e book 4 free; Jelajah Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan


e book 4 free; Jelajah Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan



Buku ‘Jelajah Nusantara, Catatan Seorang Peneliti Kesehatan’ ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.

Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.

Cerita bagaimana petugas kesehatan di Puskesmas Sampang termotivasi dan bangkit dari keterpurukannya, atau petugas di Puskesmas Perampuan Lombok Barat yang penuh inovasi, sampai masyarakat Kabupaten Pegunungan Bintang yang dengan arif memanfaatkan potensi lokalnya, mampu mem’besar’kan kepala penulis merasai endorfin yang mengalir seiring rasa bangga ditakdirkan menjadi anak-anak negeri ini.

Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri.

Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini. Sungguh kami berharap banyak untuk itu!

Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!


-ADL-

***

menginginkan buku ini? tinggal ninggalin alamat email di kolom komen...

e book 4 free; Gado-gado ala SAMPANG! Serial Diskusi Masalah Kesehatan






Buku ini lebih merupakan catatan keprihatinan atas banyak hal dan kejadian yang menjadi potret buruk status kesehatan di Pulau Madura, khususnya di
Kabupaten Sampang.

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) menempatkan semua (empat) kabupaten di Pulau Madura sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Dalam catatan, hal ini sudah sangat biasa, bahwa empat kabupaten di Madura selalu, baik bergantian maupun bersama-sama, menempati posisi bawah pemeringkatan status kesehatan dilihat dari sisi manapun di Propinsi Jawa Timur. Faktor budaya Madura yang seringkali dipakai sebagai kambing hitam atas kondisi ini, meski dibantah keras oleh aktor kebijakan lokal.

Buku ini merupakan dokumentasi salah satu rangkaian catatan ‘Diskusi Senin Pagi’ yang dilakukan oleh penulis di laman jejaring sosial Facebook. Penulis mencoba membawa ‘masalah kesehatan’, khususnya ‘kebijakan kesehatan’ menjadi ranah publik yang lebih populer. Hal ini lebih didasari pada keprihatinan bahwa bidang kesehatan lebih menjadi ‘mainstream’ pemerintah daripada menjadi milik masyarakat!

Buku ini banyak mencatat permasalahan kesehatan aktual di Madura, khususnya Kabupaten Sampang. Mencoba memetakan setiap permasalahan tersebut, mencoba menawarkan solusi, sekaligus pada akhirnya mencatat juga geliat perubahan yang sedang terjadi, dan masih terus terjadi pada saat buku ini diterbitkan.

Pada akhirnya buku menyisakan harapan masyarakat di Madura bisa terbebas dari tirani keterpurukannya, sekaligus bisa menjadi potret dan bahkan model
pemberdayaan bagi daerah lainnya. Sungguh penulis berharap banyak untuk itu!

link download; http://www.scribd.com/doc/117719333/Gado-gado-ala-Sampang-Serial-Diskusi-Masalah-Kesehatan

'Opera van Jampersal'


emergence muncul sebagai sebuah kreativitas dalam menyikapi sebuah kesulitan yang dianggap sebagai tantangan.

persembahan dari kreativitas teman-teman Rumah Sakit Daerah Kabupaten Lumajang untuk membantu mensosialisasikan Jampersal di bumi Lumajang

***

"Visinya siyy..utk sosialisasi Jampersal,dimana persalinan itu musthinya ke nakes. Didalam ceritanya kita buat yg bisa diterima oleh masyarakat,dan nyentil nakes, pun stake holder. Ada punokawan sbg bentuk pamong dan masyarakat di desa, ada dalang yg bercerita, ada bidan sebagai nakes (yg di sini ngumung Madura), ada sinden yang menyanyi utk selingan lagu2 yg lagi in...biar mereka tertarik. Kenapa kia ambil setiing goro2..ya karena emang goro-goro ntu tempatnya masalah ngumpul..njur bar kuwi khan ana solusi...just a simple thing,I think..cuman bentuk kemasan yg lain. itu saja..tdk lebih. Ide awalnya dari saya, lucu2annya juga,keluar dari yg"biasa" itu juga butuh keberanian..dan saya support semua teman utk allout di panggung,bukan sbg keseharian. Alhamdulillah dapat sambutan..he he he..begitu,yak...matur nuwun atensinya..."
 (@Anni Haryati, RSD Lumajang)



Full Team



Punakawan on stage

Wakatobi kali ketiga!



Makassar, 24 November 2012


dear all,

Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara.
Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...



***
Matahora, Senin, 19 November 2012

Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi-wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya tinggal dan menetap.

Hujan deras menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah, hujan rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri.

Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti, seorang anthropolog.

Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan, seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart yang berwarna-warni.

Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...

***

Wanci, Selasa, 20 November 2012

Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan. Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama mereka.

Tepat pukul sembian pagi perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam.

Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti lokomotif tiada henti.

Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk keluar dari speed dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...!

Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.

***

Lamanggau, Rabo, 21 November 2012

Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini.



Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan.


Secara administratif Suku Bajo menempati wilayah yang disebut Lasohilo, atau masyarakat biasa menyebut sebagai daerah bawah. Sedang penduduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini sudah membaur, juga dalam beberapa perkawinan.

Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka.

***

Onemobaa, Kamis, 22 November 2012

Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.

Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.

Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk.

Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi Dive Resort’.

Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort ini. Saya masih sakit hati!



Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.

Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas.



Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di wilayah ini.
Mungkin mereka tidak tahu?
Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya?
Bupati juga pasti turut hadir saat itu.

Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.

***

Usuku, Jum’at, 23 November 2012

Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang kesehatan.

Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-adik peneliti saya itu akan menggali peran pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran pangulleh yang sudah mulai tua.

Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!

Jambore Kader; Momentum Pemberdayaan Masyarakat Lombok Barat



Senggigi, 10 November 2012


Hari ini, tepat tanggal 10 November 2012, saat Hari Pahlawan, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat juga tengah mengelu-elukan pahlawannya. Pahlawan yang bukan hanya tanpa tanda jasa, dan bahkan bisa dikatakan pahlawan tanpa tanda biaya.



Saya hadir bersama rekan peneliti senior saya, bu WDA, yang turut berbaur dengan seribu orang lebih yang terdiri dari kader kesehatan dari 123 desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Meninting, kepala desa, camat, kepala SKPD se Lombok Barat, Puskesmas serta tidak ketinggalan dari Dinas Kesehatan. Eh.. hampir lupa! Juga turut hadir Pokja AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) dari 9 kabupaten/kota sepropinsi NTB, perwakilan dari propinsi, serta bu Cristin, perwakilan dari P2PL.

Semua tumplek blek pake kaos kuning memenuhi lapangan di pinggir pantai tersebut. Bu WDA juga ikutan pake kaos kuning berbaur dengan para kader. Saya? Yaaa... karena tubuh terlalu kurus, akhirnya ga ada ukuran yang sesuai. Hiks...



Dengan mendirikan tenda-tenda komando yang didatangkan dari Dinas Sosial, Basarnas, maupun SKPD lain, para kader akan bermalam di sini sampai hari Minggu besok. Menggalang kebersamaan, menumbuhkan kebanggaan para kader sebagai salah satu aktor pahlawan pembangunan.

Berpusat di  Coco Beach_Kerandangan, acara yang dibuka oleh Bupati Lombok Barat tersebut menggusung setidaknya 5 (lima) kegiatan sampai dua hari ke depan. Lima kegiatan tersebut menurut dr. Astarini, selaku koordinator acara Jambore Kader ini adalah;
1)      Orientasi Kader
2)      Deklarasai ODF (Open Defecation Free)
3)      Cerdas Cermat Kader Kesehatan
4)      Bakti Sosial, serta
5)      Pelayanan atau Pemeriksaan Kesehatan untuk Kader

Open Defecation Free??? Yak! Pada momentum kali ini ada deklarasi dari seluruh Desa dan Kelurahan di Kecamatan Meninting yang mendeklarasikan bahwa Kecamatan Meninting sebagai Kecamatan ODF. Di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat hal ini biasa disebut oleh Gubernur sebagai BASNO (Buang Air Besar Nol).



Sejatinya di wilayah Kabupaten Lombok Barat setidaknya sudah ada 29 desa/kelurahan yang sudah ODF. Tapi, untuk kecamatan yang seluruh desa/kelurahannya sudah ODF baru Kecamatan Meninting yang pertama. Daaaan... peran kader dan masyarakat sungguh sangat besar dalam mewujudkan ini. Saya sendiri dan bu WDA sempat berbaur saat ada kerja bakti menggali tanah untuk septictank di wilayah Meninting ini saat kunjungan sebelumnya.

Balik maning ke Jambore yak! Acara Jambore Kader ini full acara khusus untuk kader kesehatan sewilayah Kabupaten Lombok Barat. Acara banyak berisi tentang capacity building ataupun refreshing kemampuan kader tentang Posyandu dan upaya pemberdayaan lainnya.

Dalam kesempatan ini banyak diberikan penghargaan bagi kader, terutama bagi kader lestari, kader yang telah lebih dari 10 tahun mengabdikan dirinya untuk kesehatan di masyarakat.



Sebuah kesempatan yang langka, kesempatan yang tidak ada duanya. Disebutkan namanya di depan seribu orang lebih sebagai kader yang berprestasi. Diberikan kesempatan untuk bersalaman, bertatap muka, sekaligus menerima bingkisan dari Bupati maupun ibu Bupati selaku Ketua Tim Tim Penggerak PKK.
Ahh... saya bisa ikut merasai endorphin yang seakan meledak memenuhi setiap pori tubuh, membesarkan kepala yang brasa membengkak tiada tara.

Jumlah kader kesehatan di kabupaten ini semestinya 4.000 orang, tetapi yang bisa dihadirkan hanya sekitar 800 kader. Dalam rencana, menurut Kadinkes Lombok Barat, Pak Rahman, hal ini akan direplikasi dan dibagi dalam 5 (lima) regional wilayah Lombok Barat. Untuk penjadwalannya masih menunggu konfirmasi dari pihak protokoler Bupati.



Matahari telah tenggelam, acara masih berlangsung dengan seru, wajah-wajah sumringah kader masih bertebaran.

Dan saya harus pergi,
mencari sinyal yang pasti,
kerna saya tak tahan lagi,
untuk upload dan berbagi,
cerita bahagia ini...


-ADL-

KABUPATEN NATUNA, DONGENG IRONI POJOKAN NEGERI


Ranai_Natuna, 02 November 2012


Secara umum kondisi Kabupaten Natuna tidak bisa kita dapatkan hanya bila bertandang ke ibukotanya saja. Hal yang seringkali selama ini dilakukan oleh banyak pejabat saat kunjungan ke wilayah ini.
Hahaha... mohon ma’af bila memulai tulisan dengan kalimat yang sedikit pedes, karena saya sungguh sangat berharap banyak.



Bila mendengar kata ‘Kabupaten Natuna’, maka imej yang ada di kepala adalah kabupaten kaya raya! Bagaimana tidak? Sumber daya alam tambangnya sungguh benar-benar melimpah. Belum lagi cadangan gas alam Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Kabupaten kaya? Tentu saja! Hanya mungkin perlu banyak sentuhan oleh pemimpin-pemimpin yang punya hati. Karena setidaknya sudah dua periode pemerintahan, dua mantan Bupati berhasil ‘disekolahkan’ oleh Kejaksaan. Mantan Bupati periode ketiga sepertinya juga harus deg-degan.



Pemerintahan daerah Kabupaten Natuna saat ini adalah periode ke empat pasca pemekaran Kabupaten Natuna dari Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Kabupaten Kepulauan Riau sendiri berkembang menjadi Propinsi tersendiri dari hasil pemekaran Propinsi Riau.

Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape view yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).



Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon tetap (fixed landlines), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya, sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah berharap akan ada sinyal yang sampai.

Untuk Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, secara nasional Kabupaten Natuna menempati urutan ke 306 dari 440 kabupaten/kota yang ada saat dilakukan pemeringkatan pembangunan kesehatan tersebut. Sedang secara propinsi Kabupaten Natuna menempati posisi kunci, atau urutan terakhir dari 6 kabupaten/kota yang yang ada di Propinsi Kepulauan Riau. Kondisi yang demikian menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan).


Jaminan Kesehatan Daerah

Kabupaten Natuna adalah salah satu dari sekian banyak Kabupaten/Kota yang memiliki dan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan sendiri. Secara umum jaminan semacam ini di Indonesia biasa disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna membiayai Jamkesda-nya murni dari dana APBD. Dengan paket layanan yang menyeluruh Pemerintah Daerah mencantumkan seluruh penduduk tanpa kecuali sebagai peserta Jamkesda. Penduduk hanya perlu membawa Kartu tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan tanda Kartu Peserta khusus Jamkesda.

Dalam pengakuan petugas kesehatan, pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2009 ini di lapangan cukup disiplin. Provider, dalam hal ini Puskesmas dan Rumah Sakit cukup tegas untuk menanyakan Kartu Peserta saat ada pasien yang datang. Bila pasien lupa atau tidak mempunyai Kartu Peserta, maka provider akan menarik tarif pelayanan sesuai Perda.

Meski demikian, realitas berbeda diungkap oleh tokoh masyarakat setempat. Pak Ayat, salah satu tokoh masyarakat setempat yang baru saja memanfaatkan pelayanan di Puskesmas mengaku,
“...menurut saya tidak terlalu ketat pak. Kemarin, dua hari yang lalu, saya sempat mengantar ibu saya berobat ke Puskesmas. Begitu datang langsung dilayani tanpa ditanyakan tentang Kartu Perserta Jamkesda...”
Sebuah peluang untuk kebocoran dana Jamkesda.

Beberapa keluhan sempat terlontar saat berdiskusi dengan para bidan di Puskesmas Ranai dan Puskesmas Percontohan Sedanau. Sistem klaim Jamkesda yang rumit, serta waktu pencairannya yang cukup lama, antara 3 bulan sampai dengan 1 tahun. Belum lagi masalah berkas yang hilang.


Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak;Jamkesda versus Jampersal

Pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Natuna dalam pandangan saya seperti sebuah judul parodi, ‘Maju Kena, Mundur Kena’, semuanya serba setengah-setengah. Magak.

Keberanian Kabupaten Natuna untuk tidak ikut mengambil sumber pembiayaan kesehatan ibu dan anak yang di-launching Pemerintah Pusat, dalam benak saya sebelumnya lebih dikarenakan alasan Pemerintah Daerah (Pemda) sudah merasa cukup mampu dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang cukup besar, sekitar satu setengah trilyun rupiah, sehingga Pemda Kabupaten Natuna sudah bisa mandiri dalam semua pembiayaan daerahnya.

Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan beserta Kasie Kesehatan Keluarga, didapatkan beberapa alasan yang menjadi ke’tidakmampu’an Kabupaten Natuna mengadopsi Jampersal.
“Pada saat Jampersal di-launching oleh Kementerian Kesehatan sekitar bulan April 2011, di Kabupaten Natuna telah ada Perda Nomor 2 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketentuan tarif pelayanan kesehatan. Perbedaan tarif pelayanan antara yang ditanggung oleh Jampersal dengan Jamkesda seperti diatur dalam Perda tersebut menurut Dinas Kesehatan tidak bisa diadaptasi oleh Perda. Hal ini dikarenakan penulisan (wording) Perda yang tidak ada celah untuk kompromi tarif. Sedang untuk merubah Perda dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga akhirnya diputuskan untuk tetap membiayai pelayanan persalinan melalui Jamkesda.”
Pernyataan ini setidaknya telah dibenarkan oleh Kasie Jaminan Kesehatan serta verivikator Jamkesda.

Tarif pelayanan sesuai ketentuan Jampersal, untuk persalinan normal pada tahun 2011 sebesar Rp. 350.000,-, dan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi Rp. 500.000,-. Besaran tarif pelayanan persalinan normal ini saja sudah membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna berpikir ulang untuk bersegera mengadaptasi Jampersal.

Sebagai perbandingan, tabel berikut memaparkan tarif pelayanan tindakan kebidanan yang ditanggung oleh Jamkesda sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2009;



Dengan tingginya kesenjangan tarif layanan yang ditanggung ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan bidan. Ketidakpuasan ini terlontar saat diskusi dengan para bidan, setidaknya bidan di wilayah Puskesmas Ranai dan Puskesmas Sedanao. Hal ini juga setidaknya di’amin’i oleh Ketua IBI setempat.

Di wilayah Puskesmas Sedanao sendiri, tidak ada satupun persalinan dilakukan di dalam Puskesmas, meski Puskesmas Percontohan Sedanao adalah Puskesmas rawat inap yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan lebih baik dibanding Puskesmas lainnya. Bidan lebih senang menolong di rumah penduduk, karena Jamkesda tidak mengcover persalinan yang tidak dilakukan fasilitas pelayanan kesehatan. Jadi bidan bisa menarik biaya persalinan yang berkisar Rp. 500.000,-. Meski menurut pengelola Jamkesda di Puskesmas Sedanao, klaim Jamkesda tetap juga dilakukan oleh Bidan. Dobel klaim yang pada akhirnya diakui lirih oleh pengelola Jamkesda Puskesmas.

Ke depan, pada tahun 2013, dalam rencana akan diambil langkah strategis untuk merubah Perda yang mengatur tentang tarif tersebut. Sehingga diharapkan nantinya Pemda Kabupaten Natuna nantinya bisa mengadopsi Jampersal sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatannya.


Ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan          
                                            
Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja, kecuali di ibu kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat kabupaten. Gambaran utuh kombinasi antara RSUD sebagai satu-satunya pelayanan kesehatan lanjutan serta ketersediaan sarana transportasinya, bisa didapatkan setelah pembaca membaca topik ‘Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan’.

Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini. Dengan jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70an bidan menumpuk di Ranai.

Gambaran sisi lain pelayanan kesehatan bisa didapatkan saat saya berkunjung ke Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTD-RS), satu-satunya UTD yang ada di Kabupaten tersebut. Saat itu tanggal 1 November 2012, stok darah untuk golongan darah A tinggal satu kantong, golongan darah B satu kantong, golongan darah AB tujuh kantong, dan golongan darah O juga tersisa satu kantong.

Saya pun tergerak ingin ikut merasakan pelayanan UTD-RS ini. Saya mendaftar untuk ikut mendonorkan darah. Pelayanan dilakukan tanpa pemeriksaan awal yang berbelit, seperti layaknya sebuah UTD yang saya biasa lalui di UTD PMI Surabaya. Hanya dilakukan pengukuran tekanan darah, tanpa pemeriksaan golongan darah, tanpa pemeriksaan kadar HB, tanpa pengukuran berat badan/tinggi badan, tanpa ditanyai sedang sehat atau sakit, juga tanpa inform consent. Saya berpikiran positif saja, mungkin darah akan diperiksa pasca layanan penyadapan darah.

Tak terlalu lama, kantong darah berisi 250 cc telah terisi penuh! Saatnya pulang, saatnya berpamitan. Dan saya pulang dengan dibekali empat kaleng susu kental manis dan satu papan telur ayam mentah, yang berisi sekitar 30 butir telur. Kompensasi untuk pendonor darah yang sangat ‘mewah’ dibanding dengan daerah lain.
Siapa biang Natuna tidak kaya???


Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan

Berbicara tentang sarana transportasi di Natuna, rasanya kita perlu sering berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas dengan sangat dalam.
Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai, dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan kesabaran untuk mencapainya.

Paparan berikut saya harap mampu memberi sedikit gambaran tentang beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya, berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna;
  1. Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga bergantung dengan tingkat keamanannya.
  2. Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi sekitar 15 hari sekali.
  3. Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya, cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.
Dalam benak saya, bagaimana sistem rujukan bisa berjalan dengan ketersediaan sarana transportasi yang sedemikian? Buat apa ada jaminan kesehatan daerah yang mengcover semua jenis pelayanan bila aksesnya tidak cukup tersedia? Bagaimana bila ada ibu hamil yang butuh rujukan dengan segera? Harus menunggu satu minggu lagi? Dua minggu lagi? Ahh...

Dalam kesempatan wawancara dengan Kabid Yankes ini juga sempat terlontar adanya janji dari Kementerian Kesehatan (sie DTPK) yang menjanjikan speedboad untuk daerah perbatasan lau, khususnya Pulau Laut, yang sampai dengan saat ini belum ada realisasinya. Padahal menurut pengakuan Kabid Yankes tersebut, telah sempat untuk disuruh mengajukan spesifikasi kapal yang sesuai dengan kondisi setempat.


Local Wisdom

Dalam sebuah diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, kepada desa/lurah, serta dukun bayi, terungkap budaya masyarakat Natuna yang selalu harus didampingi bidan kampung (dukun bayi) pada saat melahirkan. Ke’harus’an ini juga tetap berlaku meski pertolongan persalinannya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan).

Bidan kampung memang memiliki posisi strategis dan cukup berpengaruh bagi masyarakat Suku Melayu yang mendominasi penduduk Natuna (sekitar 87%). Dalam satu kali persalinan masyarakat mau merogoh kocek sampai dengan Rp. 500.000,- untuk jasa bidan kampung ini. Halifah, salah satu bidan kampung yang biasa dipanggil ‘Mak Pah’ ini telah berpraktek sebagai bidan kampung selama 35 tahun di wilayah Bunguran Timur. Bidan kampung yang sudah nenek-nenek tapi masih kenes ini mengaku dalam sepanjang karirnya belum pernah ada satu pun ibu atau bayi yang meninggal dalam ampuannya.

Kondisi lain yang cukup menarik di Kabupaten Natuna adalah komposisi penduduknya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah 17.961 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 69.319 jiwa. Hal ini berarti bahwa banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga secara rata-rata sebanyak 3,86 orang, atau dengan kata lain dalam satu rumah tangga, dengan dua orang tua, hanya ada satu atau dua anak dalam rumah tangga tersebut.



Rata-rata anggota rumah tangga ini di setiap kecamatan cukup bervariasi, berkisar antara 3,55 orang sampai dengan 4,22 orang. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga terendah adalah di kecamatan Midai yakni 3,55 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni 4,22 orang.

Sudah hampir waktu subuh, kita cukupkan dulu tulisan ini. semoga kearifan lokal ini bisa menjadi modal untuk memulai sebuah perubahan. Semoga.

-ADL-

Wakatobi; Surga Laut yang Seharusnya Menginspirasi



Baubau, 14 Oktober 2012



Lanscape view from Benteng Hills

dear all,

Wakatobi, demikian kabupaten baru pemekaran Kabupaten Buton ini disebut. Nama kabupaten yang diambil berdasarkan singkatan nama empat pulau besar yang ada di wilayah ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan yang terakhir serta terjauh adalah Pulau Binongko.

Kabupaten yang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam kriteria DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan) ini beribukota di Wanci yang berada di pulau pertama, Pulau Wangi-wangi, yang merupakan pulau terbesar dan paling ramai dari ke-empat pulau besar di wilayah ini.

Kabupaten Wakatobi memiliki dunia ‘lain’ yang begitu menarik bagi wisatawan penggemar lanscape bawah laut. Dunia yang merupakan surga bagi penggemar dunia diving ataupun snorkelling, atau mungkin bahkan bagi yang tidak bisa berenang sekalipun. Bagaimana tidak? Lautan yang mendominasi wilayah kepulauan ini begitu jernih dan menampilkan spot-spot indah yang cukup dangkal di beberapa titik. Menampilkan indahnya biota laut, yang bahkan tanpa kita perlu berbasah-basah dengan hanya nangkring di atas ketinting.


Tomia Dive Centre, salah satu penyedia layanan wisata dasar laut yang dikelola investor asing

Wakatobi yang merupakan salah satu destinasi bawah laut yang sedang mendunia ternyata prestasinya dalam bidang kesehatan kurang begitu menggembirakan. Wakatobi merupakan salah satu wilayah DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan). Setidaknya Wakatobi menempati urutan ke-340 dari 440 kabupaten/kota saat pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tersebut dibuat, atau rangking 7 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Sultra.

Dalam bidang pergizian, setidaknya di kabupaten kepulauan ini didominasi oleh balita stunting (pendek atau sangat pendek) sebesar 52,67%. Indikator yang dihitung berdasarkan angka tinggi badan dibanding umur ini seharusnya tidak boleh terjadi di Kabupaten yang sumber protein hewani dari ikan begitu sangat melimpah ini. Masalah gizi lainnya, gizi buruk dan kurang juga masih cukup tinggi, yaitu 30,21% dari seluruh balita yang ada di kabupaten ini.

Indikator lain, yang memiliki bobot tinggi dalam IPKM, juga mempunyai masalah yang cukup berat, baik pada masalah kesehatan ibu dan anak maupun sanitasi dan ketersediaan air bersihnya.


Propinsi Sulawesi Tenggara dalam IPKM


JAMPERSAL DI WAKATOBI

Kedatangan kami sebagai tim di kabupaten kepulauan ini memang sedianya mengemban tugas untuk mengevaluasi pelaksanaan Jaminan Persalinan (Jampersal) di wilayah ini, meski juga akhirnya kami membuka mata sedemikian lebar serta memasang telinga dengan sungguh-sungguh untuk lebih banyak melihat dan mendengar apa yang menjadikan kabupaten ini bisa sedemikian terpuruk dalam bidang kesehatan.

Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di kabupaten ini kami berani mengatakan bahwa dalam hal mekanisme pembayaran klaim dan persyaratan jaminan, Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di Indonesia! Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota yang kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini. Bagaimana tidak? Kabupaten kepulauan ini begitu berani menetapkan (sesuai Juknis) bahwa persalinan yang bisa dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah keberanian yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup luas.

Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten Wakatobi memberikan seratus persen klaim langsung kepada pemberi layanan (bidan), tanpa ada potongan atau pajak apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan yang melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes). Biasanya di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan apapun bisa terjadi hanya pada ‘bidan swasta’ yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan.

Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten Wakatobi memang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang kami temui. Di kabupaten ini aliran keuangan Jampersal tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari Dinas Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui pengelola Jampersal di Puskesmas.

Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim bukan berarti implementasi kebijakan Jampersal dalam hal pelayanan menjadi lebih mudah di wilayah ini. Adat budaya untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya jumlah dukun bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam memberi pelayanan.

Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di rumah cukup merepotkan untuk mewujudkan cita-cita persalinan di fasilitas kesehatan. Pada akhirnya memaksa petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil yang mau melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk dibawa ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ, momennya pun harus tepat! Minimal harus menunggu pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap, atau kalau tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan nggrundel karena menunggu terlalu lama di Puskesmas.

Jumlah dukun bayi dan trust (kepercayaan) masyarakat yang begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan. Kepercayaan yang sedemikian tinggi pada dukun bayi benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini. Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada pelayanan gratis di Puskesmas.

Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang sekedarnya seperti layaknya dukun bayi di wilayah lain. Di wilayah ini sedemikian tingginya trust masyarakat kepada dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat prestis. Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar Rp. 400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya mencapai angka Rp. 900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun bayi di ibukota kabupaten? Sangat fantastis! Mencapai tiga kali lipat tarif pelayanan Bidan yang ditanggung oleh Jampersal. Rp. 1.500.000,-.


KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN

Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6 desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan harus mampu mencover dua desa.

Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk enam desa...” demikian keluh salah satu tokoh masyarakat.

Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.

“Saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu ditingkatkan lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau...” usul salah satu Kelapa Lingkungan kepada kami.

Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan tranfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu-satunya Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk sekedar bank darah. Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih belum tersedia.

Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan jadwal yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa kapal sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi penduduk wilayah ini, karena harga sewanya mencapai kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus pass away sebelum sampai ke tempat rujukan.

Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa mencapai tiga sampai tiga setengah jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak selengkap di Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia dokter obgyn di RSUD Kabupaten Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan.

Saat kedatangan kami pada hari Rabo (10 Oktober 2012) untuk wawancara dengan dokter obgyn di Wanci, beliau menyatakan sedang di Kota Baubau karena ada keluarganya yang sakit. Kami kejar untuk bisa wawancara di Kota Baubau, beliau mengatakan akan berangkat ke Kota Makassar. Kami kejar kembali untuk dapat wawancara di Makassar, beliau menyatakan akan ke Jakarta untuk membeli obat-obatan. Akhirnya kami dapatkan janji beliau untuk wawancara di Jakarta hari Senin ini (15 Oktober 2012). Semoga wawancara tersebut benar-benar bisa berlangsung.

Sebelum kelupaan, di wilayah Pulau Tomia ini, yang meskipun kepulauan, belum tersedia Puskel Laut (Puskesmas Keliling) atau Puskes Terapung. Semoga Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan) membaca tulisan ini. Meski sebenarnya sudah ada bantuan dari BUK sebuah Puskel laut untuk Kabupaten Wakatobi yang saat ini ditempatkan di wilayah Pulau Binongko, pulau terjauh. Tapi melihat kondisi dan wilayah yang harus dijangkau, minimal wilayah Wakatobi memerlukan dua lagi Puskes laut untuk Pulau Tomia dan Pulau Kaledupa.


PERKAMPUNGAN SUKU BAJO

Di Kabupaten Wakatobi bisa dikatakan didominasi oleh Suku Buton. Hal ini bisa dimaklumi, karena memang wilayah ini merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Sedang suku lain yang cukup mewarnai kabupaten ini adalah Suku Bajo, yang memiliki ciri khas selalu menempati wiayah pesisir, dengan membuat bangunan di atas laut.


Perkampungan Bajo Nelayan Bakti di Desa Mola

Di Kabupaten Wakatobi setidaknya Suku Bajo menempati tiga dari empat pulau besar yang ada di kabupaten pemekaran ini. Di Pulau Wangi-wangi sendiri ada satu koloni yang terdiri dari lima desa, komunitas dengan jumlah Suku Bajo yang terbesar. Pulau Ke-dua, yaitu Pulau Kaledupa, setidaknya ada tiga koloni yang bermukim di pesisir pulau, di sebelah utara satu koloni dan di sebelah selatan terdapat dua koloni. Pulau ke-tiga, yaitu Pulau Tomia, komunitas ini membentuk koloni di salah satu pulau di wilayah Kecamatan Tomia, yaitu di Pulau Onemoba’a. Sedang Pulau terakhir dari keempat pulau besar di Kabupaten Wakatobi adalah Pulau Binongko, yang sama sekali tidak terdapat komunitas Suku Bajo yang bermukim di pesisir pulau ini.

Ke’khas’an Suku Bajo ini dalam pengamatan kami bisa menjadi hambatan tersendiri bagi Kabupaten Wakatobi bila ingin terlepas sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan, atau sebut saja sebagai tantangan tersendiri bila kita ingin berpandangan optimis!

Di Pulau Onemoba’a yang penduduknya didominasi Suku Bajo, menurut pengakuan bidan pengampu wilayah tersebut, tidak ada satupun ibu yang bersalin ke tenaga kesehatan setahun terakhir. Mereka lebih memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Kenyataan ini masih ditambahi dengan kondisi sanitasi lingkungan yang khas perkampungan nelayan yang buruk, serta ketersediaan air bersih yang cukup menyulitkan.

Fasilitas pelayanan kesehatan sebenarnya sudah tersedia di tengah-tengah perkampungan Suku Bajo, tapi trust belum bisa didapatkan bidan yang masih relatif muda tersebut. Dalam pengamatan kami yang sempat berbaur di salah satu kampung Suku Bajo di Perkampungan Bajo Nelayan Bakti, ketersediaan sarana pembelajaran anak-anak pun sudah tersedia, bahkan menurut petugas dari Dinas Kesehatan, perkampungan ini sempat dikunjungi Menteri Kelautan tahun lalu.


Ceria Anak-anak Suku Bajo Bermain di Sore Hari

Yak, optimisme tersendiri melihat cerianya anak-anak Suku Bajo bermain di senja itu. Berlalulalangnya muda-mudi Suku Bajo yang pulang dari kuliah di Universitas Muhammadiyah setempat membersitkan banyak harap, semoga bisa membawa perubahan bagi komunitasnya. Semoga...


-ADL-

PERAMPUAN DAN ODONG-ODONG



Makassar, 08 Oktober 2012 


Puskesmas Perampuan adalah salah satu dari dua puskesmas yang mengampu wilayah Kecamatan Perampuan. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada kecamatan yang berlokasi di selatan Kota Mataram (ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat). Puskesmas Perampuan sendiri merupakan salah satu Puskesmas di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat.

Puskesmas Perampuan saat ini dipimpin oleh seorang perempuan, Ibu Andangsari, S.Si., Apt., M.Farm.Klin, seorang apoteker jebolan Universitas Hasanudin yang bertangan dingin dalam pengelolaan Puskesmas. Perempuan yang datang pada bulan Februari 2012 di Puskesmas Perampuan ini memulai aksinya bersama-sama dengan petugas Puskesmas sebagai sebuah teamwork efektif per Maret 2012.



Banyak perubahan yang telah dilakukan oleh Puskesmas Perampuan, termasuk di dalamnya upaya pemberdayaan. Pemberdayaan yang tidak hanya berhenti pada petugas kesehatan saja, tetapi meluas sampai kepada dukun bayi, tukang ojek, serta komponen masyarakat lainnya.


Dukun Bayi dan Tukang Ojek

Seperti kabupaten lainnya di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, di Kabupaten Lombok Barat masih banyak terdapat dukun bayi yang masih beroperasi aktif, tidak terkecuali di wilayah Puskesmas Perampuan. Hal ini seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan, terutama dalam upayanya meningkatkan persalinan melalui pertolongan tenaga kesehatan.

Dengan banyaknya dukun bayi yang masih beroperasi, Puskesmas Perampuan berusaha keras untuk mencari cara meminimalkan persalinan oleh non tenaga kesehatan. Hasil kesepakatan di Puskesmas menarik sebuah kesimpulan akhir pada suatu cara untuk pemberian insentif bagi dukun bayi yang mau merujuk (mengantar) ibu hamil yang akan bersalin ke tenaga atau fasilitas kesehatan.

Meski sederhana, ternyata langkah ini tidak begitu saja mudah diterapkan. Bagaimana tidak? Kota Mataram, sebagai tetangga berhimpitan dengan wilayah Puskesmas Perampuan, memilih strategi yang sama. Hanya saja Puskesmas di wilayah Kota Mataram memberi insentif yang mencapai angka Rp. 50.000,- per ibu bersalin yang dirujuk oleh dukun bayi. Strategi yang diterapkan di Puskesmas di wilayah Kota Mataram ini terbukti efektif menyedot perhatian dukun bayi, bahkan para dukun bayi yang sebenarnya masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Perampuan.

Dengan besaran angka pada kisaran tersebut, tentu saja Puskesmas Perampuan yang sederhana ini tak akan mampu menandinginya. Maka Puskesmas Perampuan berhitung dengan cermat dengan memperhatikan faktor selisih biaya transportasi antara Puskesmas Perampuan dan Kota Mataram. Hingga munculah angka Rp. 25.000,- per kali rujukan ibu bersalin oleh dukun bayi. Besaran angka ini adalah riil take home pay yang diterima oleh dukun bayi, riil penerimaan bersih. Penerimaan bersih? Ya penerimaan bersih, karena transportasi ditanggung oleh Puskesmas Perampuan. Bagaimana bisa? Di sinilah cerita pemberdayaan lainnya dimulai. Pemberdayaan tukang ojek.

Puskesmas Perampuan menggandeng ‘Tukang Ojek’ setempat untuk masalah transportasi rujukan ibu bersalin ke Puskesmas. Tukang ojek yang biasa mendapat tarif normal Rp. 5.000,-, dihargai Rp. 10.000,- oleh Puskesmas, dengan syarat Tukang Ojek yang sudah teredukasi tersebut turut siaga setiap saat untuk melakukan rujukan ke Puskesmas. Simbiosis mutualisme yang cukup manis dilakukan.

Tukang ojek yang dilibatkan dalam proses siaga ini sudah cukup teredukasi. Tukang ojek tersebut bisa melihat atau mendeteksi segala sesuatu tentang ibu hamil yang menjadi tanggung jawabnya dari stiker kehamilan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) yang ditempel di pintu rumah ibu hamil yang bersangkutan dipasang oleh Bidan Puskesmas.

Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan dukun bayi, Puskesmas juga memberikan bingkisan sederhana saat hari lebaran. Selain itu Puskesmas Perampuan juga memberikan award bagi dukun bayi yang melakukan rujukan terbanyak. Tentu saja ini sebuah langkah menarik untuk membangun motivasi dukun bayi, bukan masalah materi yang diberikan, tetapi lebih kepada penghargaan dan pengakuan ‘petugas resmi pemerintah’ kepada mereka. Sebuah langkah yang humanis, me’manusia’kan kembali manusia.


Sebutir Vitamin yang Menggerakkan

Sudah sangat jamak bila partisipasi masyarakat (baca; ibu dan balita) di Posyandu sudah semakin menurun dari tahun ke tahun, dari hari ke hari. Kondisi ini semakin parah pada balita dengan usia 2 (dua) tahun ke atas yang merasa imunisasi sudah tuntas dilakukan, tidak ada lagi gunanya datang ke Posyandu yang cuman hanya untuk penimbangan saja. Tidak ada lagi sesuatu yang menarik dilakukan di Posyandu.

Solusi untuk men-sweeping sasaran balita door to door, dari rumah ke rumah, memang dirasa cukup efektif, tetapi menimbulkan konsekuensi yang menyita cukup banyak sumber daya Puskesmas. Sementara pelayanan di Puskesmas harus tetap berjalan. Bila sweeping dilakukan setiap kali, setiap bulan, tentu saja akan menjadi masalah tersendiri bagi Puskesmas.

Di wilayah Kabupaten Lombok Barat sendiri sebenarnya ‘Pekan Penimbangan’ dilakukan sebanyak 4 (empat) kali selama setahun. Pekan penimbangan dilakukan pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Dalam masa pekan penimbangan ini bila ada balita yang tidak hadir di Posyandu, maka hukumnya ‘wajib’ dilakukan sweeping untuk pencapaian cakupan D/S yang maksimal.

Konsep Posyandu sendiri sebenarnya juga menuntut partisipasi masyarakat untuk datang ke Pos Pelayanan. Konsep Posyandu seharusnya tidak dengan memanjakan masyarakat dengan petugas yang mendatangi door to door. Di sinilah letak ujian ‘pemberdayaan’ masyarakat oleh petugas kesehatan yang sebenar-benarnya. Karena Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan angka partisipasinya cukup rendah, bahkan di wilayah Desa Trong Tawa seringkali sweeping yang harus dilakukan mencapai lebih dari 50% sasaran. Tentu saja konsekuensi yang cukup berat. Meski untuk upaya sweeping ini petugas dibantu oleh kader Posyandu setempat.

Puskesmas Perampuan menyadari pentingnya Posyandu, yang sekaligus Posyandu menjadi sangat penting sebagai entry point atau pintu masuk bagi masalah lainnya terkait balita, yaitu gizi kurang maupun gizi buruk. Dalam sebuah pertemuan mini lokakarya rutin di Puskesmas, tercetuslah ide untuk memberikan vitamin bagi balita yang datang ke Posyandu. Diharapkan dengan hal tersebut, ada ‘sesuatu’ yang bisa menarik ibu dan balitanya ke Posyandu. Dengan tujuan besarnya adalah mengurangi sweeping.

Langkah kecil ini terlihat biasa saja, hanya memberikan balita ‘sebutir’ vitamin, tapi dampaknya sungguh luar biasa. Trend cakupan balita yang datang dan ditimbang di Posyandu meningkat drastis, dan stabil pada kisaran 90% ke atas, yang artinya sweeping untuk memenuhi kewajiban penimbangan untuk seluruh balita hanya menyisakan pekerjaan yang tidak mencapai 10% dari total sasaran.



Dari diagram di atas terlihat trend cakupan D/S yang cenderung mendekati angka 100% meski tidak sedang pada masa ‘Pekan Penimbangan. Sedang secara detail berdasarkan angka absolutnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Sumber: Data Sekunder Puskesmas Perampuan
Angka di atas merupakan rekapitulasi dari seluruh Posyandu di wilayah Puskesmas Perampuan yang rekapitulasinya dilakukan sendiri oleh penulis dari laporan kegiatan Posyandu.

Katanya Puskesmas Perampuan bukan tergolong Puskesmas kaya? Kok bisa menyediakan vitamin tambahan untuk Posyandu? Berapa sih kebutuhan biayanya? Dengan hanya ‘sebutir’ vitamin, maka sebenarnya kebutuhan untuk menarik minat balita ini tidak banyak.
Puskesmas membeli vitamin merk Fitkom dalam botol yang berisi 30 butir yang di pasaran dalam kisaran harga Rp. 15.000,-, yang karena pembelian dalam jumlah besar Puskesmas Perampuan bisa mendapatkannya dengan harga Rp. 8.500,- per botolnya. Dengan sasaran dalam kisaran 3.000 balita, maka kebutuhan per bulan mencapai Rp. 850.000,-. Puskesmas memanfaatkan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) untuk pembelian vitamin ini.

“...untungnya ada BOK pak. Kalau tidak ada BOK puskesmas tidak bisa bergerak!”  kata Kepala Puskesmas Perampuan. Sebuah pemanfaatan dana BOK yang efektif dan sesuai dengan peruntukannya.

Dalam prakteknya di lapangan, pembagian vitamin ini juga dibarengi pembagian sirup vitamin Vical. Vitamin yang ini merupakan vitamin standar yang dibagikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat untuk seluruh Posyandu di wilayahnya.

“Setelah minum vitamin di Posyandu, anak saya makannya jadi kuat Bu. Dimana sih bu belinya vitamin itu (Vical)? kok saya mau membeli di apotek tidak ada...” tanya salah seorang ibu balita yang ikut datang ke Posyandu pada petugas yang mendampingi pelaksanaan Posyandu.

Efek domino ini tidak berhenti sampai di situ saja. Saat ini di wilayah Puskesmas Perampuan telah terbebas dari balita gizi buruk maupun gizi kurang. Sebuah kondisi yang pada awal tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya sulit ditemui, yang pada akhirnya memaksa Puskesmas mengalihkan anggaran yang sebelumnya dianggarkan untuk penanggulangan gizi kurang/buruk menjadi anggaran untuk keperluan lainnya.

Dalam kesempatan lain, Kepala Puskesmas juga berusaha memenuhi adanya 3 (tiga) jenis petugas yang hadir di Posyandu, untuk menjamin bahwa Posyandu adalah benar-benar Pos Pelayanan ‘TERPADU’. Tiga petugas itu terdiri dari komponen bidan, perawat dan petugas gizi. Hal ini juga lah yang mampu membuat masyarakat yang datang membawa balitanya merasa terperhatikan, kesehatan anaknya benar-benar dipantau secara baik, dan konsultasi kesehatan bisa benar-benar berjalan dan dilakukan.

Untuk memperbaiki pencatatan dan pelaporan Posyandu, Puskesmas Perampuan juga melakukan perubahan form standar dari Dinas Kesehatan. Proses penyusunan form baru ini mengadopsi dari beberapa form laporan standar yang digabungkan menjadi satu untuk memudahkan proses pencatatannya. Langkah yang demikian ini dipikirkan dan dibuat bersama-sama saat rapat rutin Puskesmas.

Cerita manis soal Posyandu ini bukannya mulus tanpa masalah. Saat ini Puskesmas sedikit kelimpungan karena hampir 70% bidannya sedang sekolah, sehingga memerlukan manajemen yang cukup merepotkan. Hal ini juga masih ditambah dengan masalah Posyandu yang terkait masalah politis, dengan akan dimulainya babak baru pergantian kepala desa. Upaya kesehatan, sebuah upaya yang seringkali menemui kendala non teknis, yang seringkali justru tidak berhubungan dengan hal teknis kesehatan itu sendiri.


Mini Lokakarya yang Diperluas

Banyaknya kemajuan yang dicapai Puskesmas Perampuan tidaklah berarti bahwa tim Puskesmas bekerja sendirian. Hal ini juga terkait dengan dukungan dari banyak pihak di luar ‘orang’ kesehatan. Pelibatan sektor dan pihak lain dimasyarakat juga tak luput dari perhatian.

Pada bulan Juli 2012, Puskesmas Perampuan berinisiatif meluaskan keterlibatan banyak pihak dalam mini lokakaryanya. Tercatat ada Dikpora (Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga) Kecamatan, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa serta kader, yang jumlahnya mencapai 80 orang.

“Sebuah mini lokakarya terbesar yang pernah diselenggarakan di wilayah Lombok Barat,” aku staf petugas Dinas Kesehatan yang berkesempatan mensupervisi mini lokakarya tersebut.

Dalam mini lokakarya ini dihasilkan beberapa kesepakatan yang diharapkan dapat memberikan dampak sustainabilitas dari gerakan perubahan yang telah dan sedang dilakukan. Di antaranya adalah mengaktifkan kembali desa siaga, yang didalamnya mengatur kesepakatan terkait pemetaan dan pembagian pekerjaan.

“Kami bersepakat membagi pekerjaan. Puskesmas melakukan apa, desa melakukan apa, kader melakukan apa...” kata Kepala Puskesmas.

Dalam forum yang sama juga dilakukan upaya alternatif pembiayaan operasional Posyandu dengan melakukan pemetaan calon-calon donatur yang ada di wilayah setempat. Selain itu juga disepakati untuk mengaktifkan kembali pola lama jimpitan. Jimpitan berupa urunan segenggam beras atau kacang hijau, yang semua peruntukkannya untuk operasional Posyandu. Kacang hijau akan diolah menjadi bubur untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan beras akan dikumpulkan untuk biaya operasionalnya.

Terakhir adalah ide dari Puskesmas Perampuan yang juga dilontarkan di forum tersebut, yaitu pengadaan odong-odong (kereta kelinci), untuk menarik dan tetap mempertahankan partisipasi masyarakat, terutama balita, di Posyandu. Saat ini sedang dihitung dan diupayakan kebutuhan biayanya, yang diprediksikan eksekusi pelaksanaannya pada akhir bulan November atau awal Desember tahun ini.

Ahh... ga sabar rasanya ingin bisa segera naik odong-odong ke Posyandu...!


-ADL-