA, KAPITALIS ATAU SOSIALIS?



by Siswanto

Pada masa kampanye Pilpres kali ini kita masyarakat awam telah disuguhi dengan dua jargon ekonomi, yakni neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Secara umum, neoliberal dimaknai sebagai sistem ekonomi yang bertumpu pada pasar bebas (free market), sementara ekonomi kerakyatan dihembuskan sebagai panacea (resep) terhadap kondisi saat ini di mana terjadi kesenjangan yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin, yang diklaim sebagai akibat sistem neoliberal. Sementara, di pihak pemerintah yang berkuasa tidak mengakui bahwa saat ini pemerintah menerapkan sistem neoliberal. Bahkan, pihak pemerintah yang sedang berkuasa mengklaimnya sebagai sistem ekonomi jalan tengah, yakni sistem ekonomi pasar tetapi pro rakyat.


Dalam tulisan ini, kita mencoba mencermati sistem kesehatan di Indonesia dalam perspektif pengelolaan sistem ekonomi. Namun, dalam analisisnya kita menghindarkan diri dari terminologi neoliberal dan ekonomi kerakyatan, agar kita tidak terjebak pada jargon politik kampanye pilpres saat ini, yang notabene belum jelas secara konseptual. Kiranya kita sudah mahfum, bahwasanya di dunia ini terdapat dua sistem ekonomi, yakni sistem kapitalis (pasar bebas) dan sosialis. Amerika Serikat, barang kali bisa diambil contoh negara dengan sistem kapitalis. Untuk contoh sosialis murni, barang kali tinggal Korea Utara yang menerapkan sosialis murni.


Sektor kesehatan adalah sektor unik yang harus diperlakukan secara khusus. Mengapa demikian? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa intervensi kesehatan adalah suatu jasa pelayanan dengan spektrum sangat lebar, dari yang paling privat (bedah kosmetik) sampai dengan yang paling publik (pemberantasan penyakit menular). Oleh karena itu, banyak negara di Eropa, meski menerapkan sistem pasar bebas dalam pengelolaan ekonominya, mereka memberlakukan sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan sosialis. Sebut saja, Jerman dan Inggris adalah contoh negara yang negaranya memberlakukan suatu jaminan atau asuransi kesehatan sosial yang mengkover seluruh penduduknya. Dengan sistem sosialis seperti ini peran negara sangat besar dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan agar mampu mengkover semua penduduknya (universal coverage).


Sesungguhnya Indonesia sudah mempunyai payung hukum yang kuat untuk menerapkan asuransi sosial kesehatan, yakni UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioanl (SJSN). UU tersebut sesungguhnya merupakan ”pendekatan sosialis” dalam pengelolaan sektor pembiayaan kesehatan, dengan tujuan untuk menjamin akses semua penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Namun sayang sekali sejak diundangkan pada akhir pemerintahan Megawati, sampai sekarang belum ada implementasi yang nyata (belum ada PP yang dibuat).


Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 maupun UU penggantinya yakni UU No. 32 tahun 2004, sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang diotonomikan (didesentralisasikan). Secara prinsip otonomi adalah penyerahan kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan antara sistem otonomi dan privatisasi sistem pelayanan kesehatan, namun dalam periode lima tahun terakhir ini terasa benar terjadinya pergerakan ke arah privatisasi pelayanan kesehatan.


Dengan berjalannya otonomi sejak tahun 2001, realita di lapangan mengindikasikan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita cenderung bergeser ke arah sistem pasar bebas terkendali, kalau tidak boleh dikatakan pasar bebas. Ini bisa dibuktikan dengan menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, sebut saja, klinik 24 jam, klinik spesialis, rumah sakit swasta, rumah sakit internasional, dan sebagainya. Bahkan, institusi pelayanan kesehatan pemerintah telah bergerak ke arah kutub ”privatisasi”. Ini terbukti dengan perubahan inkremental rumah sakit pemerintah dari kutub ”birokrasi” ke ”privatisasi”, dengan mengubah status rumah saki pemerintah dari model retribusi menjadi rumah sakit swadana, dan akhirnya dewasa ini menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Argumennya, dengan BLU, rumah sakit dapat berkinerja lebih baik karena dapat mengelola secara langsung pendapatan fungsionalnya untuk operasional pelayanan dan insentif karyawan. Ironisnya status BLU tetap mendapat budget pemerintah untuk belanja investasi dan gaji.


Konsekuensi ”privatisasi” institusi pelayanan kesehatan pemerintah adalah penyesuaian tarif (penyesuaian terhadap biaya riil), dengan argumentasi bahwa peningkatan tarif adalah untuk meningkatkan pendapatan fungsional guna kemandirian biaya operasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sudah pasti, dengan kebijakan penerapan BLU di rumah sakit akan menghasilkan ”trade off” kepada berbagai pihak pemangku kepentingan. Pihak manajemen dan provider akan diuntungkan dengan status BLU, namun dari segi biaya, masyarakat miskin akan dirugikan dengan naiknya tarif pelayanan. Meskipun, kerugian rakyat miskin tadi sudah ditanggulangi dengan Jamkesmas (Askeskin), sebagaimana diprogramkan pemerintah.


Puskesmas tidak kalah radikalnya dalam konteks ”privatisasi” dibandingkan dengan rumah sakit. Beberapa puskemas di DKI Jakarta dan juga provinsi lain menggarap secara bisnis pelayanan kesehatannya dengan menerapkan International Standard Organisation (ISO). Juga, secara bersamaan dengan pengakuan ISO, puskesmas dapat menggunakan pendapatan fungsionalnya untuk biaya operasional dan kesejahteraan karyawan. Pergeseran model puskesmas birokrasi (retribusi disetor penuh ke pemerintah) ke arah privatisasi ini juga membawa konsekuensi kenaikan tarif pelayanan. Lagi-lagi diklaim bahwa rakyat miskin tidak ada masalah karena sudah terlindungi dengan Jamkesmas.


Contoh-contoh kasus menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, bahkan rumah sakit kelas internasional, pergeseran rumah sakit pemerintah dan puskesmas ke arah privatisasi, hal ini semua mengindikasikan kecenderungan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita menuju ke kutub pasar bebas (kapitalis). Atau, setidak-tidaknya pasar bebas terkontrol kalau tidak boleh disebut pasar bebas.


Masalah pilihan


Model sistem kapitalis atau sosialis dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan sesungguhnya hanyalah masalah pilihan, yang tidak bisa langsung dinilai salah atau benar. Dalam sistem pelayanan kesehatan, karena sifat kepublikannya, maka baik pilihan kapitalis maupun pilihan sosialis keduanya harus mendapatkan intervensi khusus agar dampak negatifnya dapat tertanggulangi.


Dalam masalah pelayanan barang publik, misalnya pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, imunisasi, dan sejenisnya, para ahli sepakat bahwa intervensi pelayanan ini pembiayaannya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Di Amerika Serikatpun intervensi kesehatan barang publik juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentunya pelaksananya bisa oleh institusi pemerintah atau model contracting out. Pemerintah harus membiayai jenis pelayanan ini, karena sifat kepublikan (publicness) dari jenis pelayanan kesehatan ini.

Persoalan pilihan sistem sosialis atau kapitalis sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan kesehatan perorangan. Pada sistem sosialis, secara umum pelayanan kesehatan perorangan dibiayai atau setidak-tidaknya pembiayaannya dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah. National Health System (NHS) di Inggris atau asuransi kesehatan nasional Australia, misalnya, premi jaminan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya disatukan dengan pajak (tax based health insurance). Dengan sistem seperti, maka semua warga negara mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dengan benefit package yang relatif sama (paket generik). Dari segi keadilan dalam kontribusi pembiayaan, sistem ini cukup adil karena semakin kaya seorang warga negara maka semakin tinggi kontribusinya terhadap pembiayaan kesehatan. Bahkan, untuk orang miskin bisa bebas dari kontribusi pembiayaan, karena adanya ambang batas untuk kewajiban membayar pajak (orang miskin dengan pendapatan di bawah ambang batas tidak membayar pajak).


Meskipun model ini dengan mudah mampu mengkover seluruh penduduk dalam mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, namun juga mempunyai banyak kelemahan. Pertama, karena premi jaminan kesehatan dan sosial diambilkan dari pajak maka proporsi anggaran sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial mengambil proporsi yang besar dalam belanja negara. Dan, porsi anggaran ini setiap tahunnya harus dipertarungkan dengan sektor lain pada saat penyusunan rencana anggaran pemerintah. Kedua, sistem ini tetap menyisakan persoalan bagi masyarakat kaya dan sangat kaya, karena kelompok ini biasanya menginginkan pelayanan yang lebih (paket khusus). Untuk menanggulangi ini negara biasanya tetap mengijinkan asuransi swasta untuk mengakomodasi kebutuhan segmen kelompok kaya ini.


Model sosialis lainnya adalah seperti apa yang diterapkan di Jerman. Meskipun premi jaminan kesehatan tidak disatukan dengan pajak, pemerintah Jerman menerapkan Social Health Insurance (asuransi kesehatan sosial). Secara prinsip, sistem ini mewajibkan semua warga negara mengikuti asuransi kesehatan dengan besaran premi sesuai dengan tingkat pendapatannya, kemudian paket pelayanan kesehatan yang diberikan juga relatif sama (paket generik). Identik dengan model tax based, pemerintah masih tetap menawarkan asuransi swasta bagi yang menginginkan paket khusus.


Bagaimana dengan model kapitalis? Amerika Serikat, sebagai prototipe model kapitalis, menyerahkan pasar asuransi pelayanan kesehatannya kepada pasar bebas. Dengan demikian keikutsertaan warga negara dalam asuransi kesehatan bersifat suka rela (voluntary). Jadi negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk mengikuti asuransi kesehatan. Model ini sesungguhnya identik dengan model Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang pernah dikembangkan di Indonesia sebelum muncul UU No. 40 tahun 20004 tentang SJSN. Sistem kapitalis juga tidak luput dari kelemahan.


Pertama, tingkat cakupan kepada penduduknya akan sulit mencapai universal coverage (cakupan 100%). Konon di Amerika Serikat, negara yang ekonominya sudah sangat maju, masih terdapat 30% penduduknya yang tidak terkover asuransi kesehatan. Kedua, kelompok orang sangat miskin dan miskin akan tertinggal dalam sistem, karena mereka tidak mampu membayar premi asuransi. Untuk itu, negara harus mengintervensi kelompok ini dengan membayar premi kelompok ini. Misalnya, Amerika Serikat mensubsidi orang miskin dengan program Medicaid, dan lansia dengan Medicare.


Bagaimana dengan di Indonesia? Kondisi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia saat ini tampak sangat fragmented. Data kepesertaan jaminan kesehatan di Indonesia sudah menggembirakan karena sudah mendekati angka 40%, dengan rincian sekitar 72 juta penduduk miskin terkover dengan Jamkesmas, kemudian PNS, ABRI, dan Pensiunan terkover dengan Askes, karyawan swasta terkover dengan Jamsostek, dan sejumlah orang kaya tertentu mengikuti asuransi swasta. Namun demikian kita harus sadar bahwa ”sesungguhnya kita belum menerapkan asuransi kesehatan sosial sebagaimana dicita-citakan oleh UU No. 40 tentang SJSN”.


Pertanyaannya sesungguhnya negara kita menganut sistem pelayanan kesehatan yang mana? Sosialis atau kapitalis? Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa kita mengarah kepada kapitalis. Mengapa demikian? Pertama, dari segi penyedia pelayanan kita lebih bergerak ke arah privatisasi, sebagaimana telah dijelaskan di depan. Kedua, dari segi pembiayaan, kita membiarkan kelompok kaya dan sangat kaya untuk mengikuti asuransi kesehatan sesuai sistem pasar (asuransi swasta), sementara kita mengintervensi kelompok miskin dengan Jamkesmas (Askeskin). Bukankah ini identik dengan sistem di Amerika? Yang celaka adalah kelompok menengah, kaya tidak, miskin juga tidak. Mereka menjadi kelompok terbengkelai, di satu pihak belum terkover Jamkesmas, di pihak lain tidak mampu membayar premi asuransi swasta. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa ini ke depannya mampu menerapkan asuransi kesehatan sosial di Indonesia.

CONSUMER GENERATED MEDIA


By Evie Sopacua

Dalam berita.liputan6.com tanggal 9 Juni 2009 dibawah judul Prita dan Kedaulatan Konsumen, Aryanto membandingkan kasus ini dengan kasus perusahaan ternama Dell. Dikisahkan ketika Jeff Jarvis penulis buku What Would Google Do? membeli laptop Dell, ternyata laptop ini bermasalah. Tapi, usai dibawa ke pihak Dell, laptop itu tak kunjung bugar. Dalam keadaan frustasi, Jarvis memuat tulisan di blognya pada Juni 2005, dengan judul "DELL SUCKS". Keluhan ini disambut meriah kalangan blogger. Ratusan komentar bermunculan. Tulisan itu juga disebarkan ke blog-blog lain. Dengan cepat reputasi Dell merosot, apalagi ketika media mainstream ikut juga memberitakan. Bahkan, nilai saham Dell di bursa ikut-ikutan anjlok. Dell tak punya pilihan. Beberapa bulan kemudian, produsen itu mulai berubah pikiran. Pada April 2006, produsen itu menurunkan staf technical support-nya untuk berkomunikasi dengan kalangan blogger. Pada Juli 2006, Dell bahkan membangun blog sendiri, ajang keluh-kesah ataupun pujian bagi produk mereka. Mereka menanggapi setiap posting atau komentar dengan pendekatan yang positif, mau mendengarkan. Dell menjadikan para pelanggan sebagai sahabat yang bisa mengkritik kapan saja. Nama baik perusahaan tersebut akhirnya pulih seperti sediakala.

Aryanto menjelaskan bahwa dunia memang sudah berubah dan dengan cara-cara baru, para konsumen menyusun posisi diri yang baru. Ini semua dipicu revolusi di bidang teknologi informasi. Kontrol informasi sudah mulai bergeser ke tangan publik secara langsung, bukan lagi di genggaman media massa konvensional. Para konsumen menyebarkan informasi melalui blog, milis, situs jejaring sosial, maupun forum di jagat maya. Dulu, konsumen harus menunggu berminggu-minggu, sebelum protesnya dimuat dirubrik surat pembaca. Kini, hanya dalam hitungan menit, protes (atau boleh jadi pujian) itu bisa menyebar tanpa batas, ke seluruh pelosok dunia. Para pakar pemasaran menamakannya consumer generated media (CGM).

Istilah CGM dicetuskan tahun 2002 oleh Pete Blackshaw (www.clickz.com , www.consumergeneratedmedia.com , http://en.wikipedia.org ) CMO dari perusahaan Nielsen untuk menggambarkan pertumbuhan ruang kreasi pelanggan di internet. Ide ini muncul berdasarkan umpan-balik pelanggan melalui surat ‘online’ dan e-mail yang memenuhi videos, gambar dan jaringan situs sosial seperti facebook dan situs berita sosial seperti Digg.

Menurut Amalia E. Maulana (http://amaliamaulana.com diposting 21 Mei 2008) CGM diciptakan sebagai tempat ekspresi pendapat dari konsumen ke konsumen melalui ‘media online’ untuk mendiskusikan pengalaman dalam berinteraksi dengan produk pada khususnya, atau masalah-masalah sosial-politik pada umumnya. Blog, milis, ‘e-forum’ dan situs kajian produk adalah beberapa contoh CGM. Dikatakan Amalia bahwa dalam CGM, semua pesan yang masuk dimuat tanpa terkecuali, dan ini yang membuatnya lebih hidup serta dinamis. Dalam blog, umumnya tanggapan pembaca langsung tayang. Milis yang bersifat umum, anggotanya cenderung diperbolehkan menuliskan komentar apa saja. Di situs kajian produk, konsumen mendeskripsikan produk dari kacamatanya sendiri tanpa campur tangan produsen.

CGM merupakan salah satu bentuk komunikasi ‘word of mouth’ (WOM). Dengan bantuan kemajuan teknologi, penyebaran berita melalui CGM lebih cepat dibandingkan dengan tipe WOM yang lain. Amalia menjelaskan bahwa kelebihan utama CGM adalah dari sisi kredibilitasnya yang tinggi di mata audiens; berbeda dari tulisan di media formal yang sering dipersepsikan berpihak pada kepentingan tertentu. Kenyataan inilah yang menjadikan CGM seolah-olah pisau bermata dua bagi perusahaan, karena media ini bisa menjadi ancaman manakala ada berita buruk tentang produk/perusahaan seperti pada kasus Dell di atas.

Seperti dalam kasus Prita, seharusnya RS Omni menyadari bahwa keluhan Prita bukan pencemaran nama baik, tetapi umpan balik dari pelayanan yang dia peroleh. Manajer humas RS seharusnya menghubungi Prita yang beropini tentang pelayanan yang dia dapatkan lewat “CGM” (emailnya di facebook) secara terpisah guna mendapatkan ‘consumer insight’ yang lebih mendalam untuk usulan perbaikan di RS. Dikatakan oleh Amalia, hasil implementasi usulan ini yang akan menjadi bahan “cerita baru” perusahaan di media CGM (facebook), sehingga jelas dirasakan para anggota CGM bahwa perusahaan memperhatikan umpan balik mereka.

Dalam http://tuhu.blogspot.com dengan judul tulisan Mimpi Buruk Pemasar Itu Bernama Consumer Generated Media (diposting 4 April 2008). Diceritakan demikian :

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah link yang sangat menghebohkan. Sebuah merek mobil ternama, yang menggunakan iklan testimonial dihujat habis oleh penulis blog itu. Karena dia dengan lantang, menuliskan secara jujur proses dibalik layar iklan testimonial tersebut. Apabila Anda sebagai pemilik brand tersebut, bukankah ini sebuah mimpi buruk? Dan tampaknya bagian marketing communication dari perusahaan ini tidak mengetahui, terbukti tidak ada satu komentar pun yang berasal dari pihak produsen. Padahal link tulisan ini sudah menyebar kemana-mana.Parahnya lagi tulisan ini ditulis tahun 2005, dan hingga saat ini pun ternyata masih heboh dibicarakan. Coba Anda bayangkan, page-rank artikel itu saja mencapai 6 (Google page-rank berskala 1-10). Sementara page-rank keseluruhan blognya cuman 3. Ini merupakan indikasi, bahwa khusus tulisan ini banyak dibaca orang, di forward dari mailing list ke mailing list, dan di link kemana-mana.Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menanganinya? Untuk pencegahan, seharusnya perusahaan ikut terlibat dalam dunia blog, mailing list dan forum lainnya dimana konsumennya biasa berkumpul. Sehingga apabila ada keluhan, mereka langsung menuju ke perusahaan dibanding bercerita kemana-mana.Tindakan lainnya, adalah melakukan monitoring tiap hari melalui google, apakah ada berita negatif tentang produk kita. Nah disini menjadi krusial, apabila ada yang berkomentar negatif, hadapilah dengan lapang dada. Anda tidak bisa marah-marah, lalu mengecam Sang Penulis. Akan lebih elegan bila Anda bersimpati, dan berusaha segera memecahkan masalah yang dihadapi.

Rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain dalam era global seperti ini merupakan industri dengan mindset ekonomi yang seharusnya tidak melupakan aspek sosial dalam mewujudkan profit. Bukan semata mengejar keuntungan atau break event point untuk modal besar yang sudah dikeluarkan untuk ijin pendirian dan penyelenggaraan RS, pembelian alat kesehatan yang mahal dan penggajian sumberdaya manusia termasuk dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain maupun tenaga non kesehatan.

Menjaga mutu merupakan hal yang sangat penting dalam suatu industri dan keluhan klien atau pelanggan bahkan dengan judul bombastis seperti yang dilakukan pada perusahaan Dell, sebaiknya tidak disikapi dengan arogansi bahwa telah terjadi pencemaran nama baik. Justeru itulah mutu sebenarnya yang dinilai pelanggan.

Brand bukan sekedar tampilan wah, tapi seharusnya menunjukkan standar profesionalitas. Terakreditasi nasional atau internasional bukan jaminan kalau tidak diikuti dengan pelayanan yang terstandar dan profesional sebagaimana yang tercantum dalam parameter-parameter penilaian akreditasi.

Pelanggan atau klien adalah subyek..bukan obyek, dia punya hak dan kewajiban seperti juga rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain serta semua tenaga kesehatan maupun non kesehatan yang melayani.

’Customer is the king’ bukan sekedar iklan atau slogan dan saya setuju dengan Amalia yang mengutip Pete Blackshaw : “Watch your back!” .

LESSON LEARNED DARI KASUS PRITA vs OMNI

by Evie Sopacua

Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Tangerang merupakan sebuah lesson learned dalam pelayanan rumah sakit, bahwa pelanggan yang adalah klien pelayanan kesehatan merupakan subyek, bukan obyek. Pelanggan adalah subyek, karena hubungan antara mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan (Gerson, 2004). Sehingga mutu menurut Gerson didefenisikan sebagai apapun yang oleh pelanggan dianggap sebagai mutu. Hal ini dijelaskan juga oleh Martin (2004) bahwa hanya bila pelanggan menganggap bahwa kita telah memberikan pelayanan pelanggan bermutu, barulah kita juga bisa menyatakan hal serupa. Martin mengemukakan bahwa pelanggan cenderung memberikan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan dari dua dimensi yaitu dimensi prosedural dan dimensi pribadi. Dimensi prosedural mencakup sistem dan prosedur yang telah tertata guna menyampaikan produk dan atau pelayanan sedangkan dimensi pribadi mencakup sikap, perilaku dan kemampuan lisan penyedia pelayanan dalam berinteraksi dengan pelanggan.

Akreditasi rumah sakit merupakan bagian dari dimensi prosedural yang bila dilaksanakan seiring sejalan akan menyebabkan pelanggan memberikan penilaian yang positif terhadap pelayanan yang diterima. Dapat dikatakan bahwa dari 16 pelayanan yang dinilai melalui kegiatan akreditasi rumah sakit, pelayanan administrasi dan manajemen merupakan payung dari ke 15 pelayanan lain. Mengapa demikian? Sebagai contoh dalam standar 2 parameter 2 dari pelayanan administrasi dan manajemen disebutkan ‘Pemilik rumah sakit menetapkan Hospital Bylaws (HBL)’ yang diterjemahkan sebagai peraturan internal rumah sakit. Pelaksanaan HBL mengacu pada keputusan MenKes RI No 722 tahun 2002 tentang Pedoman Peraturan Internal RS dan keputusan MenKes no 631 tahun 2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis (medical staff bylaws).

HBL terdiri dari kata ‘Hospital’ berarti rumah sakit dan ‘bylaw’ yang menurut The Oxford Illustrated Dictionary : Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions or practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004 dalam mashuriwebblog, 2009). Dengan demikian, pengertian bylaw dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan HBL memegang peranan penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah sakit, karena merupakan aturan main dari dan dalam manajemen rumah sakit.

HBL merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL dapat merupakan kumpulan dari peraturan rumah sakit, standar operating procedure (SOP), surat keputusan, surat penugasan, pengumuman, pemberitahuan dan perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

Jadi HBL merupakan payung dari semua peraturan dan kebijakan yang dilaksanakan di rumah sakit.

Dalam pelaksanaan HBL ini salah satu muatan materi pengaturan adalah hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit sebagaimana Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997.

Hak Pasien
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
2. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/ kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
4. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.
5. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
6. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
7. Hak atas ’second opinion’ / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
8. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku.
9. Hak untuk memperoleh informasi / penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya.
10. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
11. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
12. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam berobat dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
13. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum/ pasien lainya.
14. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit.
15. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya.
16. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.
17. Hak transparansi biaya pengobatan/ tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
18. Hak akses / ‘inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.

Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat.
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/ peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit.
4. Melunasi semua imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
5. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.

Hak Dokter
Hak dokter adalah kekuasaan atau kewenangan dokter untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu
1. Hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional serta berdasarkan hak otonomi dan kebutuhan medis pasien yang sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4. Hak untuk mengakhiri atau menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain, kecuali untuk pasien gawat darurat.
5. Hak atas ‘privacy’ (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan).
6. Hak memperoleh informasi yang lengkap dari jujur dari pasien atau keluarganya.
7. Hak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
8. Hak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien.
9. Hak mendapatkan imbalan jasa profesi yang diberikan berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan atau peraturan yang berlaku di rumah sakit.

Kewajiban Dokter
1. Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yg sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Merujuk pasien ke dokter lain atau rumah sakit lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
4. Memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
5. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien (menjaga kerahasiaan pasien) bahkan setelah pasien meninggal dunia.
6. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melaksanakan.
7. Meminta persetujuan pada setiap melakukan tindakan kedokteran / kedokteran gigi, khusus untuk tindakan yang berisiko persetujuan dinyatakan secara tertulis. Persetujuan dimintakan setelah dokter menjelaskan tentang : diagnosa, tujuan tindakan, alternative tindakan, risiko tindakan, komplikasi dan prognose.
8. Membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
9. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran / kedokteran gigi.
10. Memenuhi hal- hal yang telah disepakati / perjanjian yang telah dibuatnya.
11. Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12. Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
13. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik dokter / dokter gigi.
14. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
15. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
16. Wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
17. Wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran I ndonesia.

Hak Rumah Sakit
Hak rumah sakit adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu yaitu:
1. Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS nya sesuai dengan kondisi atau keadaan yang ada di RS tersebut (hospital by laws).
2. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS.
3. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter kepadanya.
4. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui panitia kredential.
5. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dll).
6. Mendapat jaminan dan perlindungan hukum.
7. Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada pasien.

Kewajiban Rumah Sakit

1. Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
2. Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien.
3. Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas perawatan (Duty of Care).
4. Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care).
5. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi terlebih dahulu.
6. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan.
7. Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku.
8. Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam keadaan siap pakai.
9. Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan.
10. Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
11. Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya.

Kasus Prita Mulyasari menjadi sebuah lesson learned bahwa mungkin saja, RS Omni Tangerang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan rinci. Apabila rumah sakit sudah terakreditasi, maka seharusnya mempunyai HBL yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Atau RS Omni Tangerang sudah mempunyai HBL, tetapi belum seiring sejalan dalam pelaksanaannya. Sehingga hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit belum diterapkan dengan tepat. Terlihat dalam kasus Prita bahwa hak pasien belum dipenuhi yaitu hak untuk memperoleh informasi / penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya dan hak akses / ‘inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya. Sedangkan kewajiban dokter (a.l. : membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien) dan kewajiban rumah sakit (a.l. : ’duty of care’ dan ’quality of care’) belum dilaksanakan sebagaimana seharusnya.
Dengan mengetahui hak pasien, dokter dan rumah sakit yang sudah dipaparkan, kiranya menjadikan kita semua lebih smart ketika menerima pelayanan di rumah sakit.

Referensi

Gerson RF. 2004. Mengukur kepuasan pelanggan. Cetakan ke 3. Lembaga Manajemen PPM. Jakarta. Victory Jaya Abadi

Martin WB. 2004. Quality Customer Service. Lembaga Manajemen PPM. Jakarta. Victory Jaya Abadi
Hak dan kewajiban RS, dokter & pasien. http://cintalestari.wordpress.com diunduh 10 Juni 2009
Hospital Bylaws.2007. http://mashuriwebblog.wordpress.com diunduh 12 Juni 2009

MAKNA AKREDITASI RUMAH SAKIT BAGI KEPENTINGAN PUBLIK




by Rachmad Puageno


Tak dapat dipungkiri bahwa pelayanan kesehatan (baca: Rumah Sakit ) pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama, setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut (Nurachmah, 2001). Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan.


Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya pelayanan namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen tetap diutamakan, karena indikator tersebut masih tetap menjadi tolak ukur (benchmark) utama keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan (Miloney, 2001).


Sejalan dengan adanya UU tentang Perlindungan Konsumen dan hasil amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pasal 28H ayat I, para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini mulai menyadari hak-haknya sehingga keluhan, harapan, laporan, sampai dengan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa tersebut. Munculnya berbagai Lembaga Perlindungan Konsumen merupakan indikasi kuat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan hak-haknya, meski belum semua.


Di samping itu, tak kalah pentingnya, isu AFTA 2003 dan globalisasi mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan semakin didominasi oleh perusahaan yang mampu memberikan pelayanan atau menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing tinggi dalam memanfaatkan peluang pasar, keadaan ini berlaku bagi industri perumahsakitan di Indonesia, tentu saja dalam perspektif otoda, termasuk Rumah Sakit di daerah.


Oleh karena itu industri jasa kesehatan semakin merasakan bahwa kualitas pelayanan adalah jawaban yang mutlak dalam rangka mempertahankan eksistensi mutu pelayanan dan menjawab tuntutan masyarakat terhadap mutu layanan. Selain itu upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit di daerah adalah langkah terpenting untuk meningkatkan daya saing usaha daerah di sektor kesehatan.


Dalam upaya tersebut diperlukan alat untuk mengevaluasi mutu pelayanan Rumah Sakit. Salah satu strategi penting yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan medik rumah sakit saat ini adalah melalui standarisasi (akreditasi, audit klinis, dll).


Bahasan kita kali ini, sengaja dibatasi pada aspek akreditasi RS. Hal ini lebih disebabkan pelaksanaan program akreditasi RS akhir-akhir semakin gencar dilakukan. Namun, apa itu akreditasi dan pentingnya buat publik/masyarakat, hal inilah yang nampaknya masih menjadi ‘misteri’. Akreditasi sering lebih dipahami sebagai ‘konsumsi terbatas’ para insan kesehatan, mulai dari pemerintah hingga orang-orang yang terlibat dalam jasa pelayanan kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga di RS lainnya).


Sementara masyarakat, yang notabenenya pengguna pelayanan kesehatan sering ‘ketinggalan kereta’ dalam hal ini. Dengan kata lain masyarakat lebih sebagai ‘obyek’ daripada sebagai ‘subyek’. Padahal dalam otoda, unsur masyarakat mendapat porsi yang cukup dominan.
Tulisan ini ingin mengulas informasi seputar akreditasi, harapannya agar ‘makhluk’ yang bernama Akreditasi Rumah Sakit lebih dipahami oleh publik (baca: masyarakat), alih-alih sebagai upaya pemenuhan hak publik atas informasi (the right of well information).

Seputar Akreditasi
Menurut kamus Webster, kata akreditasi adalah pertimbangan atau pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah terkemuka. Sedangkan menurut Permenkes RI No 159a/Menkes/PER/II /1998 tentang Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan bahwa Rumah Sakit memenuhi standart minimal yang ditentukan. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa akreditasi adalah pengakuan resmi dari pemerintah yang diberikan kepada Rumah Sakit yang telah memenuhi standart pelayanan.


Penilaian akreditasi Rumah Sakit, dilakukan oleh sebuah komisi independen dibawah Departemen Kesehatan RI yang berkedudukan di Jakarta, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan (KARS). Penilaiannya difokuskan pada kebutuhan dan harapan konsumen dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability) agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Didalamnya, terdapat ahli-ahli yang bertindak sebagai surveyor, yang direkrut dari daerah-daerah dan dipilih sesuai kualifikasi di bidangnya. Sehingga KARS inilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penilaian program akreditasi.


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit juga dilaksanakan di luar negeri. Akreditasi Rumah Sakit di luar negeri dilakukan oleh komisi yang bersifat independen, misalnya ; di Amerika Serikat dilakukan oleh JCHAO (Joint Commission on Accrediatition of Health Care), di Australia oleh ACHS (Australian of Health Care Standart Council) dan di Belanda oleh NIAZ (Nederlands Instituut Voor Accreditatle Van Zie Kenhuiden). Singkatnya, program akreditasi bersifat universal alias mendunia.


Hasil dari program akreditasi di sebuah Rumah Sakit terdapat 4 kemungkinan yang akan diperoleh, mulai dari ; Tidak diakreditasi (tidak lulus, harus mengulang), Akreditasi bersyarat (belum memenuhi syarat secara keseluruhan), Akreditasi penuh (memenuhi standart yang telah ditetapkan, yang diberikan selama 3 tahun dan Akreditasi Istimewa (bagi Rumah Sakit yang menunjukkan pemenuhan melebihi standart yang telah ditetapkan).


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan Rumah Sakit, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut (20 pelayanan). Untuk tingkat dasar adalah pemenuhan standart untuk 5 kegiatan pelayanan pokok, yaitu; Adminsitrasi dan Manajemen, Pelayanan medis, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Keperawatan dan Rekam Medis. Sementara untuk kegiatan tingkat lanjutnya, antara lain; Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Penanggulangan Infeksi Nosokomial, Pelayanan Kamar Operasi, Pelayanan Farmasi, Pelayanan Radiologi, Pelayanan Laboratorium, Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi. Logikanya, semakin tinggi tingkatannnya otomatis semakin bagus kualitas pelayanan sebuah Rumah Sakit.

Akreditasi bagi Publik
Makna akreditasi Rumah Sakit sering lebih diartikan sebagai kepentingan Rumah Sakit an sich, sementara maknanya bagi masyarakat justru ‘tenggelam’. Hal ini menjadi sebuah ironi apabila kita kaitkan dengan semangat Otoda, yang menuntut partisipasi aktif masyarakat. Mestinya hal ini tidak boleh terjadi lagi, masyarakat patut mengetahui pentingnya arti akreditasi bagi mereka.

Memang dalam beberapa kasus, hal ini lebih disebabkan masyarakat juga ‘tidak mau tahu’ dalam masalah ini. Tapi satu hal yang pasti, aspek publik kelihatannya belum banyak dilibatkan. Bagi mereka, yang mereka tahu adalah pelayanan di Rumah Sakit tidak mengecewakan mereka dan keluarga yang dirawat sembuh. Tentu saja, pemahaman masyarakat yang semacam itu, tidak salah. Karena sebenarnyalah, salah satu tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, salah satu aspeknya adalah kepuasan konsumen.


Namun, bila kita lihat secara lebih dalam, ternyata akreditasi mempunyai makna yang lebih luas. Bagi Rumah Sakit, program akreditasi adalah instrumen yang valid untuk mengetahui sejauh mana pelayanan di Rumah Sakit tersebut memenuhi standart yang berlaku secara nasional.
Status terakreditasi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas layanan di Rumah Sakit dan sebagai alat pencegahan terjadinya kasus malpraktek, karena dalam melaksanakan tugasnya, tenaga di Rumah Sakit telah memilki Standart Operating Procedure (SOP) yang jelas. Dengan kata lain, akreditasi bagi Rumah Sakit adalah bentuk pertanggungjawaban (accountability) dan perlindungan kepada masyarakat sebagai pengguna jasanya.


Selain makna diatas, bagi masyarakat, akreditasi dapat bermakna sebagai alat bantu yang shahih dalam menentukan pilihan tempat pelayanan kesehatan yang baik. Rumah Sakit yang telah terakreditasi tentu saja merupakan pilihan yang lebih bijaksana, karena Rumah Sakit tersebut telah memenuhi standart pelayanan yang berlaku, mulai dari tenaganya, peralatan medis, hingga fasilitas penunjang lainnya. Harapannya masyarakat lebih merasa ‘aman’ mendapat pelayanan di Rumah Sakit yang sudah terakreditasi daripada yang belum terakreditasi. Tentu saja, hal ini tetap tidak menafikkan ‘takdir’ tuhan, tapi sebagai bentuk ikhtiar, wajib dilakukan. Seperti pepatah latin yang mengatakan “ora et labora”.


Diatas itu semua, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan program akreditasi banyak diartikan sebagai ‘proyek’ untuk sebagian oknum dalam mengeruk keuntungan. Karena dalam pelaksanaannya, program ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar, sehingga dalam implementasinya muncul nuansa KKN, suap dan istilah lainnya yang pada akhirnya adalah UUD (ujung-ujungnya duit). Singkatnya, semua bisa diatur asal ada duit.


Namun, seperti kata orang bijak, “Orang yang beruntung adalah orang-orang yang dapat mengambil hikmah positif dalam suatu kegiatan atau peristiwa”. Maka marilah akreditasi RS kita maknai sebagai salah satu upaya ‘jihad’ mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dan bagi oknum yang mengeruk keuntungan lewat program akreditasi RS, cukup kita doakan agar Tuhan menyadarkan mereka. Wallahu Alam Bishshowab.

EVALUASI 4 TAHAP DARI KIRKPATRICK SEBAGAI ALAT DALAM EVALUASI PASCA PELATIHAN


By Evie Sopacua


Dear all…kali ini mau saya ajak memahami evaluasi pasca pelatihan…Why..?..karena biasanya kalo pelatihan, cuma pre dan postes saja…pokoknya materi disampein, mau jadi apa, .egp!!...palagi kalo menyangkut program!!..maaf nih, bapak-bapak, ibu-ibu, om-om dan tante-tante…pis!!..soalnya rencana pelatihan biasanya sudah direncanakan 4 hari efektif, jadi 3 hari dengan materi dipadatkan…pre n postes, terus kelarrrrrrrrrrrrrr….

Apa materi pelatihan bisa diterapkan ketika peserta pelatihan back 2 their habitats?...wah..itu tergantung..,..tergantung orangnya sendiri.., bosnya.., frensnya.., sarana prasarana yang ada..,perda yang berlaku..(..ini otonomi man!.. desentralisasi!..)..so..up 2 them..(sama dengan egp gak ya??..)..

Maka saya pingin share dengan all of you friends, and we all will have the same minds or perception about pelatihan dan evaluasi setelah (pasca) pelatihan.


Story behind the scene……... ;-)
Tahun 2004, saya diberi kesempatan sama pak Didik Budijanto untuk jadi principle investigator (= PI..he7..istilah keyennya peneliti utama or ketua peneliti) dalam penelitian lanjutan tahun ke 3 dari pola kompetensi SDM kesehatan era desentralisasi.1) (saat itu pak Didik lagi hot-hotnya skuling S3, tapi penelitian tahun 2002 dan 2003 PI-nya pak Didik dan saya termasuk anggota tim peneliti). Kabadan pada saat itu menginginkan agar penelitian yang akan dilaksanakan harus oke punya..jadi pada akir tahun 2003 saya sebagai calon PI mengikuti acara yang dinamakan ‘bedside teaching’. Teaching yang seperti ini pada umumnya dilakukan untuk para calon dokter, dokter gigi, perawat, bidan ketika mereka belajar dari dosen or pembimbing disamping ‘tempat tidur’ pasien dengan mendengarkan instruksi, mengamati cara memeriksa dan apa yang diperiksa pada pasien..etc. Nah..tujuan pertemuan ini, calon PI mendapatkan ‘teaching’ yang untuk saya lebih bersifat ‘coaching’ dari peneliti ‘senior’ yang dianggap pakar. Jadi kita seperti ujian..menjelaskan proposal penelitian kita, dan mempertahankan apa yang kita tuangkan dalam proposal tersebut. Tetapi para peneliti yang pakar tersebut memang meng-coach supaya penelitiannya jadi oc.., runtut dari pernyataan masalah sampai simpulan saran pada akirnya.

Saya masuk di kelompok yang diketuai pak Laksono Trisnantoro dari UGM dengan pak Cholis Bachroen sebagai sekretaris. Ada lebih dari 5 orang tim peneliti senior sebagai pakar (selain pak Laks en pak Chol) en yang saat ini masih aktif adalah dr.Suhardi di puslit BMF(yl udah purna tugas). Penelitian pola kompetensi SDM kesehatan era desentralisasi pada tahun ke 1 melakukan eksplorasi dan hasilnya menjadi dasar melakukan pelatihan dan implementasi pada tahun ke 2 penelitian yang pada tahun ke 3 di-evaluasi. Judul penelitiannya sudah evaluasi, tapi evaluasi yang direncanakan bukan evaluasi pasca pelatihan. Dasar teori evaluasi pasca pelatihan itu tidak sekedar mengukur keberhasilan implementasi materi pelatihan, karena ada banyak faktor lain yang ikut ambil peran atau berpengaruh dalam proses implementasi materi pelatihan.

Saya pada waktu itu, belum faham tentang evaluasi pasca pelatihan. Mau baca buku apa, enggak tau, yang dibaca ya buku tentang evaluasi yang tuebellllll en memerlukan upaya krn written in English, apalagi termasuk malas pada waktu itu, (kecuali baca novel, lagi getol2nya sidney sheldon.. ;)..browsing belum dilakukan seperti sekarang karena komputer belum difahami dg baik en belum dimiliki secara pribadi..apalagi internet? Belum punya modem, sedang di kantor, setelah jam 4 sore..internetx off…blog seperti ini? masih di awan2…so bisa bayangkan pengetahuan dan pemahaman yang saya miliki?

Kalo diingat malu juga…karena pak Laksono habis acara itu bilang ke saya : “sepertinya pada kurang baca referensi ya..”, walau dengan guyon, tapi…gubrak!!..Pada waktu itu, dari UGM sebagai tim pakar, selain pak Laksono, ada sekitar 4 orang lagi, en pada waktu lunch, saya sempat dengar mereka berbincang en ngrasani..en karena saya berdirinya dekat mereka, saya mendengar en..gubrak!!..tapi, positive thinking man! positive thinking!!..

Nah, pada saat bedside teaching itu, pak Laksono menganjurkan saya dan tim untuk menggunakan evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick..dan karena saya memang kurang referensi, saya bilang aja : ‘bukunya pinjam pak!’…(malu meminta, sesat di penelitian). Saya dianjurkan kontak dengan mbak Nenggih di pmpk ugm untuk fotocopy, en kirim ke sby en mengganti biayanya…dan saya mulai belajar evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick.2)

Dalam berjalannya waktu, saya mulai browsing untuk melengkapi pemahaman saya. Pada tahun yang sama (2004) saya juga diberi kesempatan melakukan penelitian yang menggunakan evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick, yaitu Evaluasi hasil pelatihan metodologi penelitian pada dosen di 13 program studi di politeknik kesehatan Surabaya.3) Kemudian saya presentasikan waktu Simnas Badan Litbang yang ke 2 (tahun 2005) di Jakarta4) en jadiin artikel di Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Volume 10 No.4 tahun 2007.5) Sebelumnya, pada April, 2007, saya mendisain kuesioner untuk Evaluasi paska pelatihan (EPP) petugas kesehatan dan pembantu petugas (bagas) pos kesehatan desa untuk mewujudkan desa siaga di provinsi Jawa Timur (merupakan lampiran dalam Laporan Hasil Analisis EPP en walau tidak tertulis disitu secara eksplisit : ‘dibuat oleh Evie Sopacua” dengan hak paten; tanya aja sama pak Didik yang waktu itu jadi partner Dinkes dalam pelaksanaan EPP dan yang meminta saya mendisain kuesioner tersebut...suerrrrrrrr.. ;) …pak Didik..pis!!!)

Ini semua untuk membuktikan hasil dari saya membaca dan memperkaya referensi setelah disentil pak Laksono (bawaan orok, kalo ga disentil ga ada karya)……So, I’ll share this to all of you my dearest friends, so you won’t suffer the same expierence as I do,….hanya karena kurang referensi ketika menulis dan mengajukan proposal…maybe once you do a post training evaluation, please use the 4 levels evaluation of Kirkpatrick..


The reality……….
Pelaksanaan suatu proses pengalihan pengetahuan melalui pelatihan memerlukan evaluasi untuk menunjukkan apakah tujuan pelatihan telah tercapai. Evaluasi pelatihan merujuk pada proses pengkonfirmasian bahwa seseorang telah mencapai kompetensi. Kompetensi menurut Sofo7) dapat didefenisikan sebagai apa yang diharapkan di tempat kerja dan merujuk pada pengetahuan, keahlian dan sikap yang dipersyaratkan bagi pekerja untuk mengerjakan pekerjaannya.

Oleh sebab itu evaluasi pelatihan menurut Kirkpatrick2) adalah untuk menentukan efektifitas dari suatu program pelatihan. Bukan hanya melakukan perbandingan kemampuan peserta sebelum dan sesudah pelatihan (pre dan postes).

Efektifitas pelatihan menurut Newby berkaitan dengan sejauh mana program pelatihan yang diselenggarakan mampu mencapai apa yang memang telah diputuskan sebagai tujuan yang harus dicapai. Oleh karena itu menurut Tovey sebagaimana yang dikutip Irianto8), evaluasi pelatihan secara komprehensif adalah pengumpulan informasi tentang program pelatihan, peserta pelatihan, pelatih atau fasilitator, desain, metode, sumberdaya dan sarana yang digunakan serta dampak dari pelatihan.

Ada dua macam evaluasi yang dikenal secara luas yaitu formative merupakan metode yang menilai keberhasilan program saat dalam proses dan summative yaitu metode yang menilai keberhasilan program pada akhir proses, jadi berfokus pada dampak atau pasca pelatihan.9)
Menurut evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick, evaluasi tahap 1 dan 2 akan menghasilkan informasi untuk organisasi tentang penyelenggara pelatihan (formative), sedangkan tahap 3 dan 4 menghasilkan informasi yang berfokus pada dampak pelatihan bagi organisasi (summative) yang merupakan kondisi pasca pelatihan.


So...apa sih evaluasi 4 tahapnya Kirkpatrick?..................................
Evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick terdiri dari tahap 1 yaitu Reaction level, tahap 2 adalah Learning level, tahap 3 merupakan Behaviour level dan tahap 4 yaitu Result level.

1. Evaluasi Tahap 1 atau Reaction Level
Tahap 1 adalah menilai reaksi dari peserta atau Reaction level berupa perasaan, pemikiran dan keinginan tentang pelaksanaan pelatihan, pelatih atau fasilitator dan lingkungan pelatihan. Hasil evaluasi tahap 1 merupakan masukan khususnya untuk narasumber dan penyelenggara pelatihan. Penilaian seharusnya tidak membuat tersinggung, khususnya bila narasumber adalah pembicara yang sudah terkenal.

Evaluasi pada tahap ini adalah menentukan apa yang ingin dicapai, kemudian desain lembar penilaian yang akan mengukur reaksi peserta pelatihan. Tetapkan standar dan cara pengukuran yang akan digunakan sehingga penilaian oleh peserta dibandingkan dengan standar.

2. Evaluasi Tahap 2 atau Learning Level
Pada tahap ini, proses belajar yang merupakan pengalihan pengetahuan perlu diukur. Karena tidak ada perubahan yang diharapkan terjadi dalam perilaku kecuali bila tujuan dari proses belajar ini sudah tercapai. Sehingga bila tidak terjadi perubahan dalam perilaku maka hampir pasti tidak terjadi suatu proses belajar (transfer of learning).

Evaluasi pada tahap ini menggunakan grup kontrol bila mungkin. Penilaian meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta sebelum dan sesudah pelatihan. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengambil tindakan seperlunya.

3. Evaluasi Tahap 3 atau Behaviour Level
Tahap 3 merupakan tahap mengukur perilaku atau Behavior level untuk menjawab pertanyaan : ‘Bila seseorang telah selesai mengikuti suatu pelatihan maka perubahan perilaku apa yang terjadi ?’. Dapat saja perubahan perilaku langsung terjadi selesai pelatihan karena ada kesempatan untuk itu, tetapi dapat saja tidak terjadi perubahan karena tidak pernah ada kesempatan.

Pelaksanaan evaluasi pada tahap ini menggunakan grup kontrol bila mungkin. Tetapi hal ini dapat disiasati dengan menanyakan kepada atasan, bawahan atau teman, apakah ada perubahan perilaku seseorang pasca pelatihan. Ada beberapa cara untuk mengukur perubahan perilaku pasca pelatihan, dan kuesioner merupakan cara yang lebih praktis. Hanya saja, desain kuesioner harus dapat menjawab data yang diinginkan untuk mengukur perubahan perilaku. Contoh : ‘Dapatkah Sdr menjelaskan apa yang Sdr kerjakan dalam menerapkan materi pelatihan yang sudah Sdr peroleh dan bagaimana pelaksanaannya?’, ‘Apakah atasan Sdr. mendorong Sdr untuk berubah?’.

Tidak semua peserta pelatihan langsung berubah perilakunya pasca pelatihan, maka pengulangan evaluasi dilakukan. Hanya saja tepatnya selang waktu tersebut sulit untuk ditentukan sehingga penjadwalan menjadi tanggung jawab tiap organisasi yang menyelenggarakan pelatihan.

Penilaian pada tahap 3 menurut Philips sebagaimana dicatat Tupamahu dan Soetjipto10) selain wawancara secara 3600 untuk memperoleh gambaran perubahan dengan penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Juga menggunakan metode participant estimate yaitu data berdasarkan perkiraan dari eks peserta pelatihan. Walau penilaian merupakan estimasi, tetapi mempunyai kredibilitas yang tinggi karena partisipan berada ditengah-tengah perubahan yang terjadi. Unsur subyektifitas dalam penilaian ini dikurangi dengan menanyakan seberapa jauh tingkat keyakinan partisipan (level of confidence : dalam %) dalam memberikan perkiraannya. Kuesioner dengan metode participant estimate pada tahap 3 telah dikembangkan pada pelaksanaan evaluasi paska pelatihan petugas kesehatan dan pembantu petugas (bagas) pos kesehatan desa untuk mewujudkan desa siaga di provinsi Jawa Timur.6)

Perlu difahami bahwa bila tidak terjadi perubahan perilaku pada tahap ini, maka tidak akan ada hasil akhir yang nyata dari pelatihan. Namun bukan berarti pelatihan tersebut tidak berhasil, karena tahap ini berkaitan dengan tahap sebelumnya yaitu terjadinya proses pengalihan pengetahuan melalui pembelajaran.

4. Evaluasi Tahap 4 atau Result Level
Tahap terakhir atau ke 4 dari evaluasi pelatihan Kirkpatrick adalah Result level dan pertanyaan yang ingin dijawab pada tahap ini adalah ‘hasil akhir apa yang diharapkan sebagai akibat pelatihan yang sudah dilaksanakan?’

Pelaksanaan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap sebelumnya yaitu menggunakan grup kontrol bila mungkin. Sebaiknya alokasikan waktu tercapainya hasil akhir sebagai akibat pelatihan. Bila mungkin, ada data sebelum pelatihan tentang target yang akan dicapai sebagai hasil akhir pasca pelatihan dan akan dibandingkan pencapaiannya dalam evaluasi tahap ini. Data sebelum pelatihan tentang target yang akan dicapai sebagai hasil akhir pasca pelatihan lebih mudah ditetapkan karena dapat menggunakan data sekunder yang akurat dan sahih.

Untuk memperoleh hasil evaluasi yang tepat, dilakukan pengulangan penilaian pada selang waktu yang ditetapkan. Mempertimbangkan beaya yang dianggarkan untuk evaluasi dengan keuntungan yang diperoleh institusi dari hasil akhir sebagai akibat pelatihan diharapkan dapat meningkatkan Return Of Investment (ROI).

Dalam pelaksanaan evaluasi tahap ini, perlu difahami bahwa hasil akhir akan dicapai bila terjadi perubahan perilaku dari peserta pelatihan setelah pelatihan (tahap 3). Kita harus puas dengan apa yang dicapai, walau mungkin tidak memperoleh target yang ditetapkan. Penting untuk memahami bahwa hasil yang diperoleh dalam evaluasi pada kurun waktu yang ditetapkan, harus dipaparkan sekalipun hasil temuan belum sesuai target yang telah ditetapkan. Fakta yang ada tidak perlu disembunyikan, karena banyak faktor selain pelatihan dapat menyebabkan hasil akhir yang ditentukan tercapai atau tidak.

Last but not least……..
………supaya jelas, baca referensinya juga ya…or memperkaya referensi dengan browsing.......

Mas Agung pasti bilang materinya berat lagi..padahal enggak loh...you will read it and flow with it as the water in the river flows into the ocean (of knowledge…)


Referensi :
1. Evie Sopacua, Didik Budijanto. 2004. Evaluasi kemampuan manajerial SDM kesehatan di kabupaten/kota dalam era desentralisasi -Evaluasi Implementasi-. Laporan Penelitian ISBN : 979-8497-54-6. Surabaya. P4TK
2. Kirkpatrick,D. Evaluating training programs – the Four levels-. Berrett-Koehler Publishers,Inc. 1994.
3. Evie Sopacua, Didik Budijanto. 2004. Evaluasi hasil pelatihan metodologi penelitian pada dosen di 13 program studi Poltekkes Surabaya. Laporan Penelitian ISBN : 979-8497-55-4. Surabaya. P4TK
4. Evie Sopacua, Didik Budijanto. 2005. Pemanfaatan Evaluasi 4 Tahap Dari Kirckpatrick Dalam Evaluasi Pasca Pelatihan. Materi sebagai Penyaji dalam Simposium II Badan Litbangkes 7 – 8 Desember 2005, di Jakarta
5. Evie Sopacua, Didik Budijanto. 2007. Evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick sebagai Alat dalam Evaluasi Pasca Pelatihan. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan (Bulletin of Health System Research), Vol. 10, No. 4, Oktober 2007
6. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Evaluasi paska pelatihan petugas kesehatan dan pembantu petugas (bagas) pos kesehatan desa untuk mewujudkan desa siaga di provinsi Jawa Timur. Laporan Hasil Analisis. Surabaya. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Unit Research Candi Gemilang Sakti Surabaya. 2007
7. Sofo, F. Pengembangan sumber daya manusia. Diterjemahkan oleh drs.Jusuf Irianto,M.Com. Surabaya. Airlangga University Press. 2003.
8. Irianto, Y. Prinsip-prinsip dasar manajemen pelatihan. Surabaya. Insan Cendekia. 2001.
9. Instructional System Development –Evaluation phase– Chapter VI. 2004. www.bigdog’s.com diunduh 26 Januari 2005.
10. Tupamahu S dan Soetjipto BW. 2005. Pengukuran Return of Training Investment (ROTI) dalam Manajemen Usahawan Indonesia No.12/th.XXXIV Desember 2005

Kalo sempat, baca di perpustakaan Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan jl. Indrapura 17, Surabaya or browsing lewat google.................. :

Evie Sopacua, Didik Budijanto. 2007. Opsi-opsi Kebijakan untuk Pelatihan Sumberdaya Manusia Kesehatan : Pembelajaran dari Penelitian Pola Peningkatan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Otonomi Daerah Bidang Kesehatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (the Indonesian Journal Of Health Service Management) Volume 10 No 04 Desember 2007.

;) ....karena dalam tulisan ini dijelaskan kenapa evaluasi 4 tahap dari Kirkpatrick merupakan pilihan untuk digunakan dalam evaluasi pasca pelatihan...

Clementz A Rae. 2002. Program Level Evaluation: Using Kirkpatrick’s Four Levels of Evaluation to Conduct Systemic Evaluation of Undergraduate College Programs. Faculty Development Center. July 22,2002

Kirkpatrick’s Levels of Evaluation. sa. www.questionmark.com.

dst…dsb…dll…etc….

MDGs Update!!!



"Looking ahead to 2015 and beyond, there is no question that we can achieve the overarching goal: we can put an end to poverty. In almost all instances, experience has demonstrated the validity of earlier agreements on the way forward; in other words, we know what to do. But it requires an unswerving, collective, long-term effort." United Nations - Secretary General Ban Ki-moon.

The MDGs represent a global partnership that has grown from the commitments and targets established at the world summits of the 1990s. Responding to the world's main development challenges and to the calls of civil society, the MDGs promote poverty reduction, education, maternal health, gender equality, and aim at combating child mortality, AIDS and other diseases.

Set for the year 2015, the MDGs are an agreed set of goals that can be achieved if all actors work together and do their part. Poor countries have pledged to govern better, and invest in their people through health care and education. Rich countries have pledged to support them, through aid, debt relief, and fairer trade.

What are the Millennium Development Goals?
The eight Millennium Development Goals (MDGs) – which range from halving extreme poverty to halting the spread of HIV/AIDS and providing universal primary education, all by the target date of 2015 – form a blueprint agreed to by all the world’s countries and the entire world’s leading development institutions. They have galvanized unprecedented efforts to meet the needs of the worlds poorest.

The Eight Millennium Development Goals:
  1. Eradicate extreme poverty and hunger
  2. Achieve universal primary education
  3. Promote gender equality and empower women
  4. Reduce child mortality
  5. Improve maternal health
  6. Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases
  7. Ensure environmental sustainability
  8. Develope a global partnership for development
Useful links:

MDG: Investment Study
The MDGs represent a global partnership that has grown from the commitments and targets established at the world summits of the 1990s. Responding to the world's main development challenges and to the calls of civil society, the MDGs promote poverty reduction, education, maternal health, gender equality, and aim at combating child mortality, AIDS and other diseases.

In terms of Maternal Mortality Rate, MDG achievement reflected the existing challenges and need further efforts to ensure that delivery is safe for all mothers, especially in the remote and hard-to-reach areas.

To reduce child mortality is another opportunity to be able to enjoy long and healthy lives. And we are certainly living longer: between 1970 and 2005 our average life expectancy increased by around 15 years. Children born in Indonesia today can expect on average to live 67 years.

To improve in reducing the Maternal Mortality Rate and Child Mortality, means that we have to improve the quality of maternal and child health services especially during and immediately after delivery. One reason of overall is that the health of young children is very closely linked to those of their mothers. This brings us to the next goal.

MDGs Indonesia Achievement Status
Goal 4. Reduce Child Mortality
Target 5. Reduce by two thirds, between 1990 and 2015, the under-five mortality rate
Indicators
1990
Recent
Target
Status
4.1 Under-five mortality rate (per 1,000 live births)
97
40
32
Likely to achieve
4.2 Infant mortality rate (per 1,000 live births)
57
32
19
Likely to achieve
4.3 Proportion of 1 year-old children immunized against measles
44.5%
72%


4.3a Proportion of children aged 12-23 months who have been immunized against measles
57.5%
82%


Goal 5. Improved Maternal Health
Target 06. Reduce by three quarters, between 1990 and 2015, the maternal mortality ratio
Indicators
1990
Recent
Target
Status
5.1 Maternal mortality ratio (per 100,000 live births)
390
307
110
Needs improvement
5.2 Proportion of births attended by skilled health personnel
40,7%
72,4%


5.3 Contraceptive use among married women aged 15 - 49
50,5%
57,9%



Outline WHO work in Maternal and Child Health
What WHO has done in the past few years
What will be done in the next few years
Assisting MoH with the :
1. Development and updating of the Child Survival and Maternal Health strategy.
2. Analyzed information from household surveys in the areas of child health, adolescent health and maternal health.
3. Developed Maternal and Child Health Provincial profile
4. Developed Advocacy materials
5. Instrumented Major assessment and evaluations for child, adolescent health, maternal dan reproductive health.
6. Adapted and updated technical materials representing global standard and best practices.
Work of WHO in the next biennium will focus on:
1. Adoption of national standards for service delivery at community, health facility and hospital levels.
2. The development of decentralized process to achieve these standards through quality improvement mechanism.
3. The development of data-based planning for maternal and child health at district and provincial level.
4. Develop the National monitoring and mapping of the situation of service delivery
5. Updating guidelines based on global development
6. Improving the standards of preserve training in medical and paramedical schools in the areas of maternal health, delivery care and reproduction health and child health.