e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM

e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM




Penulis
Agung Dwi Laksono
Mara Ipa
Ina Kusrini
Arief Sudrajat

Penerbit PT Kanisius Yogyakarta

© 2015 - PT Kanisius
306 halaman


Apa yang telah dicapai oleh Kabupaten Lombok Barat ini cukup luar biasa. Berdasarkan hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 cakupan "persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan" hanya mencapai 76,45%. Survei yang sama dilakukan pada tahun 2013, dan mencatat adanya lonjakan cakupan drastis, yang mencapai angka 90,09%. Meski dengan indikator yang sesungguhnya jauh lebih sulit, "persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan".

Apa yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan di Lombok Barat?
Upaya apa yang mempunyai daya ungkit demikian besar?
Buku "Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat" mencatat dengan rapi setiap detail upaya tersebut.


Menginginkan softfile buku ini? tuliskan alamat email pada kolom komentar.

e book 4 free: Jelajah Nusantara #2



Buku ‘Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan’ ini merupakan edisi ke-dua sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan yang sama pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang membedakan adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas orang peneliti.

Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.

Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di Republik ini.

Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri. 


Penulis
Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani, Ummu Nafisah, Nor Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah, Izzah Dienillah Saragih, Harus Alrasyid, Lafi Munira, Siti Khodijah Parinduri

Editor
Prof. Lestari Handayani, Tri Juni Angkasawati

228 halaman

©2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat


Daftar ISI


1. Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara
 Agung Dwi Laksono

2. Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke
 Elia Nur Ayunin

3. Kesikut Talaud
 Agung Dwi Laksono

4. Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas
 Ade Aryanti Fahriani

5. Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan
 Agung Dwi Laksono

6. Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau Raijua
Agung Dwi Laksono

7. Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian Ganda
 Ummu Nafisah 

8. Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu
 Nor Efendi

9. Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin
 Agung Dwi Laksono 

10. Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito
 Astutik Supraptini

11. Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan Perjalanan Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah

12. Cerita dari Pulau Sapudi
Izzah Dienillah Saragih 

13. Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana
 Agung Dwi Laksono

14. Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik Daerah konflik
Harun Alrasyid

15. Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur
 Lafi Munira 

16. Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri



menginginkan softcopy buku ini? balas atau tuliskan alamat e mail di kolom komentar.

Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Timor Tengah Selatan


Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015

Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami berempat berangkat dari Surabaya. Saya sendiri, kang Pranata (seorang anthropolog), dan dua rekan dari tim videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen). Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit perjalanan supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset Ethnografi Kesehatan kali ini yang harus kami lalui. Tentu saja bila hal ini merujuk pada perjalanan-perjalanan di daerah perifer yang harus saya lalui sebelumnya.

Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini, Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.

Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara TimurGambar 1. 

Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan 
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur

Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013. Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai 451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga, dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga Berencana-nya, atau jangan-jangan…? Ahh… biarkan saja menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan refleksi.


Lingkaran Setan

Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan. Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sedang pada IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440 kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun 2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pembangunan kesehatan yang telah dilakukan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10 tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91% penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.

Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53% (lihat Gambar 2). Dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin 
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014Gambar 2. 
Tren Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012 
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014


Status Gizi Balita

Bila kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2013 maka kita akan mendapati kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.

Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur. Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan balita stunting atau pendek. Dan lagi-lagi angka ini jauh di atas prevalensi provinsi maupun nasional.

Meski demikian, cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya saja kemiskinan yang bisa menjadi salah satu kendala yang cukup serius untuk faktor pertumbuhan balita.




Perjalanan Menuju Desa

Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan di SoE. Meski kami masih harus menambah lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak, longsor dan berbatu.



Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 3. 

Jalanan Menuju Desa Nenas 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi kesempatan melihat pemandangan seindah ini.



Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 4. 

Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


Desa Nenas di Kecamatan FatumnasiDesa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari. Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang pada akhir perjalanan.

Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa Dawam artinya “lengkap”. Menurut kepercayaan orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan orang luar, karena mereka menganggap demikianlah memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi “lengkap”nya Mutis.

Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih menjadi anggota dewan, meski tetap saja nasib Desa Nenas tak juga beranjak naik.

Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor. Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo. Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai “terkenal”.

Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo. Meski pada saat malam mereka lebih sering berada di rumah bulat karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari gempuran hawa dingin di luar.

Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang 
Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 5. 

Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang Rumah Bulat 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas. Meski yang kami diami adalah rumah salah seorang pejabat desa, jangan pernah membayangkan kemewahan yaan akan kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di atas plesteran semen.

Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 6. 

Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang kayu.

Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban-nya yang menjadi lebih bergigi.

Dalam observasi memang terlihat balita-balita di Desa Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga cenderung pendek. Meski lagi-lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.

Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi bubur nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja… tanpa tambahan apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras… ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas pak Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.

Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi asupan balita di desa ini, kecuali ASI yang dalam pengakuan masyarakat diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih, kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”, kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.

Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot. Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa, cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab menyeruput kopi lewat botol dotnya.

Gambar 7.
Darfa Tambelab dan Ayahnya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 

Gambar 7. 
Darfa Tambelab dan Ayahnya 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


Ketersediaan Pelayanan Kesehatan

Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi. Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18 orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT. Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi, yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.

Pada masing-masing desa ‘ada’ fasilitas pelayanan kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang pelayannya ada empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan dari Puskesmas Fatumnasi. Sedang di Desa Nenas sendiri sudah ada Puskesmas Pembantu (Pustu) permanen yang dijaga oleh seorang perawat. Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya seperti kurang terurus.

Untuk mengatasi masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring seperti mau roboh.

Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 8. 

Rumah Tunggu Persalinan 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.

Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal seharusnya menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Maka denda yang diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,-.

Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/Keringanan.

Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?  


Potensi Sumber Daya Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini.

Karbohidrat utama bagi seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Yak… memang tercatat ada sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang mendapatkan jatah beras dari pemerintah setiap bulannya.

Beberapa protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.

Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya menyumbangkan ternaknya berupa sapi, babi, kambing ataupun ayam. Seringkali memang mereka menyisakan satu-dua saat menjual ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah, masyarakat bisa sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai (maaf) busuk pun akan dikonsumsi.

Sumber protein lain berupa protein nabati bisa didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Hanya saja konsumsi kacang merah seringkali lewat sayur sup saja. Tidak ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal goreng.


Mampir ke Surga

Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi (kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis… “Ini surga…”. …dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?






Gambar 9.
“Surga” Lelofui
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 9. 

“Surga” Lelofui 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu yang tinggi telah mengikat kami.

Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 10. 

Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


(ADL)

Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara

Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015


Perjalanan kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini Kabupaten Tolikara.

Kabupaten Tolikara pada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2. Kabupaten yang beribu kota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan dengan KabupatenMamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil Kabupaten Tolikara Tahun 2014).

Gambar 1.
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua
Sumber: Pemerintah Provinsi PapuaGambar 1. 
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua 
Sumber: Pemerintah Provinsi Papua

Kabupaten Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Indikator pembangun IPKM terdiri dari 30 indikator. Hampir di semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus, kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.

Dalam riset ethnografi kesehatan kali ini kami me’nanam’ dua peneliti untuk grounded di sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi anthropolog. Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat di Distrik Bokondini.

Perjalanan menuju Distrik Bokondini dari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama dua bulan.

Selain jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara. Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, hot mix! Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.

Gambar 2.
Landasan Pacu Bandara Bokondini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 2. 

Landasan Pacu Bandara Bokondini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


TENTANG BOKONDINI

Distrik Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai Bogo.

Gambar 3.
Sungai Bogo
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 3. 

Sungai Bogo 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.

Gambar 4.
Suatu Pagi di Kota Bokondini.
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 4. 

Suatu Pagi di Kota Bokondini. 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa depan.
Gambar 5.
Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 5. 

Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 6.
Sudut Lain Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 6. 

Sudut Lain Kota Bokondini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada saat ini, suku Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai “honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

Gambar 7.
Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); 
dan Rumah Papan (Kanan Bawah)
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 7. 

Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas); dan Rumah Papan (Kanan Bawah) 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


KONDISI PEREKONOMIAN

Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atau ipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

Gambar 8.
Menawar Markisa
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 8. 

Menawar Markisa 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang direncanakan.

Gambar 9.
Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 9. 

Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.

Gambar 10.
Pasar Bokondini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 10. 

Pasar Bokondini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp. 45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya seharga Rp. 35.000,-.


BERITA PEMEKARAN

Meski demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.

Gambar 11.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 11. 

Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Euforia pemekaran ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus komputer,“…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini. Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini, “Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…”


AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN

Pada saat ini telah ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini, Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur. Menurut keterangan dokter Pobi Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. Lebih lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak. Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Pobi.

Gambar 12.
Puskesmas Bokondini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 12. 

Puskesmas Bokondini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Puskesmas yang baru pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23 tahun), perawat kontrak asal Palopo yang bertugas di Puskesmas Bokondini.
Empat distrik! Suatu hal yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Dalam satu distrik saja seringkali masyarakat cukup sulit untuk mencapai Puskesmas sebagai akibat topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik??? bener-bener pusing pala barbie.
Setidaknya ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas Bokondini.“Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah ada pak…,”terang Habibi. Sejatinya menurut catatan kepegawaian, Puskesmas Bokondini memiliki 26 petugas. Tetapi pada hari Rabo, tanggal 13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada diPuskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan. Semoga.

Untuk pelayanan balita Puskesmas Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk seluruh wilayah kerjanya pada setiap bulannya. Posyandu yang diselenggarakan di Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka menyesuaikan dengan hari pasaran. Pada pelaksanaan Posyandu terakhir minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung.

Pelayanan Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting (pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini karena pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan, dan seringkali tanggal lahir dibiarkan kosong tak terisi.

Dalam pelaksanaannya, Posyandu dimobilisasi oleh kader kesehatan untuk menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Sementara seluruh pelaksanaan Posyandu lainnya dilayani oleh petugas kesehatan. para kader kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor yang lumayan, Rp. 500.000,- setiap bulannya. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulannya.

Untuk memperluas jangkauan pelayanan, menurut dokter Pobi, Puskesmas juga melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam diskusi kali ini.

Kondisi yang sangat memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini, sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini. Sementara jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut.

Rupanya praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu… apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”, bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan, oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.

Banyak hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini Bokondini. Terlalu dini…


(ADL)

Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??!


Banjarmasin, 06 Mei 2015


Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus menyusuri Sungai Barito.

Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.

Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid yang terlihat klasik dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat jama’ah sholat subuh berjamaah baru bubar di masjid ikonik tersebut.

Gambar 1.
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin 
(gambar diambil saat menjelang siang)
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 1. 
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin (gambar diambil saat menjelang siang) 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu tercapai. Kami mendapat harga Rp.250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.

Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.

Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak seberapa lama di sisi kiri nampak Sermaga Penumpang Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.

Ketika kami tiba di lokasi PasarTerapung, masih belum banyak perahu para pedagang yang biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan ‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis barang dagangannya. Terlihat sangat eksotik, saat perahu para pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang mulai menampakkan hidungnya.

Gambar 2.
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 2. 
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.
Aktivitas Pagi Pasar Terapung
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 3. 
Aktivitas Pagi Pasar Terapung 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Satu-persatu beberapa pedagang mulai menghampiri kami, menawarkan buah pisang emas, limau (jeruk), mentega (Apokat), dan beberapa dagangan yang lainnya. Kami membeli pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas yang kecil-kecil kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.

Gambar 4.
Wasatawan Nusantara yang sedang Menawar Pisang
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 4. 
Wisatawan Nusantara yang sedang Menawar Pisang 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.
Kartini Masa Kini
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 5. 
Kartini Masa Kini 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami. Woww… surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok!

Untuk mengambil gorengan yang tersedia di atas perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda. Panjang galah lak lebih dari 1,5meter. Pembeli tinggal mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut. Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat. Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih brasa seperti mancing.

Gambar 6.
Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 6. 
Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami pun asyik menyantap gorengan yang ditawarkan. Saya sendiri menghabiskan dua potong bakwan dan satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk sarapan pagi.

Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering, sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai. Menggunakan sabun juga memang, tapii…

Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh. Coklat.

Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali, di sepanjang aliran sungai yang kami lalui. Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup, tapi…

Gambar 7.
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 7. 
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan hanya karena saya saja yang terlalu lebay.

Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada, sudah sampai ke rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah disediakan pak.”

Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%. Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%. Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan perilaku yang dinampakkan.

Angka cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut? Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei yang dilakukan secara cross sectional.

Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang lebay.


(ADL)

SURGA KECIL RAIJUA; Sebuah Catatan Perjalanan

Agung Dwi Laksono

Kupang, 02 Mei 2015


Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten berpulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi sasaran eksplorasi.

Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten baru ini dimulai pertanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota kabupaten ini bukanlah tujuan saya kali ini, Pulau Raijua, pulau yang jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, yang menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini.


Gambar 1.
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: Kabupaten Sabu RaijuaGambar 1. 
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua 
Sumber: Kabupaten Sabu Raijua 

Dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI., Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Sementara di dalam level Provinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat akselerasi pembangunan di wilayah setempat.

Untuk menuju Sabu Raijua saya setidaknya saya harus melalui dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Dari home base saya tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE), karena tercatat ada tiga maskapai yang mengoperasikan jalur ini. Hal ini berbeda dengan jalur Kupang-Sabu, yang tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis kepunyaan seorang menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu. Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua. Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur satu-satunya yang tersedia, jalur laut.

Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi saja saat saya datangi.

***

MEMULAI PERJALANAN

Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-Kupang, bukanlah perjalanan yang istimewa, biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik untuk diceriterakan. Hanya saja saya menginap di Hotel La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di dekat bandara, yang ternyata membuat saya surprised, bahwa saya satu-satunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka lembaran-lembaran dokumen yang ada di gengaman tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts keyboard didepannya.

Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12 orang, yang hanya berisi 10 penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari Australia.

Gambar 2.
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari 
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 2. 
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.

Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua, saya percaya dengan rencana-rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil yang menjemput Sofyan, diantar melihat kalau-kalau masih ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada akhirnya.

Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.


HARI KE-TIGA. SAATNYA MENUJU RAIJUA

Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.

Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada,menurut informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar sa, jam 9.00 kapal baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke penginapan.

Jam11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sudah sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak tunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.

Jam13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi (minuman keras khas penduduk NTTdan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.

Gambar 3.
Kapal Kayu yang Penuh Sesak
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 3. 
Kapal Kayu yang Penuh Sesak 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai ketinggian empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.

Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter. Bukannya apa-apa, saya sedikit trauma dengan pola "transfer" model begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke permukaan dermaga. Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik.

Gambar 4.
Proses “Transfer” di Dermaga Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti 
Gambar 4. 
Proses “Transfer” di Dermaga Raijua 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ke-Maha Baik-an-Nya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua orang yang ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu, satu-satunya Puskesmas yang adadi Pulau Raijua yang bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat di wilayah ini. Saya diajak bareng dengan mobil ambulan untuk menuju Desa Kolorae, dimana dua rekan peneliti sedang grounded disana.

Belum selesai percakapan ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak untuk bersama menumpang dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya dustakan?

Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai pagar.

Gambar 5.
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 5. 
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Rumah tradisional model ini masih cukup mendominasi di wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa sudah berganti dengan tembok.

Gambar 6.
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu 
di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 6. 
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu di Pulau Raijua 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak. Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas saja bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat sama sekali orang luar tidak diperbolehkan untuk memasukinya, bahkan pada rumah-rumah ada tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.

Gambar 7.
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya.
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 7. 
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya. 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan-pelatihan budidaya rumput laut.

Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Tapi kali ini sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.

Gambar 8.
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 8. 
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering 
Sumber: Dokumentasi Peneliti 

Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman sertauntuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.

Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di republik ini.


HARI KE-EMPAT; MEMULAI PAGI DI RAIJUA

Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh menuju angka enam, saat riuh suara ina-ina (ibu-ibu) bercengkerama di sumur sambil menimba air. Menimba air dan membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan salah satu urusan ‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu (seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu, selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak.

Pagiitu matahari menampakkan dirinya dengan gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian dimulai. Ina-ina mulai sibuk di dapur setelah urusan menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak, ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah, sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab ina untuk menyelesaikan.

Gambar 9.
Matahari Terbit di Raijua
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 9. 
Matahari Terbit di Raijua 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dalam pengamatan anak-anak Raijua tumbuh normal sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan tahun 2013.
Dalam pengamatan saya banyak sekali potensi sumber bahan makanan lokal yang bisa dijadikan sumber nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat biasa didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar, sementara bahan makanan lokal yang tersedia adalah sorgum, meski keberadaannya sangat dipengaruhi oleh curah hujan.

Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.

Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.

Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil pickup. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.

Gambar 10.
“Gerbang Surga Kecil”
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 10. 
“Gerbang Surga Kecil” 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 11.
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 11. 
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana 
Sumber: Dokumentasi Peneliti 

Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas. Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti memencet tombol shutter kamera sambil berdiri di atas pickup yang terguncang.

Gambar 12.
Barisan Kawanan Kambing
Sumber: Dokumentasi penelitiGambar 12. 
Barisan Kawanan Kambing 
Sumber: Dokumentasi peneliti

Hamparan rumput yang demikian luas dengan beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah. Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak! Karena sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di atasnya.
Gambar 13.
Sabana dan Pantai yang Bersisian
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 13. 
Sabana dan Pantai yang Bersisian 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.

Gambar 14.
Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 14. 

Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami bergegas menuju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak. Sepertinya memang bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa menaikinya, body montok ini terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja.

Gambar 15.
Mercusuar Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti 

Gambar 15. 
Mercusuar Halla Wuimahi 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tak jauh dari mercusuar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang sengaja dibuat untuk membuat garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.

Gambar 16.
Kotak untuk Mendapatkan Garam
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 16. 

Kotak untuk Mendapatkan Garam 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet plus bonus celana sobek. Tapi upaya kami menyusuri barisan bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak kagum.
Gambar 17.
Sunset di Pantai Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 17. 

Sunset di Pantai Halla Wuimahi 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu sekali.

Gambar 18.
Pasar Padalabba di Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 18. 

Pasar Padalabba di Desa Kolorae 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan untuk menginang.

Malam semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.

***

            Ahh… akhirnya saya harus pulang juga. Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya. Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa dengan surga kecilmu.


(ADL)