MENCERMATI PLUS-MINUS PUSKESMAS SPESIALIS

By Oryz Setiawan


Model kebijakan layanan kesehatan yang terkait dengan orientasi dan model puskesmas yang dikembangkan Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kesehatan Kota lebih menonjolkan corak layanan kesehatan yang berbasis spesialis. Seperti yang diberitakan Jawa Pos pada Sabtu 5 Juli 2008 bahwa demi menuju profesionalitas kinerja puskesmas, Dinkes Kota Surabaya mengembangkan model puskesmas spesialis pada 53 puskesmas di kota metropolis ini. Bahkan, beberapa puskesmas telah menjadi pilot project pengembangan puskesmas yang terkonsentrasi pada layanan spesialistis.

Puskesmas Balongsari terspesialis pada penanganan penyakit paliatif. Selain itu, Puskesmas Benowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Tegalsari, Gubeng, Tambaksari, dan Sawahan menjadi proyek percontohan penanggulangan penyakit HIV/AIDS.
Puskesmas spesialis merupakan salah satu paket inovasi pelayanan kesehatan pemkot. Selain itu, puskesmas tersebut menambah layanan dengan fasilitas rawat inap dan mengembangkan jaringan puskesmas online yang berbasis teknologi sehingga diharapkan bisa saling melengkapi (komplemen).

Pemkot menyadari perkembangan suatu layanan kesehatan harus mengacu pada karakteristik perkotaan yang semakin heterogen, pluralistik, serta perilaku masyarakat yang membutuhkan pelayanan serbainstan. Di sisi lain, desain model layanan kesehatan dasar seperti puskesmas seyogianya mengikuti iklim dinamisasi perkotaan yang cenderung kompleks.

Salah satu fungsi puskesmas adalah pelaksana layanan jasa kesehatan kewilayahan. Hal itu bermakna puskesmas harus mampu mengidentifikasi problem kesehatan, kebutuhan masyarakat, dan permintaan terhadap layanan kesehatan di wilayah kerjanya (local specific).

Upaya pengembangan puskesmas berbasis spesialis tentu berkaitan erat dengan penggunaan teknologi kedokteran sebagai instrumen untuk mengakselerasi fokus penanganan problematika kesehatan dan kasus penyakit yang memiliki derajat endemisitas dan virulensi tinggi di masyarakat. Sebagai kota industri jasa dan perdagangan, Kota Surabaya memang memiliki potensi untuk mengembangkan puskesmas yang berwajah modern dengan penggunaan perangkat dan infrastruktur berbasis teknologi.

Sentuhan teknologi sedikit banyak bisa meningkatkan aspek kecepatan pelayanan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan industri jasa layanan kesehatan di sektor swasta. Keuntungan lain puskesmas spesialis adalah sebagai alat rujukan (referral health system) sebelum ditangani rumah sakit rujukan. Dengan kata lain, puskesmas itu berfungsi sebagai "miniatur rumah sakit spesialis" sehingga bisa mengurangi beban kerja yang tecermin dalam tingkat kunjungan pasien.

RSU dr Soetomo, misalnya. Sekitar 10 persen pasien rawat jalan dan poliklinik yang terindikasi penyakit ringan dapat ditangani puskesmas. Jika kondisi tersebut dijadikan acuan pengembangan puskesmas spesialis, keberadaan puskesmas spesialis tentu diharapkan bisa menjawab berbagai problem kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas penanganan dalam bingkai komunitas kewilayahan. Tentu saja mempertimbangkan kondisi geografis dengan proporsi jumlah penduduk dalam cakupan wilayah kerja puskesmas.

Paradigma Sehat
Salah satu indikator keberhasilan puskesmas adalah mampu menjadi pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang mandiri dengan mengedepankan aspek promotif dan preventif. Bukan sekadar sebagai sarana layanan pengobatan yang berbasis kuratif.

Merujuk pada konsep paradigma sehat yang dikembangkan Depkes, ukuran-ukuran prestasi puskesmas tidak hanya diukur berdasar tingkat utilitas pelayanan pengobatan dan ketersediaan sarana dan tenaga yang memadai. Hal itu ditandai dengan modernitas layanan, kelengkapan fasilitas, dan penciptaan pengembangan inovasi dan daya kreativitas dalam perspektif pengobatan.

Puskesmas jangan sampai didesain sebagai miniatur rumah sakit yang berfungsi sebagai pusat "kesakitan masyarakat". Intinya, fungsi puskesmas lebih banyak di ranah promotif dan preventif, sementara RS lebih bergerak ke arah fungsi kuratif dan rehabilitatif.

Dalam pakem kesehatan, prinsip mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Artinya, dari perspektif apa pun dan bagaimanapun, tindakan pencegahan akan memiliki keuntungan yang jauh lebih tinggi sekaligus memerlukan biaya ekonomi, sosial, dan waktu relatif rendah. Dengan konsep dasar itulah, ke depan puskesmas seharusnya lebih banyak dikunjungi orang-orang sehat daripada orang sakit.

Mengapa? Sebab, misi utama puskesmas adalah mengurusi masyarakat bukan sekadar agar tidak jatuh sakit, tapi juga memberikan pelayanan agar tetap sehat dan produktif baik secara fisik, mental, maupun sosial. Salah satu bentuk pelayanan adalah konseling. Sosialisasi perilaku hidup sehat, pusat informasi kesehatan terpadu, dan meminimalkan munculnya dampak penyakit.

Untuk memberdayakan masyarakat agar tak sakit, perlu banyak penyuluhan KIE (komunikasi, informasi, edukasi). Memberikan obat murah, pengobatan, dan rumah sakit gratis berarti menunggu masyarakat telanjur sakit di hilir. Substansi itulah yang perlu ditekankan kembali seiring dengan kian terdistorsinya prinsip dan filosofi institusi sebuah puskesmas.

Puskesmas sesungguhnya bertugas memutus rantai penyakit sejak di hulu, bukan menunggu setelah telanjur tiba di hilir. Perilaku masyarakat telanjur tak sehat mengakibatkan beban anggaran pemerintah (daerah) bertambah berat. Program pelayanan kesehatan yang menekankan upaya penyembuhan penyakit harus diubah ke arah pembinaan masyarakat untuk selalu hidup sehat sehingga mampu menciptakan kultur perilaku hidup sehat, menjamin kemandirian, dan mampu mencegah sedini mungkin munculnya problem kesehatan.

Dalam jangka panjang seyogianya puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan mampu menekan ketergantungan masyarakat pada seputar medis dan obat-obatan. Ivan Illich mengemukakan bahwa semakin meningkatnya jumlah infrastruktur pelayanan kesehatan belum tentu menunjukkan peningkatan status kesehatan masyarakat itu sendiri. Fenomena tersebut diperparah dengan karakteristik layanan kesehatan. Yakni, semakin tersedia jumlah pelayanan kesehatan akan memicu permintaan dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan itu sendiri (supply induces demand).

Publikasi: Jawa Pos, Ruang Publik, Selasa, 08 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar