Apa yang salah dengan Manggarai???

by Agung Dwi Laksono


Surabaya, home sweet home, 25 Juni 2012

Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu Propinsi yang berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat termasuk sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Terdapat 14 kabupaten dari 16 Kabupaten/Kota di Propinsi ini yang masuk sebagai Kategori DBK. Hanya menyisakan Kota Kupang dan Kabupaten Flores Timur yang terbebas dari kriteria DBK. Kriteria DBK adalah kabupaten atau kota yang mempunyai nilai IPKM di antara rerata sampai dengan – 1 (minus satu) simpang baku, dan mempunyai nilai kemiskinan (Pendataan Status Ekonomi/PSE) di atas rerata.



Bila kila bedah komponen sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak, maka sesungguhnya komponen input yang berupa rasio ketersediaan tenaga dokter per puskesmas dan ketersediaan tenaga bidan per desa, sesungguhnya Kabupaten Manggarai (ranking terakhir; 16) memiliki rasio yang lebih bagus dibanding dengan Kabupaten Flores Timur (perbandingan antar kabupaten; Kota Kupang dikecualikan).

Rasio dokter per puskesmas di Kabupaten Flores Timur hanya 1 (satu) dokter per puskesmas, sedang di Kabupaten Manggarai mencapai 2-3 dokter per puskesmas. Demikian juga dengan rasio tenaga bidan dibanding dengan jumlah desa, yang mencapai 1,05 di Kabupaten Flores Timur dan 1,22 di Kabupaten Manggarai.

Hal ini menjadi berbalik bila kita membandingkan output pencapaian sistem pelayanan kesehatan ibu di ke-dua kabupaten tersebut. Persalinan ke tenaga kesehatan di Kabupaten Flores Timur mencapai 76,99%, sedang di Kabupaten Manggarai hanya mencapai 17,38%. Hanya pencapaian pada Kunjungan Neonatus 1 (KN1) Kabupaten Manggarai memiliki capaian cakupan yang lebih baik dari Kabupaten Flores Timur, yaitu 33,33% dibanding 23,08%.

Pencapaian output yang terbalik dibanding dengan input juga terjadi pada sistem pelayanan kesehatan anak. Pencapaian imunisasi lengkap balita di Kabupaten Flores Timur lebih baik (45,93%) dibanding Kabupaten Manggarai yang hanya sebesar 23,33%. Demikian juga dengan indikator balita ditimbang, yang selain menunjukkan kinerja sistem pelayanan kesehatan anak juga menunjukkan pemberdayaan pada tingkat partisipasi masyarakat. Di Kabupaten Flores Timur balita yang ditimbang mencapai 77,03%, jauh sekali dibanding dengan capaian penimbangan balita di Kabupaten Flores Timur yang pencapaiannya tidak lebih dari separuh pencapaian di Kabupaten Flores Timur, hanya pada kisaran 35,60%.

Berdasarkan paparan data di atas dapat disimpulkan adanya suatu kesalahan pada sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Manggarai. Kabupaten Manggarai dengan input sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik, justru menuai ouput yang lebih buruk dibanding Kabupaten Flores Timur.

Ada apa gerangan dengan Sistem Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Manggarai?


-ADL-

Universal Coverage dan Equity

by Agung Dwi Laksono


Senin, Bandara Juanda_Surabaya, 18 Juni 2012


Dear all,

Dalam sebuah diskusi soal equity dan kesenjangan pelayanan kesehatan di kelas training kebijakan yang dibesut pak Laksono dari UGM, seorang peserta diskusi meng-counter pendapat soal masih adanya inequity di Indonesia, dengan anggapan bahwa pada saatnya nanti, saat universal coverage diberlakukan per tanggal 1 Januari 2014, maka masalah-masalah inequity pelayanan kesehatan antara si miskin dan si kaya tidak akan terjadi lagi.

Yakiiiin???
Saya sih berpendapat masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk membuat kondisi pelayanan kesehatan kita equity.

Soal pelayanan sih bisa dikatakan semua bisa mengaksesnya, karena semua rakyat, tanpa terkecuali, wajib menjadi anggota, dengan membayar sejumlah premi atau premi dibayarkan pemerintah untuk yang memang benar-benar miskin.
Tapiiiii.... itu bila benar-benar pelayanan kesehatan tersedia!
Kita bukannya sedang bicara tidak hanya soal pelayanan kesehatan di Jawa, Bali dan Sumatera?
Kita bicara tentang Indonesia, yang tentu saja meliputi seluruh wilayah di Republik ini.
Saya dengan mata kepala sendiri telah turut merasai ‘keminiman’ pelayanan kesehatan yang tersedia, ini bila saya tidak boleh memaknai sebagai ‘ketiadaan’ pelayanan.

Ini masih soal ketersediaan pelayanan! masih ada beberapa faktor lain di luar kesehatan, yang kami biasa sebut sebagai ‘beyond health’, yang akan turut mempengaruhi akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Transportasi misalnya. Salah seorang peserta diskusi yang pernah turut serta dalam analisis costing di Kabupaten Murung Raya mengaku bahwa biaya transportasi di wilayah tersebut bisa mencapai 5 kali biaya pelayanan kesehatannya. Ini masih di wilayah Kalimantan, belum di wilayah seribu pulau Maluku ataupun Maluku Utara, belum juga bila kita berbicara Papua.

Ini masih transportasi sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Bila kita belajar tentang social determinant of health (SDH), tentu saja akan semakin banyak yang mampir di benak kita, betapa banyak hal yang akan turut berpengaruh terhadap aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Jadi... naive sekali rasanya bila beranggapan bahwa dengan memberlakukan universal coverage, dan lalu semuanya menjadi indah tanpa kecuali...

Heiiii...!
Bukan berarti saya tidak mendukung universal coverage!
Saya berada di garda depan pendukung kebijakan ini.
Hanya saja masih banyak yang harus dibenahi untuk mempersiapkannya, untuk mempersiapkan menjadi benar-benar layak untuk diberlakukan.
Salah satu diantaranya, yaa... ketersediaan pelayanan kesehatan yang terstandarisasi dimanapun wilayah NKRI.

masih banyak pe-er... masih banyak...


-ADL-

58,6% Perempuan Indonesia Lulusan SD Memiliki Anak Minimal 5

by Agung Dwi Laksono


Surabaya, home sweet home, 11 Juni 2012


dear all,

Keberhasilan KB (Keluarga Berencana) pada masa lalu (baca; masa Pak Harto), bila tidak dengan segera diwaspadai pada akhirnya hanya akan menjadi monumen saja, monumen zaman keemasan keluarga berencana. Arah kebijakan keluarga berencana yang tidak lagi pada pembatasan jumlah anak, tetapi bergeser pada keluarga berkualitas, sepertinya saat ini memang lebih terlihat tidak ‘represif’ dibanding zaman orde baru dulu. Apalagi bila dikaitkan dengan ‘hak azasi manusia’!

Jargon ‘dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja’ digeser menjadi ‘dua anak lebih baik’, seperti menggeser ‘hukum’ keluarga berencana, dari ‘fardlu’ (wajib) menjadi ‘sunnah’ (sebaiknya dilakukan). Bahkan dalam beberapa kesempatan jargon tersebut diplesetkan menjadi ‘dua anak lebih, baik!’.

Bila tidak dengan segera dipikirkan solusi menyeluruh atas masalah ini, dapat dipastikan baby booming akan segera terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan 11,8% perempuan di Indonesia (perempuan pernah kawin usia 10-59 tahun) memiliki anak 5 orang atau lebih, dan celakanya persentasenya justru menumpuk pada keluarga miskin, yang jumlahnya mencapai 29,2%. Keluarga miskin di sini adalah yang berada pada kuintil 1 dan kuintil 2 berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per tahun pada tahun 2010.



Jumlah perempuan Indonesia yang memiliki anak 5 orang atau lebih ini juga lebih banyak terjadi di pedesaan yang mencapai 13,3%, sedikit di atas wilayah perkotaan yang mencapai 10,4%.

Kemiskinan dan kebodohan memang seperti  uang receh yang tidak bisa dipisahkan di antara dua sisinya, dan tentu saja juga dampaknya bagi status kesehatan. Senada seirama dengan tingkat sosial ekonomi, kejadian yang sama juga berlaku pada tingkat pendidikan. Perempuan Indonesia tamatan Sekolah Dasar ke bawah 58,6% memiliki anak 5 orang atau lebih.



Bila dilihat berdasarkan propinsi maka Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase tertinggi sebesar 27,3% perempuan yang memiliki anak 5 orang atau lebih. Sedang persentase terrendah berada di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta sebesar 3,8%.

Fakta empiris di lapangan berdasarkan pengakuan provider (baca; bidan desa) menunjukkan bahwa kebijakan Kementerian Kesehatan juga turut andil dalam menyumbang angka tersebut.
Bagaimana bisa? Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang tidak melakukan pembatasan pembiayaan pada kehamilan yang ke-berapapun disinyalir ikut melapangkan jalan untuk memiliki anak yang banyak.

Kebijakan Jampersal yang dilahirkan dengan tujuan untuk mencegah kematian ibu ini justru juga berdampak pada terwujudnya baby booming.

Bila hanya melihat tujuan kebijakan Jampersal, sudah tentu kebijakan ini benar dan harus dilakukan. Bukankan kematian justru banyak terjadi pada perempuan dengan jumlah yang banyak?
Semakin banyak anak semakin beresiko kehamilannya.

Apapun... keputusan telah diambil!
Kebijakan adalah pilihan, kebanyakan bukan soal salah atau benar, tergantung kita mau memilih yang mana, yang terpenting adalah konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?

Piye jal? 


-ADL-