METAMORPHOSIS PENYAKIT SAMPAI MAK EROT

by Agung Dwi Laksono




Penyakit secara ilmiah diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi, penyakit menurut pengertian ilmiah lebih bersifat obyektif.

Saat ini penyakit telah mengalami perluasan makna (kalo gak mau disebut perubahan makna) sangat drastis. Akhir-akhir ini banyak operasi pembedahan dilakukan hanya sekedar untuk menghilangkan keriput, membentuk wajah, atau memperbesar payudara. Sekedar untuk menciptakan keadaan yang lebih bisa diterima, lebih ‘gaul’ kata anak muda.

Metamorphosis

Merunut sejarah, pada awal pendefinisian makna penyakit sampai sekarang, ada beberapa tahap metamorphosis (perjalanan perubahan, perkembangan dan perluasan makna) penyakit.

Berdasarkan pengamatan Richard A. McCormic (dalam Tjiong, 1991) ada bebarapa tahapan perkembangan penyakit. Pertama kali penyakit dimaknai sebagai proses degeneratif atau peradangan yang teridentifikasi, yang jika diabaikan menimbulkan kerusakan organik serius atau malah menyebabkan kematian. Pada tahap pertama kali ini yang menonjol adalah jenis penyakit infeksi. Penyakit semacam pes, malaria, measles, dsb.

Tahap selanjutnya, dimana pandangan dunia kedokteran menjadi lebih luas, melihat penyakit tidak lagi secara individual, person to person, juga berkait dengan berkembangpesatnya ilmu statistika, yang juga merambah dunia kedokteran/kesehatan (biostatistika), makna penyakit berkembang lebih luas menjadi penyimpangan/pembelokan dari norma statistika yang telah diterima secara lebih luas di masyarakat (keluar dari pakem umum).

Seseorang divonis menderita penyakit ketika mengalami kelebihan (hyper) atau kekurangan (hypo) menurut tolok ukur perhitungan statistika, bukan lagi, atau tak ‘hanya’ berdasar ditemukannya tanda proses degeneratif. Pada tahap kedua ini penyakit yang teridentifikasi bisa berupa penyimpangan tekanan pada tekanan darah normal, yang kelewat batas disebut tekanan darah tinggi (hipertensi), dan yang kurang dari batas disebut tekanan darah rendah (hipotensi). Demikian juga dianalogkan dengan penyakit-penyakit lainnya, hiperkolesterol, hipoglikemia, dsb.

Tahap berikutnya, seiring peningkatan kemampuan dunia kedokteran, didukung oleh praktek spesialisasi yang berkembang pesat, penyakit mengalami perluasan makna lebih ke arah estetika fisik (kecantikan). Sering kita mendengar berita tentang rekonstruksi kelamin, payudara, hidung, dagu atau bagian tubuh lain, baik dengan pembedahan, sedotan, suntikan, pembakaran atau dengan cara yang lain. Para ‘pasien’ modern ini banyak terobsesi akan keberhasilan rekonstruksi fisik para public figure kelas dunia.

Montoknya payudara Pamela Anderson sebagai simbol seks yang menonjolkan lekukan tubuh di serial Baywatch dan berlanjut ke serial VIP, serial ini juga naik tayang di salah satu Stasiun TV swasta kita, yang sebelum dikenal publik dadanya ternyata biasa-biasa saja.

Atau keberhasilan Michael Jackson yang merekonstrusi hampir seluruh tubuh, dari manusia berkulit dan berpostur negro menjadi manusia berpostur dan berkulit putih (meski dia menyanyikan lagu ‘black or white’ yang tidak dia pahami betul artinya) merupakan rujukan keberhasilan bagi pasien tersebut. Konsumsi berita semacam ini yang menjadi rujukan bagi masyarakat untuk ‘napak tilas’ keberhasilan mereka.

Barangkali yang terlupakan, atau memang tak dipedulikan, adalah kenyataan bahwa payudara Pamela Anderson diberitakan ‘meledak’, juga sekarang dia berusaha mengganti ‘isi’ payudaranya dengan yang lebih kecil karena punggungnya bongkok, terserang nyeri berat akibat ‘kelebihan beban’. Sedang Michael Jackson, sang raja pop star pun harus bersembunyi cukup lama dari publik, main petak umpet dengan paparazi, karena takut ketahuan wajahnya yang membusuk, bayangkan!! ‘wajah membusuk’.

Padahal, kalau kita mau melihat ke belakang, pada budaya dan nilai pengobatan tradisional kita, upaya rekonstruksi pun sebenarnya sudah dilakukan oleh para pengobat tradisional kita. Sebut saja Mak Erot (salah satu ahli rekonstuksi alat kejantanan pria), jamu untuk memperbesar, memperkencang, memutihkan payudara (baik yang dioles maupun yang diminum), sampai pada rekonstruksi wajah/tubuh secara metafisika/ghaib/magic dengan menggunakan susuk, yang bisa digunakan untuk kecantikan, kewibawaan, maupun daya tarik seksual, dan beragam jenis pengobatan tradisional lainnya.

Nilai yang berlaku pada masyarakat, memang telah berubah. Kualitas individu, terutama bagi wanita, cenderung dihargai pada penampilan luar, lekukan tubuh. Makin cantik wajah atau makin ‘nggitar’ bodinya, maka semakin lebih bisa diterima oleh masyarakat, lebih ‘gaul’. Bahkan iklan sabun mandi, iklan mobil, sampai iklan alat berat pun menggunakan keseksian tubuh wanita sebagai daya tarik. Baju pres body, ‘udel’ bodong, bibir dower, sampai bokong njenthit jadi bahan promosi yang murah meriah, atau bisa jadi sangat mahal. Entah siapa yang sakit? ‘Pasien’ tersebut atau masyarakatnya.

Publikasi kasus terakhir adalah kasus si1ikon maut Christin akibat suntikan PH-cain di payudaranya, yang tak membuat dadanya kencang atau montok, malah menyebabkan kematiannya (Maret 2000). Kasus lain adalah membengkaknya wajah Ike, waria yang merekonstrusi wajah dengan bantuan silikon cair agar bisa tampil cantik seperti wanita sesungguhnya (April 2001). Bukan wajah cantik, atau tubuh seksi yang didapat, malah wajah membengkak berubah bak monster, atau justru kematian menjemput ajal.

Sedang di negara Republik Indonesia, negeri yang kita cintai ini, metamorphosis mengalami satu tahapan lagi. Di tingkat elit Republik ini, perkembangan tahapan penyakit jauh lebih spesifik. Pada zaman orde baru orang di’rumahsakit’kan bila tak sependapat dengan pemerintah. Sesudah runtuhnya orde baru, berganti orde reformasi, ketika rakyat berdemonstrasi, berontak dengan mendengungkan penegakkan keadilan dan kepastian hukum, dan gayung bersambut, disambut baik Pemerintah, penyakit kembali mengalami perluasan makna, orang jadi penyakitan ketika akan diperiksa di pengadilan, atau mendadak pake kursi roda, atau terpasang infus ditangan ketika didakwa atas tindakan korupsi-kolusi-nepotisme.

Paling mutakhir, pentahapan perjalanan penyakit mengalami penajaman makna dan kejadian. Keempat tahapan sebelumnya terjadi secara bersamaan.

Penyakit infeksi kembali muncul dengan infektan yang telah bermutasi (AIDS, SARS, flu burung). Penyimpangan penyakit secara biostatistika muncul dengan manifes berupa malnutrisi yang terjadi secara besar-besaran. Era penyakit secara estetika mewarnai infotainment dengan pro kontra upaya public figure kelas lokal yang juga ikut-ikutan merekonstruksi bagian tubuhnya. Apalagi era penyakit politik, tetap marak dengan terbongkarnya kasus mega korupsi-kolusi kelas kakap di negeri ini.

Pendidikan Kesehatan
Menilik perkembangan penyakit yang mengalami perluasan makna begitu pesat, Departemen Kesehatan sebagai salah satu regulator dan badan penanggung jawab masalah kesehatan di Indonesia seharusnya bisa mengantisipasi hal tersebut, sudah saatnya institusi pendidikan yang menggelar pendidikan kesehatan (dokter), sebagai ujung tombak para pengobat modern, tidak hanya bersandar pada pendidikan medis standar, agar penyakit-penyakit modern tersebut, yang seharusnya ditangani dengan pembedahan, suntikan, atau tidakan medis lain bisa ditangani secara benar oleh ahlinya, dan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan ditangani salon kecantikan biasa oleh awam yang berspekulasi dengan jaminan membuat wajah cantik dan tubuh seksi yang akhirnya malah menyebabkan kematian.

Atau, Depkes bisa mengandeng pengobat tradisional macam Mak Erot yang sudah puluhan tahun beroperasi tanpa ada komplain dari pasien yang berarti. Siapa tahu, jika mau benar-benar dikaji secara ilmiah, ketrampilan yang dimiliki Mak Erot akan sejajar dan mendapatkan pengakuan internasional seperti halnya ilmu akupunktur dari China. Sudah saatnya lulusan dokter dipersiapkan menjadi dokter-seniman atau boleh juga dokter-politikus. Bagaimana menurut anda?

Sumber;
1.Muzaham, Fauzi (ed.), 1995, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta: UI Press.
2.Notoatmodjo, Soekidjo, & Sarwono, Solita, 1985, Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
3.Sciortino, Rosalia, 1999, Menuju Kesehatan Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4.Smet, Bart,1994, Psikologi Kesehatan, Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
5.Taylor, S.E., 1991, Health Psychology, New York: McGraw Hill, Inc.
6.Thabrany, Hasbullah, 1991, 'Swastanisasi Pelayanan Kesehatan di Indonesia', Medika, Tahun 17, No. 5.
7.Tjiong, Roy, 1991, Problem Etis Upaya Kesehatan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
8.Tuckett, David, 1995, 'Dokter dan Pasien', di dalam Muzaham, Fauzi (ed.), Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta: UI Press, 135-178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar