Persalinan di Rumah Dukun, Kenapa Tidak???

Dear all,


Minggu lalu, tiga teman peneliti sedang melakukan pengamatan dalam sebuah moment pertemuan di Kabupaten Sampang-Madura. Dalam salah satu wawancara dengan Kabid Kesehatan ibu dan Anak Dinas Kesehatan terungkap bahwa kebanyakan masyarakat masih banyak yang memilih untuk melahirkan di rumah dukun bayi.

Persalinan di rumah dukun tetap menjadi pilihan, meski saat ini telah ada upaya pembebasan beaya persalinan ke tenaga kesehatan, bahkan termasuk pelayanan antenatal care maupun perawatan pasca persalinan. Faktor trust maupun kenyamanan patut diduga menjadi alasan utama memilih Dukun sebagai pilihan utama penolong persalinan. Dukun, yang telah berpraktek puluhan tahun telah mampu merebut kepercayaan masyarakat. Pelayanan penuh keikhlasan menjadikan tumbuh suburnya rasa nyaman.

Keikhlasan menolong persalinan dan bahkan sampai beberapa waktu pasca persalinan yang dihargai hanya dengan seekor ayam dan ucapan terima kasih pun diterima dengan pelayanan penuh kesabaran. Sesuatu yang jarang ditemui pada tenaga kesehatan.
Keberadaan dukun bayi, harus diakui merupakan salah satu aset kekayaan republik ini.

Pilihan pemerintah republik ini pada pelayanan medis modern yang lebih masuk rasio akal sehat, bukanlah merupakan pilihan yang salah. Meski tidak bisa juga serta merta melupakan local wisdom yang menjadi akar budaya dan pilihan masyarakat selama ratusan tahun.

Pilihan untuk selalu mengkambinghitamkan dukun bayi sebagai penyebab utama kematian ibu dan bayi saat persalinan sudah seharusnya mulai ditinjau ulang, meski banyak fakta yang menunjukkan banyaknya kematian saat persalinan dilakukan oleh seorang dukun bayi.
Tapi apakah fakta itu mampu menggeser kepercayaan masyarakat untuk tetap melakukan persalinan di dukun?

Pilihan untuk ‘menyingkirkan’ dukun telah diambil,
tapi tetap saja angka kematian ibu dan bayi kita selalu di urutan buncit tertinggal dengan negara-negara kawasan sekitar.
Sudah saatnya lebih wise menyikapi kekayaan lokal budaya kita. Kenyamanan dan kepercayaan masyarakat pada dukun sudah seharusnya diambil sebagai salah satu aset yang harus diolah sebagai pengayaan pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Dalam kasus di Sampang,
bila benar masyarakat lebih merasa nyaman dan memilih untuk melakukan persalinan di rumah dukun daripada ke fasilitas kesehatan,
kenapa tidak kita coba membuat kebijakan yang mem’boleh’kan itu?

Bagaimana bila meng’geser’ polindes ke rumah dukun?
Bagaimana bila menjadikan dukun sebagai ‘asisten’ bidan?

Menjadikan ‘rumah’ dukun sebagai tempat persalinan dengan bidan sebagai penolong persalinan, dan dukun bayi sebagai tenaga perawatan pasca nifas dengan supervisi dari bidan.

Tentu saja perlu banyak persyaratan dan penyesuaian bila benar kebijakan ini diambil.
Tapi bukan sesuatu yang mustahil bukan?

Bila kebijakan ini dilihat dari sisi medis, tentu saja klaim sebagai sebuah langkah mundur akan diteriakkan banyak pihak.

Bagaimana bila mundur satu langkah untuk maju sekian langkah berikutnya???


-ADL-

Maduraku Sayang, Maduraku Malang

Dear all,

Diskusi kali ini kita coba bedah status kesehatan dengan spasial, yaitu dalam kaitannya dengan geografis dan administratif.
Sederhana saja, kita bedah angka empat kabupaten yang berada di Pulau Madura Propinsi Jawa Timur.

***
Empat kabupaten yang berada di Pulau Madura menempati lima besar peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) paling bawah di Jawa Timur bersama Kabupaten Probolinggo.
Berita seperti ini tidak lah mengejutkan, karna empat kabupaten di Pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) sudah terlalu seringi menempati posisi bontot dalam peringkat status kesehatan di Jawa Timur.



Apa gerangan yang membuat kondisi Madura selalu tertinggal seperti ini?

Peran serta masyarakat?
Sekarang mari kita lihat partisipasi masyarakat yang memiliki balita dalam upaya menimbang balitanya...



Saya sungguh sesak melihat kenyataan pada gambar di atas, partisipasi rumah tangga di Pulau Madura dalam upaya menimbangkan balitanya hanya mencapai 27,34% paling tinggi. Angka ini masih jauh dari rata-rata nasional yang sebenarnya juga tidak terlalu tinggi, hanya mencapai 57,19% dari seluruh rumah tangga yang memiliki balita.

Sekarang kita coba bedah partisipasi masyarakat dalam upaya lainnya, imunisasi balita yang dilakukan secara lengkap. Definisi operasional imunisasi lengkap dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 adalah BCG, DPT minimal 3 kali, Polio minimal 3 kali, Hepatitis B minimal 3 kali, Campak, menurut pengakuan atau catatan KMS/KIA.



Sungguh sangat layak kita menjadi prihatin dengan kondisi seperti gambar terpapar di atas. Pencapaian terbesar dari empat kabupaten yang ada di Pulau Madura hanya mencapai 20,39%, itupun hanya di Kabupaten Bangkalan, tiga kabupaten sisanya tak bisa melebihi angka 10%.

Rata-rata nasional untuk imunisasi lengkap pada balita adalah sebesar 46,2%. sedang di Propinsi Jawa Timur sesungguhnya justru lebih tinggi dari rata-rata nasional, meski tipis saja, yaitu 46,7%.

Pada tahun yang sama, menurut data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di ke-empat kabupetan tersebut cukup tinggi. semuanya di atas 30%.
Lengkapnya adalah Kabupaten Bangkalan mempunyai penduduk miskin sebesar 31,56%, Kabupaten Sampang sebesar 39,42%, Kabupaten Pamekasan sebesar 32,43%, dan Kabupaten Sumenep sebesar 32,98%.
Pada saat yang sama rata-rata nasional jumlah penduduk miskin berada pada kisaran 20,48%, sedang rata-rata Jawa Timur mencapai 19,64%

Saya rasa kita cukupkan paparan data pagi ini.
Data partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan anak sudah cukup menasbihkan bahwa ada sesuatu kondisi yang berbeda di Pulau Madura yang membuatnya jauh tertinggal dibanding saudara-saudaranya di Jawa Timur.

Apakah ada masalah sosial spesifik disana?
Apakah kemiskinan berkontribusi besar terhadap partisipasi?
atau... ada kendala budaya di dalamnya?

let's discuss!


-ADL-

Ibu hamil perkotaan yang ke dukun 6 kali ibu hamil pedesaan

Dear all,

Fenomena yang Indonesia banget!
Wanita di pedesaan yang hamil dan memeriksakan diri ke dukun mencapai 1% dari seluruh ibu hamil di wilayah tersebut di Indonesia. Sedang di perkotaan, justru mencapai hampir ENAM kalinya! yaitu 5,8%.

Data tersebut merupakan hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010.
Populasi dalam analisis lanjut ini adalah semua perempuan pernah kawin berumur 10-59 tahun di Indonesia yang pernah hamil dan melahirkan 5 tahun terakhir per tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan 1 Januari 2010, yang masuk dalam sample frame Riskesdas tahun 2010.

Bener-bener fenomena yang memerlukan banyak penjelasan...

Lebih lanjut data saya oleh berdasarkan kelompok umurnya. Silahkan pelototin gambar berikut...


Persentase Ibu Hamil dan Bersalin 5 Tahun Terakhir berdasarkan Kelompok Umur di Indonesia Tahun 2010

Kalo berdasarkan gambar tersebut kondisinya menurut saya masih relatif masuk akal. pada kelompok ibu-ibu tua (50-59 tahun) masih banyak yang ke dukun yang merupakan sisa 'masa lalu' yang masih mengakar kuat.
Juga pada kelompok sangat muda (10-19 tahun) yang cenderung belum bisa membuat keputusan sendiri. Cenderung masih banyak tergantung pada 'orang tua' sebagai referensi.

Berikutnya... data kembali ditampilkan berdasarkan karakteristik ibu hamil. kali ini kita coba tampilkan dan bahas berdasarkan tingkat pendidikannya...


Persentase Ibu Hamil dan Bersalin 5 Tahun Terakhir berdasarkan Tingkat Pendidikan di Indonesia Tahun 2010


bwakakak...
sumpah lucu deeeeeh!
pelototin baik-baik yaaa...
masa sih ada ibu hamil lulusan perguruan tinggi yang juga masih ke dukun?
meski persentasenya kecil (0,3%), tapi...

kalo ibu hamil yang tidak pernah sekolah atau sekolah dasar tidak tamat sih saya bisa mengerti,
tapi ini tamatan perguruan tinggi bro!

piye jal?


-ADL-


Note
Data secara lengkap bisa dilihat pada buku
Proyeksi & Pola Akses Pelayanan Kesehatan Ibu 5 Tahun Terakhir di Indonesia (Agung Dwi Laksono & Rukmini)”,
yang bisa di-download pada link berikut;

http://www.scribd.com/doc/67098093/PROYEKSI-POLA-AKSES-PELAYANAN-KESEHATAN-IBU-5-TAHUN-TERAKHIR-DI-INDONESIA