Pulau Tello, Cerita lain tentang Nias Selatan



Pulau Tello, 16 Juni 2012


Perjalanan kali ini dengan misi uji coba kuesioner Riskesdas tahun 2013, membawa saya ke salah satu DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan) yang sekaligus daerah terluar republik ini. Pulau Tello, demikian pulau berpenghuni sekitar 8 ribu jiwa ini biasa disebut. Pulau yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu Kabupaten Nias Selatan ini merupakan salah satu pusat bagi pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.

Pulau pusat? Ahh... jangan terlalu dibayangkan yang terlalu muluk. Besarnya tak melebihi satu kelurahan di Pulau Jawa, dan bahkan di peta Indonesia pun tak terlihat keberadaannya. Sejatinya di Wilayah Pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Batu terdiri atas sekitar 56 desa, tetapi yang berada di Pulau Tello ada sekitar 18 desa saja.



Saya mencoba mengelilingi pulau kecil ini dengan naik motor  bersama rekan anthropolog, Kang Setia Pranata. Secara keseluruhan perjalanan keliling pulau tak lebih hanya 14 kilometer saja, dengan jalan beraspal selebar 2 meter yang kadang meluas, kadang menyempit, meski yang lebih sering adalah menyempitnya. Perjalanan menyusuri pantai ini seharusnya menyenangkan, karena pemandangan pantai, laut dan pulau-pulau lain yang sungguh-sungguh indah, tapi kesenangan ini harus terganggu, karena saya yang duduk di depan menjadi driver, harus waspada terhadap kondisi jalan yang beberapa ruasnya telah rusak.

Dalam perjalanan mengelilingi pulau yang singkat dan menyenangkan ini, beberapa kali kami harus berhenti karena hujan. Hujan turun mulai dari rinai sampai cenderung lebat selalu menemani keberadaan kami selama di pulau ini. Cuaca di pulau ini memang sering tidak menentu, hari ke hari terasa sangat ekstrim. Sehari cerah dan terang benderang, hari berikutnya bisa terjadi hujan badai yang sungguh menakutkan.

Sepanjang perjalanan kami disuguhi banyak tambahan informasi terkait adat budaya warga Pulau Tello yang dalam beberapa hal mirip dengan induk Kabupatennya di Teluk Dalam yang menyatu dengan Kabupaten Nias di Pulau Nias.

Dalam pola tata letak rumah dalam satu desa, yang kurang lebih berisi 20 rumah, mengelilingi sebuah tanah lapang dengan membentuk huruf ‘U’, yang oleh masyarakat setempat biasa disebut sebagai ewali. Tata letak seperti ini mirip dengan pola desa masyarakat Nias di Teluk Dalam, hanya di Teluk Dalam di tengah-tengah perumahan desa tersebut berdiri kokoh tumpukan batu setinggi 2 meter untuk adat ‘lompat batu’ yang sudah kesohor se-antero nusantara.

Pola tradisional ewali pada saat ini telah sedikit ‘rusak’ dengan adanya tambahan bangunan pada gerbang sebelah kiri dengan tulisan yang cukup besar ‘PNPM MANDIRI’! yang merupakan bangunan MCK (mandi-cuci-kakus) yang didanai dari PNPM Mandiri.


Keberadaan ewali di sepanjang pulau ini memiliki adatnya masing-masing yang seringkali berbeda satu dengan lainnya. Di pulau ini masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan Nasrani dengan jumlah yang bisa dibilang berimbang. Mereka hidup dalam koloni-koloni ewali yang seringkali berselang-seling di sepangjang ewali yang berjajaran. Satu ewali Muslim, di sebelahnya Nasrani, sebelahnya lagi Muslim, demikian.
Beberapa ewali memiliki adat maluaya, yaitu budaya berpantun dan bersyair pada saat-saat upacara kematian dan atau perkawinan. Hal ini mirip dengan budaya maena di daerah Teluk Dalam-Nias Selatan yang pada tahun 2012 ini dicoba dimasuki dengan memasukkan syair-syair bernafas kesehatan sebagai upaya intervensi Kesehatan Ibu dan Anak oleh Pusat 4 Litbangkes ( Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) dengan bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Sumatera Utara.

***
Perjalanan tak melulu menyenangkan, meski kami berusaha betul menikmatinya. Dalam beberapa kesempatan saya melihat anak-anak maupun orang dewasa yang ‘cacat’, tangan atau kakinya tidak berfungsi dengan baik akibat tidak tumbuh sempurna, yang dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai ‘cekot’, atau bahasa kurang ajarnya tangan atau kakinya ‘keriting’ (ma’af). Kondisi ini beberapa kali saya temui di Desa Pasar Pulau Tello yang merupakan basecamp kami, yang juga kebetulan adalah ‘pusat’ keramaian di Pulau ini. Setelah saya konfirmasi pada beberapa rekan Puskesmas, mereka membenarkan realitas tersebut. Setidaknya ada 10-20 orang dengan kondisi yang demikian di sekitar wilayah tersebut.

Saya jadi teringat dengan keberadaan ‘kampung gila’ di wilayah Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur, yang pada tahun 2011 lalu rekan saya Aan Kurniawan, anthropolog, sempat tinggal di desa tersebut untuk kajiannya. Saya coba gali lebih jauh informasi apapun terkait kondisi tersebut.

Kecurigaan saya ada ‘sesuatu’ adat budaya setempat yang membuat kondisi tersebut memungkinkan terjadi. Kecurigaan saya bertumpu pada pola genetik yang mengikut pada ‘pola perkawinan’ adat setempat, dan sepertinya kecurigaan saya menemukan titik temu.

Masyarakat adat Pulau Tello memiliki kebiasaan menikah dengan sesamanya yang satu marga, satu keluarga, satu ewali. Pola perkawinan seperti ini yang saya curigai seringkali menghimpun ‘kelemahan’ genetik dalam satu keluarga, sehingga ‘kelemahan’ tersebut tetap diturunkan pada generasi selanjutnya. Setidaknya kelemahan pola perkawinan ini merujuk pada kajian terdahulu terkait galur genetik hemophilia pada keluarga Kerajaan Inggris (kalau keliru tolong dikoreksi).

Tapi... saya toh bukan peneliti genetik semacam itu, mesti ada penelitian lebih lanjut oleh peneliti  yang mendalami masalah tersebut. Siapa tahu rekan peneliti dari Litbangkes ada yang tertarik mendalami fenomena ini, baik dengan pendekatan teknis genetik maupun pendekatan budaya terhadap pola perkawinannya.

Ahh... selalu saja ingin tahu.


-ADL-