tag:blogger.com,1999:blog-74747974894565454172024-03-14T15:46:38.228+07:00health advocacyHealth Advocacy adalah wadah terbuka bagi setiap orang/lembaga yang bersedia menjadi provokator untuk mewujudkan kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
https://www.researchgate.net/profile/Agung_Laksono4agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.comBlogger113125tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-79419344197527999582021-05-13T16:07:00.004+07:002021-05-13T16:12:18.095+07:00Tengger Bertahan dalam Adat: Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku Tengger<p> </p><p class="Default" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman",serif; mso-ansi-language: EN-US;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>“Tengger Bertahan dalam Adat”, demikian judul
yang disarikan dari penelitian dengan mengambil tema tentang ukuran keluarga
pada masyarakat suku Tengger. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif secara etnografis. Pendekatan etnografi lebih menekankan
pandangan masyarakat setempat atas dunia yang melingkupinya (konsep emik), yang
bisa jadi pandangan tersebut berbeda dengan perkembangan pada saat ini (konsep
etik).<o:p></o:p></span></p>
<p class="Default" style="text-align: justify;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype
id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" o:spt="75" o:preferrelative="t"
path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f">
<v:stroke joinstyle="miter"/>
<v:formulas>
<v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"/>
<v:f eqn="sum @0 1 0"/>
<v:f eqn="sum 0 0 @1"/>
<v:f eqn="prod @2 1 2"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @0 0 1"/>
<v:f eqn="prod @6 1 2"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="sum @8 21600 0"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @10 21600 0"/>
</v:formulas>
<v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"/>
<o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"/>
</v:shapetype><v:shape id="Picture_x0020_2" o:spid="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75"
style='position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:2.5pt;
margin-top:7.1pt;width:218.5pt;height:320.2pt;z-index:251658240;visibility:visible;
mso-wrap-style:square;mso-width-percent:0;mso-height-percent:0;
mso-wrap-distance-left:9pt;mso-wrap-distance-top:0;mso-wrap-distance-right:9pt;
mso-wrap-distance-bottom:0;mso-position-horizontal:absolute;
mso-position-horizontal-relative:text;mso-position-vertical:absolute;
mso-position-vertical-relative:text;mso-width-percent:0;mso-height-percent:0;
mso-width-relative:page;mso-height-relative:page'>
<v:imagedata src="file:///C:/Users/ADL/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.jpg"
o:title=""/>
<w:wrap type="square"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img align="left" height="427" hspace="12" src="file:///C:/Users/ADL/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" v:shapes="Picture_x0020_2" width="291" /><!--[endif]--><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Dengan
sengaja pendekatan etnografi dipilih dalam studi ini, untuk menggali potensi
kearifan lokal yang ada pada suku Tengger. Kearifan lokal yang mendorong
masyarakat suku Tengger dalam memilih ukuran keluarga kecil. Kearifan lokal
inilah yang terbukti membuat masyarakat suku Tengger bisa eksis dan bertahan di
tengah arus modern pariwisata yang melingkupi kawasan wisata Gunung Bromo. <o:p></o:p></span></p>
<p class="Default" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman",serif;">Hasil penelitian menemukan bahwa </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman",serif; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-weight: bold;">masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri menganggap
sama saja antara anak laki-laki atau perempuan. </span><span style="font-family: "Times New Roman",serif;">Kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat Tengger di Desa Wonokitri
tidak hanya sebatas pengakuan, tetapi juga tampak pada sistem budaya yang
berlaku, pada sistem atau hukum waris misalnya dianggap memiliki kedudukan dan
hak yang sama dalam soal pembagian warisan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;">Dua generasi terakhir keluarga Tengger
seringkali ditemukan hanya memiliki satu-dua anak saja. Secara empiris jarang
ditemukan keluarga inti yang memiliki anak lebih dari dua orang. Kalaupun
ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari dua, seringkali adalah keluarga
senior (berumur di atas 50 tahun), atau keluarga muda yang mengaku <i>kebrojolan</i>.
Kehamilan yang tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal
di luar prediksi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;">Selain alasan praktis dan jangka panjang yang
berterkaitan dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya dua orang saja.
Alasan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>ini berkaitan dengan masa depan
Suku Tengger secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan filosofis
dibanding alasan-alasan sebelumnya. Keyakinan yang dianut oleh masyarakat
Tengger bersumber pada leluhur. Keluar dari wilayah seputar Bromo, maka artinya
sama dengan meninggalkan tanah leluhur Tengger. Temuan baru dalam studi ini
adalah konstruksi sosial dari multi faktor yang ikut menyusun ukuran keluarga
kecil pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;">Dapat disimpulkan bahwa bagi Suku Tengger
keluarga tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga termasuk para
menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku Tengger tidak mempermasalahkan
jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada akhirnya mereka tetap akan mendapat
“anak” dengan jenis kelamin yang lengkap dari para menantunya. Konstruksi
sosial ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri
berujung pada keinginan mereka untuk mewujutkan keberlangsungan eksistensi Suku
Tengger. Dalam prosesnya, konstruksi sosial ukuran keluarga kecil berkaitan
dengan geografis tempat tinggal Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga
dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih ukuran keluarga
kecil sebagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kecukupan lahan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;">Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga
berkaitan dengan kepercayaan Tengger yang bergantung pada leluhur. Ukuran
keluarga yang besar akan berdampak anak keturunan mereka harus meninggalkan
kawasan Gunung Bromo, karena lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi
tersebut terjadi maka konsekuensinya leluhur menjadi tidak terurus, karena
mereka harus meninggalkan dimana leluhur bersemayam. Proses terjadinya
konstruksi sosial ukuran keluarga kecil semakin mudah terjadi karena
karakteristik sosial dan budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri itu
sendiri. Nilai anak yang tidak mempermasalahkan preferensi gender, dan hukum
waris yang tidak memandang perbedaan gender, dan dukungan pemerintah dengan
ketersediaan pelayanan dan alat kontrasepsi turut memudahkan konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil tersebut terjadi. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-ID;">Naskah lengkap buku ini dapat diunduh pada tautan berikut:<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US"><a href="https://www.researchgate.net/publication/344588052_Tengger_Bertahan_dalam_Adat_Studi_Konstruksi_Sosial_Ukuran_Keluarga_Suku_Tengger"><span lang="EN-ID" style="mso-ansi-language: EN-ID;">https://www.researchgate.net/publication/344588052_Tengger_Bertahan_dalam_Adat_Studi_Konstruksi_Sosial_Ukuran_Keluarga_Suku_Tengger</span></a></span><span style="mso-ansi-language: EN-ID;"> <o:p></o:p></span></p>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-50840719668238320082017-11-30T07:23:00.003+07:002017-11-30T07:28:39.390+07:00Nusantara Ethnographic<br />
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://persakmi.or.id/content/uploads/2017/11/Cover-NE-small.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" class=" wp-image-2377 alignleft" height="371" src="https://persakmi.or.id/content/uploads/2017/11/Cover-NE-small.jpg" style="font-size: 1em;" width="261" /></a></div>
Dengan gaya ber<span style="font-size: 1em;">tut</span>ur – <em>feature </em>–<em> <strong>Nusantara Ethnographic</strong></em> diceritakan dengan cara memandang adat budaya Nusantara bukan sebagai sebuah kendala pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan. Tetapi adat budaya Nusantara justru dipandang sebagai sebuah potensi yang bisa diberdayakan untuk turut andil sebagai modal sosial pembangunan kesehatan.<br />
<br />
Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan mengaku mencintai negeri ini, bila tak mau mengenal dan mengakui setiap adat budaya yang ada di Nusantara.<br />
<br />
Adat budaya Nusantara adalah kearifan lokal yang menjadi ciri sosial setiap suku di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal justru akan menambah panjang nafas pembangunan itu sendiri. Pembangunan kesehatan menjadi lebih berkesinambungan karena memperlakukan masyarakat tidak hanya sebagai obyek pembangunan, tetapi justru masyarakat adalah subyek pembangunan itu sendiri.</div>
<br />
Besar harapan <strong><em>Nusantara Ethnographic</em></strong> bisa menginfeksi setiap pembaca. Pembaca yang berkenan menyelesaikan buku ini sampai huruf terakhir, untuk lebih mencintai republik ini dengan segala adanya.<br />
<br />
Berminat menyelesaikan buku ini? Sila download <a href="https://goo.gl/2v59y3">disini</a>.agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-49796862652581081712017-01-31T08:20:00.000+07:002017-01-31T08:22:57.107+07:00e book 4 free; Baram, Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju<br />
<div class="_3x-2" style="-webkit-text-stroke-width: 0px; background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; font-style: normal; font-variant-caps: normal; font-variant-ligatures: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; orphans: 2; text-align: start; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px;">
<div data-ft="{"tn":"H"}">
<div class="mtm" style="margin-top: 10px;">
<a ajaxify="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206925690935440&set=a.10206925690895439.1073741880.1673080069&type=3&size=1397%2C2048&player_origin=profile" class="_4-eo _2t9n _50z9" data-ft="{"tn":"E"}" data-render-location="timeline" href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206925690935440&set=a.10206925690895439.1073741880.1673080069&type=3" rel="theater" style="box-shadow: rgba(0, 0, 0, 0.0470588) 0px 1px 1px; color: #365899; cursor: pointer; display: block; position: relative; text-decoration: none; width: 487px;"></a></div>
</div>
</div>
<br />
<div class="_5pbx userContent" data-ft="{"tn":"K"}" id="js_jks" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; font-style: normal; letter-spacing: normal; line-height: 1.38; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">
<div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_588fe58c7649b2804521691" style="display: inline;">
<div class="separator" style="background-color: white; clear: both; color: #1d2129; font-weight: normal; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz3CNKneSwlePFcAbQiwlnJnfKvRMl9Rk-X2lIEVooEHPxVDA7ZNz0QeXaLAxql7io9_ouVbLfveYvW9AnNSNiJqjS3M1uRhjdW1IvTWD0K9YhLvBXCruQ3JA5Dhj77LSYgohdzKDE0qU/s1600/Katingan.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz3CNKneSwlePFcAbQiwlnJnfKvRMl9Rk-X2lIEVooEHPxVDA7ZNz0QeXaLAxql7io9_ouVbLfveYvW9AnNSNiJqjS3M1uRhjdW1IvTWD0K9YhLvBXCruQ3JA5Dhj77LSYgohdzKDE0qU/s400/Katingan.JPG" width="272" /></a></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: block; font-weight: normal; margin: 0px 0px 6px;">
<br /></div>
<div style="display: block; margin: 0px 0px 6px;">
<b><span style="background-color: black; color: white;">Baram adalah minuman tradisional beralkohol masyarakat Dayak. Baram mempunyai peran penting pada ritual adat Suku Dayak Ngaju serta ritual Kaharingan. Baram menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-sehari masyarakat di Katingan. Mabuk dan adiksi yang diakibatkan baram menjadi hal yang dianggap biasa pada acara formal atau informal. Laki-laki, perempuan dan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, usia, agama, menjadi bagian dari acara pesta b<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">aram.</span></span></b></div>
<div style="display: block; margin: 0px 0px 6px;">
<span class="text_exposed_show" style="color: white; display: inline;"><b style="background-color: black;"><br /></b></span></div>
<div class="text_exposed_show" style="display: inline;">
<b><span style="background-color: black; color: white;"></span></b><br />
<div style="margin: 0px 0px 6px;">
<b><span style="background-color: black; color: white;">Minum dari gelas yang sama secara bergantian merupakan wujud kebersamaan, kegotong-royongan, serta kekerabatan yang erat. Mereka minum baram dalam kuantitas yang tinggi, tanpa rasa takut pada dampak negatif yang dapat diakibatkan pada tubuh mereka. Satu hal yang ditakutkan, yaitu pulih atau racun yang mematikan. Baram seperti pisau bermata dua, ia baik tetapi sekaligus jahat. Baram adalah paradoks yang menawarkan satu kontroversi sulit yang harus dipecahkan, apakah ia madu atau racun?</span></b></div>
<b><span style="background-color: black; color: white;">
<div style="margin: 0px 0px 6px;">
<br /></div>
<div style="margin: 6px 0px;">
sila unduh bebas pada tautan <a href="https://goo.gl/2QEhxo" rel="nofollow" style="cursor: pointer; text-decoration: none;" target="_blank">https://goo.gl/2QEhxo</a></div>
</span></b></div>
</div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-21878475272516436902016-11-02T08:10:00.000+07:002016-12-19T13:36:11.625+07:00Antara Manokwari, Sorong, Teminabuan dan Distrik Saifi<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Teminabuan, 24 Oktober 2016 </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan kali ini disponsori oleh Kementerian Kesehatan via Pusat Perencanaan dan Penggunaan Tenaga Kesehatan (Pusrengun). Saya ditugaskan untuk menjadi pendamping adik-adik yang tergabung sebagai tim Nusantara Sehat Batch 4 dengan penempatan Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Pada Batch 4 kali ini, Kabupaten Sorong Selatan mendapatkan dua tim, dengan penempatan selain Puskesmas Saifi, satu lagi di Puskesmas Seremuk. Total ada sekitar tujuh tim yang ditempatkan di Provinsi Papua Barat dengan penempatan di tiga kabupaten. Selain Sorong Selatan, dua kabupaten lain adalah Tambrauw dan Raja Ampat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tim Nusantara Sehat penempatan Puskesmas Saifi ini terdiri dari enam orang tenaga kesehatan dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Pendekatan <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">team work</span> memang menjadi ciri khas program Nusantara Sehat untuk menggantikan program PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang telah ada sebelumnya, dengan pendekatan per tenaga. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Menuju Kota Manokwari</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan kami harus dimulai dengan menyesuaikan dengan alur birokrasi setempat. Tujuan utama kami adalah Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan, tetapi kami harus menuju Kota Manokwari terlebih dahulu, meski untuk mencapai Kota Manokwari kami harus transit di Kota Sorong terlebih dahulu. Sebagai informasi, Kota Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat, dimana Dinas Kesehatan Provinsi berada. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_b" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/14690911_10206235986853269_9169368152509294967_n.jpg?oh=83db472abdbd8e10fdb7483d9da6632a&oe=58D14093" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 1. ‘Terlantar’ di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan udara untuk mencapai Kota Manokwari, selain perjalanan yang lama, serta <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">delay </span>empat jam yang melelahkan karena kondisi cuaca Bandara Rendani di Manokwari yang cukup ekstrem dengan hujan lebatnya. Sisanya, adalah kebersamaan yang cukup menyenangkan bersama tim yang berasal dari berbagai penjuru republik ini. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tawaran lanskap Manokwari dari kompleks perkantoran Gubernur yang menampilkan <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">view</span> laut cukup menghibur. Setidaknya memuaskan pandangan mata para pecinta fotografi lanskap. Gambar 2. <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">Lanscape view</span> dari Komplek Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat Sumber: Dokumentasi Peneliti </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_c" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/t31.0-8/14890507_10206235989973347_5055761824604388490_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 2. Lanscape view dari Komplek Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Di Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, tim kembali mendapat pembekalan materi-materi muatan lokal. Sebelumnya mereka sudah dibekali dengan berbagai program kesehatan di Pusdikkes TNI AD selama empat puluh hari. Program yang menjadi andalan dan khas Papua Barat adalah “Kebas Malaria” (Keluarga Bebas Malaria), yang dimotori oleh dr. Victor selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Menuju Kota Sorong</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Setelah proses pembekalan perjalanan dilanjutkan sesuai dengan tujuan akhir masing-masing tim. Enam tim melanjutkan dengan jalur udara ke Kota Sorong, sedang satu tim lain dengan jalur darat ke wilayah Kabupaten Tambrauw di Distrik Miyah, yang memang lebih dekat bila ditempuh dari Kota Manokwari. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Dari Kota Sorong, tim berpencar dengan jalur masing-masing. Tiga tim dengan penempatan Kabupaten Raja Ampat menggunakan jalur laut menuju Waisai, ibo kota Kabupaten Raja Ampat. Satu tim dengan jalur darat menuju Sausapor, ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw, sementara ibu kota aslinya sedang dalam pembangunan infrastruktur. Dua tim terakhir dengan tujuan Kabupaten Sorong Selatan juga menggunakan jalur darat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tak kalah dengan Manokwari, kawasan pantai Kota Sorong juga menawarkan <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">landscape view</span> yang menarik. Bila Manokwari menawarkan <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">view sunrise,</span> maka Kota Sorong menawarkan <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">view sunset</span>. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_d" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/t31.0-8/14859901_10206235995333481_3052582946168177287_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 3. Sunset dilihat dari Tembok Berlin, Kota Sorong; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Menuju Kota Teminabuan</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan menuju Teminabuan, ibukota Kabupaten Sorong Selatan, tidaklah menggambarkan imej ‘Papua’ yang terbelakang. Perjalanan 3-4 jam dengan jalan aspal dan beton yang terkelupas sana-sini relatif mudah digilas fortuner sewaan. Beriring-iringan empat Fortuner terasa gagah melaju di tengah-tengah hutan menuju Teminabuan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Di Kabupaten Sorong Selatan rombongan tim Nusantara Sehat diterima dengan baik oleh bapak Bupati. Kami berdiskusi banyak hal, setelah sebelumnya sempat ikut apel bersama seluruh PNS kabupaten. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_e" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/14725474_10206236035414483_6281424695130528457_n.jpg?oh=c73a30070e8eba47d3cdc912ddc5a3ce&oe=5890C47E" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 4. Apel Pagi bersama Bupati dan PNS Kabupaten Sorong Selatan; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Menuju Distrik Saifi</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Selesai urusan dengan kabupaten dan dinas kesehatan, saatnya kami mempersiapkan diri untuk menuju Distrik Saifi. Kami sewa mobil <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">double</span> gardan, karena Fortuner yang kami sewa sebelumnya tidak berani menempuh jalur seksi menuju Distrik Saifi. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_f" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/14656236_10206236038454559_2218427019233674769_n.jpg?oh=487cba26b3b444d6c3c6cfebc645d861&oe=5891A497" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 5. Dilepas Kadinkes untuk menuju Distrik Saifi; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan menuju Distrik Saifi aman-aman saja pada awalnya, jalanan bergelombang bukan hal istimewa di Tana Papua. Tapi tentu saja tidak berlangsung lama. Bila tidak, kenapa mobil sekelas Fortuner menolak jalur seksi ini? </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Jalur lumpur pertama, kedua, ketiga… dapat dilibas dengan mudah oleh Triton yang kami tumpangi. Daeng Idris terlihat lincah menguasi medan. Tentu saja dengan kondisi penumpang yang teraduk-aduk dengan jerit bersahutan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sampai tiba saatnya pada satu titik jalan berlumpur yang cukup panjang, mobil tak lagi mampu melawan. Sementara tak jauh di depan terlihat ambulance 4WD milik Puskesmas Saifi juga tertanam dengan sukses. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Banyak upaya ditempuh untuk mencoba mengeluarkan mobil dari lumpur. Mengganjal di depan ban mobil dengan batu, mendorong, menarik, semua tidak membuahkan hasil, roda berputar tanpa membuat mobil beranjak, sampai mengeluarkan bau asap ban yang terbakar. Upaya saling menarik antar mobil juga tidak bisa dilakukan, bagaimana tidak? Keduanya sama-sama tidak bergerak, tertanam dalam lumpur. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Drama mobil tertanam semakin tragis saat mendung datang dengan cepat. Tuhan, bila hujan turun, tidak saja kami basah kuyup di tengah-tengah antah berantah, tetapi mobil akan semakin tertanam. Segala rapalan doa terkembang. Ilmu pawang hujan terpaksa dikeluarkan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Setidaknya dua jam kami berusaha seperti dalam kesia-siaan, tapi minimal hujan tidak jadi turun, berganti dengan terik matahari yang menyengat, yang membekaskan luka bakar di sekujur wajah dan leher. Cindera mata dari Saifi. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_g" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/14708103_10206236041934646_6195050151434500384_n.jpg?oh=1c7803b73eec573d8301db5bfb66ba80&oe=5890B6BB" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 6. Tertanam di Jalur Lumpur Menuju Distrik Saifi; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Dua jam terlewat, muncul sebuah harapan, saat datang mobil lain menuju arah kami. Semangat kembali tergali, berusaha kembali. Sampai saat harapan kembali pupus. Mobil ke-tiga tertanam kembali bersama kami. Tapi setidaknya bertambah lagi teman perjalanan mengasyikkan ini. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Setengah jam berselang, dua mobil datang dari arah yang berbeda. Tidak mau mengulang pengalaman mobil sebelumnya yang turut tertanam, kedua mobil ini bertahan di tempat yang lebih kering, mencoba menarik dengan tali tambang yang lumayan panjang. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Setelah berkutat satu jam lebih, dengan saling tolong dan tarik, akhirnya lima mobil bisa keluar dari kubangan lumpur itu, meski tali tambang besar yang dipakai menarik itu pada akhirnya juga terputus. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Meski masih banyak jalur lumpur lain, sisa perjalanan menuju Distrik Saifi terasa lebih ringan, karena jalur lumpur tak lagi membuat kami takut, kami telah melewati bagian terdalam. Anak-anak tim Nusantara Sehat ini tetap bersemangat, selalu terlihat bersemangat. Sepanjang perjalanan mereka berfoto, selfi, bernyanyi-nyanyi membangkitkan semnagt, dan merekam seluruh kejadian ini dengan tertawa-tawa. Baju tak lagi sesuai warna asli, berganti motif polkadot lumpur. Rambut pun bersemu merah dengan titik-titik lumpur yang menjadi rata bersama keringat. </span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_h" src="https://scontent.fsub1-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/14650281_10206236044694715_6744619808419268588_n.jpg?oh=e54720ebb333db46d6f326a4751e851c&oe=58970C58" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 7. Mobil Triton yang berubah warna, dan Tim Nusantara Sehat yang Tetap Semangat; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sampai di rumah dinas calon tempat tinggal tim Nusantara Sehat semua sampai dengan selamat tanpa luka sedikitpun. Korban hanya berupa bemper depan terlepas, besi pelindung bagian belakang patah, dan pengait serta rantai pengikat ban serep yang putus. <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">Alhamdulillaah</span>. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Masalah Kesehatan di Sorong Selatan</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Secara umum Kabupaten Sorong Selatan menempati ranking 450 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Perankingan ini berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ke-dua yang dilakukan berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 yang dimotori Badan Litbangkes, dan data Survei Podes (Potensi Desa) dan Susenas (Survei Sosial ekonomi) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Apabila kita lakukan perankingan pada level Provinsi Papua Barat, maka Kabupaten Sorong Selatan berada pada ranking 10 dari 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua Barat. Ranking Kabupaten Sorong Selatan ini satu tingkat lebih tinggi dari ranking terbawah, Kabupaten Tambrauw yang menempati ranking 11 dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Indikator kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan secara keseluruhan menunjukkan kondisi yang kurang memuaskan. Kita ambil satu contoh tentang status gizi balita. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek (<span class="_4yxp" style="font-style: italic;">stuting</span>) mencapai angka 60,70%. Angka cakupan balita stunting di Kabupaten Sorong Selatan ini jauh lebih tinggi dibanding angka nasional yang berada pada angka 37,2%, serta angka Provinsi Papua Barat yang berada pada kisaran 44,7%. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Secara umum prevalensi balita stunting ini meningkat tipis dibanding enam tahun sebelumnya. Data Riskesdas 2007 Kabupaten Sorong Selatan memiliki cakupan balita <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">stunting </span>sebesar 60,58%. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tidak berbeda dengan prevalensi balita <span class="_4yxp" style="font-style: italic;">stunting</span>, balita dengan status gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan juga cenderung memiliki cakupan cukup tinggi, sebesar 47,63%. Prevalensi balita gizi buruk dan kurang ini jauh lebih tinggi dibanding angka cakupan nasional yang berada pada kisaran 19,6%, serta angka cakupan balita gizi buruk dan kurang di tingkat Provinsi Papua Barat yang mencapai angka 30,9%. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Cakupan balita gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2013 meningkat tajam dibanding dengan enam tahun sebelumnya. Hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 mencatat angka prevalensi sebesar 35,20%, artinya ada peningkatan kasus gizi buruk dan kurang sebesar 12,43% selama enam tahun. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_4yxo" style="font-weight: bold;">Potensi Kebangkitan Distrik Saifi</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Potensi Tana Papua untuk bangkit cukup besar, tak terkecuali di Distrik Saifi. Tanahnya cukup subur, sayuran dan tanaman pangan bisa ditanam dengan mudah. Sementara di sisi lain, kondisi geografis Distrik Saifi yang berbatasan dengan laut menawarkan potensi lain. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Bila kondisi Distrik Saifi diasumsikan sama dengan kondisi Sorong Selatan, maka agak mengherankan ketika prevalensi stunting demikian tinggi. Potensi Protein hewani dari laut sangat bagus. Kerang, lobster, cumi dan ikan laut tersedia demikian melimpah. Sudah seharusnya potensi ketersediaan lahan dan pangan ini bisa dijadikan modal bagi tim Nusantara Sehat untuk memulai kebangkitan status gizi balita di Distrik Saifi. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Potensi lain? Aparat setempat di level kampong dan distrik sangat bersahabat, mereka menyambut dengan antusias kedatangan tim Nusantara Sehat. Kader-kader kesehatan juga sangat ramah, mereka turut menyiapkan tempat tinggal bagi tim Nusantara Sehat yang akan menetap selama setidaknya dua tahun. Tentu saja bidang kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Perlu banyak kerja sama dan saling pengertian dengan bidang lain. Akses jalan yang buruk bukanlah tanggung jawab bidang kesehatan, meski pada akhirnya merupakan determinan utama akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Jangan bicara akses pelayanan kesehatan yang berkualitas, kalau akses jalan fisik belum bisa diselesaikan. @dl </span></div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-50548539554411984192016-08-23T04:40:00.000+07:002016-08-23T04:42:20.630+07:00Menilik Pelayanan Kesehatan di Tepi Pasifik; Catatan Perjalanan ke Halmahera Barat, Maluku Utara<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">oleh Agung Dwi Laksono</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Jailolo, Agustus 2016 </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Perjalanan kali ini saya bersama dua teman lainnya, ditugaskan untuk melakukan <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">assessment</span> wilayah penempatan tim Nusantara Sehat di salah satu wilayah Kabupaten Halmahera Barat, Puskesmas Talaga. Nusantara Sehat adalah salah satu program andalan Kementerian Kesehatan untuk mengisi atau memperkuat keberadaan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil dan sangat terpencil. Pada program ini pendekatan yang dipakai adalah <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">team based</span> (berbasis tim), yang menempatkan beberapa jenis tenaga kesehatan secara bersamaan sebagai sebuah tim untuk memperkuat Puskesmas pada wilayah tertentu. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_0" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/14066267_10205793917401809_2528181309381164069_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Peta Lokasi Kabupaten Halmahera Barat; Hasil Olahan Peneliti dari Berbagai Sumber</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Halmahera Barat merupakan salah satu kabupaten pemekaran Kabupaten Maluku Utara di wilayah Provinsi Maluku Utara, yang juga sebelumnya wilayah pemekaran dari Provinsi Maluku. Secara resmi Kabupaten Halmahera Barat berdiri mulai tanggal 25 Februari 2003. Dasar hukum pendiriannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Sula Kepulauan dan Kota Tidore Kepulauan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kabupaten seluas 2.755 km2 ini mulai dikenal secara luas oleh publik sejak mulai mengadakan even tahunan Festival Teluk Jailolo. Acara tahunan andalan Dinas Pariwisata ini biasa diselenggarakan pada bulan Mei setiap tahunnya. Festival ini menghadirkan tampilan ragam budaya dan juga kuliner khas wilayah Halmahera Barat. </span></div>
<h3 class="_2cuy _50a1 _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 26px; font-weight: normal; line-height: 30px; margin: 52px auto 28px; padding: 0px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;">Menuju Halmahera Barat</span> </span></h3>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Menuju Halmahera Barat bukanlah sebuah perjalanan yang berat seperti layaknya beberapa wilayah lain yang masuk kategori terpencil. Dari Kota Ternate sebagai ibukota provinsi, kita bisa langsung menggunakan <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">speed boat</span> kapasitas 40 orang langsung menuju Jailolo, ibukota Kabupaten Halmahera Barat. Jalur laut seharga Rp. 50.000,- memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan dari Pelabuhan Dufadufa di Ternate menuju Pelabuhan Jailolo. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_1" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/14114957_10205793925922022_6307210978418726204_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Pelabuhan DufaDufa, Ternate; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Menempuh perjalanan laut Ternate-Jailolo sangatlah menarik, sebanding dengan perjalanan saat saya menempuh perjalanan antara Ranai - Sedanau di Natuna, atau Wanci - Tomia di Wakatobi. Sebuah pengalaman perjalanan laut menawan yang dipenuhi dengan pemandangan lanskap birunya laut menyangga pulau-pulau yang berderet indah. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_2" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/14115563_10205793978523337_4696236638196679115_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Lanskap Pemandangan Laut Selama Perjalanan Menuju Jailolo; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;"><span class="_5yi_" style="font-style: italic;">Speed boat</span> yang langsung menuju Jailolo bukanlah satu-satunya jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Halmahera Barat. Jalur yang sama juga dilayani oleh kapal yang lebih besar. Hanya saja dibutuhkan waktu tempuh laut yang lebih lama untuk sampai ke Jailolo, sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Alternatif lainnya, dari Ternate kita bisa melalui Pelabuhan Sofifi di wilayah Kabupaten Tidore Kepulauan. Waktu yang diperlukan sedikit lebih pendek, karena menuju pada Pulau Halmahera bagian Selatan dengan <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">speed boat</span> seharga Rp. 50.000,- per orang. Hanya saja kita masih harus menempuh tambahan perjalanan darat selama 1,5 jam menuju Jailolo seharga Rp. 75.000,-. Meski membutuhkan <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">effort</span> lebih, jalur ini dinilai lebih aman saat laut sedang tidak tenang, karena jarak tempuh lautnya yang relatif pendek. </span></div>
<h3 class="_2cuy _50a1 _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 26px; font-weight: normal; line-height: 30px; margin: 52px auto 28px; padding: 0px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;">Puskesmas Talaga di Kecamatan Ibu Selatan</span> </span></h3>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Seperti rencana semula, kedatangan kami adalah untuk melakukan penilaian Puskesmas Talaga sebagai salah satu calon wilayah penempatan Tim Nusantara Sehat di wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Kami ditugaskan untuk menilai kelayakannya. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Dari Kota Jailolo kami ke arah Utara menuju wilayah Puskesmas Talaga. Perjalanan yang memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam dua puluh menit dengan menggunakan jenis mobil niaga. Jalanan yang ditempuh pun relatif aman, sekitar 80% jalanan beraspal yang masih cukup baik, dan sisanya jalanan beraspal yang sudah hancur, yang membuat perut serasa diaduk-aduk. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Puskesmas Talaga berada di wilayah Kecamatan Ibu Selatan. Menurut keterangan Dinas Kesehatan, ada dua Puskesmas yang melayani di wilayah Kecamatan Ibu Selatan, selain Puskesmas Talaga ada satu lagi Puskesmas Baru. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_3" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/13996128_10205793988843595_8879385920359453724_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Puskesmas Baru; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Puskesmas Baru merupakan pemekaran Puskesmas Talaga. <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Puskesmas Baru ini memang benar-benar Puskesmas baru pak. Baru beroperasional tahun 2015. Belum terregistrasi di Kementerian Kesehatan, masih kita lengkapi syarat-syaratnya…,”</span> kilah Sadik Umasangadji, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Kabid Yankes) Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat yang menemani perjalanan kami. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kecamatan Ibu Selatan terdiri dari 16 desa. Kedua Puskesmas tersebut berbagi wilayah kerja menjadi masing-masing delapan desa. Puskesmas Baru memegang desa-desa di bagian Selatan, sementara Puskesmas Talaga di bagian Utara. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Secara umum kondisi geografis Kecamatan Ibu Selatan cukup potensial, di sebelah Barat diapit laut lepas yang langsung terhubung dengan Samudera Pasifik, sementara di sebelah Timurnya berdiri dengan kokoh sebuah gunung, salah satu gunung berapi yang masih aktif di wilayah Halmahera. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kontur tanah di wilayah ini terbilang sangat subur. Tidak aneh bila mata pencaharian paling dominan di wilayah ini adalah petani kebun. <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Rata-rata masyarakat sini bertani tanaman tahunan pak. Ada kelapa, pala, coklat, cengkeh, dan beberapa yang menanam jati. Hanya sedikit saja yang menjadi nelayan,”</span> jelas James Mawea, Kepala Puskesmas Talaga yang seorang perawat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Meski potensi bahari perikanan laut kurang tergali di wilayah Ibu Selatan, tetapi potensi bahari lainnya sudah terekspose sejak puluhan tahun lalu, Pelabuhan Laut Bataka. Pelabuhan ini melayani kebutuhan masyarakat sekitar yang dipasok dari pelabuhan di Manado dan Bitung. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_4" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/14114860_10205793999883871_8108274304344134275_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Pelabuhan Laut Bataka di Wilayah Kecamatan Ibu Selatan; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Ada dua suku yang cukup dominan di wilayah Ibu Selatan, yaitu suku Wayoli dan Tabaru. Sementara suku-suku lain dari berbagai wilayah melengkapi keberagaman di wilayah ini. <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Masyarakat sini cukup terbuka pak, mau menerima orang lain dengan ramah. Saya rasa tidak akan ada hambatan…,”</span> jelas Kepala Puskesmas Talaga ketika kami menanyakan kemungkinan adanya hambatan budaya saat tim Nusantara Sehat ditempatkan di wilayah ini nantinya. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Dari delapan desa yang menjadi ampuan atau wilayah kerja Puskesmas Talaga, hanya dijumpai dua pemeluk agama saja, yaitu Nasrani dan Islam. Pemeluk agama Nasrani lebih dominan, lima dari delapan desa adalah pemeluk agama nasrani, sisanya baru pemeluk agama Islam. Kekhasannya adalah bahwa dalam satu desa seluruh pemeluk agamanya homogen, baik Nasrani maupun Islam. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Secara umum sulit dijumpai sinyal telepon seluler di wilayah ini. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi untuk mencari sinyal Telkomsel di beberapa tempat yang terkadang muncul sinyal. Kalau mau aman bisa bergeser ke kecamatan sebelah, barang setengah jam perjalanan, untuk mendapat sinyal Telkomsel yang lebih stabil, satu-satunya operator yang bisa menjangkau wilayah tersebut. Tidak berbeda dengan sinyal telepon seluler, aliran listrik pun juga merupakan barang mewah di wilayah ini. Lampu baru bisa menyala pada pukul 19.00 WIT sampai dengan pukul 06.00 WIT pagi, itupun bila tidak sedang ngadat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Puskesmas Talaga berdiri kokoh di depan sebuah lereng gunung yang membuatnya terlihat sebagai lanskap yang sangat eksotis. Dengan papan namanya yang mulai lapuk termakan usia, bendera merah putih berkibar dengan gagahnya di halaman depan Puskesmas. Di sekeliling Puskesmas hamparan rumput hijau tertata dengan sangat manis, menyejukkan setiap mata yang melihat. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_7b_5" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/14114878_10205794005564013_3300961240545805448_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Puskesmas Talaga di Kecamatan Ibu Selatan; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Pasien terlihat sepi, hanya beberapa petugas Puskesmas saja yang bergerombol di bangku depan Puskesmas. <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Setiap hari rata-rata pasien yang berkunjung ada 10 pak…,”</span> jelas James Mawea. Dengan sejumlah 8.880 peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas ini, saya jadi mengernyitkan kening mendengar jumlah masyarakat yang berkunjung. Semoga hanya karena masyarakat benar-benar sehat. Semoga. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Secara ketenagaan, ada delapan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdi di Puskesmas Talaga, ditambah dengan dua tenaga Pegawai Tidak Tetap (PTT) Pusat, dan satu PTT Daerah. Total 11 petugas, plus 10 orang tenaga sukarelawan yang magang di Puskesmas Talaga. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Tidak ada fasilitas rawat inap di Puskesmas Talaga. Meski demikian, empat bidan yang ada melayani ibu hamil yang hendak melahirkan (partus) di empat tempat tidur yang tersedia di ruang partus, yang terkadang juga memerlukan menginap, meski hanya satu malam. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Di salah satu sudut ruang partus saya menemui sebuah alat sterilisasi yang masih sangat bagus, yang bahkan plastik pembungkusnya sebagian besar masih menempel. Menurut keterangan Sadik Umasangadji, Kabid Yankes yang menyertai perjalanan kami, <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Itu alat drop-dropan dari pusat pak, datang beberapa waktu lalu… kan di sini tidak ada listrik yaa. Ada juga genset, tapi kan watt-nya tinggi kan… sekitar 1.500 watt, jadi ya genset tidak bisa. Listrik di sini pun (kalau malam), hanya 900 watt. Jadi yaa…”.</span> </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 971.275px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="clear: left; float: left; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; margin-top: 52px; text-align: center;">
<span style="background-color: black; color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" height="320" id="u_7b_6" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/q83/p720x720/14067750_10205794011084151_5893385064838464344_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" width="252" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="background-color: black; color: white;">Alat Sterilisasi yang Masih Terbungkus Plastik; Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
<span style="background-color: black; color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Saat mengecek keberadaan kamar mandi atau toilet, terlihat cukup bagus, sudah berporselen. Hanya saja tidak ada air sama sekali. Menurut keterangan petugas Puskesmas sumber air diambilkan dari sumur di rumah dinas, hanya saja memerlukan pompa air untuk mengalirkan ke Puskesmas. Sementara saat ini pompa air sedang rusak. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Satu-satunya tenaga dokter yang ada di Puskesmas Talaga adalah tenaga PTT Daerah. Itupun ternyata harus berbagi dengan Puskesmas Baru. Menurut keterangan Kepala Dinas Kabupaten Halmahera Barat hal tersebut memang terpaksa harus dilakukan, karena keterbatasan jumlah tenaga dokter. “Tidak ada dokter di Puskesmas Talaga pak. Kami hanya menempatkan dokter dari wilayah Puskesmas lain di sekitarnya untuk secara bergiliran melayani di Puskesmas Talaga. Jadi bergantian saja…,” jelas Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes. </span></div>
<h3 class="_2cuy _50a1 _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 26px; font-weight: normal; line-height: 30px; margin: 52px auto 28px; padding: 0px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;">Kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Halmahera Selatan</span> </span></h3>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Dalam sebuah diskusi dengan Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat di Jailolo, Sadik Umasangadji, Kabid Yankes menjelaskan bahwa, <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Dari 12 Puskesmas yang ada di wilayah Halmahera Barat kesemuanya bisa ditempuh melalui jalur darat, kecuali Puskesmas Kedi. Itu kalau ke sana harus jalur laut… ke wilayah-wilayah kerjanya juga semua jalur laut. Petugas kesehatan yang ditempatkan disana harus bisa berenang…”.</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Lebih lanjut Kepala Bidang Yankes yang akrab dipanggil “Om Deki” ini menjelaskan bahwa tidak bisanya Puskesmas Kedi ditempuh dengan jalur darat ini bukan berarti bahwa Puskesmas tersebut berada pada daratan atau pulau yang berbeda. Puskesmas Kedi masih berada di Pulau Halmahera, hanya saja tidak ada jalur transportasi darat yang menghubungkan wilayah tersebut dengan wilayah lain di Halmahera Barat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Pada kesempatan yang sama Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat, menjelaskan bahwa dari 12 Puskesmas yang ada kesemuanya masuk dalam kategori terpencil, kecuali Puskesmas Kedi yang masuk kategori sangat terpencil. Hal ini sesuai dengan Keputusan Bupati Halmahera Barat Nomor 133.A/KPTS/V/2016 tentang Penetapan Sarana Pelayanan Kesehatan yang Termasuk dalam Kriteria Terpencil dan Sangat Terpencil di Kabupaten Halmahera Barat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Menutup diskusi kami, Kepala Dinas menitipkan pesan permohonan pada Kementerian Kesehatan agar Kabupaten Halmahera Barat diberi tambahan lagi dua tim Nusantara Sehat untuk Puskesmas yang berbeda. <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">“Masih ada dua sampai tiga Puskesmas lagi yang sangat membutuhkan bantuan tenaga di wilayah Halmahera Barat ini, termasuk Puskesmas Kedi tadi. Saya sangat berharap ada bantuan lebih dari Kementerian Kesehatan…”</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Baiklah, mari tetap bersemangat. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menghadirkan negara dalam pelayanan kesehatan di setiap sudut republik ini. (adl)</span></div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-72305865120929894452016-07-21T03:07:00.000+07:002016-07-21T08:15:13.726+07:00MENIMBANG KEBIJAKAN NUSANTARA SEHAT<br />
<br />
<br />
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="color: #1d2129; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_c" src="https://z-1-scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13707521_10205587131912301_4762238656783630994_n.jpg?oh=a7aadd42a8add5b8117417bcfcd1ec0e&oe=58373F59" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="color: #90949c; font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
Sumber: web Nusantara Sehat. http://nusantarasehat.kemkes.go.id/</div>
</div>
<span style="color: #1d2129;">
</span><span style="background-color: black; color: white;">Surabaya, 21 Juli 2016</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kemarin, 20 Juli 2016, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menutup penerimaan peserta baru Nusantara Sehat periode ke-dua pada tahun 2016. Dibutuhkan tenaga kesehatan dari beragam profesi yang akan ditempatkan di 92 lokus Puskesmas di seluruh Indonesia. Penempatan Nusantara Sehat periode ke-dua ini menyusul 194 orang tenaga kesehatan yang telah ditempatkan pada periode pertama tahun 2016 bulan Juni lalu.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Tahun sebelumnya, tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah memberangkatkan setidaknya 694 orang tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sejumlah tersebut ditempatkan di 120 lokus Puskesmas pada 48 kabupaten/kota di 15 provinsi di seluruh Indonesia.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Pendekatan penempatan Nusantara Sehat yang berbasis tim (<span class="_5yi_" style="font-style: italic;">team based</span>) dirasakan cukup membuat tim ini mumpuni di lapangan. Ada sekitar lima sampai sembilan jenis tenaga kesehatan yang terlibat, yang diharapkan mampu menangani masalah kesehatan dalam tiga ranah, yaitu secara preventif, promotif dan kuratif.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="background-color: black; color: white; font-weight: bold;">ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH JOKOWI</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Dalam pemerintahan Jokowi, dengan visi nawa citanya selalu menggarisbawahi pembangunan yang ditekankan untuk dilakukan dari pinggiran. Pengarusutamaan pembangunan melalui wilayah pinggiran menuju ke wilayah tengah ini patut diapresiasi, tak terkecuali untuk bidang kesehatan. Pemerintah Jokowi ingin negara hadir pada setiap jengkal tanah di Indonesia, di pelosok atau di perbatasan sekalipun.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Bagaimana dengan Nusantara Sehat? Penempatan tenaga kesehatan berbasis tim ini ditempatkan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), dan juga wilayah Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Tentu saja kebijakan Nusantara Sehat dengan penempatan yang demikian sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, membangun dari pinggiran.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Disparitas atau kesenjangan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan memang hal yang benar-benar menjadi masalah di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan Laksono, dkk (2016) menemukan fakta bahwa kesenjangan itu terjadi pada hampir semua aspek. Kesenjangan aksesibilitas pelayanan kesehatan terjadi antara wilayah kabupaten dengan wilayah kota. Kesenjangan juga terjadi antara wilayah miskin dan non miskin.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kesenjangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ini setidaknya terjadi pada indikator <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">supply</span> (jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan rasio tenaga kesehatan), indikator <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">barrier</span> (waktu tempuh, biaya transportasi dan kepemilikan asuransi), serta indikator <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">demand</span> (cakupan pelayanan rawat jalan dan rawat inap).</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Satu-satunya sub indikator yang tidak ditemukan kesenjangan adalah indikator <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">supply</span> antara wilayah kategori miskin dan non miskin. Sementara antara wilayah kabupaten dan kota masih terdeteksi adanya kesenjangan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="background-color: black; color: white; font-weight: bold;">KEBIJAKAN PEMADAM KEBAKARAN</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Tidak ada yang salah dengan nawa cita kebijakan membangun dari pinggiran. Justru kebijakan ini sudah sangat ditunggu mereka yang sudah terlalu lama merasa dianaktirikan. Hanya saja kebijakan populis semacam Nusantara Sehat lebih terlihat sebagai kebijakan ‘pemadam kebakaran’. Hanya mengatasi masalah disparitas aksesibilitas pelayanan kesehatan di wilayah pinggiran dalam jangka pendek. Diperlukan kebijakan lain yang menjamin sistem pelayanan kesehatan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kebijakan semacam Nusantara Sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan selaku pemerintah pusat ini memang diyakini bisa meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Tetapi tetap perlu dipikirkan kebijakan lain yang berdampak jangka panjang. Perlu dipikirkan bagaimana sistem pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan cita-cita otonomi daerah, bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Kebijakan Nusantara Sehat tetap perlu diapresiasi, sebagai sebuah langkah tepat secara cepat untuk mengatasi adanya disparitas akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pemerintah pusat perlu memikirkan kembali kebijakan selanjutnya, agar apa yang telah dicapai oleh Nusantara Sehat bisa diteruskan, tidak hanya baik dan berhenti pada saat kebijakan Nusantara Sehat telah selesai.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="background-color: black; color: white; font-weight: bold;">APA YANG BISA DILAKUKAN?</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Cita-cita otonomi daerah adalah penguatan pemerintah daerah sebagai perwakilan pemerintah di setiap wilayah. Penguatan sistem pelayanan kesehatan di daerah bisa dilakukan dengan pemberdayaan tenaga kesehatan lokal yang ada di daerah.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Jokowi sebagai puncak <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">policy maker</span>memang tidak suka, dan anti dengan kata pemberdayaan. Solusi langkah ‘pemberdayaan’ terdengar sangat absurd di telinga Jokowi, untuk itu kita perlu membuat turunan kalimat menjadi kata-kata yang lebih operasional. Misalnya, pemerintah pusat perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah untuk dapat memfasilitasi putra daerah untuk menempuh jenjang pendidikan kesehatan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Selain itu, pemerintah pusat harus mampu ‘memaksa’ pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran lebih banyak lagi untuk bidang kesehatan hingga mencapai sepuluh persen. Angka sepuluh persen ini di luar anggaran gaji, sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 36 tentang Kesehatan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="background-color: black; color: white;">Selanjutnya, apabila banyak pemerintah daerah dirasa sudah berdaya, pemerintah pusat bertindak selaku penyeimbang. Pemerintah pusat bertindak dengan membantu wilayah-wilayah yang pemerintah daerahnya masih dirasakan lemah. (adl). </span></div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-6375602480418230482016-06-13T07:56:00.002+07:002016-06-13T07:58:09.313+07:00SANG PENGISI KEKOSONGAN DI MANGGARAI TIMUR<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Ruteng, Manggarai, 09 Juni 2016 </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Pada perjalanan kali ini kami berkesempatan untuk mendampingi ibu sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Ria Sukarno, SKM., MCN., untuk melakukan supervisi kegiatan lapangan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Kegiatan supervisi kali ini mengambil tempat di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_jsonp_3_0" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/13422339_10205350351232932_3904637029159431566_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: inherit; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Manggarai Timur. Sumber: id.wikipedia.org</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari 25 kabupaten lainnya yang menjadi sasaran Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Riset yang digawangi oleh Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan ini ditujukan untuk menggali potensi lokal, terutama yang berbasis budaya, untuk dipergunakan bagi sebaik-baiknya status kesehatan masyarakat setempat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari dua kabupaten pemekaran Kabupaten Manggarai. Kabupaten yang berada di antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada ini terlahir secara resmi berdasarkan <a href="http://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.djpk.depkeu.go.id%2Fregulation%2F27%2Ftahun%2F2013%2Fbulan%2F02%2Ftanggal%2F04%2Fid%2F873%2F&h=YAQFqapTz&s=1" rel="nofollow" style="cursor: pointer; font-family: inherit; text-decoration: none;" target="_blank">Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013</a> per tanggal 17 Juli 2007. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Secara umum untuk menuju salah satu kabupaten di Pulau Flores ini tidaklah sulit. Bila kita berasal dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka kita bisa menggunakan pesawat udara tujuan Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo. Yup, Bandar Udara Komodo! yang merupakan pintu gerbang utama untuk menuju salah satu destinasi binatang purba dunia, komodo. Naik pesawat udara menuju Labuan Bajo, serasa kita adalah turis asing yang sedang melancong, betapa tidak? Pesawat ATR Garuda Indonesia yang kami tumpangi, sekitar 80% penumpangnya adalah orang bule, sementara pribumi Indonesia hanya beberapa gelintir saja. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Selanjutnya dari Labuan Bajo kita bisa menggunakan jalur darat selama kurang lebih empat sampai lima jam menuju Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Sebuah perjalanan dengan jalan yang membikin neg, isi perut serasa mau keluar, jalan yang naik-turun, berkelok-kelok. Meski selama perjalanan tidak terlalu panjang ini kita akan disuguhi lanskap alam yang menyejukkan mata. Kebun cengkeh, kebun coklat, kebun kopi, kebun jeruk, sawah sarang laba-laba, Danau Ranamese, sungai, gunung, dan hutan, semua tampil bergantian memamerkan keindahan lanskap suburnya tanah daratan Pulau Flores. Kondisi ini berbanding terbalik dengan daratan Pulau Timor, salah satu pulau besar lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang kering dan gersang. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_jsonp_3_1" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13339477_10205350358033102_4744415143278848217_n.jpg?oh=bbff40e49f0eddd4734aba5e0baf3fe5&oe=57FE4114" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: inherit; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 2. Jalan Berkelok dan Naik-Turun (kiri); Sawah Sarang Laba-laba (tengah); Danau Ranamese (kanan). Sumber: Dokumentasi Penulis</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kali pertama kami menemui salah satu peneliti yang berada di Puskesmas Mano. Pada kesempatan ini kami berdiskusi cukup seru tentang tema yang diambil oleh peneliti etnografi yang ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur ini, tentang dukun patah tulang. Rupa-rupanya di wilayah ini kecelakaan lalu lintas cukup banyak terjadi. <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">Track</span> jalan yang berkelok yang naik-turun ternyata cukup banyak membawa korban. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kejadian patah tulang sebagai akibat kecelakaan lalu lintas ternyata juga masih ditambah dengan kejadian karena jatuh dari pohon. “Iyaa paak… itu mereka panjat pohon cengkeh… itu tinggii… tapi dahan-dahannya lapuk too…,” cerita Ochi, salah satu peneliti asli Maumere yang <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">live in</span> di wilayah Puskesmas Mano ini. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_jsonp_3_2" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13428636_10205350369113379_2302158979666377269_n.jpg?oh=7dc0e0b725a0a44b67a09220cbb4b435&oe=58029098" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: inherit; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 3. Diskusi dengan Peneliti REK, Dokter Puskesmas dan Kepala Puskesmas Mano. Sumber: Dokumentasi Penulis</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Meski kejadian yang menyebabkan banyak terjadinya patah tulang, tetapi tidak terlalu banyak catatan resmi di Puskesmas tentang kejadian ini. “Mereka kalau patah tulang memang jarang ke sini pak. Hanya beberapa saja, kebanyakan langsung ke dukun yang bisa menangani patah tulang,” kata Helen, dokter cantik asli Ruteng yang sudah bertugas di Puskesmas Mano selama kurang lebih dua tahun tersebut. Keterangan dokter Puskesmas Mano tersebut dibenarkan oleh Bidan Yustina selaku Kepala di Puskesmas Mano, “Benar pak kata bu dokter, meski mereka ke sini… biasanya hanya minta obat untuk penghilang nyeri saja. Kalaupun kami rujuk ke rumah sakit jarang yang tuntas pengobatannya. Kebanyakan pulang paksa, karena tidak punya uang to…”. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tidak tersedianya pelayanan kesehatan untuk menangani kejadian patah tulang di Puskesmas membuat dokter merujuk ke rumah sakit daerah di Ruteng (rumah sakit daerah milik Pemda Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur sendiri belum memiliki rumah sakit daerah). Meski menurut keterangan dokter Puskesmas Mano, di Rumah Sakit Daerah Ruteng pun tidak memiliki dokter spesialis orthopedi yang bisa menangani kejadian patah tulang ini. Jadi memang ada kekosongan pelayanan publik yang disediakan pemerintah untuk kejadian patah tulang di wilayah ini. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">“…untuk kalau patah tulang memang orang-orang pada berobat ke pak tua (pengobat tradisional)… itu om Fikus ituu…,” ulang Kepala Puskesmas Mano tentang bagaimana masyarakat di wilayah ini mendapatkan pertolongan untuk penyakit akibat kecelakaan ini. Di wilayah ini, menurut keterangan peneliti yang <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">live in</span>, hampir di setiap desa ada pengobat tradisional yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan patah tulang. Para pengobat inilah yang mengisi kekosongan pelayanan kesehatan pengobatan patah tulang yang belum tersedia. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_jsonp_3_3" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/p720x720/13432363_10205350379193631_4820018888332268570_n.jpg?oh=0ea82ff782a20adcaba0827541aefa12&oe=57C7B6F1" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: inherit; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 4. Proses Pengobatan di Dukun Patah Tulang. Sumber: Dokumentasi Peneliti (Zulfadhli)</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span></figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tidak ada tarif khusus untuk mendapatkan pelayanan dari para pengobat patah tulang ini, atau bahkan gratis sama sekali. “Saya tidak tarik sepeserpun bayaran. Saya ikhlas seratus persen…,” terang om Fikus, panggilan akrab pengobat tradisional di Desa Mano yang sempat kami temui. Lebih lanjut om Fikus mengatakan, “Orang datang minta tolong harus ditolong. Orang haus harus dikasih minum… orang lapar harus dikasih makan… orang datang minta tolong harus kita tolong. Itu kewajiban kita…”. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Cara pengobatan yang dilakukan oleh pengobat tradisional patah tulang ini terlihat cukup sederhana. Ada dua jenis tahapan yang biasa dilakukan, yang pertama adalah kunyahan <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">halia</span> (jahe), kopra (kelapa kering), daun <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">campa</span>, daun <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">tadak</span>, dan daun <span class="_5yi_" style="font-family: inherit; font-style: italic;">angos</span> yang disemburkan pada bagian yang patah. Selanjutnya ampas kunyahan tersebut dibalurkan ke bagian yang sakit dibebat dengan kain kasa atau kain biasa. Selain itu pasien juga diberi minum air putih yang sudah didoakan. “Itu saja ramuannya untuk patah tulang. Tapi macam bapak-ibu bisa kasih seperti bahan-bahan itu pada patah tulang, tapi tidak akan berhasil… karena ada doa yang tidak saya berikan…,” dalih om Fikus. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Meski pelayanan kesehatan untuk pengobatan patah tulang dirasakan minim di wilayah ini, tetapi tidak serta merta menutup upaya petugas kesehatan untuk tetap berusaha. “Kalau ada yang patah tulang terbuka, yaa kami rawat dulu sampai lukanya sembuh dulu… baru kalau sudah sembuh mau ke dukun patah tulang itu ya silahkan saja. Tapi kami tetap merujuknya ke rumah sakit…” </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Konfirmasi tentang keberadaan para pengobat tradisional patah tulang sempat kami lakukan pada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, dr. Philipus Mantur, yang menyatakan, “Masyarakat di sini memang begitu. Mereka memilih ke dukun patah tulang bila harus membayar sendiri… misalnya kalau jatuh dari pohon. Tapi mereka sebenarnya mau operasi bila ada yang membayar. Misalnya kecelakaan… trus yang menabrak mau membiayai untuk operasi… dioperasi di Bali atau Jakarta…”. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sementara berbicara tentang kosongnya pelayanan kesehatan di wilayah Manggarai Timur, Dinas Kesehatan setempat menyatakan bahwa sudah direncanakan untuk membangun sebuah rumah sakit daerah di wilayah Kecamatan Borong. Rencana pembangunan rumah sakit ini juga disertai dengan rencana pembangunan akses jalan dari tiga penjuru menuju arah rumah sakit. Menurut Bidang Pelayanan Kesehatan, pembangunan kemungkinan akan memakan waktu tiga tahun, karena minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah daerah untuk membangun dalam satu kali atau satu tahun anggaran. </span></div>
<br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; color: #1d2129; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_jsonp_3_4" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/13391655_10205350384633767_5145713863843750554_o.jpg" style="border: 0px; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="color: #90949c; font-family: inherit; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
Gambar 5. Berpose bersama Kadinkes dan Jajarannya sebelum Beranjak Pulang. Sumber: Dokumentasi Penulis</div>
</div>
</figure><br />
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; color: #1d2129; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-1861576568934856732016-05-16T07:13:00.004+07:002016-05-16T07:13:55.889+07:00Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Wamena, 04 Mei 2016</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecil yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah! Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah Papua lainnya.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus ditempuh memang cukup berat, semacam jalur <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">off-road</span> yang cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter. Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini. </span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_b" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13133339_10205142226709949_7818809611260709942_n.jpg?oh=46138aac86866edd75b0ba1302a162e3&oe=57D58706" style="border: 0px; cursor: pointer; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara; Sumber: antaranews</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam pemberitaan nasional dengan berita yang kurang mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;"><span style="color: white;">Pembangunan Kesehatan di Tolikara</span></span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan. Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan akselerasi pembangunan di wilayah ini.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; text-align: left; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_c" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13124855_10205142245230412_422834650597471852_n.jpg?oh=4343f85b2456710a979af123881b2655&oe=57D29996" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; text-align: center;" /></span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua dan Nasional; Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari 497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;"><span style="color: white;">Palang Duka</span></span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam, anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui. Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari berangkat!</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"> Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">double gardan</span> seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">via Bluetooth</span> dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhutkam.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"> <img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_d" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13166010_10205142249630522_6965544034716930472_n.jpg?oh=90a1e754b6e8a988bd59a8fb4676edee&oe=57D5FD95" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; text-align: center;" /></span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial di kantor Kabupaten yang sama. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang dipalang tersebut. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di wilayah ini.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; text-align: left; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_e" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/13087076_10205142870126034_3979701660417602356_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; text-align: center;" /></span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota sebelum Bertolak Kembali ke Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil menenteng busur beserta anak panah. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan dengan warga lokal yang sedang sensitif.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_f" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/l/t31.0-8/p720x720/13122941_10205142876126184_495234330030582454_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; text-align: center;" /></span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali ke Rumah Duka; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut. “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir, sopir Strada yang mengantar kami. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;"><span style="color: white;">Kembali ke Wamena</span></span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.</span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_g" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/13130896_10205142705961930_291097971932936325_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="font-weight: bold;"><span style="color: white;">Tentang Penduduk Lokal</span></span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.</span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_h" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/13173426_10205142735682673_3976669660623888844_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: Georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; text-align: left; width: 520px;">
<span style="color: white;">Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"> Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">hipere </span>(ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti <span class="_5yi_" style="font-style: italic;">ipere</span>),<span class="_5yi_" style="font-style: italic;"> petatas</span> (<span class="_5yi_" style="font-style: italic;">Ipomoea Batatas L.,</span> sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: Georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"> </span></div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-18988067662772865882016-05-16T07:07:00.002+07:002016-05-16T07:10:43.945+07:00Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Toboali, 08 April 2016.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan kali ini saya bersama dua rekan lain, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi Antropolog, menuju ke Toboali, ibukota Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten yang menjuluki dirinya dengan sebutan “Negeri Junjung Besaoh”. Junjung Besaoh sejatinya adalah semboyan masyarakat Bangka Selatan, yang artinya merupakan cerminan kuatnya ikatan kekeluargaan dan persaudaraan masyarakat Bangka Selatan.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Perjalanan mencapai Kota Toboali relatif mulus, sangat mulus. Jalanan aspal hotmix secara keseluruhan yang memakan waktu 2,5-3 jam dari Pangkal Pinang sebagai ibukota Provinsi Bangka Belitung, meski pada beberapa titik harus sedikit berhati-hati karena beberapa jembatan terputus sebagai akibat hujan lebat yang tak juga bosan menerpa wilayah ini meski bulan sudah menunjuk awal April.</span></div>
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_b" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/12983465_10205007531462652_8201672135836875787_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; white-space: pre-wrap;" /></span><br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;">Peta Posisi Kabupaten Bangka Selatan</span></div>
</div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Ada dua insiden yang sedikit menodai mulusnya perjalanan kami. Belum setengah jam meninggalkan Kota Pangkal Pinang, saat Avanza yang kami tumpangi hampir menyerempet sebuah truk besar bermuatan ubi kayu. Kami berhasil lolos, tetapi truk besar itu banting setir ke kiri untuk menghindari setidaknya dua motor. Truk terguling karena dua ban sebelah kiri terperosok dalam got. Dua motor terlihat tergeletak di tengah jalan dan satu lagi masuk ke dalam got. Dua orang pemotor saya lihat langsung bisa berdiri. Spontan saya ikut membantu menarik motor yang terperosok di got. Terdengar jerit tangis dari salah satu pemotor yang menarik-narik rekannya sambil menjerit-jerit, teman yang ditarik tetap saja terdiam tak bergerak, dengan tubuh bagian atas yang separuh utuh. Saya lunglai, limbung. Duh Gusti…</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Jalanan yang terlalu mulus memang membuat sesiapa saja merasa bisa menjadi seorang pembalap. Terbukti setengah jam kemudian dari saat kejadian pertama, terlihat kerumunan orang dengan beberapa mobil yang berhenti. Terlihat mobil polisi dan sebuah mobil derek, yang berusaha menarik sebuah Kijang LGX yang nyungsep ke selokan sebelah kiri jalan. Gusti… semoga semua penumpangnya selamat.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="color: white; font-weight: bold;">Kolong di Kolong Langit Bangka</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Provinsi Bangka Belitung, setelah sebelumnya selalu berkutat di bagian Timur Indonesia, kali ini saya ingin menjelajah di bagian Barat Indonesia. Kesan pertama menempuh perjalanan di wilayah ini adalah banyaknya lubang besar seperti danau-danau kecil, yang menganga berisi air keruh, meski ada beberapa yang airnya terlihat biru, yang di sekelilingnya terlihat tumpukan tanah putih kekuningan.</span></div>
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_c" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/12968186_10205007534942739_5069119365813119989_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; white-space: pre-wrap;" /></span><br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;">Pemandangan Kolong (Bekas Galian Tambang Timah) dari Atas Langit</span></div>
</div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">“Itu namanya kolong pak,” sebut salah seorang warga. Kolong adalah merupakan bekas galian tambang timah yang ditinggalkan oleh para petambang, setelah timah yang dicari mulai jarang ditemukan, habis. Ratusan kolong seperti ini memenuhi hampir di seluruh wilayah di Pulau Bangka, yang menurut Ferdi, sopir asli Suku Melayu Toboali yang menjemput kami, juga terjadi di beberapa pulau kecil lain di sekitar Pulau Bangka. Kerusakan alam yang sangat massif.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">“Masih bisa ditanami pak… itu di samping-sampingnya… kelapa sawit, karet, …tapi kalau ditanami lada tidak bisa,” lanjut Ferdi saat saya bertanya tentang pemanfaatan tanah-tanah di sekitar kolong ini. Pemanfaatan lainnya?</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">“Yaa… kolong itu dibiarkan saja pak. Tidak bisa dimanfaatkan untuk apapun, kita tidak tau juga mau dimanfaatkan untuk apa. Mau ditanami ikan tidak cocok pak, selain terlalu dalam (puluhan meter), juga pH-nya tidak cocok… terlalu asam. Jadi ya kita biarkan saja seperti itu…” (Al, Dinkes Bangka Selatan)</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sampai dengan saat ini saya dan tim masih berpikir dengan sangat keras, bagaimana bisa memanfaatkan kolong yang demikian massif ada di Pulau Bangka ini? Bagaimana bila dimanfaatkan untuk WC umum? Waaahh… tentu akan puluhan tahun baru bisa penuh. Eh tapi… bagaimana bila terperosok saat nongkrong di atas WC itu? Waah… bisa berabe dengan kedalaman puluhan meter seperti itu.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;"><span class="_5yi-" style="font-weight: bold;">Pembangunan Kesehatan Masyarakat</span> </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Pemilihan Bangka Selatan sebagai salah satu wilayah Riset Etnografi Kesehatan tahun 2016 sesungguhnya dimulai dengan peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten Bangka Selatan yang berada pada ranking 7 dari 7 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bangka Belitung. Sedang secara nasional berada pada peringkat 376 dari 497 kabupaten/kota yang disurvey pada tahun 2013.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Beberapa indikator pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah ini memang menunjukkan capaian yang rendah. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 indikator kesehatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan lingkungan dan perilaku kesehatan tercatat kurang begitu menggembirakan. Cakupan akses dan air bersih di masyarakat hanya mencapai 9,38% dari keseluruhan masyarakat di Bangka Selatan. Cakupan perilaku sikat gigi juga menunjukkan angka yang cukup rendah, hanya 1,14% masyarakat saja yang melakukannya dengan benar. </span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sedang untuk perilaku buang air besar dengan benar, di Kabupaten Bangka Selatan hanya mencapai angka 76,88%. Angka ini masih di bawah rata-rata Provinsi Bangka Belitung yang berada pada kisaran 87,04%, dan juga rata-rata di Indonesia yang mencapai angka 82,59%. Pengertian perilaku buang air besar dengan benar adalah buang air besar pada WC dengan kloset berbentuk leher angsa, dan dengan pembuangan akhir pada tangki septictank. Rendahnya capaian perilaku buang air besar inilah yang membuat saya kepikiran untuk memanfaatkan kolong bekas galian timah sebagai septictank raksasa. Hehehe…</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span class="_5yi-" style="color: white; font-weight: bold;">Potensi Ekonomi Bahari</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Pasca meredupnya pertambangan timah, Kabupaten Bangka Selatan mulai menata diri pada sektor pertanian dan perkebunan. Pemerintah Kabupaten dalam lima tahun terakhir berusaha untuk dapat berswasembada beras, selain juga mengupayakan pemanfaatan lahan perkebunan untuk lada, karet dan kelapa sawit.</span></div>
<div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Sesungguhnya potensi ekonomi wilayah Bangka Selatan cukup besar, terutama di bidang wisata bahari. Apalagi setelah booming novel dan film “Laskar Pelangi” yang menimpa wilayah tetangganya, Belitoong. Sebagai wilayah kepulauan, potensi pantai yang khas dengan batu-batu raksasa dan pasirnya yang putih halus sungguh sangat mengundang wisatawan untuk betah berlama-lama menikmati terbit atau tenggelamnya matahari di wilayah ini. </span></div>
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_d" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/12957438_10205007544702983_4656744769347180664_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; max-height: 700px; max-width: 700px; white-space: pre-wrap;" /></span><br />
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;">Landscape view Pantai Batu Kodok yang Didominasi Batu-Batu Raksasa</span></div>
</div>
</div>
</figure><figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_e" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/12973565_10205007546103018_3330012135980136897_o.jpg" style="border: 0px; cursor: pointer; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span></div>
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<div style="text-align: left;">
<span style="color: white;">Sunset di Pantai Batu Kodok, Toboali</span></div>
</div>
</div>
</figure><div class="_2cuy _3dgx _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 700px; word-wrap: break-word;">
<span style="color: white;">Potensi bahari lain yang belum terjamah adalah potensi bawah lautnya, taman laut dengan terumbu karang yang cantik. Potensi ini tersimpan di bagian Timur Bangka Selatan, yaitu di sekitar wilayah Pulau Pongok dan Lepar yang merupakan wilayah Kecamatan Tanjung Labu. Bila potensi ini bisa betul-betul dimanfaatkan, saya percaya kebangkitan Bangka Selatan hanya tinggal menunggu waktu saja. Semoga. (@dl). </span></div>
<figure class="_2cuy _4nuy _2vxa" style="box-sizing: border-box; direction: ltr; font-family: georgia, serif; font-size: 17px; line-height: 28px; margin: 0px auto 28px; white-space: pre-wrap; width: 979px; word-wrap: break-word;"><div class="_h2x _h2y" style="font-family: helvetica, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 20px; margin: 52px auto; text-align: center;">
<span style="color: white;"><img alt="" class="_h2z _297z _usd img" id="u_0_f" src="https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/13001263_10205007593504203_938898890836234813_n.jpg?oh=a8b11a070a74d552b24a2c3655a3fd09&oe=57A445DE" style="border: 0px; cursor: pointer; max-height: 700px; max-width: 700px;" /></span><br />
<div class="_h2w _50f8 _50f4" style="font-family: georgia, serif; line-height: 18px; margin: 0px auto; padding-top: 16px; width: 520px;">
<span style="color: white;">Pemandangan Bawah Laut di Pulau Lepar; Sumber: Tim Terumbu Karang UBB</span></div>
</div>
<span style="color: white;">
</span><span style="color: #1d2129;">
</span></figure>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-42025105823662190982015-09-09T07:54:00.000+07:002015-09-09T07:54:41.052+07:00e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM<div>
<h2 class="_5clb">
e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM</h2>
</div>
<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<br />
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11218159_10203924719233023_3841191637888753964_n.jpg?oh=4a6c715c7164b24acf650353257499b9&oe=565FE265" title="" /></span><br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Penulis</span></u><br />
Agung Dwi Laksono<br />
Mara Ipa<br />
Ina Kusrini<br />
Arief Sudrajat<br />
<br />
Penerbit PT Kanisius Yogyakarta<br />
<br />
© 2015 - PT Kanisius<br />
306 halaman<br />
<br />
<br />
Apa
yang telah dicapai oleh Kabupaten Lombok Barat ini cukup luar biasa.
Berdasarkan hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 cakupan "persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan" hanya mencapai 76,45%. Survei yang
sama dilakukan pada tahun 2013, dan mencatat adanya lonjakan cakupan
drastis, yang mencapai angka 90,09%. Meski dengan indikator yang
sesungguhnya jauh lebih sulit, "persalinan oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan".<br />
<br />
Apa yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan di Lombok Barat?<br />
Upaya apa yang mempunyai daya ungkit demikian besar?<br />
Buku "Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat" mencatat dengan rapi setiap detail upaya tersebut.<br />
<br />
<br />
Menginginkan softfile buku ini? tuliskan alamat email pada kolom komentar.</div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-76114895102749493142015-08-21T17:48:00.001+07:002015-08-21T17:48:17.672+07:00e book 4 free: Jelajah Nusantara #2<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpf1/v/t1.0-9/s720x720/11896123_10203820524468219_4550373079750594623_n.jpg?oh=b48c2c30957bb22505fada5218a7afbd&oe=56365EEA&__gda__=1450658044_b96739b1317a11559b8d18c605cd0d18" title="" /></span><br />
<br />
Buku
‘Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan’ ini
merupakan edisi ke-dua sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan
perjalanan yang sama pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang
membedakan adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas
orang peneliti.<br />
<br />
Buku ini lebih merupakan catatan yang
dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai
seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas
pokok yang harus diemban.<br />
<br />
Rasa keprihatinan, trenyuh,
empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih
lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di
setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat
kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap
permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri di
wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang
jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di Republik
ini.<br />
<br />
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas
kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa
terdengar di telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar,
dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri.<span> </span><br />
<br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Penulis</span></u><br />
Agung
Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani, Ummu Nafisah, Nor
Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah, Izzah Dienillah Saragih,
Harus Alrasyid, Lafi Munira, Siti Khodijah Parinduri<br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Editor</span></u><br />
Prof. Lestari Handayani, Tri Juni Angkasawati<br />
<br />
228 halaman<br />
<br />
©2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat<br />
<br />
<br />
<u><span class="fbUnderline"><strong>Daftar ISI</strong></span></u><br />
<br />
<br />
<strong>1. Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara</strong><br />
<strong> </strong>Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong>2. Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke</strong><br />
<strong> </strong>Elia Nur Ayunin<br />
<br />
<strong>3. Kesikut Talaud </strong><br />
<strong> </strong>Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong>4. Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas</strong><br />
<strong> </strong>Ade Aryanti Fahriani<br />
<br />
<strong>5. Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan</strong><br />
<strong> </strong>Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong>6. Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau Raijua</strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong>7. Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian Ganda</strong><br />
<strong> </strong>Ummu Nafisah<strong> </strong><br />
<br />
<strong>8. Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu</strong><br />
<strong> </strong>Nor Efendi<br />
<br />
<strong>9. Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin</strong><br />
<strong> </strong>Agung Dwi Laksono<strong> </strong><br />
<br />
<strong>10. Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito</strong><br />
<strong> </strong>Astutik Supraptini<br />
<br />
<strong>11. Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan Perjalanan Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan</strong><br />
Sutamin Hamzah<br />
<br />
<strong>12. Cerita dari Pulau Sapudi </strong><br />
Izzah Dienillah Saragih<strong> </strong><br />
<br />
<strong>13. Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana</strong><br />
<strong> </strong>Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong>14. Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik Daerah konflik</strong><br />
Harun Alrasyid<br />
<br />
<strong>15. Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur</strong><br />
<strong> </strong>Lafi Munira<strong> </strong><br />
<br />
<strong>16. Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara</strong><br />
Siti Khodijah Parinduri<br />
<br />
<br />
<br />
menginginkan softcopy buku ini? balas atau tuliskan alamat e mail di kolom komentar.agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-59648036182274038392015-06-01T10:52:00.000+07:002015-06-01T11:22:25.826+07:00Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Timor Tengah Selatan<span style="font-size: large;"><span class="timelineUnitContainer"></span></span><br />
<div>
<span style="font-size: large;">Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015<br /><br />Timor
Tengah Selatan, demikian nama salah satu kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang kali ini menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan
kami. Kami berempat berangkat dari Surabaya. Saya sendiri, kang Pranata
(seorang anthropolog), dan dua rekan dari tim videografi (seorang
sutradara dan seorang lagi kameramen). Bukanlah perjalanan yang
terlampau sulit perjalanan supervisi dan pengambilan gambar visual audio
Riset Ethnografi Kesehatan kali ini yang harus kami lalui. Tentu saja
bila hal ini merujuk pada perjalanan-perjalanan di daerah perifer yang
harus saya lalui sebelumnya.<br /><br />Kabupaten Timor Tengah Selatan
terletak satu daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini,
Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya
dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum mencapai tanah Timor Leste. Pada
bagian Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Timor Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan
Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan
secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur" class="photo_img img" src="https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/s720x720/10646749_10203384574849751_3653053054698295972_n.jpg?oh=947ad8135c8e53e98eae6e0439f53749&oe=56010B64" title="Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur" /><span class="caption">Gambar 1. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur</span></span><br /><br />Menurut
Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014, kabupaten yang
beribukota di SoE ini mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2,
dengan tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013. Jumlah
seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai 451.922 jiwa dengan rumah
tangga sejumlah 112.446 rumah tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Timor Tengah Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah tangga terdiri
dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu rumah tangga terdiri dari
rata-rata empat anggota keluarga, dan beberapa rumah tangga saja yang
berisi lima anggota keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan
bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten yang
berhasil dalam program Keluarga Berencana-nya, atau jangan-jangan…?
Ahh… biarkan saja menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan
refleksi.<br /><br /><br /><b>Lingkaran Setan</b><br /><br />Derajat kesehatan
yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, serta kemiskinan, merupakan
tiga kondisi yang bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan.
Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan dalam satu
kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang lainnya. Hal inilah yang
sepertinya tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan.<br /><br />Menurut
hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
tahun 2013 yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah
Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Sedang pada IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor Tengah Selatan
berada pada posisi ranking 399 dari 440 kabupaten/kota yang ada pada
saat itu. Menilik posisi peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada
IPKM tahun 2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pembangunan kesehatan
yang telah dilakukan.<br /><br /> Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan
bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten
Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki ijazah sama sekali, artinya
angka tersebut merupakan gabungan antara yang tidak bersekolah sama
sekali dan yang tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang
sama menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10 tahun yang
memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91% penduduk saja yang tercatat
memiliki ijazah di atas SLTA.<br /><br />Berdasarkan catatan BPS Kabupaten
Timor Tengah Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka
Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di
kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun, antara
tahun 2006-2011. Tetapi antara tahun 2011-2012 kembali terjadi
peningkatan tipis persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi
27,53% (lihat Gambar 2). Dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan
pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs approach). Dengan pendekatan ini, BPS memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.</span></div>
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><img alt="Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11295719_10203384576289787_6721192578353410537_n.jpg?oh=694c24cb602408c266144a06f8a35485&oe=56003D31&__gda__=1442913328_3c7c1f0583518376c8dc20222d51f92a" title="Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014" /><span class="caption">Gambar 2. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Tren Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012 </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014</span></span><br /><br /><br /><b>Status Gizi Balita</b><br /><br />Bila
kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan
pada tahun 2013 maka kita akan mendapati kenyataan yang sungguh
memprihatinkan. Hampir separuh balita (46,48%), merupakan balita dengan
status gizi buruk dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan rentangnya semakin
jauh lagi bila dibandingkan dengan angka nasional yang hanya berkisar
19,63%. <br /><br />Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan lagi
bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur. Lebih dari 70%
balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan balita stunting atau
pendek. Dan lagi-lagi angka ini jauh di atas prevalensi provinsi maupun
nasional.<br /><br />Meski demikian, cakupan angka penimbangan balita di
Kabupaten Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka
provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian masyarakat terhadap
anak-anak sudah cukup baik, hanya saja kemiskinan yang bisa menjadi
salah satu kendala yang cukup serius untuk faktor pertumbuhan balita.<br /><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfa1/v/t1.0-9/s720x720/11391639_10203384578489842_8488263993531597355_n.jpg?oh=91052ce942e05793c300492a6ee30723&oe=55FFD24D&__gda__=1442408723_6a01c2781be414fcfd2cdb931bf5c75b" title="" /></span><br /><br /><br /><b>Perjalanan Menuju Desa</b><br /><br />Perjalanan
kami kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam saja dari ibu
kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota
Kabupaten Timor Tengah Selatan di SoE. Meski kami masih harus menambah
lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa Nenas-Kecamatan
Fatumnasi, desa tempat tinggal dua ethnografer kami yang sedang grounded
di sana. Enam jam tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah
memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak, longsor dan
berbatu.<br /><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpt1/v/t1.0-9/q83/s720x720/11109215_10203384582249936_1677955035189601459_n.jpg?oh=f3d686150e500b260982a5632e93a951&oe=55ECB826&__gda__=1442619195_8ba217ad8366ec7e2bd9e99cd18a9da8" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xta1/v/t1.0-9/q83/s720x720/11391243_10203384583249961_6728572175151920_n.jpg?oh=ea37b4a18a05041efcd45534773315c1&oe=560015EA&__gda__=1442209238_7f9f4b7421233616b93b27f0a9d3bc0d" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/q85/s720x720/10583839_10203384585570019_6818678364324510679_n.jpg?oh=dc307ae975e3d7e362cf8db954b4cb65&oe=55C02CB7" title="Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 3. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Jalanan Menuju Desa Nenas </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Pada akhirnya
pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan menuju Desa Nenas seakan
terbayarkan dengan pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis
di lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami tak pernah
berhenti berdecak mengucap syukur diberi kesempatan melihat pemandangan
seindah ini. <br /><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xta1/v/t1.0-9/s720x720/11330027_10203384591730173_732199463374572524_n.jpg?oh=4a8304974d765ebcab6e94275594a137&oe=55F02540&__gda__=1438661439_0565d7167ab30f25afabfcd677bb3c11" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11231912_10203384592770199_7993091331917553795_n.jpg?oh=6a2ebcd9950a901180b83d45f09be46b&oe=55F93003&__gda__=1441447864_1397433fdaa2ce24c80e9915f2d1fad0" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xaf1/v/t1.0-9/s720x720/11390362_10203384594050231_4519905358500360355_n.jpg?oh=3fde6c9ace574c8ecaf43d19401d330c&oe=560227F1&__gda__=1442647556_aa10daaec3fc2a5a6eaa076f1f58e187" title="Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 4. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><br /><b>Desa Nenas di Kecamatan Fatumnasi</b>Desa
Nenas merupakan salah satu desa yang terletak di lereng Gung Mutis.
Topografinya berupa lereng-lereng dengan variasi ketinggian yang
beragam, naik-turun perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng
gunung dan di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin
dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah berhenti untuk
membuat badan menggigil sepanjang hari. Tubuh letih kami benar-benar tak
kuat menahan gempuran seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir
tumbang pada akhir perjalanan.<br /><br />Mutis, demikian nama gunung itu,
yang dalam bahasa Dawam artinya “lengkap”. Menurut kepercayaan orang
Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal orang Timor secara
keseluruhan, mereka secara lengkap hadir di dunia melalui Gunung Mutis.
Oleh karena itu masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan
orang luar, karena mereka menganggap demikianlah memang seharusnya
mereka bersikap untuk menyikapi “lengkap”nya Mutis.<br /><br />Desa Nenas
dalam pandangan kami merupakan salah satu desa yang sangat jauh
tertinggal dibandingkan dengan desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih
merupakan desa auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri
menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih menjadi anggota
dewan, meski tetap saja nasib Desa Nenas tak juga beranjak naik.<br /><br />Masyarakat
di Desa Nenas termasuk dalam sub suku Molo, yang merupakan salah satu
bagian dari suku Timor. Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang
Molo. Dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam sebagai
salah satu media komunikasi antar orang Molo. Nenas sendiri dalam bahasa
Dawam diartikan sebagai “terkenal”.<br /><br />Orang Molo di Desa Nenas
kebanyakan sudah tinggal di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang
dibangun untuk menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo.
Meski pada saat malam mereka lebih sering berada di rumah bulat karena
kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari gempuran hawa dingin di
luar.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang
Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11168765_10203384598290337_6350581232228323714_n.jpg?oh=dceee6b55387832b2deb030ea0baf05d&oe=5606F895&__gda__=1442613550_a7eabd685fb519ce2e8224bee28917f9" title="Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang
Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 5. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang
Rumah Bulat </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Kami sendiri tinggal
di rumah sehat bersama keluarga bapak Anderias Tambelab (58 tahun),
sekretaris Desa Nenas. Meski yang kami diami adalah rumah salah seorang
pejabat desa, jangan pernah membayangkan kemewahan yaan akan kami
terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk lainnya. Kami tidur
hanya beralaskan karpet plastik tipis di atas plesteran semen.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xta1/v/t1.0-9/s720x720/11391399_10203384602210435_6012265554775684933_n.jpg?oh=5ddcaa26165cda25f19e42067340754f&oe=55FB34A1&__gda__=1442191280_bb6ce69f69855e7512e627eb982bc9d4" title="Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 6. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Hampir mirip dengan
desa-desa lain di pelosok republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan
sangat lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai
petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan berdagang kelontong
kecil-kecilan. Ada juga seorang pendatang dari Madura yang berprofesi
menjadi tukang kayu. <br /><br />Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini
merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan sedikit saja
jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya kendaraan-kendaraan tertentu saja
yang bisa menempuh jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang
sudah mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban-nya yang menjadi
lebih bergigi.<br /><br />Dalam observasi memang terlihat balita-balita di
Desa Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana penampakan
orang-orang dewasa di desa ini yang juga cenderung pendek. Meski
lagi-lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini dengan data riil,
karena pencatatan di Posyandu sama sekali tidak mencantumkan angka
tinggi badan, dan tanggal kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong
melompong.<br /><br />Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi bubur
nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang makannya bubur nasi pak.
Iya nasi saja… tanpa tambahan apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan
belum ada beras… ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas
pak Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang mantri tani
yang tinggal di Desa Nenas.<br /><br />Hampir tidak ada variasi makanan lain
yang menjadi asupan balita di desa ini, kecuali ASI yang dalam
pengakuan masyarakat diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih,
kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”, kedahuluan adiknya
lahir, dan juga beberpa balita lain yang disebabkan ibunya sakit atau
tidak keluar air susunya. <br /><br />Ada fenomena menarik yang ditunjukkan
balita Darfa Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa
mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot. Dua kali sehari,
secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua sekretaris desa tersebut meminta
dibuatkan minuman kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si
Darfa, cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab menyeruput
kopi lewat botol dotnya.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 7.
Darfa Tambelab dan Ayahnya
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfa1/v/t1.0-9/s720x720/11392966_10203384612930703_1598358072768026244_n.jpg?oh=825fa818829d3b579525af46b9d858c0&oe=55F02DF7&__gda__=1442851753_9692cc2d8c7773f92c067a29ca7fcb92" title="Gambar 7.
Darfa Tambelab dan Ayahnya
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption"> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Gambar 7. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Darfa Tambelab dan Ayahnya </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><br /><b>Ketersediaan Pelayanan Kesehatan</b><br /><br />Desa
Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja Puskesmas Fatumnasi yang
terletak di Desa Fatumnasi. Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga
sejumlah 18 orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT. Ada
lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi, yaitu Nenas,
Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis. <br /><br />Pada masing-masing desa
‘ada’ fasilitas pelayanan kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes
yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes yang jadwal
bukanya seminggu sekali menunggu bidan penanggung jawab wilayah datang
dari Puskesmas. Kondisi ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang
pelayannya ada empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan
dari Puskesmas Fatumnasi. Sedang di Desa Nenas sendiri sudah ada
Puskesmas Pembantu (Pustu) permanen yang dijaga oleh seorang perawat.
Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan adanya
keperluan-keperluan lain membuat kondisinya seperti kurang terurus.<br /><br />Untuk
mengatasi masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas,
masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun
rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah
sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa
urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka,
SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun
berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring
seperti mau roboh.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xft1/v/t1.0-9/s720x720/11061957_10203384615690772_2609850541666816260_n.jpg?oh=8706811eec9f22c7c88d313665f59df6&oe=55FF2CFC&__gda__=1442728383_8b7203e92f9b2b17d98f04a3a5dd861c" title="Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 8. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Tunggu Persalinan </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Ada kebijakan menarik
yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi
Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih
merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat
provinsi. <br /><br />Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang
pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya
mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang
tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu
melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal seharusnya
menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan
kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Maka denda yang diatur adalah
si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas
kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong
persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak
mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu
nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan
orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila
ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan
atau ibu nifas tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan
denda sebesar Rp. 100.000,-.<br /><br />Mekanisme atau standar operasional
prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam
regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah
Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda
Administrasi dan Pengurangan/Keringanan.<br /><br />Sepertinya tujuan
dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini
baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut
pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah
Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang
menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan
sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir
di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami
yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana
dengan ibu hamil? <br /><br /><br /><b>Potensi Sumber Daya </b>Desa
Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai
sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan
pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran
semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh
merupakan produk sayuran andalan. Jadi kebutuhan sayuran bukanlah
masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini. <br /><br />Karbohidrat
utama bagi seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan
beras. Ada sedikit sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu
suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali
beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Yak… memang tercatat ada
sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang
mendapatkan jatah beras dari pemerintah setiap bulannya.<br /><br />Beberapa
protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing
maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi
protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya
telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada
juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan),
tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun),
seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria
suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang
cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan
masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.<br /><br />Kesempatan
mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila
ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong
kerabatnya menyumbangkan ternaknya berupa sapi, babi, kambing ataupun
ayam. Seringkali memang mereka menyisakan satu-dua saat menjual
ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang demikian. Pada
saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah, masyarakat bisa
sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai
(maaf) busuk pun akan dikonsumsi.<br /><br />Sumber protein lain berupa
protein nabati bisa didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Hanya
saja konsumsi kacang merah seringkali lewat sayur sup saja. Tidak ada
kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan kaya protein ini
menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang kacang tanah lebih sering diolah
menjadi campuran sambal goreng.<br /><br /><br /><b>Mampir ke Surga</b><br /><br />Pada
kesempatan lain saya bersama mas Zaldi (kameramen) berkesempatan
mengambil gambar lanskap di lereng Gunung Mutis yang agak tinggi.
Lelofui, demikian lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat
datang menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti
tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri tanpa sanggup
berkata apapun, hanya berdesis… “Ini surga…”. …dan lalu bagaimana saya
bisa berhenti bersyukur?<br /><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xtf1/v/t1.0-9/q81/s720x720/11391540_10203384622890952_7970633071570261216_n.jpg?oh=8f8787b8f88e5e30228d97d477cc4c8d&oe=55F76F47&__gda__=1441715026_a52d15a8e2f37f9145131b29611fe90d" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xft1/v/t1.0-9/s720x720/11148346_10203384624170984_8225633635338048664_n.jpg?oh=cfe08f34766be518092b27afc25b3e5b&oe=560CFDC5" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xtf1/v/t1.0-9/s720x720/11393062_10203384625411015_8152990846540032237_n.jpg?oh=c50bed5b5661492e7c631e96bf140286&oe=56072A5B&__gda__=1441534627_58dc835bb9898cac707ac7ca060a42d5" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11351248_10203384626291037_8403249933374964537_n.jpg?oh=e7b4a9717dae8afcc5f88d432d866a23&oe=55F381BE&__gda__=1442045631_3fdfb57f568fe501943a1564e6141a73" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11393117_10203384626891052_5149317948870703157_n.jpg?oh=c9a42641931c6867bd1cb8febb4f86ed&oe=560A1C63&__gda__=1442901858_d7c67986fa2dd6644a728f04a17a1a89" title="" /></span><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 9.
“Surga” Lelofui
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/q86/s720x720/11391524_10203384633011205_2796398403379507784_n.jpg?oh=73025138f9b56d6565d76abde8b30809&oe=560494F8" title="Gambar 9.
“Surga” Lelofui
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 9. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">“Surga” Lelofui </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Pada akhirnya kami
harus pulang. Terbersit keengganan di antara kami dan orang Nenas,
seakan tidak ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang
mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu terakhir. Seutas
selendang hasil tenunan mama inang dikalungkan di setiap leher kami oleh
nona manis Molo Evi Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada
sesuatu yang tinggi telah mengikat kami.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11140248_10203384635891277_1417051832631685072_n.jpg?oh=7bc9bbc0b51f6bb1f81d19a439ec55bf&oe=5602F5F7&__gda__=1443336950_24f1614fce0c4b9ee5428bdb2e4c77f7" title="Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 10. </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><br />(ADL)</span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-28044108148325153672015-05-18T07:49:00.000+07:002015-05-18T07:49:42.793+07:00Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara<span class="timelineUnitContainer"></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan
kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi
Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke
wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini
Kabupaten Tolikara.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kabupaten Tolikara pada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263<span> km<sup>2</sup></span>.
Kabupaten yang beribu kota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan
atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki
jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan
dengan KabupatenMamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya
dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di
sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil
Kabupaten Tolikara Tahun 2014). </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 1.
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua
Sumber: Pemerintah Provinsi Papua" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/10931063_10203285689697684_522593675645717554_n.jpg?oh=f5754b6b07e68b9009bf23fd7152d0c1&oe=5605819C" title="Gambar 1.
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua
Sumber: Pemerintah Provinsi Papua" /><span class="caption">Gambar 1. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Pemerintah Provinsi Papua</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kabupaten
Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam
pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Indikator pembangun IPKM terdiri dari 30 indikator.
Hampir di semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus,
kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam riset ethnografi kesehatan kali ini kami me’nanam’ dua peneliti untuk <i>grounded </i>di
sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi
anthropolog. Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan
masyarakat setempat di Distrik Bokondini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan menuju Distrik Bokondini dari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil <i>double </i>gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam <i>off road</i> yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan <i>off road</i> tahun lalu saat saya harus <i>grounded</i> di Boven Digoel selama dua bulan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Selain
jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara.
Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, <i>hot mix</i>!
Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang
berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini
adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (<i>Mission Aviation Fellowship</i>) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 2.
Landasan Pacu Bandara Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpf1/v/t1.0-9/s720x720/21899_10203285698697909_8570008526924597691_n.jpg?oh=c4a0a49afb8254dc772b9f0d913186d2&oe=560C7268" title="Gambar 2.
Landasan Pacu Bandara Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 2. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Landasan Pacu Bandara Bokondini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>TENTANG BOKONDINI</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Distrik
Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya
sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya
adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini
sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras
yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai
Bogo. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 3.
Sungai Bogo
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpt1/v/t1.0-9/s720x720/11262082_10203285721058468_8379581859379966788_n.jpg?oh=b90cf2c97e8066983574dca3d86b12aa&oe=560B852E" title="Gambar 3.
Sungai Bogo
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 3. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sungai Bogo </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Memasuki wilayah
Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh
dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen
menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti
tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 4.
Suatu Pagi di Kota Bokondini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xtp1/v/t1.0-9/s720x720/11120578_10203285726658608_1160048231379556622_n.jpg?oh=2f83e8b24af704b8ceb0cb083e4f67fe&oe=55D03FFB&__gda__=1439113805_5ccd6a95fe3ca9257461f16e3d8b2516" title="Gambar 4.
Suatu Pagi di Kota Bokondini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 4. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Suatu Pagi di Kota Bokondini. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><span>Distrik
Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain
di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota
Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut
wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa
depan.<br /></span><span class="photo "><img alt="Gambar 5.
Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xft1/v/t1.0-9/s720x720/1510055_10203285744499054_2677771994086552770_n.jpg?oh=93327237c078a16934ce059d05904b51&oe=560B13E2&__gda__=1439103648_20d304eefc9709858b85bec67c6566ea" title="Gambar 5.
Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 5. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 6.
Sudut Lain Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11224110_10203285757819387_2809948709341124311_n.jpg?oh=53d3e440c5a13cf0f1a73d309bb2ccf4&oe=56004E35&__gda__=1442691018_465a6112539ace4577d3b5428953a7f1" title="Gambar 6.
Sudut Lain Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 6. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sudut Lain Kota Bokondini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pada saat ini, suku
Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah
tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih
modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai
“honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah
berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih
memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 7.
Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas);
dan Rumah Papan (Kanan Bawah)
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpf1/v/t1.0-9/s720x720/10407189_10203285770419702_8764360468489685447_n.jpg?oh=fcb33725dee07ce4275282c45f387dd3&oe=55C0CE0D" title="Gambar 7.
Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas);
dan Rumah Papan (Kanan Bawah)
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 7. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas);
dan Rumah Papan (Kanan Bawah) </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>KONDISI PEREKONOMIAN</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Hampir
seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas
Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal
sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia
melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi
sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp.
10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan
hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong
atau <i>kasbi</i>, ketela atau <i>ipere</i> atau <i>batatas</i>, talas, jahe, pisang, dan buah merah. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 8.
Menawar Markisa
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfp1/v/t1.0-9/s720x720/11181848_10203285835621332_3090131478774451516_n.jpg?oh=c488a5904eca6a831508e85bb800f604&oe=55C0BF00&__gda__=1442737145_cfa2b6a6d8e2ab5dccbb516b36c5b955" title="Gambar 8.
Menawar Markisa
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 8. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Menawar Markisa </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Masyarakat
Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang
masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi
yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya
perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup
miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan
yang lebih luas dari yang direncanakan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 9.
Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpf1/v/t1.0-9/s720x720/10408568_10203285861181971_6135980238241095982_n.jpg?oh=cd11538cad447f2b51577d997a92dbb0&oe=55C82F96&__gda__=1438758528_917df7fda393330b629d3087389efc39" title="Gambar 9.
Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 9. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Di pasar Kota
Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai
oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas
tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh
berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan
adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam
seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi
hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 10.
Pasar Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11238266_10203285872422252_8780408041895083688_n.jpg?oh=1dcb3b5d7485f9e38cff5bd0dec5f43c&oe=55C6CDAF" title="Gambar 10.
Pasar Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 10. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Pasar Bokondini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Sebagai gambaran
kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak
tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter.
Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral
merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil
(ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah
Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga
air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per
botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp.
45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya
seharga Rp. 35.000,-.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>BERITA PEMEKARAN</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Meski
demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat
Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan
melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah
kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 11.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xtf1/v/t1.0-9/q83/s720x720/11163894_10203285904143045_2001106678984292207_n.jpg?oh=7ea51ff32c90f19c57c4759226af2021&oe=55C1B01F&__gda__=1443143946_54d6676a40632f0eb1ae1c007f9ce5b0" title="Gambar 11.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 11. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Euforia pemekaran
ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus
komputer,“…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang
di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat
tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini.
Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini,
“Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…” </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />Pada
saat ini telah ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini,
Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah
ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur.
Menurut keterangan dokter Pobi Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini
merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. Lebih
lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada
tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan
kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada
sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak.
Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih
kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Pobi.<br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 12.
Puskesmas Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11078255_10203285911663233_1630056848045960799_n.jpg?oh=650d6555d6bafe59df97de472d45e708&oe=56078ED8" title="Gambar 12.
Puskesmas Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 12. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Puskesmas Bokondini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Puskesmas yang baru
pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para
petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat
distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang
masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo
Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23 tahun), perawat kontrak asal Palopo
yang bertugas di Puskesmas Bokondini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Empat distrik! Suatu hal
yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di
pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang
lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Dalam satu distrik saja seringkali
masyarakat cukup sulit untuk mencapai Puskesmas sebagai akibat
topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik??? <i>bener-bener pusing pala barbie.</i><br /></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Setidaknya
ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas
Bokondini.“Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah
ada pak…,”terang Habibi. Sejatinya menurut catatan kepegawaian,
Puskesmas Bokondini memiliki 26 petugas. Tetapi pada hari Rabo, tanggal
13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada
diPuskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan.
Semoga.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Untuk pelayanan balita Puskesmas
Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk seluruh wilayah
kerjanya pada setiap bulannya. Posyandu yang diselenggarakan di
Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka
menyesuaikan dengan hari pasaran. Pada pelaksanaan Posyandu terakhir
minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pelayanan
Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat
lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung <i>stunting</i>
(pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini karena
pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan,
dan seringkali tanggal lahir dibiarkan kosong tak terisi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam
pelaksanaannya, Posyandu dimobilisasi oleh kader kesehatan untuk
menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Sementara seluruh
pelaksanaan Posyandu lainnya dilayani oleh petugas kesehatan. para kader
kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor yang lumayan, Rp.
500.000,- setiap bulannya. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan
rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp.
15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulannya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Untuk
memperluas jangkauan pelayanan, menurut dokter Pobi, Puskesmas juga
melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat
Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang
dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan
tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam
diskusi kali ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kondisi yang sangat
memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini,
sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru
HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini.
Sementara jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan
berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Rupanya
praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit
yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu…
apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada
perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka
mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah
dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”,
bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan,
oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Banyak
hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar
dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini
Bokondini. Terlalu dini… </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><br />(ADL)</span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-42398199189307382992015-05-08T07:27:00.000+07:002015-05-08T07:29:05.954+07:00Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??!<div class="mts _50f8">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></span></div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Banjarmasin, 06 Mei 2015</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pagi
itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan
kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah <i>stand by</i> di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum <i>cap cus</i> menyusuri Sungai Barito.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak <i>browsing </i>destinasi
wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai
dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dermaga
wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid
Sultan Nuriansyah. Masjid yang terlihat klasik dengan gaya arsitektur
tempo dulu khas Banjar dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan
mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat
jama’ah sholat subuh berjamaah baru bubar di masjid ikonik tersebut.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 1.
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin
(gambar diambil saat menjelang siang)
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfp1/v/t1.0-9/p180x540/603747_10203244259821963_4332335286419795175_n.jpg?oh=d7d71f9d0972c9b5fb09fb74fd1d5cd7&oe=55D13BAA&__gda__=1439283098_6a4e06c966a72fc81d5b6205eb05d287" title="Gambar 1.
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin
(gambar diambil saat menjelang siang)
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 1. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin
(gambar diambil saat menjelang siang) </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kami menyewa perahu
motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami
temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu
tercapai. Kami mendapat harga Rp.250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito
sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Langit
masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan
kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan
cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat
tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pagi
tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang
mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah
penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak
seberapa lama di sisi kiri nampak Sermaga Penumpang Trisakti, sementara
berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ketika
kami tiba di lokasi PasarTerapung, masih belum banyak perahu para
pedagang yang biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja
yang sudah mulai melakukan ‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem
barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis
barang dagangannya. Terlihat sangat eksotik, saat perahu para pedagang
itu hilir mudik dengan <i>background</i> matahari yang mulai menampakkan hidungnya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 2.
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11193220_10203244263262049_267827957001810268_n.jpg?oh=6503b1e912e55faff3be83cc30085957&oe=55CAB33C" title="Gambar 2.
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 2. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 3.
Aktivitas Pagi Pasar Terapung
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/l/t1.0-9/s720x720/11196354_10203244266662134_3079587202862995711_n.jpg?oh=6d4c111e48494a90240eb0aa278ba76d&oe=55C80BBA" title="Gambar 3.
Aktivitas Pagi Pasar Terapung
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 3. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Aktivitas Pagi Pasar Terapung </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Satu-persatu
beberapa pedagang mulai menghampiri kami, menawarkan buah pisang emas,
limau (jeruk), mentega (Apokat), dan beberapa dagangan yang lainnya.
Kami membeli pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas yang
kecil-kecil kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 4.
Wasatawan Nusantara yang sedang Menawar Pisang
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11219357_10203244272262274_9078668972757973610_n.jpg?oh=c8480387fd6ca6bc4fd50ec48ea50c00&oe=55CCB5AC&__gda__=1439668397_9fbd2f2e1010c5f7c94f017f494620f9" title="Gambar 4.
Wasatawan Nusantara yang sedang Menawar Pisang
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 4. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Wisatawan Nusantara yang sedang Menawar Pisang </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 5.
Kartini Masa Kini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfp1/v/t1.0-9/s720x720/11150526_10203244273942316_6300610654116695787_n.jpg?oh=41cc4d4588787af0d19cb70c8c62d7ac&oe=55BF92CB&__gda__=1439989298_659123badb60f838422bdf48ea3cc9a0" title="Gambar 5.
Kartini Masa Kini
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 5. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Kartini Masa Kini </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami. Woww… <i>surprised</i>! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok! </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Untuk
mengambil gorengan yang tersedia di atas perahu pun terlihat sangat
unik. Bagi penumpang perahu yang tidak bisa mendekat disediakan galah
panjang yang di ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda
sepeda. Panjang galah lak lebih dari 1,5meter. Pembeli tinggal mencocok
kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut. Sederhana dan terlihat
gampang, meski pada kenyataannya perlu ketenangan untuk dapat menusuk
dengan tepat. Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat
gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih brasa seperti
mancing.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 6.
Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfp1/v/t1.0-9/s720x720/522066_10203244276622383_2714366358247140816_n.jpg?oh=652c64e2bacd891e583e37c969fd3d75&oe=55C568C8&__gda__=1438707192_b844f9c1c859cf471abb6c4a66f14954" title="Gambar 6.
Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 6. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Pembeli yang Sedang ‘Mancing’ Gorengan </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kami pun asyik
menyantap gorengan yang ditawarkan. Saya sendiri menghabiskan dua potong
bakwan dan satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk
sarapan pagi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa
mengering, sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas kopi
tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan rekan saling pandang,
kami melihat<i> mamang</i> penjual gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai. Menggunakan sabun juga memang, tapii…</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Saat
ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai musim kemarau, tetapi pada
kenyataannya semalam masih turun hujan dengan sangat deras. Air sungai
terlihat keruh. Coklat.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Hari semakin terang, saat kami
mulai bisa melihat aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang
daerah aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih
dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan bahkan (maaf)
buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau katakanlah cuman berjarak 1
meter, antara aktivitas mandi dan gosok gigi dengan aktivitas buang air
besar. Kami tidak hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang
beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali, di sepanjang
aliran sungai yang kami lalui. Meski aktivitas buang air ini di tempat
yang lebih tertutup, tapi…</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 7.
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xat1/v/t1.0-9/s720x720/11084244_10203244281502505_2236916725804200863_n.jpg?oh=3338f3ffa269749d57891b8c990f6928&oe=55C243D3" title="Gambar 7.
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 7. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Saya jadi
berpikir, apakah mereka nyaman dengan kondisi tersebut? Apakah mereka
tidak merasa hal itu sebuah masalah? Bukankah ada Universitas Lambung
Mangkurat di daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini,
atau jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal ini biasa
saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan hanya karena saya saja
yang terlalu lebay.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut informasi pak Yan, sopir
kami, di daerah tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke
rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada, sudah sampai ke
rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini sudah merasa terbiasa, sudah
merasa nyaman melakukan aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah
disediakan pak.”</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut data Riset Kesehatan Dasar
yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih masyarakat di
Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%. Angka capaian ini jauh lebih
baik dan bahkan hampir dua kali lipat bila dibanding angka Provinsi
Kalimantan Selatan sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran
40,51%. Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses tersebut,
hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan perilaku yang dinampakkan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Angka
cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air besar dengan benar pun tercatat
sangat tinggi, mencapai angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di
atas angka provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional
sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala saya,
benarkah PENGAKUAN mereka tersebut? Mungkin ini juga merupakan salah
satu kelemahan survei yang dilakukan secara <i>cross sectional</i>.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang lebay. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">(ADL)</span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-10837251318098891452015-05-05T03:05:00.000+07:002015-05-08T07:28:35.656+07:00SURGA KECIL RAIJUA; Sebuah Catatan Perjalanan<div class="mts _50f8">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Agung Dwi Laksono</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kupang, 02 Mei 2015</span></div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan
kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya satu minggu ke depan, saya
memulai kembali perjalanan eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini
salah satu kabupaten berpulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan
salah satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi
sasaran eksplorasi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten
termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan hasil pemekaran
dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten baru ini dimulai pertanggal
29 Oktober 2008. Kabupaten seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu
Barat, yang letaknya berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian,
ibukota kabupaten ini bukanlah tujuan saya kali ini, Pulau Raijua, pulau
yang jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, yang menjadi tujuan
akhir perjalanan kali ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<br />
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 1.
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: Kabupaten Sabu Raijua" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/11196262_10203228230981252_8348983458674109755_n.jpg?oh=c2120cd40a1e10d1ec54598253202151&oe=55C0EBA9" title="Gambar 1.
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: Kabupaten Sabu Raijua" /><span class="caption">Gambar 1. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Kabupaten Sabu Raijua</span></span></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam
pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013
yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.,
Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497 kabupaten/kota di
Indonesia. Sementara di dalam level Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini
menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua
masih pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten Sabu
Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset Ethnografi Kesehatan
yang dilakukan pada 30 kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 ini.
Kementerian Kesehatan berharap bahwa dengan riset ini akan didapat
faktor-faktor <i>beyond health</i> yang kemungkinan bisa menjadi
penghambat pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan
budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat akselerasi
pembangunan di wilayah setempat.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Untuk menuju Sabu Raijua saya setidaknya saya harus melalui dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Dari <i>home base</i>
saya tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE), karena
tercatat ada tiga maskapai yang mengoperasikan jalur ini. Hal ini
berbeda dengan jalur Kupang-Sabu, yang tercatat hanya terdapat satu
maskapai perintis kepunyaan seorang menteri nyentrik, ibu Menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam
sehari melayani rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari
Minggu. Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua.
Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur
satu-satunya yang tersedia, jalur laut.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan
kali ini saya lakukan dalam rangka supervisi dua rekan peneliti Riset
Ethnografi Kesehatan Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat
dan seorang lagi psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak terlalu lama,
sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur dengan orang Raijua. Mereka
terlihat sudah seperti pribumi saja saat saya datangi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">***</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>MEMULAI PERJALANAN</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan
hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-Kupang, bukanlah perjalanan
yang istimewa, biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik untuk
diceriterakan. Hanya saja saya menginap di Hotel La Hasienda, sebuah
hotel bergaya mexican yang berlokasi di dekat bandara, yang ternyata
membuat saya <i>surprised</i>, bahwa saya satu-satunya pribumi yang
menginap di hotel itu. Bule-bule bersliweran keluar-masuk di hotel
bertarif rata-rata 380 ribu per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik
bekerja di <i>lobby</i> hotel dengan menatap serius layar 14 inchi,
sambil membuka lembaran-lembaran dokumen yang ada di gengaman tangan,
dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts <i>keyboard</i> didepannya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat <i>Cessna Grand Caravan Commuter </i>Susi
Air yang berkapasitas penumpang 12 orang, yang hanya berisi 10
penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang
dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih
nyaman naik <i>Cessna Caravan</i> ini ketimbang naik <i>Twin Otter</i> saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-<i>co</i> pilot bule dari Australia.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 2.
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11188156_10203228234421338_510500111814744513_n.jpg?oh=1b08129d2cf0bd4b21c1ec75507f32d5&oe=55C2CFBC" title="Gambar 2.
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 2. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pesawat
landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara.
Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya
maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Bukan
kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di
dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua, saya percaya dengan
rencana-rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak
orang baik di republik ini. Saya diajak <i>nebeng</i> mobil yang
menjemput Sofyan, diantar melihat kalau-kalau masih ada kapal yang
menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat
saya bermalam di Seba pada akhirnya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Seba,
ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai
dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota
terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di
kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang
paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya
lebih banyak para pendatang dari luar.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>HARI KE-TIGA. SAATNYA MENUJU RAIJUA</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ini
bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer
terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang
sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi
ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh
merasa sangat keren dalam situasi ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk <i>standby</i>
jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam
8.30, ternyata kapal belum ada,menurut informasi seorang teman dari
Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar sa, jam 9.00 kapal
baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi
sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke
penginapan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jam11.00 saya kembali ke dermaga,
kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja
ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sudah sandar
di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti
sekitar jam 2.00. Kakak tunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab
penginapan Makarim.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jam13.30 saya sudah berada di
atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari
penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan <i>sopi </i>(minuman
keras khas penduduk NTTdan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak
pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya,
penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 3.
Kapal Kayu yang Penuh Sesak
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11188243_10203228247901675_3439442700931128419_n.jpg?oh=4e68f8de4a67ec04942d94df4a86755f&oe=55C02271" title="Gambar 3.
Kapal Kayu yang Penuh Sesak
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 3. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Kapal Kayu yang Penuh Sesak </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ombak cukup
bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati
selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang
ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera
Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu
sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai ketinggian
empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya
sebuah permainan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Setelah dua jam perjalanan, kapal
tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh
lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter.
Bukannya apa-apa, saya sedikit trauma dengan pola "transfer" model
begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori
kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata
ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke permukaan dermaga.
Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 4.
Proses “Transfer” di Dermaga Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpt1/v/t1.0-9/s720x720/11146545_10203228253021803_3246376658706265703_n.jpg?oh=af94fe99a3dc53236976d24bc3d038a1&oe=55BEFE1D" title="Gambar 4.
Proses “Transfer” di Dermaga Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption"> </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Gambar 4. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Proses “Transfer” di Dermaga Raijua </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ke-Maha
Baik-an-Nya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua orang yang
ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu,
satu-satunya Puskesmas yang adadi Pulau Raijua yang bertanggung jawab
pada kesehatan masyarakat di wilayah ini. Saya diajak bareng dengan
mobil ambulan untuk menuju Desa Kolorae, dimana dua rekan peneliti
sedang <i>grounded</i> disana.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Belum selesai
percakapan ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak untuk bersama
menumpang dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang
dari kapal dan melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon
berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon
sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan
Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya
dustakan?</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Truk berjalan menyusuri jalanan keras
berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan
pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional
yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun
mengelilingi rumah sebagai pagar. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 5.
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11204438_10203228265542116_7467442259531200564_n.jpg?oh=7534c8c7c54ef9c34b6ff7a73240a932&oe=55E629D3" title="Gambar 5.
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 5. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Rumah
tradisional model ini masih cukup mendominasi di wilayah ini, meski juga
sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah
modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang
biasanya terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa
sudah berganti dengan tembok.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 6.
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu
di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/t31.0-8/s720x720/11203519_10203228268782197_9128799685199997820_o.jpg" title="Gambar 6.
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu
di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 6. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu
di Pulau Raijua </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ada dua
jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat
dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka
kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang
sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai
“konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu
bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah
hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak.
Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang
Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan
juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas
saja bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat sama sekali
orang luar tidak diperbolehkan untuk memasukinya, bahkan pada
rumah-rumah ada tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali
tidak boleh kita injak.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 7.
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya.
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xfp1/v/t1.0-9/s720x720/11202845_10203228276102380_2315018682389918222_n.jpg?oh=3e882c563d669993c7c552a24e10c9af&oe=55D2D767" title="Gambar 7.
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya.
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 7. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjalanan
menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan
sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka
dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut
sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini
menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak
tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya
rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan
salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan-pelatihan
budidaya rumput laut.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pada sisi lain Pulau Raijua
kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan
orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Tapi kali ini
sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang
batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang
kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, <i>sonde</i> (tidak)
ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras
pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan
truk di jalanan berbatu yang terjal.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 8.
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpt1/v/t1.0-9/s720x720/11200889_10203228286062629_4437106481022541413_n.jpg?oh=bc9ed55ca3118be62ee744de29fc605e&oe=55E1505D" title="Gambar 8.
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 8. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Kebun Sorgum yang Tengah Mengering </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah <i>embung</i>.<i> Embung</i> adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada saat seperti ini air di dalam <i>embung</i> tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air <i>embung</i>
biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman sertauntuk air
minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang
berenang di dalamnya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah <i>Ama</i>
(Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah
lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah,
yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih
banyak orang baik di republik ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>HARI KE-EMPAT; MEMULAI PAGI DI RAIJUA</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh menuju angka enam, saat riuh suara <i>ina-ina</i>
(ibu-ibu) bercengkerama di sumur sambil menimba air. Menimba air dan
membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan salah satu urusan
‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu (seluruh penghuni Kabupaten Sabu
Raijua adalah suku Sabu, selain para pendatang tentu saja, red), selain
memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pagiitu
matahari menampakkan dirinya dengan gagah, hampir tidak ada awan yang
menghalangi penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian
dimulai. <i>Ina-ina</i> mulai sibuk di dapur setelah urusan menimba air
selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah bergantian masuk kamar
mandi untuk bersiap, sementara <i>ama </i>(ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak, <i>ama</i> bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah, sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab <i>ina</i> untuk menyelesaikan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 9.
Matahari Terbit di Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11174768_10203228290342736_3352947190454800200_n.jpg?oh=3213d3aa806a14bc714c108faf9470f6&oe=55D8959F" title="Gambar 9.
Matahari Terbit di Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 9. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Matahari Terbit di Raijua </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Dalam pengamatan
anak-anak Raijua tumbuh normal sesuai dengan usianya, meski angka di
tingkat Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang
memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi maupun nasional.
Hal ini berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dalam Riset Kesehatan
Dasar yang dilaksanakan tahun 2013.</span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpf1/v/t1.0-9/11193366_10203228297062904_5580169177824602392_n.jpg?oh=828edf0bd96f1d92d574d8ce9a17b390&oe=55C90F4A" title="" /></span></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam
pengamatan saya banyak sekali potensi sumber bahan makanan lokal yang
bisa dijadikan sumber nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat
biasa didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar, sementara
bahan makanan lokal yang tersedia adalah sorgum, meski keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh curah hujan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Sumber bahan
makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani
maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua
cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam,
babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak
tersedia dari produk kacang-kacangan. </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Masyarakat
Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur
dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih
gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau,
karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang
merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga
merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat <i>Ama</i> Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak <i>browsing</i>
ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah
Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa
remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil <i>pickup</i>. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, <i>lanscape view</i>
yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya.
Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum.
Aku padaMu ya <i>Rabb</i>.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 10.
“Gerbang Surga Kecil”
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11182158_10203228299462964_6519828656769886490_n.jpg?oh=bb8c45df296690bca5913e86514e6a26&oe=55CDAB88" title="Gambar 10.
“Gerbang Surga Kecil”
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 10. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">“Gerbang Surga Kecil” </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 11.
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11178347_10203228302543041_3547332351799774531_n.jpg?oh=0d1b5bfc3eacaafa4b3f03f376f74dd5&oe=55DF4ED3" title="Gambar 11.
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 11. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kedatangan
kami disambut dengan koloni kambing dan domba dalam hamparan sabana yang
sangat luas. Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak
henti-henti memencet tombol <i>shutter </i>kamera sambil berdiri di atas <i>pickup</i> yang terguncang.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 12.
Barisan Kawanan Kambing
Sumber: Dokumentasi peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/s720x720/10373705_10203228304783097_1162231721978953922_n.jpg?oh=e92ae65f08e47546959e055306d1249f&oe=55E4D502" title="Gambar 12.
Barisan Kawanan Kambing
Sumber: Dokumentasi peneliti" /><span class="caption">Gambar 12. </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Barisan Kawanan Kambing </span></span></span></div>
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi peneliti</span></span><br /><br />Hamparan rumput
yang demikian luas dengan beragam koloni hewan yang berlompatan dengan
lincah. Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara beberapa
kerbau digiring gembalanya berjalan dengan perlahan di sela suara debur
ombak. Yak, debur ombak! Karena sabana luas ini membentang bersisian
dengan pantai yang ombaknya mampu mengundang para bule untuk <i>surfing</i> di atasnya.</span></div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="Gambar 13.
Sabana dan Pantai yang Bersisian
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/s720x720/10418953_10203228306303135_133536774333174660_n.jpg?oh=db7ae9ec9f25f4d5901f8fb2a69addf9&oe=55E4A0D5" title="Gambar 13.
Sabana dan Pantai yang Bersisian
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 13. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sabana dan Pantai yang Bersisian </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Di sisi lain
nampak kumpulan beberapa rumah daun yang dibangun untuk tempat
beristirahat para petani budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami
datangi memang merupakan salah satu <i>spot</i> budidaya tanaman idola
di Raijua saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati
surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin kehilangan <i>moment</i> terbenamnya matahari sebentar lagi.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 14.
Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11204993_10203228309263209_5775825405596272191_n.jpg?oh=e3f46244b7e10e000aceb2eb51f95f3a&oe=55E02325" title="Gambar 14.
Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 14. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kami bergegas
menuju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak.
Sepertinya memang bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa
menaikinya, <i>body</i> montok ini terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 15.
Mercusuar Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11180606_10203228311943276_5040317482478334458_n.jpg?oh=b735d57499445b6c040bf7c57f34bb5f&oe=55E12D68" title="Gambar 15.
Mercusuar Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption"> </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Gambar 15. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Mercusuar Halla Wuimahi </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Tak jauh dari
mercusuar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang sengaja dibuat
untuk membuat garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam
kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan
kristal putih garam yang tertinggal.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 16.
Kotak untuk Mendapatkan Garam
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11204905_10203228315583367_849488562050626767_n.jpg?oh=6d731dc359f6144e7a97f1a86e4ac1ab&oe=55D407B9" title="Gambar 16.
Kotak untuk Mendapatkan Garam
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 16. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Kotak untuk Mendapatkan Garam </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Di sisi luar
mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang
pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan
lecet-lecet plus bonus celana sobek. Tapi upaya kami menyusuri barisan
bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara
yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak
kagum.<br /><span class="photo "><img alt="Gambar 17.
Sunset di Pantai Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/11200820_10203228317383412_942767750984761537_n.jpg?oh=29cbeaff9782a0faf72a45a3825e12b0&oe=55C1CC3E" title="Gambar 17.
Sunset di Pantai Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 17. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sunset di Pantai Halla Wuimahi </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span><br /><br />Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap <i>moment</i>
lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar
di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara
pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo pagi
masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa
saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai
adalah setiap Kamis, seminggu sekali. <br /><br /><span class="photo "><img alt="Gambar 18.
Pasar Padalabba di Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi Peneliti" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/p180x540/11174970_10203228319783472_6471750747143633465_n.jpg?oh=177f0544e56e081a4321d3b741310425&oe=55C1F75F" title="Gambar 18.
Pasar Padalabba di Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi Peneliti" /><span class="caption">Gambar 18. </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Pasar Padalabba di Desa Kolorae </span></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><span class="caption">Sumber: Dokumentasi Peneliti</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Beragam
barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah
barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang
dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa
kelengkapan untuk me<i>nginang.</i></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Malam
semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan
berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan
dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">***</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
Ahh… akhirnya saya harus pulang juga. Mempersiapkan diri untuk
destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga
kecil lainnya.<i> Beta</i> pulang dulu Kolorae. <i>Beta sonde</i> tau apakah bisa kembali lai? tapi <i>beta pung </i>memori <i>sonde</i> pernah lupa dengan surga kecilmu.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">(ADL)</span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-47579965438729589812015-04-12T05:43:00.000+07:002015-05-05T03:06:52.689+07:00#belajarTENGGER; Romantisme Kebun Sayur<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Agung Dwi Laksono</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Surabaya, 09 April 2015</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Dua
hari lalu, tepatnya Selasa, 07 April 2015, kami membawa rombongan para
calon peneliti Riset Ethnografi Kesehatan tahun 2015 ke masyarakat Suku
Tengger di Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedatangan kami
bersama 60 calon ethnografer di sini untuk belajar pada Suku Tengger
tentang kehidupan keseharian mereka.</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">***</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Pertama
kali memasuki wilayah Ngadiwono, terbersit pertanyaan sebagai ekspresi
keterkejutan saya, “Ini bukan di Jakarta kan? Jangan-jangan ini di
pojokan Surabaya?” bagaimana tidak? Perkampungan yang kami datangi
sungguh jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangan saya dengan
pengalaman beberapa tahun lalu berkunjung di wilayah Tengger ini.
Perkampungan Tengger di Ngadiwono ini sungguh jauh melampaui ekspektasi
saya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/s720x720/11056461_10203104563129633_4307225769733939589_n.jpg?oh=e55f772b0ac02bcf288e332b96d9b989&oe=55B1BCCF" title="" /></span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Perkampungan
Tengger di Desa Ngadiwono kali ini lebih mirip perkampungan di pojokan
sebuah kota metropolis sebangsa Jakarta, Surabaya, atau Bandung. <i>Crowded</i>,
penuh sesak! Setiap rumah saling berhimpitan, dengan hampir tidak
menyisakan halaman rumah sama sekali. Meski masih ada juga menyisakan
beberapa rumah dengan halaman yang lebih luas khas pedesaan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Tapi
jangan salah, lebih dari 95% penduduk di wilayah ini berprofesi sebagai
petani. Kondisi perumahan yang padat dan penuh sesak hanya ada di
wilayah pemukiman saja. Sementara sebagian tanah di wilayah pegunungan
Tengger ini merupakan lahan kebun sayur yang sangat luas dan subur.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Hasil
sayuran utama di wilayah ini adalah kobis, kentang dan wortel. Meski
juga masih ada komoditi tanaman lain semacam jagung, ketela, bawang,
cabe, dan beberapa sayuran lainnya. “Orang sini lebih suka tanaman yang
umurnya pendek mas…,” terang mas Sug, lelaki asli Tengger berumur 38
tahun yang juga berprofesi sebagai petani, saat saya mintai penjelasan
tentang kecenderungan menanam sayur mayor tersebut.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Dengan
kondisi masyarakat yang hampir seluruhnya bertani, maka tentu saja
membawa konsekuensi pada kultur budaya yang mempunyai kecenderungan
seperti wilayah agraris lainnya. Hampir seluruh waktu masyarakat Tengger
pada siang hari, terutama yang dewasa, berada di kebun. Sementara di
rumah menyisakan anak-anak dan beberapa orang tua yang sudah tidak
seberapa kuat untuk menjalankan aktivitas secara fisik di kebun.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/p180x540/11113282_10203104573729898_3696157366279915088_n.jpg?oh=df4186139e3188be0b25de2ff8e324aa&oe=55DF4DD4" title="" /></span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Konsekuensi
inilah yang membuat banyak aktivitas rumah tangga yang bagi masyarakat
lain umumnya dilakukan di rumah, menjadi bergeser ke kebun, termasuk di
dalamnya ‘bercinta’. Bagaimana bisa? Kebiasaan masyarakat Tengger yang
berangkat ke kebun berdua dari pagi, bekerja keras merawat kebun, hingga
pulang pada sore harinya, membuat sedikit waktu yang tersisa untuk
mengerjakan aktivitas lainnya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">“…lha kalo pulang kan sudah capek
mas. Kan habis nyangkul-nyangkul di kebun…,” kilah mas Har. Lelaki
berumur 33 tahun ini sudah menghasilkan dua anak laki-laki hasil
ber’kebun’ bersama Nah, istrinya yang malu-malu saat suaminya bercerita
tentang hal tersebut.</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kondisi di kebun dengan angin pegunungan
yang semilir, serta keadaan yang cukup sepi, cukup mampu membangkitkan
romantisme saat hanya berduaan dengan pujaan hati. Tidak ada ‘gangguan’
anak-anak yang bisa merusak suasana romantis yang terbangun, bukannya
mereka sedang menunggu rumah. Aman terkendali.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Mas Sug (38
tahun) pun mengakui adanya romantisme kebun sayur ini. Anak perempuan
yang dimilikinya pun diakui merupakan hasil kerja kerasnya saat
men'cangkul' di kebun. “Yaaa… banyak yang memang begitu mas, melakukan
itu di kebun… kan kebunnya jauh-jauh…”</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kondisi kepemilikan tanah
kebun yang cukup luas pada masing-masing keluarga cukup membuat jarak
antar kebun tidak mengganggu aktivitas bercinta mereka. Rasa takut
ketahuan tetangga menjadi hilang, meski sebenarnya rasa takut dan
deg-degan ketahuan itulah yang sesungguhnya membuat romantisme kebun
sayur jauh lebih membara.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Ahh seandainya…</span></span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-82046587121750303092014-09-02T11:00:00.000+07:002014-09-02T11:00:03.156+07:00GUGUS OPINI KESEHATAN MASYARAKAT - PERSAKMI<span class="timelineUnitContainer"></span><span class="photo " style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="photo_img img" height="200" src="https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/s720x720/10678661_10201917279248278_5416095062892695801_n.jpg?oh=fe32cd00a496cacef9dfa574f44cf0bd&oe=54736BDA" title="" width="140" /></span><br />
<u><span class="fbUnderline">Penulis</span></u><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
Oryz Setiawan<br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Kerjasama penerbitan antara;</span></u><br />
Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI)<br />
Bagian PKIP FKM Universitas Diponegoro Semarang,<br />
Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang Semarang Jawa Tengah. Tel./Fax. : 024-7460044/08122833901<br />
Email : sekretariat.persakmi@gmail.com<br />
Website: <a href="http://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.persakmi.or.id%2F&h=FAQHVSvrj&s=1" rel="nofollow" target="_blank">www.persakmi.or.id</a><br />
<br />
dengan<br />
<br />
Health Advocacy<br />
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat<br />
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232<br />
Email: healthadvocacy@information4u.com<br />
<br />
Jumlah Halaman: 300<br />
ISBN 978-602-17626-4-6<br />
© 2014 PERSAKMI<br />
<br />
<br />
Buku yang disusun sebagai bunga rampai gugus opini ini mencoba menyampaikan alternatif pemikiran dan <em>urun rembug </em>terhadap
fenomena dan permasalahan yang terjadi dalam ranah kesehatan di
republik ini. Uraian yang terkadang tidak melulu dalam sudut pandang
kesehatan, tetapi lebih kepada pendekatan yang lebih utuh, lebih
komprehensif, sistemik.<br />
<br />
Kebijakan pembangunan kesehatan
seringkali berorientasi pada ranah praktis kuratif yang pada akhirnya
seringkali pula melupakan upaya preventif-promotif. Opini yang dilempar
penulis sungguh berupaya untuk mengem-balikan arah pembangunan kesehatan
ke arah yang benar, dan menjaganya agar selalu <em>on the right track</em>. Upaya yang dilakukan dengan selalu memprovokasi opini pada level publik.<br />
<br />
Bila
terkesan ada pengulangan pesan, hal tersebut mau tidak mau, tidak bisa
dihindari, karena sebagai konsistensi sebuah upaya advokasi untuk
perubahan. Pengulangan sebuah pesan <em>(message repeat)</em> adalah bagian dari strategi untuk menciptakan <em>opini public</em>
yang kontinyu dengan menggunakan momen/peristiwa yang berbeda. Apalagi
perubahan yang diinginkan, dipandang belum terwujud secara optimal.<br />
<br />
Pada
akhirnya kami menaruh harapan besar bahwa gugus opini ini mampu
memberikan penyegaran pemahaman bagi semua pelaku pembangunan kesehatan
di Indonesia, terlebih lagi para pengambil kebijakan, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat kabupaten/kota serta propinsi. Pemahaman bahwa
khittah pembangunan kesehatan harus lebih menitikberatkan pada upaya
preventif-promotif, tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan
rehabilitatif.<br />
<br />
<br />
<br />
<span class="fbUnderline"><strong>DAFTAR ISI</strong></span><br />
<br />
<strong>PARADIGMA SEHAT</strong><br />
<br />
- <strong><em>Reorientasi Paradigma Pembangunan Kesehatan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Sistem Kesehatan Nasional Masihkah on the Right Track?</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<br />
<strong><em>- Kesehatan sebagai Inventaris Strategis</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Surabaya dan Potret Ambiguitas Kesehatan Publik</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Reformasi atau Deformasi Puskesmas?</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Kilas Balik Paradigma Kesehatan Islam</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<br />
<strong>MASALAH KEBIJAKAN</strong><br />
<br />
- <strong><em>Saatnya Mengarusutamakan Kese</em></strong><strong><em>hatan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Problem Obat dalam Lingkaran Kausalitas Medis</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Sehat, Tanggung Jawab Siapa?</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Kampanye yang Miskin Isu Kesehatan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Penerapan Kondom 100% di Surabaya</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong><em>- Cegah HIV/AIDS Selamatkan Bangsa</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Gus Dur dan Reformasi Kesehatan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Revitalisasi Posyandu, Bukan untuk Basa-Basi</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- KPK Sehat, Rakyat Sehat</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<br />
<strong>GIZI MASYARAKAT</strong><br />
<br />
<strong><em>- Bangsa Liliput!</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong><em>- Quo Vadis Hak Interpelasi Gizi Buruk dan Polio</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Polemik Kontaminasi Produk Susu Formula</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Mengawasi Produk Susu Berformalin</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<br />
<strong>PELAYANAN KESEHATAN</strong><br />
<br />
<strong><em>- Mencermati Plus-Minus Puskesmas Spesialis</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Puskesmas Plus = Puskesmas Profitable?</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong><em>- Puskesmas di Bawah Kendali Rezim Medis</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Puskesmas Delivery</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong><em>- Mengembalikan Jati Diri Puskesmas</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Makna Akreditasi Rumah Sakit bagi Kepentingan Publik</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Mencermati Arah Pendulum Industri Perumahsakitan</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Membangun Rumah Sakit atau Aliansi Rumah Sakit</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<br />
<strong>OTONOMI DAERAH</strong><br />
<br />
<strong><em>- Perlunya Dewan Kesehatan Kota</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Memilih Kepala Daerah yang Melek kesehatan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Urgensi Sertifikasi ISO bagi Puskesmas</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Reformasi Puskesmas di Era Otonomi Daerah</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>-Quo Vadia Ra(Perda) AIDS</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<br />
<strong>PENGENDALIAN TEMBAKAU</strong><br />
<br />
<strong><em>- Indonesia, Negeri Para Smokers!</em></strong><br />
Agung Dwi Laksono<br />
<br />
<strong><em>- Pelabelan Rokok Tar dan Nikotin Rendah Menyesatkan</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Potret Kegamangan Kebijakan Produk Rokok</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Perda Kawasan Tanpa Rokok, Jangan Hanya Jadi Macan Kertas</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<strong><em>- Kompleksitas Industrialisasi Rokok</em></strong><br />
Oryz Setiawan<br />
<br />
<strong><em>- Quo Vadis Regulasi Pengamanan Rokok bagi Kesehatan di Indonesia</em></strong><br />
Rachmad A. Pua Geno<br />
<br />
<br />
menginginkan buku ini??? sila ketik emailnya di kolom komenagungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-28361761624371969282014-09-01T07:04:00.003+07:002015-05-05T03:07:19.150+07:00Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Lombok Barat; Apakah Perubahan Telah Terjadi???<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Agung Dwi Laksono</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Surabaya, 1 September 2014</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Semangat pagi!</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kabupaten
Lombok Barat merupakan salah satu daerah yang ditetapkan sebagai Daerah
Bermasalah Kesehatan (DBK) pada tahun 2010. Hal tersebut ditetapkan
berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
menempatkan Kabupaten Lombok Barat pada ranking 296 dari 440
kabupaten/kota pada tahun 2007.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pada saat ini Kabupaten
induk dari Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara ini tengah berusaha
untuk bangkit. Beragam upaya telah dilakukan, meskitak selalu
menunjukkan peningkatan yang memuaskan. Tetapi semangat ponggawa
kesehatan untuk memberikan yang terbaik telah membuat catatan perubahan
tersendiri. Perubahan ke arah perbaikan yang sangat menggembirakan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>STATUS GIZI BALITA DI LOMBOK BARAT</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b><br /></b>
Berdasarkan
hasil Riskesdas 2013 yang disandingkan dengan hasil Riskesdas 2007,
maka terlihat kecenderungan trend status gizi balita di Kabupaten Lombok
Barat yang turun tipis secara persentase. Hal ini terjadi baik pada
balita dengan gizi buruk dan kurang, balita pendek dan sangat pendek,
maupun balita kurus dan sangat kurus (lihat Gambar 1).</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/10647089_10201910638442262_8707130697266780719_n.jpg?oh=9047bd01a53c3279de4933922e714bc0&oe=546D53DE&__gda__=1417178401_98d7de999966d90b7063d355f3359ffd" title="" /></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Meski
terjadi trend penurunan yang tipis, tetapi tidak serta merta seluruh
upaya perbaikan status gizi balita di Kabupaten Lombok Barat telah
gagal. Di sisi lain tersimpan potensi upaya tenaga kesehatan yang luar
biasa untuk bangkit dan berbuat. Apa pasal? Silahkan cermati Gambar 2
berikut;</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xap1/v/t1.0-9/s720x720/10678718_10201910640002301_8851452240929103615_n.jpg?oh=a3c35721ac5ce2d482f588a6c2cd34ca&oe=547C3E13&__gda__=1417809832_e0ee45878cbbe3b33786c139a7cc9f2c" title="" /></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dari
trend cakupan penimbangan balita untuk memantau status gizi balita
menunjukkan trend yang sangat fantastis, dari 45,09% menjadi 91,13%. Hal
ini menunjukkan upaya pencatatan dan pelaporan yang menunjukkan
peningkatan luar biasa.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Satu pondasi telah diletakkan. Pencatatan dan pelaporan pada seluruh balita “<i>by name, by address</i>” telah dilakukan. Langkah selanjutnya tinggal perbaikan sesuai indikasi status gizinya.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>INDIKATOR KESEHATAN IBU DAN ANAK</b></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Bagaimana
dengan indikator KIA? untuk cakupan persalinan ke tenaga kesehatan
terdapat perubahan definisi variabel yang menjadi lebih ketat. Pada
Riskesdas tahun 2007 persalinan ke tenaga kesehatan dicakup semua tanpa
melihat tempat persalinannya. Sedang untuk Riskesdas 2013 menjadi lebih
ketat. Hanya persalinan oleh tenaga kesehatan yang dilakukan di
fasilitas kesehatan saja yang dicatat. Meski demikian, Kabupaten Lombok
Barat tetap membukukan catatan peningkatan persentase yang signifikan.
Pada tahun 2007 tercatat hanya 76,45% saja persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan, sedang pada tahun 2013 tercatat 90,90% ibu-ibu yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan.</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Untuk dua indikator mutlak lainnya, pemeriksaan KN1 dan imunisasi lengkap, juga menunjukkan peningkatan yang memuaskan;</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/10474221_10201910756165205_4960600504505148619_n.jpg?oh=ef0c885f4cfc2e5296214e2e4b3639a0&oe=547511D4&__gda__=1415316011_3a13ac36e6305777118e7dc06e523e7b" title="" /></span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Sebuah pencapaian yang membuat senyum simpul... </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Senyum dikulum... </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Senyum semangat! </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Semacam menunggu transferan gaji siang nanti </span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Senyuman lebar tanggal 1!</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Hahahahahaha....</span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><b>-ADL-</b></span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-26339121035252972532014-08-06T08:42:00.000+07:002014-08-20T10:11:24.900+07:00e book 4 free: Pro-Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube<div>
<h2 class="_5clb">
</h2>
</div>
<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<div class="separator" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;">
<img alt="" class="photo_img img" height="200" src="https://scontent-b-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xfp1/t1.0-9/10294422_10201273160905722_4605505555611391121_n.jpg" title="" width="139" /></div>
<span style="font-size: large;"><span class="photo "></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">"Pesan
yang disampaikan kelompok pro rokok disampaikan dengan sangat baik.
Pihak pro rokok sangat cerdik menampilkan pesan-pesan sosial yang
atraktif (simbol kejantanan atau kesetiakawanan sosial). Sedang upaya
yang dilakukan oleh pihak kontra rokok terlalu terpaku pada pendekatan
normatif yang mengutamakan aspek legal yang kaku dan ‘tidak
bersahabat’."</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Editor:</span><br />
<span style="font-size: small;">Rachmad Hargono</span><br />
<span style="font-size: small;">Agung Dwi Laksono</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Kontributor:</span><br />
<span style="font-size: small;">Agung Dwi Laksono</span><br />
<span style="font-size: small;">Diyan Ermawan Effendi</span><br />
<span style="font-size: small;">Eka Denis Machfutra</span><br />
<span style="font-size: small;">Hario Fisto Megatsari</span><br />
<span style="font-size: small;">Pulung Siswantara</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">ISBN 978-979-21-3970-9</span><br />
<span style="font-size: small;">© 2014 PT Kanisius</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">204 halaman</span></div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-43193038484569771702014-08-06T07:40:00.001+07:002014-08-20T09:39:51.595+07:00Buku "MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan"<br />
<br />
<span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" height="200" src="https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/t31.0-8/q71/s720x720/10443074_10201777400551398_2470770049211248274_o.jpg" title="" width="140" /></span><br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Penulis</span></u><br />
Endang Puji Astuti<br />
Mara Ipa<br />
M. Umar Riandi<br />
Tri Wahono<br />
<br />
<u><span class="fbUnderline">Editor</span> </u><br />
Lukman Hakim<br />
<br />
ISBN 978-979-21-3969-3<br />
<br />
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)<br />
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281<br />
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011<br />
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349<br />
Website : <a href="http://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.kanisiusmedia.com%2F&h=9AQHtouit&s=1" rel="nofollow" target="_blank">www.kanisiusmedia.com</a><br />
E-mail : office@kanisiusmedia.com<br />
<br />
104 halaman<br />
<br />
<br />
Filariasis
(penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui vektor nyamuk, telah lama
menjadi ancaman bagi masyarakat. Namun, hal itu dianggap tidak penting
dan tidak menjadi target utama pengendalian penyakit menular karena
tidak menimbulkan kematian. Padahal, sebenarnya penyakit ini menimbulkan
kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, serta penurunan
produktivitas bagi penderita, keluarga, dan masyarakat sehingga berujung
pada kerugian ekonomi.<br />
<br />
Buku ini hadir untuk mengenalkan
filariasis di Jawa Barat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat
mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan semoga dapat
menunjang program eliminasi. Namun, buku ini tentulah masih memiliki
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbang saran guna
melengkapi dan memperbaikinya.<br />
<br />
<br />
<u><b>Daftar Isi</b><b> </b></u><br />
<br />
Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN<br />
<i>M. Umar Riandi, Tri Wahono</i><i> </i><br />
<br />
Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS<br />
<i>Endang Puji Astuti, Mara Ipa</i><i> </i><br />
<br />
Bab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN FILARIASIS<br />
<i>Tri Wahono, M. Umar Riandi</i><i> </i><br />
<br />
Bab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS<br />
<i>Mara Ipa, Endang Puji Astuti</i><br />
<br />
<i><b>sila tulis email di kolom komen bila menginginkan ebook buku ini...</b> </i>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com27tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-62163661247993035512014-08-04T08:16:00.000+07:002014-08-04T08:16:22.203+07:00Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 3 - terakhir)<span class="timelineUnitContainer"></span><div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong>Pandangan Tokoh Masyarakat; Seperti MUSUH!</strong></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pandangan
tokoh-tokoh masyarakat Etnik Muyu seringkali selalu bertahan secara
normatif menurut keyakinan-keyakinan religius Etnik Muyu. Meski sebagian
besar dari mereka telah mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, tetapi
tetap saja pandangan mereka terhadap keyakinan-keyakinan Muyu yang
banyak dilandasi kekuatan supernatural dan roh-roh halus terbukti eksis,
bertahan sangat kuat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Kuatnya keyakinan tersebut juga sangat mempengaruhi pandangan-pandangan mereka terhadap <em>ìptèm</em>
yang melekat pada perempuan Muyu sebagai akibat poses persalinan dan
atau menstruasi. Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), salah satu tokoh
masyarakat yang tinggal di Kampung Mindiptana menjelaskan bahwa;</span></span><br />
<br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Adat Muyu itu meyakini bahwa perempuan Muyu yang sedang bersalin itu bisa mempengaruhi laki-laki punya kekuatan, <em>waruk</em>-nya
bisa melemah. Itu apa... karena itu harus disiapkan tempat lain di luar
rumah... laki-laki yang harus membangun pondok kecil itu. Para
perempuan... ibu atau saudara perempuan yang melahirkan... atau bisa
juga tante-tantenya yang mengurusi semuanya... laki-laki tidak boleh
mendekat... itu dilarang sama sekali!”</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Dengan
sangat meyakinkan lelaki Muyu mantan Kepala Sekolah SMA YPPK yang paham
teks berbahasa Belanda itu menegaskan, “...itu perempuan yang sedang
bersalin itu seperti musuh! <em>Amòp</em> (pamali atau pantangan) bila laki-laki mendekat!”</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Seperti
“MUSUH”! Demikian tokoh masyarakat Etnik Muyu ini mengibaratkan
perempuan Muyu yang sedang bersalin. Tegas dan penuh keyakinan
dinyatakan bahwa laki-laki Muyu harus menjauhi perempuan yang sedang
bersalin sampai dengan beberapa hari hingga dianggap perempuan tersebut
bersih dari <em>ìptèm </em>persalinan yang bisa membawa malapetaka bagi laki-laki Muyu.<span> </span>Saking kerasnya larangan untuk mendekati perempuan Muyu saat mengalami hal tersebut, hingga dinyatakan sebagai <em>amòp </em>(pamali) bagi laki-laki Muyu mendekati tempat perempuan yang sedang bersalin.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Perempuan Muyu itu perempuan yang sangat kuat pak...,” terang Phillips Leonard Bonggo; </span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Perempuan
Muyu itu biasa melahirkan sendirian tanpa teriak-teriak. Makanya saya
heran dengan perempuan jaman sekarang yang melahirkan di rumah sakit
pakai teriak-teriak segala. Di sini kalau melahirkan itu senyap...”. </span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Keterangan Phillips Leonard Bonggo ini di’<em>amin</em>’i
oleh Thadeus Kambayong (54 tahun; Kepala Puskesmas Mindiptana), dan
rekannya seangkatan waktu mengenyam pendidikan SLTP, Victor Tenjab (52
tahun), “iya pak... kalau dia teriak-teriak akan dimarahi oleh
suaminya...”. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Senada dengan Phillips Leonard
Bonggo, salah satu tokoh masyarakat Etnik Muyu lainnya, Yohanes Konambe
(67 tahun), menyatakan bahwa persalinan, sama dengan halnya menstruasi,
yang dalam prosesnya melibatkan darah kotor yang harus dikeluarkan.
Darah inilah yang diyakini mempunyai supernatural jahat yang bisa
membuat laki-laki Muyu melemah. Kesaktian yang dimiliki laki-laki Muyu (<em>waruk</em>),
bisa menjadi berkurang daya supernaturalnya. Mantra-mantra yang dirapal
saat menggunakan ilmu kesaktiannya bisa tidak mempan atau tidak
berjalan. “Untuk itulah maka perempuan Muyu yang mau melahirkan
dibuatkan pondok khusus agar melahirkan di luar rumah. Tidak
mempengaruhi seisi rumah...,” jelas lelaki pensiunan Dinas Kesehatan
Kabupaten Merauke ini.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pernyataan tentang
“kotor”nya darah wanita yang sedang bersalin dan menstruasi ini juga
dikuatkan oleh tokoh masyarakat Muyu lainnya, Paulinus Wikom (72 tahun).
Lelaki Muyu sangat senior yang masih terlihat segar bugar ini
menyatakan bahwa memang darah menstruasi dan persalinan diyakini
mempunyai pengaruh pada orang-orang di rumah, terutama pada orang-orang
tua;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...itu dulu pak... memang ada
pengaruhnya pak, terutama pada orang-orang tua. Karena itu memang
disediakan tempat tersendiri. Perempuan yang sedang bersalin
disendirikan di suatu tempat... tapi sudah lama saya tidak melihat ada
yang melahirkan di <em>bévak. </em>Mungkin sudah mulai sekitar tahun 50-an saya tidak melihat lagi...”.</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pernyataan
lelaki Muyu yang menjabat sebagai Kepala Kampung Mindiptana, tetapi
tinggal di Kampung Kamka ini terlihat selaras dengan informasi yang
didapatkan peneliti di lapangan. Tetapi di Kampung Kamka, tempat
Paulinus Wikom tinggal, peneliti mendapati bahwa masih sangat kental
pendapat masyarakat yang menyatakan bahwa <em>amóp</em> bagi seorang
perempuan Muyu untuk melahirkan di dalam rumah. Baru saja seorang
perempuan Muyu melahirkan di rumput-rumput pekarangan luar rumah.
Perempuan Muyu itu melahirkan belum ada satu bulan berselang, rumahnya
pun terletak tak jauh di atas rumah Paulinus Wikom. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pernyataan sedikit berbeda tentang yang terkena dampak dari <em>ìptèm</em> perempuan bersalin ini dilontarkan oleh Pius Birak (69 tahun). Kepala Kampung Awayangka ini menyatakan;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...sebenarnya yang terkena dampak dari <em>ìptèm</em>
perempuan yang sedang bersalin itu bukan hanya laki-laki pak. Tetapi
bisa mengena pada seluruh anggota rumah atau siapapun yang mempunyai
darah panas. Kalau mereka tidak berdarah panas... ya tidak apa-apa...
tidak terkena dampaknya...”.</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Informasi
tentang darah panas dan darah dingin ini terasa agak kurang jelas dan
simpang siur. Saat peneliti mencoba mencari tahu bagaimana cara
membedakannya? Rata-rata jawaban informan menyatakan bahwa bila berada
di dekat orang yang sedang bersalin, dan atau mengalami menstruasi, dan
ternyata mereka sakit, maka itu disebut sebagai berdarah panas. Jadi
harus dicoba dulu, sakit atau tidak? baru ketahuan apakah seseorang
berdarah panas atau dingin.<span> </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Peneliti mencatat, informan-informan yang memberikan informasi terkait<em> ìptèm </em>perempuan
Muyu yang sedang bersalin ini adalah pemuka-pemuka masyarakat Etnik
Muyu yang mempunyai pendidikan relatif memadai. Mereka merupakan
orang-orang Muyu yang telah mengenal pandangan-pandangan moderen tentang
kesehatan dan masalah-masalah persalinan perempuan.</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><strong><span class="fbUnderline">Pandangan Masyarakat; Orang Jaman</span></strong></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Masyarakat Etnik Muyu tidak semuanya mempunyai pandangan yang seragam tentang tradisi melahirkan di <em>bévak. </em>Mereka
yang tinggal di dekat Puskesmas dan Rumah Sakit Bergerak sudah
melakukan persalinannya di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, atau
setidaknya berniat melakukannya di sana.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Berikut
penuturan dua orang perempuan Muyu yang tinggal di “Kota” Mindiptana,
Faustina Kutmoh dan Marlina Warem. Dua perempuan Muyu ini mengaku
sebagai orang Muyu yang lebih moderen daripada tetangganya yang tinggal
di kampung sekitar Mindiptana;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Kami ini orang jaman (moderen) pak... kalo mau melahirkan ya ke rumah sakit. Sudah tidak ada itu apa... melahirkan di <em>bévak</em>. Itu dulu waktu saya masih kecil, atau kalau sekarang mungkin masih ada di kampung-kampung atas sana...”</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>(Faustina Kutmoh, 43 tahun)</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>“...saya tidak pernah melahirkan di <em>bévak </em>pak...
Kalo dulu ya melahirkannya ke Puskesmas pak... sekarang sih semua sudah
pindah di rumah sakit itu... rumah sakit bergerak... di Kampung Osso.
Puskesmas sudah tidak melayani lagi... semua pindah”</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>(Marlina Warem, 29 tahun)</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Fakta
empiris ini diperkuat oleh Urbanus Warem (53 tahun). Laki-laki Muyu
yang merupakan Staf Pemerintahan Kampung Mindiptana ini menyatakan;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Di sekitar Kampung Mindiptana ini saya su lama tidak melihat orang Muyu membangun atau mendirikan <em>bévak</em> untuk perempuan yang sedang menstruasi atau bersalin pak. Su tidak ada lagi... semuanya sudah ke rumah sakit...”</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Seorang perempuan Muyu, Suzana Biyarob (31 tahun), yang tinggal di Kampung Osso mengaku melakukan persalinannya di<em> bévak.</em>
Meski tinggal relatif tidak jauh dari Rumah Sakit Bergerak, namun
perempuan Muyu yang merupakan istri petugas keamanan di Rumah Sakit
Bergerak ini mengaku melahirkan dengan dibantu Bidan Felly di <em>bévak;</em></span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...waktu
itu mendadak sekali pak... waktu itu jam tujuh malam. Rumah Sakit
Bergerak itu... masih tutup. Saya minta dipanggilkan bidan untuk tolong
persalinan. Jadi akhirnya melahirkan di <em>bévak</em> saja, tidak jadi ke rumah sakit. ”</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Perempuan
Muyu bertubuh langsing ini melahirkan anaknya Maria Magdalena sekitar
satu setengah tahun lalu. Suzana Biyarob mengaku tinggal sendirian di <em>bévak</em> selama tiga hari-dua malam. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pengakuan
berbeda dikemukakan oleh Martina Denkok (30 tahun). Perempuan Muyu yang
tinggal di Kampung Kamka ini mengaku sudah membantu empat persalinan
perempuan Muyu lainnya. Kesemuanya merupakan kasus persalinan
“mendadak”, dan kesemuanya dilakukannya di luar rumah;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...yang
penting itu pokoknya melahirkan bayinya itu di luar rumah pak. Itu
pamali bagi kami... membawa darah dari persalinan perempuan di dalam
rumah. Itu kotor pak... <em>tra</em> (tidak) boleh masuk dalam rumah... pamali... itu <em>amòp!</em>”</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pengakuan
Martina Denkok ini diperkuat oleh pernyataan Ancelina Temkon (17
tahun). Perempuan Muyu yang tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasar-nya ini baru satu bulan berselang (24 April 2014) melahirkan
anaknya yang ke-dua. Ancelina melakukan persalinannya di rumput-rumput
dekat kandang babi di rumah kakak ipar perempuannya;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...waktu
itu mendadak sekali pak... jam empat subuh. Saya sudah merasa sakit
sekali, mau jalan ke Rumah Sakit Bergerak sudah tidak mungkin... baru
sampai di depan rumah kakak saya sudah tidak tahan... akhirnya turun ke
situ di rumput-rumput... karena tidak bisa melahirkan di dalam rumah
to.”<span> </span></span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Bagi
perempuan hamil Muyu yang tinggal di Kampung Kamka, yang berjarak
relatif dekat dengan Rumah Sakit Bergerak, sekitar empat sampai lima
kilometer, hampir semuanya tidak dibuatkan <em>bévak </em>untuk persalinannya nanti. Hal ini lebih dikarenakan semua kelahiran direncanakan untuk dilakukan di Rumah Sakit Bergerak.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Berbeda
dengan yang tinggal di dekat “Kota” Mindiptana, mereka yang tinggal di
kampung agak jauh dari Mindiptana cenderung masih mempertahankan tradisi
persalinan di <em>bévak. </em>Seringkali alasan yang diutarakan adalah karena tidak mungkin mencapai Rumah Sakit Bergerak pada saat-saat menjelang persalinan.</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Ya harus dibuatkan <em>bévak</em>
pak. Mau melahirkan dimana? Tidak boleh melahirkan di dalam rumah to.
Kan tidak mungkin dari sini (Kampung Wanggatkibi; berjarak sekitar 15
kilometer) jalan kaki ke Rumah Sakit Bergerak... tidak ada motor to...”</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>(Victor Tenjab, 52 tahun)</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Senada
dengan pernyataan Victor Tenjab di Kampung Wanggatkibi, bidan di
Puskesmas Mindiptana, Natalia Tuwok (35 tahun), menyatakan bahwa di
Kampung Imko perempuan Muyu yang hendak bersalin juga dibuatkan <em><span>bévak, </span></em><span>“Kampung Imko jaraknya mungkin terlalu jauh pak. Kami menjangkaunya juga berat. Jadi mereka membuat <em>bévak </em>untuk persalinan...,” jelasnya dengan raut muka mendung.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Konfirmasi
terhadap informasi terkait persalinan di pelayanan kesehatan digali
peneliti di bagian persalinan Rumah Sakit Bergerak. Fasilitas pelayanan
kesehatan satu-satunya yang melayani persalinan di kawasan Distrik
Mindiptana, Kombut, Sesnukt, Woropko dan sekitarnya ini mengaku hanya
menolong kurang lebih sekitar empat persalinan per bulan di fasilitas
pelayanannya. Dalam pengamatan memang hanya tersedia dua tempat tidur
fasilitas rawat inap untuk ibu bersalin, dengan jumlah tenaga bidan yang
mencapai empat orang.</span><span> </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong>Denda Adat</strong></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Hari
masih pagi, masih jam 08.30 WIT. Puskesmas baru saja buka saat seorang
perempuan Muyu berjalan menuju gerbang Puskesmas. Perempuan yang
terlihat masih sangat muda itu menggendong bayinya sambil memegang
payung. Hari ini Sabtu, tanggal 21 Juni 2014, Puskesmas ada jadwal
pelayanan untuk kesehatan bayi.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Baru saja
sampai pintu masuk Puskesmas, perempuan muda Muyu itu menoleh, mendengar
teriakan yang memanggil-manggil namanya. “Hei ke sini kau... bayar dulu
dendanya! Berhenti dulu!” teriak seorang laki-laki Muyu dengan sangat
lantang.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Ah... urusan apa itu... saya <em>tra</em> peduli...!” perempuan itu berteriak membalas sambil berlari terbirit-birit masuk ke dalam Puskesmas. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Seperti
tidak terima, laki-laki berambut gimbal itu masuk menyusul ke dalam
Puskesmas sambil berteriak-teriak kasar, “Ke sini kau... berhenti dulu!
Enak saja bersalin di rumah orang. Buang sial... gak mau bayar denda!
Bayar dulu!”</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sambil menggendong bayinya,
perempuan Muyu itu dengan sangat ketakutan bersembunyi di ruang kepala
Puskesmas. Sayangnya Thadeus Kambayong (54 tahun), Kepala Puskesmas
Mindiptana, yang diharapkannya bisa memberinya perlindungan sedang tidak
berada di tempat. Dia sedang mengambil raport anaknya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Lelaki
itu terus berusaha mencari-cari si perempuan Muyu sambil tetap
berteriak-teriak. Terdengar beberapa kali suara-suara keras semacam
pukulan. “Kau itu sudah bikin sial rumah orang, harus bayar denda! Ayo
keluaaar!” akhirnya lelaki Muyu itu menemukan tempat persembunyian si
perempuan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Dengan sesenggukan perempuan itu
menjawab,”Kami akan bayar... kami sedang kumpul-kumpul uang...”. Tangis
ketakutan perempuan Muyu itu terdengar semakin keras, karena bayinya
yang baru merumur enam bulan juga ikut menjerit ketakutan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Tidak
bisa! Bayar sekarang!” tukas lelaki berbadan gempal itu. Laki-laki itu
bersikap seperti mau memukul si perempuan Muyu. Meski akhirnya
pukulannya diarahkan ke tembok Puskesmas.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Suster
Rosa Mianip (52 tahun) yang melihat kejadian itu turut berbicara, ”Hei
Lukas! Jangan bikin ribut di sini! Pergi sana! Nanti kau bikin rusak
Puskesmas lagi! Keluar!”</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Lelaki itu melengos,
sambil tetap berteriak-teriak memaki si perempuan Muyu yang berurai air
mata. Sampai akhirnya perempuan itu bisa melepaskan diri, lari
terbirit-birit keluar Puskesmas sambil menjerit-jerit. Sementara lelaki
itu tetap saja berteriak-teriak menagih denda.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Akan kulaporkan kau...!” ancam si perempuan Muyu sambil berlari.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Laporkan
saja! Ayo bawa sini suamimu! Enak saja gak mau bayar denda! Itu lapor
sekalian ke Koramil atau Polsek, saya tidak takut!” balas si lelaki.
Sampai seperempat jam kemudian lelaki Muyu itu tetap saja
berteriak-teriak tak jelas.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Lelaki itu berangsur agak tenang setelah ada seorang anggota Koramil 1711-02 Distrik Mindiptana yang datang menenangkannya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Kejadian
itu tak cukup berhenti sampai di situ, sorenya suami si perempuan Muyu
datang sambil membawa parang. Cekcok dan adu mulut tak terelakkan.
Untung saja tidak sampai ada kejadian berdarah. Kesepakatan soal
pembayaran denda bisa diselesaikan secara adat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>***</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span>Lelaki
Muyu berbadan gempal dengan penampilan rambut gimbal semacam Bob Marley
(penyanyi reggae asal Jamaika) itu adalah Lukas Kindom (38 tahun).
Sedang si perempuan Muyu itu sebenarnya adalah keponakan sendiri, anak
dari adik ibu Lukas yang tinggal di Kampung Kamka. </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Kejadian
berawal pada tanggal 24 Desember 2013 lalu, saat si keponakan bersalin
di ruang tamu rumah Lukas Kindom. Sebenarnya perempuan Muyu itu hendak
bersalin di Puskesmas, tetapi karena masih pembukaan dua, masih perlu
waktu cukup lama untuk sampai pada pembukaan penuh, maka dia memilih
istirahat dahulu di rumah Lukas yang tidak lain adalah Om-nya. Rumah
Lukas Kindom yang terletak di dekat Puskesmas memang lebih masuk akal
dipakai sebagai tempat istirahat daripada dia pulang ke rumahnya sendiri
di Kampung Kamka.<span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Tapi
apa lacur, ternyata bayinya keburu keluar, maka mau tak mau bidan
Puskesmas menolong persalinan di ruang tamu rumah itu. Tak pelak ada
darah tercecer di tempat itu. Bagi masyarakat Etnik Muyu darah
persalinan membawa pengaruh yang buruk (<em>ìptèm</em>). Pengaruh dari hawa darah persalinan yang bisa menyebabkan sakit bagi orang yang tinggal di dekatnya. Karena itu <em>amòp</em> (pamali) bagi perempuan Muyu untuk melahirkan di dalam rumah, dia harus diasingkan ke tempat lain, <em>bévak</em>. </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Ceritera
itu masih ditambah adanya realitas lain, bidan yang menolong persalinan
keponakan Lukas Kindom tersebut tak lama kemudian, pada bulan Desember
2013 jatuh sakit, dan pada bulan Februari 2014 akhirnya meninggal dunia.
Realitas meninggalnya bidan penolong persalinan tersebut dianggap Lukas
Kindom sebagai fakta tambahan akibat <em>ìptèm </em>persalinan keponakannya. Hal ini semakin menguatkan keinginan Lukas untuk menuntut denda pada keponakannya.<span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Apabila
ada kejadian semacam itu, melahirkan di suatu tempat atau rumah orang
lain, maka sudah suatu hal yang lazim akan dikenakan denda pada keluarga
yang bersangkutan. Denda adat yang dikenakan merupakan pengganti dari
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat <em>ìptèm</em> persalinan.</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...itu
sudah biasa di sini pak... sudah umum. Karena diyakini masyarakat sini
darah persalinan itu bisa menyebabkan sakit atau kesialan pada rumah
yang terkena, bisa menyebabkan jatuh sakit, jadi harus ada denda. Itu
sudaah!” </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>(Hendrikus Kamben, 42 tahun)</span></span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Senada
dengan Hendrikus Kamben, Florentina Amboktem (40 tahun) juga menuturkan
bahwa denda juga bisa dikenakan sebagai akibat hilangnya kesaktian
laki-laki Muyu yang berada di tempat kejadian; </span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Resikonya itu pada diri kita sendiri pak... keluarga kita yang tinggal serumah. Bila persalinan dilakukan di rumah, <em>dema</em>
(Roh halus, lelembut atau dewa-dewi penguasa suatu tempat) yang
menghuni rumah bisa marah dan kasih sakit seluruh penghuni rumah....
orang-orang yang punya kemampuan mantra-mantra (<em>waruk</em>) juga akan marah-marah pak, karena dia pu kemampuan akan pergi... bisa kena denda...”.</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebagai
laki-laki Muyu yang pernah mengikuti inisiasi, (Upacara pendewasaan
bagi anak laki-laki Muyu tentang filosofi hidup orang Muyu atau
pendidikan karater), maka sudah tentu Lukas Kindom meyakini dirinya
mempunyai <em>waruk </em>(mantra-mantra kesaktian) sebagaimana layaknya laki-laki Muyu lainnya. Lukas Kindom mengaku daya kemampuan <em>waruk</em>-nya menjadi berkurang disebabkan <em>ìptèm</em>
persalinan keponakannya tersebut. Hal inilah yang semakin mendorongnya
untuk terus menuntut segera diselesaikannya urusan denda adat ini.</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...saya
punya rumah juga sudah dikotori darah saya pu keponakan perempuan, dia
kasih lahir anaknya di dalam rumah. Itu bisa jelek bagi orang yang
tinggal di dalam saya punya rumah. Bisa bikin penyakit batuk, panas,
sampai <em>waruk</em> hilang...”.</span></span></blockquote>
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Untuk
semua “kerugian” yang dideritanya, Lukas Kindom menuntut denda adat
sebesar sepuluh juta rupiah pada keponakannya. Berdasarkan kesepakatan
akhir yang disaksikan oleh pihak kepolisian setempat, diberi tenggang
waktu tertentu pada pihak keponakan Lukas untuk melunasi denda adat
tersebut.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Besaran denda adat
yang dikenakan untuk kasus seperti ini sangat bervariasi, tergantung
pada keyakinan seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh<em> ìptém</em> perempuan Muyu yang sedang bersalin terhadap tuan rumah. Semakin tinggi <em>waruk</em>
(kesaktian) yang dimiliki tuan rumah, maka semakin tinggi denda yang
bisa dikenakan, karena dia merasa kasus ini sangat merugikan;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...besaran dendanya sangat tergantung pada dia pu barang-barang (jimat kesaktian) dan dia pu kekuatan pak (<em>waruk</em>). Semakin dia pu itu semakin besar dendanya... bisa sampai puluhan juta rupiah. Biasa antara sepuluh... dua puluh juta...”</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>(Petrus Komaop, 58 tahun)</span></span></blockquote>
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><strong><span class="fbUnderline"> “Melawan” Tradisi?</span></strong></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Bagi kebanyakan perempuan Etnik Muyu, melahirkan di <em>bévak</em>
seringkali merupakan satu-satunya pilihan saat dihadapkan dengan
masalah transportasi dan atau waktu persalinan yang tidak menguntungkan.
Seperti yang terjadi pada Suzana Biyarob (31 tahun), perempuan Muyu ini
sebenarnya bersedia untuk melahirkan di Rumah Sakit Bergerak, hanya
saja waktunya tidak pas, si jabang bayi keburu lahir saat malam, saat
Rumah Sakit bergerak masih tutup. Maka pilihannya hanya melakukan
persalinan di <em>bévak, </em>bukan di rumah!</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Mendengar
pengakuan dan mengamati apa yang terjadi di lapangan pada masyarakat
Etnik Muyu, terlihat bahwa sebagian besar dari mereka, terutama yang
hidup di sekitar Puskesmas dan Rumah Sakit Bergerak, sudah mempunyai
kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan moderen. Apalagi
akses pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kebidanan tersebut telah
terbuka sangat lebar, semuanya ditanggung oleh Pemerintah.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span>Meski demikian, peneliti merasakan masih terdapat kepercayaan yang kuat terhadap pengaruh <em>ìptèm</em>
perempuan Muyu yang sedang bersalin. Fakta empiris memang menunjukkan
bahwa perempuan Etnik Muyu yang tinggal di “perkotaan” Kampung
Mindiptana sebagian besar sudah melakukan persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan. Bahkan mereka melakukannya lebih baik daripada
perempuan-perempuan di Jawa, mereka melakukan persalinannya tidak di
rumah, tetapi di rumah sakit. Realitasnya memang terjadi peningkatan
persalinan di Rumah Sakit Bergerak. Tetapi justru fakta empiris inilah
yang menjadi dasar pertimbangan peneliti, bahwa masyarakat Etnik Muyu
masih sangat mempercayai pengaruh “kotor”nya perempuan yang sedang
bersalin. Tingginya keyakinan masyarakat Etnik Muyu bahwa darah
persalinan bisa membawa pengaruh buruk. </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span>Alasan
perempuan Etnik Muyu melakukan persalinan di Rumah Sakit adalah “asal”
bersalin di luar rumah. Dalam melakukan persalinan, pilihan tempat bagi
perempuan Etnik Muyu adalah di <em>bévak</em>; atau Puskesmas;<em> </em>atau
rumah sakit; atau dimanapun; asal tidak di dalam rumah! Se-moderen
apapun pemikiran mereka, tetap saja kesan mendalam bahwa perempuan itu
“kotor” saat bersalin masih melekat erat. Bagaimanapun mereka telah
ratusan tahun hidup dengan keyakinannya tersebut, keyakinan bahwa <em>ìptèm</em>
(supernatural) perempuan Muyu yang sedang “kotor” ini diyakini bisa
mengakibatkan banyak hal buruk, terutama bagi laki-laki. Kesaktian
laki-laki Muyu bisa luntur, <em>waruk</em> yang dimilikinya bisa tidak mempan, tidak memiliki daya kesaktian lagi.<span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span>Pernyataan
kesimpulan peneliti atas keyakinan masyarakat Muyu ini setidaknya
dikuatkan oleh fakta empiris yang diungkapkan Dokter Yohannes Indra (29
tahun). Dokter PTT asal Bandung yang ditugaskan di Rumah Sakit Bergerak
ini menyatakan bahwa;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“...awalnya saya
heran pak, kenapa baju-baju ibu bersalin di sini dikumpulkan, tetapi
bukan untuk dicuci. Semuanya... baik baju-baju maupun kain yang sudah
terkena darah persalinan dimasukkan dalam satu plastik... katanya mau
dibakar semua... karena tidak boleh dipakai lagi... bawa penyakit...”</span></span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Fakta
empiris lainnya juga diungkapkan oleh Adolfia Tepu (44 tahun). Bidan
Koordinator Program Kesehatan Ibu dan Anak yang telah 28 tahun bertugas
di Puskesmas Mindiptana ini menyatakan bahwa;</span></span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><span>“Iya
pak... mereka itu kalo melahirkan di sini (Puskesmas), suaminya ga ada
yang menunggui istrinya. Biasanya ibunya atau saudaranya yang perempuan
itu yang menemani, yang laki-laki biasanya hanya mengantar saja, melihat
dari jauh, ga ada yang mau masuk...”</span></span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><span><span> </span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Pada kondisi demikian, meski terlihat masih sangat tinggi kepercayaan pada buruknya <em>ìptèm</em>
perempuan Muyu yang sedang bersalin, tetapi justru peneliti melihat
peluang yang cukup baik bagi Pemerintah (Dinas Kesehatan Boven Digoel
dan atau Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) untuk “melawan”
tradisi pada posisi ini. Karena kepercayaan yang mereka yakini tersebut
pada akhirnya dapat membuat akses persalinan ke pelayanan kesehatan
menjadi lebih baik. Pemerintah hanya harus lebih siap menyediakan akses
fasilitas tempat persalinan yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih
tersebar sampai ke seluruh daerah pemukiman masyarakat Muyu di Distrik
lain di wilayah Utara.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Peluang
pada Etnik Muyu ini terlihat sangat menarik dan terlihat lebih
memungkinkan untuk diintervensi. Hal ini berbeda dengan temuan Agung Dwi
Laksono, dkk. (2014), pada Etnik Madura di Kabupaten Sampang, Propinsi
Jawa Timur. Dilaporkan bahwa, masyarakat Madura di Sampang masih sangat <em>minded </em>terhadap pelayanan dukun bayi. Tercatat </span><span>ada 518 dukun bayi</span><span> di Kabupaten Sampang, lebih dari dua kali lipat bidan yang hanya ada</span><span> 207 </span><span>orang.
Bertolak belakang dengan masyarakat Etnik Muyu yang berkeyakinan
“harus” melahirkan di luar rumah, masyarakat Etnik Madura justru lebih
senang melahirkan di dalam rumah, sehingga petugas kesehatan lebih
sering menyerah bila diminta membawa perempuan Madura bersalin di
fasilitas pelayanan kesehatan. Jalan tengah yang diambil adalah
pelayanan dilakukan oleh tenaga kesehatan, meski tidak di fasilitas
pelayanan kesehatan.</span><span> </span></span><br />
</div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-79885959427397356662014-08-04T08:14:00.001+07:002014-08-04T08:14:45.495+07:00Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 2)<span class="timelineUnitContainer"></span><span style="font-size: large;"><strong><span>Studi Kasus “Petronela Apai”</span></strong></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><strong><span> </span></strong></span><br />
<span style="font-size: large;"><strong><span> </span></strong></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Studi
kasus pengasingan perempuan Etnik Muyu yang pertama, dilakukan pada
proses persalinan yang dialami oleh Petronela Apai. Penulisan secara
naratif dimulai dengan perasaan Petronela pada saat menerima berita
kehamilan, persalinan, dan sampai dengan tiga hari masa nifas.</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><strong><span class="fbUnderline">Berita Kehamilan; Perasaan Seorang Istri</span></strong></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Di
saat mendapati dirinya sering merasa mual-mual dan pusing, Petronela
mulai berhitung. Petronela menelisik lebih jauh, kapan dia mendapat
menstruasi terakhirnya? Berapa lama dia tidak mendapatkan hal “kotor”
itu? “Ahh… apakah aku beruntung bisa mendapatkan anak ketiga?” pikirnya.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Kepastian
bisa didapatkannya setelah menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas
Mindiptana. Bidan Natalia Tuwok dan Suster Rosa Mianip yang memeriksanya
membuat senyum simpulnya terkembang seharian itu. Petronela dinyatakan
tengah mengandung, menginjak usia kehamilan bulan ke-tiga. Sungguh
keberkahan yang sangat disyukurinya. Anak ke-tiga ini akan melengkapi
hidupnya setelah Samorika Yukamoh (9 tahun) dan Engelbertus Yohanes (2
tahun 7 bulan) hadir terlebih dahulu dari rahimnya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>“Tapi…,“
Petronela menghela nafas panjang mengingat hal itu, tradisi pengasingan
itu, yang harus dijalaninya. Sungguh sesak dadanya membayangkannya.
Kelanjutan kehamilannya enam bulan ke depan, yang harus diakhirinya di
pengucilan. Bayangan <em>tana barambon ambip </em>yang sempit dan dingin
sungguh membuat kebahagiaan dengan berita kehamilan yang baru
diterimanya sekejap hilang. “Haruskah…?” keluhnya.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebagai
seorang perempuan yang terlahir di tengah Etnik Muyu, Petronela merasa
tidak bisa menghindar untuk menjalani persalinan di <em>tana barambon ambip</em>, yang oleh masyarakat di sekitarnya biasa disebut sebagai <em>bévak</em>. Mau tidak mau dia terjebak di dalam adat tradisi yang harus dijalaninya. Tidak ada tawar menawar untuk hal ini.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Petronela merasa lebih nyaman bila dia bisa melahirkan di rumah dibandingkan di <em>bévak</em>,
dan bahkan bila dibanding melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit
sekalipun. Bayangannya pada kesendirian di pondok pengasingan sungguh
membuat Petronela merasa tak nyaman, membuatnya merasa disingkirkan.
“ahh... seandainya bisa memilih... alangkah nyamannya bisa melahirkan di
rumah saja...,” bisik batin Petronela. </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Tetapi
rumah yang ditinggali Petronela saat ini bukanlah rumahnya. Ini rumah
orang tuanya, dimana Petronela dan saudara-saudara dan ipar-iparnya yang
lain tinggal bersama-sama. Dia tak punya kuasa apapun atas rumah ini…</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><strong><span class="fbUnderline">Laki-laki Muyu; Sikap Seorang Suami</span></strong></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Eduardus
Kimbum (35 tahun), adalah seorang suami yang sangat membanggakan bagi
Petronela. Suami yang dirasakan sangat mencintainya dengan sangat. Suami
yang mendukungnya dengan penuh, yang telah memberikan dua anak yang
sangat manis.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Eduardus
yang menikahinya pada tanggal 15 Juli 2013 secara Katolik, meski sudah
menikah secara adat sebelumnya, sangat menginginkan agar Petronela dapat
melahirkan di rumah saja, tidak perlu harus mengasingkan diri ke <em>bévak</em>. Eduardus sangat ingin bisa menemani istri yang sangat disayanginya pada saat-saat penting itu.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebagai
suami-istri, dan juga sebagai sebuah keluarga, Eduardus dan Petronela
sudah sangat jarang merengkuh kebersamaan. Kalau tidak karena kewajiban
untuk segera dapat melunasi hutang <em>tukòn </em>(<em>Tukòn</em> adalah
mahar untuk “membeli” perempuan pada Etnik Muyu) yang diminta kakak
laki-laki Petronela, Eduardus ingin bisa terus bersama-sama dengan
keluarga kecilnya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Harga <em>sensor</em> (gergaji mesin) yang lima belas juta rupiah sebagai <em>tukòn</em>
saat Eduardus mempersunting gadis pujaannya, Petronela Apai, sungguh
berat bagi Eduardus Kimbum yang hanya bekerja sebagai buruh tambang
pasir di Kali Wet-Tanah Merah, yang membuatnya harus hidup terpisah
dengan keluarganya, harus menetap di Tanah Merah. Kalau seandainya kakak
iparnya tidak mengancam akan membongkar rumah bantuan pemerintah yang
hendak diterimanya, mungkin Eduardus akan mengulur waktu melunasi hutang
<em>tukòn</em> tersebut, semata agar bisa lebih sering menemani
istrinya, agar bisa lebih lama menikmati kebersamaan, bersama istri dan
juga buah hatinya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Sungguh,
bagi Eduardus Kimbun dan Petronela Apai sangat mahal arti sebuah
kebersamaan. Kewajibannya sebagai orang Muyu untuk menjalani tradisi,
yang mengharuskan Petronela dikucilkan di <em>bévak</em>, membuat dada
Eduardus sesak. Lelaki Muyu itu menyadari bahwa dia harus mengikuti
tradisi yang sudah digariskan para leluhurnya, tapi sungguh Eduardus
merasa kebersamaan bersama istrinya juga sangat penting bagi mereka.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>“Tidakkah
mereka mengerti kondisi ini?” keluhnya. Tapi tradisi yang hendak
dilawannya terlalu kuat. Masyarakat yang mengelilinginya tidak
memberinya sedikitpun kelonggaran. Keluarga yang diharapkan bisa
mengerti dengan kondisinya pun bersikap setali tiga uang, sama saja,
bersikukuh bahwa Petronela Apai harus dikucilkan di <em>bévak</em>. </span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong>Keluarga Muyu; Keteguhan pada Tradisi</strong></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong> </strong></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Sikap
yang ditunjukkan ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di rumah
panggung turut membuat perasaan Petronela dan Eduardus Kimbum, suaminya,
tak menentu. Sebagian besar dari mereka terus mendesak agar Petronela
melahirkan di <em>bévak. </em>Keluarga besar Petronela tidak mau menanggung <em>iptém</em> persalinan yang mereka yakini akan memberi dampak buruk pada kesehatannya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Petronela
dapat merasakan rasa sayang dan dukungan adik lelaki satu-satunya,
Agustinus Apai (22 tahun), yang sama sekali tidak mau berkomentar soal
keharusan pengucilannya saat bersalin nanti ke <em>bévak</em>. Tapi
apalah daya, satu suara sama sekali tidak berpengaruh banyak dibanding
seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah panggung kayu, tempat dia
dan suaminya menumpang. Victor Tenjab (52 tahun; ayah Petronela) dan
Poli Apai (36 tahun; kakak laki-laki) sama sekali tidak bergeming.
Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke <em>bévak </em>saat bersalin nanti. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sementara
Yosefita Apai (29 tahun), adik perempuan satu-satunya, yang diharapkan
dapat mendukungnya sebagai sesama perempuan Muyu, untuk sebuah
kelonggaran terhadap tradisi yang sudah turun temurun itu, ternyata tak
juga bisa membesarkan harapannya. Yosefita seakan sama sekali tidak
peduli hal itu. Dia turut bersuara keras agar <em>bévak </em>segera
dibangun, agar tidak terlambat didahului sebuah kelahiran, seperti
dahulu, saat Petronela melahirkan yang anak yang pertama, Samorika
Yukamoh, yang keduluan lahir sebelum <em>bévak </em>sempat didirikan.
Theresia Kiripan (26 tahun), perempuan Muyu lainnya yang tinggal di
rumah kayu panggung pun bersikap sama saja dengan Yosefita Apai. Kakak
ipar Petronela itu turut mendukung suaminya, Poli Apai, untuk
mengasingkan Petronela di <em>bévak</em>.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Mau
tidak mau pengucilan harus dijalani Petronela. Meski jauh di lubuk
hatinya Petronela enggan, sangat enggan! Tradisi harus dijunjung tinggi
bila tidak mau dijauhi, adat harus dipegang kuat bila tak ingin
dilaknat, dan bahkan bila Petronela terpaksa harus sekarat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebuah
ketakutan besar yang memenuhi kepala Petronela bila tradisi pengasingan
turun-temurun itu dilanggar, bila Petronela benar-benar harus dihukum,
dijauhi keluarganya. Dijauhi masyarakat Petronela masih merasa bisa
bertahan. Tapi dijauhi keluarga? Sungguh Petronela tak kuasa
membayangkan hal itu. Bagaimana bila dia diusir dari rumah panggung itu?
Bagaimana bila dia harus putus hubungan dengan keluarganya? Bagaimana
dia harus menjelaskan pada anak-anaknya bila bertanya tentang kakeknya?</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span><span><strong><span class="fbUnderline">Membangun <em>Bévak</em>; Rumah Pengasingan</span></strong></span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span><span><strong><span class="fbUnderline"> </span></strong></span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Saat
itu, baru minggu ke-dua memasuki bulan April 2014, usia kehamilan
Petronela telah mencapai umur sembilan bulan, sebentar lagi saat-saat
menegangkan itu akan segera tiba. Suami Petronela didesak keluarganya
untuk segera mempersiapkan diri membuat <em>bévak, </em>gubuk kecil
sederhana yang akan menjadi ‘rumah tinggal’nya nanti selama beberapa
hari ke depan bersama anak yang akan dilahirkannya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Petronela pun juga berharap, <em>bévak </em>yang
akan segera dibangun suaminya dapat segera selesai. Segera berdiri,
sebelum keburu jabang bayi yang dikandungnya lahir ke dunia. Tidak ada
alasan apapun bagi Petronela untuk mengharapkan segera terselesaikannya<em> bévak</em>
itu, kecuali ketakutan yang sangat besar akan konsekwensi bila
Petronela tidak ikut menjalankan tradisi ratusan tahun yang telah
mendarah daging di masyarakat Etnik Muyu tersebut.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Eduardus
pun bersegera membuat persiapan sederhana. Mengumpulkan daun-daun sagu
untuk dikeringkan, mengukur dan memotong sisa papan yang disimpannya di
bawah rumah panggung, dan mencari beberapa batang kayu berukuran sedang
dan kecil untuk tiang dan kerangka panggung dan atap <em>bévak</em> yang akan dibangunnya nanti. Tak lupa beberapa ruas rotan yang disiapkan untuk tali pengikat daun-daun sagunya nanti.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Eduardus,
dengan dibantu Poli Apai, kakak laki-laki Petronela, menjalin satu
persatu daun-daun sagu yang telah dikeringkan, yang dipergunakan sebagai
dinding, dan juga atap pelindung <em>bévak. </em>Sementara sisa papan yang telah dipotong rapi dipergunakan sebagai dasar lantai panggung <em>bévak</em>.
Entah, apakah dinding dan atap dari jalinan daun-daun sagu itu bisa
menahan hawa dingin hembusan angin wilayah Pegunungan Tengah?</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pada akhirnya berdirilah <em>bévak </em>itu! Rumah pengasingan yang<em> </em>sangat sederhana. Berukuran tak lebih besar dari 1,5 meter x 1,5 meter. Tidak tersedia fasilitas apapun di dalam <em>bévak. </em>Tidak tempat tidur, tidak meja, ataupun kursi. Bagaimana pula meubelair sederhana seperti itu bisa masuk dalam gubuk se”megah” <em>bévak</em>?</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><img alt="Bévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petronela
di Kampung Wanggatkibi" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xap1/v/t1.0-9/p720x720/10421508_10201611545365122_8237672560462939490_n.jpg?oh=397b243079aa9c32b28d5a39b521c6c8&oe=5455CE9F&__gda__=1412915748_a99553824c603f693603c951e7ba277d" title="Bévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petronela
di Kampung Wanggatkibi" /><span class="caption">Bévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petronela
di Kampung Wanggatkibi</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebenarnya </span><span><span><em>bévak </em></span>sederhana
itu dibangun berjarak tak lebih dari 15 meter dari rumah kayu utama
tempat Petronela dan saudara-saudaranya tinggal. Tetapi kondisi jalan
tanahnya yang sangat licin, dan langsung berupa turunan, serta dibangun
di tengah tegalan yang sepertinya tidak terurus, sungguh memerlukan
perjuangan untuk mencapainya. Apalagi bagi Petronela, perempuan Muyu
yang tengah mengandung sembilan bulan. Sembilan bulan!</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="photo "><img alt="Posisi Bévak dari Rumah Panggung Utama, berjarak 15 meter,
di Kampung Wanggatkibi" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpf1/t1.0-9/10463947_10201611554685355_2546386820538072053_n.jpg" title="Posisi Bévak dari Rumah Panggung Utama, berjarak 15 meter,
di Kampung Wanggatkibi" /><span class="caption">Posisi Bévak dari Rumah Panggung Utama, berjarak 15 meter,
di Kampung Wanggatkibi</span></span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong>Saat Persalinan</strong></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong> </strong></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Siang itu, Kamis, 24 April 2014,<strong> </strong>Petronela memakan dengan lahab <em>papéda</em>
buatan suaminya. Dengan kuah ikan kesukaannya, bubur sagu itu terasa
nikmat sekali siang itu. Dengan ditemani Eduardus suaminya, makan siang
hari ini terasa sangat sempurna. Tiba-tiba saja Petronela merasakan
sakit pada perutnya. Pengalaman Petronela sebagai seorang ibu dengan dua
kelahiran sebelumnya membuatnya merasa yakin, bahwa sebentar lagi
waktunya akan tiba. Dia harus bergegas!</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Menurut
perhitungan Bidan Natalia Tuwok dari Puskesmas Mindiptana saat datang
memeriksa pagi tadi, seharusnya Petronela baru akan melahirkan sekitar
jam dua siang. Sekarang masih kurang satu setengah jam lagi dari
perhitungan, tapi rasa-rasanya waktunya sudah dekat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Dengan
memasang tanda salib di tubuhnya, Petronela dilepas suaminya dengan
pandangan yang lekat menatap tak berkedip, Petronela berjalan seorang
diri, menuruni jalan setapak tanah yang terjal itu, menuju rumah
pengasingannya, <em>bévak. </em>Tak lagi sempat memikirkan kesendirian yang hendak dijalaninya, yang ada hanya keinginan untuk segera sampai di <em>bévak. </em>Rasa di perutnya sudah tak tertahankan lagi. Rasanya ingin segera sampai!</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Sebentar
terpeleset, sebentar berdiri tegak, dan sebentar kemudian tertatih
maju, selangkah demi selangkah. Petronela harus menguatkan tekad. Dia
harus segera sampai di <em>bévak</em> itu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya naik ke panggung <em>bévak, </em>Petronela
merasakan anaknya akan segera keluar. Rasanya sudah di ujung. Kepala
bayinya telah menyeruak keluar. Tak lagi sempat berbaring, dalam posisi
berdiri Petronela memegang kepala bayinya yang menyembul di jalan lahir.
Rasanya susah sekali memegang kepala bayinya dengan tangan melewati
belakang pahanya. Rasa sakit tak tertahankan tak lagi dihiraukannya,
”Anakku harus terlahir selamat!”</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Demi melihat
Petronela yang berjuang sendirian, Eduardus berlari, secepat kilat
bergegas menghampiri Petronela. Persetan dengan tradisi! Persetan dengan
<em>amòp </em>(pamali atau pantangan)<em> </em>yang dalam keyakinan
Muyu bisa membuatnya sakit, yang Eduardus tahu istrinya sedang
membutuhkannya, istrinya sedang meregang nyawa melahirkan anaknya, darah
dagingnya!</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Tak membutuhkan waktu lama,
jabang bayi merah salah satu penerus generasi Muyu terlahir dengan
selamat. Petronela berbaring dengan nafas yang masih terengah. Eduardus
mengambil alih bayi merah yang baru saja keluar dari rahim Petronela.
Nafas lega mengiringi keduanya, saat-saat genting telah lewat. Jabang
bayi yang masih merah itu diletakkan di lantai papan dengan dialasi
kain. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Tali pusat telah dipotong Eduardus
dengan gunting yang ditemukannya tergeletak begitu saja di rumah, dan
lalu mereka terdiam. Saling menatap dalam sepi. Mencoba memahami apa
yang baru saja terjadi. Tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Untung
saja Bidan Natalia Tuwok segera datang. Rupanya ada yang memberitahu
Bidan Natalia bahwa bayi Petronela telah lahir. Meski terlambat,
Eduardus dan Petronela tetap saja senang dan bersyukur dengan kehadiran
bidan asli Muyu itu. Setidaknya Bidan Natalia Tuwok tahu apa langkah
selanjutnya yang harus dilakukan. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Natalia
Tuwok, bidan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Mindiptana
bergegas datang. Tak lebih dari setengah jam, jarak kurang lebih 15
kilometer dilahapnya dengan motor Honda Win ber-plat merah miliknya.
Seandainya saja jalanan sepanjang itu masih banyak lubang menganga yang
dipenuhi lumpur seperti tahun lalu, tentu saja Bidan Natalia Tuwok perlu
waktu lebih lama untuk mencapai rumah Petronela di Wanggatkibi. Bidan
putri mantan Camat Woropko ini tinggal di Kampung Mindiptana, di rumah
dinas yang bersebelahan dengan<span> </span>Puskesmas Mindiptana.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Tugas
selanjutnya untuk bersih-bersih, perawatan bayi serta ibunya, diambil
alih oleh Natalia Tuwok. Bidan yang masih saja betah membujang ini
merawat bayi Petronela dengan cekatan. Tali pusat yang dipotong Eduardus
dipotong kembali dengan rapi. Eduardus hanya membantu menyiapkan air
panas saja. Usapan lembut kain yang dicelup dengan air hangat untuk
membersihkan bayi Petronela seakan memancarkan kasih sayang dari hati
Bidan Natalia Tuwok yang tulus. Petronela merasakan ketulusan itu,
mereka terlibat obrolan hangat berjam-jam setelahnya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Hari
itu berhasil dilalui dengan kelegaan. Bayi dan ibunya akhirnya selamat.
Kebahagiaan yang dirasakan Petronela seakan menghapus sementara
kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya. Yaa… hanya sementara.</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span> </span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong>Menjalani Pengasingan</strong></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span class="fbUnderline"><strong> </strong></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span>Kelegaan
akan kelahiran bayi dan ibunya dengan selamat masih harus ditahan
sebagai sebuah kebahagiaan yang penuh dan sempurna. Beberapa hari ke
depan Petronela beserta bayinya harus tetap tinggal di pengasingan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Malam pertama Petronela tinggal di <em>bévak </em>terasa
sangat asing. Ruangannya terasa sempit, bahkan kakinya harus sedikit
ditekuk saat berbaring, atau menjulur keluar ke arah pintu bila ingin
diluruskan. Petronela merasa dingin sekali malam itu. Anyaman daun pohon
sagu yang dibuat suaminya tak sanggup menahan hawa dingin yang
menyergap saat malam mulai turun, apalagi pintu <em>bévak </em>terbuka
begitu saja tanpa penutup. Yang diingat Petronela hanya bayinya saja.
Dia tidak boleh kedinginan. Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas
badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti
dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun
dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya.
Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Malam
ini terasa sangat gelap, halimun tipis mulai turun memenuhi tegalan
belakang yang lebih mirip hutan. Lentera yang dipasang suaminya sinarnya
tak mampu menembus kegelapan malam. <span> </span>Mendung bergayut
menutupi pantulan sinar rembulan. “Semoga malam ini tidak turun hujan…,”
bisik Petronela dalam harap, sambil merapatkan selimut anaknya.
Kekhawatiran Petronela bukannya tanpa alasan. Wilayah Pegunungan Tengah
ini adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di Propinsi
Papua. Hampir tiada hari yang terlewatkan tanpa turun buliran air dari
langit. <span> </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span><span> </span>Lamunan
Petronela Apai terhenti, saat dengkur halusnya mulai terdengar pelan dan
teratur. Perjuangannya menyabung nyawa saat siang tadi cukup membuat
tubuh kecilnya kelelahan. Untung saja perempuan Muyu itu kuat. Petronela
tidak mau dikalahkan.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pagi itu Petronela terbangun dengan suara anak gadisnya, Samorika Yukamoh yang datang menyusul ke <em>bévak</em>.
“Ahh… kunjungan pagi yang menyenangkan…,” desis Petronela lirih.
Bibirnya meengkung, senyumnya mengembang, gadis kecil itu mulai beranjak
besar rupanya. Cerewetnya sungguh minta ampun. Tapi kehadirannya
sungguh membuat hati Petronela bersinar. Sesekali tertawa tergelak
dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pagi
itu di bibir Petronela tersungging senyum yang manis sekali saat
suaminya datang membawakan panci berisi air panas. Ritual pagi untuk
memandikan bayinya terasa sangat menyenangkan bagi Petronela. Apalagi
dua buah hatinya, Samorika Yukamoh dan Engelbertus Yohanes, turut
bercengkerama, ikutan <em>nimbrung</em> di <em>bévak</em>. Mereka ikut-ikutan repot, atau malah merepotkan? Entahlah... meski <em>bévak</em> yang sempit makin terasa sempit, tapi tak sanggup mengurangi kegembiraan yang dirasakan Petronela saat ini.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pagi ini suaminya membakar sagu kering untuk <em>akét</em>
(semacam kue sagu kering) dan menjerang air untuk segelas teh manis.
Suguhan sarapan pagi sederhana khas masyarakat Etnik Muyu. Rasanya
nikmat sekali dirasakan oleh Petronela. Kebersamaanlah yang menjadi
resep utama kelezatan olahan masakan suaminya. Apalagi tak berhenti
sampai di situ saja, siangnya tangan terampil Eduardus memasakkan
Petronela menu khusus untuk ibu-ibu menyusui, sayur katuk. Meski hanya
dimakan bersama sepiring besar nasi putih tanpa lauk, tetap saja terasa
sangat nikmat di lidah Petronela. <span> </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Petronela
sungguh bersyukur hari ini, tidak ada alasan apapun untuk tidak selalu
mengucap rasa syukur pada Sang Penciptanya. Tuhan sungguh sangat baik
padanya. Di saat Petronela harus menjalani pengasingan seperti ini,
diberiNya seorang suami yang sangat pengertian. Alam pun seakan turut
mendukungnya, hujan yang diturunkan pun hanya berupa gerimis kecil saja,
itupun hanya pada siang hari. Seandainya buliran-buliran air itu
diturunkan pada malam hari, tak terbayangkan di benak Petronela siksaan
dingin yang harus dihadapinya bersama Herman Kewok, demikian bayi
mungilnya itu diberi nama oleh suaminya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Hari menjelang sore, Somarika Yukamoh tetap bertahan di <em>bévak</em>.
Dia memaksa ingin menemani mamanya malam ini. Petronela sungguh merasa
tak tega, tapi sekaligus juga merasa bahagia... sangat bahagia! Anak
gadisnya sungguh-sungguh dirasakan sangat menyayanginya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Hari ini, malam ke-dua Petronela tinggal di <em>bévak</em>.
Kegaduhan hari kemarin sudah mulai terredam. Ketenangan dan sepi
mencekam yang ditunjukkan malam, membuatnya punya banyak waktu untuk
berpikir dan merenung. Dalam kesepiannya di <em>bévak</em>, Petronela
terbenam dalam lamunan panjang, bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
”Dimanakah saudara-saudaraku? Kemanakah gerangan adik perempuanku?
Kenapa mereka enggan menjengukku? Tidakkah mereka merasa perlu melihatku
di pengasingan ini…?” </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Petronela heran,
Yosefita, adik kandung perempuannya tidak juga datang menjenguknya, juga
Theresia Kiripan, kakak ipar perempuannya, tak kelihatan batang
hidungnya sama sekali. Kalau saudara laki-laki dan ayahnya yang tidak
datang menjenguk, Petronela memaklumi, sangat memaklumi. Adat masyarakat
Muyu yang menggariskan <em>amòp </em>(pamali) bagi laki-laki mendekati
perempuan yang sedang bersalin. Tapi Yosefita? Kak Theresia? Bukannya
mereka perempuan? Pertanyaan itu seperti berdengung mengisi kepalanya,
menggantung tanpa jawaban...</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Dielusnya rambut
anak sulung yang setia menemaninya malam ini. Rambut ikal gadis kecil
yang belum genab berusia sembilan tahun itu dimain-mainkannya. “Semoga
engkau juga kuat menjalani tradisi ini nak…,” bisiknya. Lidahnya terasa
kelu membayangkan pada saatnya nanti, Samorika Yukamoh, anak perempuan
satu-satunya itu, juga harus menanggung beban berat pengucilan seperti
yang dijalaninya saat ini. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Di antara lamunan
kesedihan karena kesendirian, Petronela masih sempat menyungging
senyum. Dia trenyuh dengan kesungguhan kasih sayang yang ditunjukkan
Eduardus Kimbun, suaminya. Lelaki Muyu kecintaannya itu dengan setia
memasakkannya setiap hari. Meski dengan menu-menu sederhana macam <em>akét</em>
dan segelas teh panas untuk sarapan pagi tadi. Tetapi ketelatenan
Eduardus itu semakin saja membuatnya merasa beruntung dipersunting
lelaki Muyu pujaannya itu. Terkadang makanan itu dibawakan anak
gadisnya, Somarika Yukamoh, dari rumah, tak jarang juga diantar sendiri
oleh suaminya.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Pagi itu hari ke-tiga sejak
Herman Kewok lahir ke dunia. Di saat Petronela asik bercengkerama dengan
anak-anaknya, Eduardus datang sambil membawakan kembali <em>akét</em>
dan segelas teh manis. Eduardus datang dengan senyum lebar membawa kabar
yang cukup menyenangkan. Viktor Tenjab, ayah Petronela, meminta agar
Petronela kembali ke rumah panggung hari ini, kembali berkumpul bersama
keluarga besarnya. </span></span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span>Biasanya, perempuan Muyu yang sedang mengungsi si <em>bévak</em>,
diperbolehkan kembali ke rumah induk setelah tali pusat bayinya lepas.
Tapi hal ini belum terjadi pada Herman Kewok, bayi Petronela. Hanya saja
Viktor Tenjab merasa kasihan. Kakek dari bayinya ini tidak tega
membiarkan anak beserta cucunya tinggal lebih lama lagi di <em>bévak</em>
yang gelap dan dingin. “Saya tak tahan lagi... kasihan mereka, sudah
dua hari mereka tinggal di sana...,” bisiknya lirih dengan mata
menerawang jauh. Bagaimanapun Petronela Apai dan Herman Kewok adalah
anak dan cucunya, darah dagingnya.</span></span>agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-88932158187127706032014-08-04T07:21:00.002+07:002014-08-04T07:25:21.646+07:00Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 1)<span class="timelineUnitContainer"></span><br />
<div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<span style="font-size: large;">Tulisan
ini merupakan nukilan kecil bab dari buku Riset Etnografi Kesehatan
yang dilakukan pada Etnik Muyu di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven
Digoel. Untuk memudahkan dalam membaca, maka tulisan ini akan diunggah
dalam beberapa seri.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">***</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;"> Menelisik
apa yang dirasakan para pelaku tradisi, baik perempuan sebagai seorang
istri yang berperan sebagai subyek utama, ataupun seorang laki-laki
sebagai suami dan juga orang tua serta keluarga sebagai subyek
pendukung, serta pandangan para tokoh masyarakat dan masyarakat Muyu itu
sendiri, terasa sangat menarik. Apalagi bila kita menelisik lebih dalam
relasi yang terjadi antar mereka, antara laki-laki dan perempuan di
antara para pelaku tersebut. </span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Tabrakan
antara nilai kekinian dan nilai tradisi yang coba dipelihara oleh
orang-orang Muyu, terasa tumpah tindih melatarbelakangi setiap sikap dan
perilaku yang diwujudkan dalam tindakan pada masyarakat Etnik Muyu saat
mereka menjalankan tradisinya. Pergulatan batin yang timbul antara
pilihan menjalankan atau tidak, tradisi yang sangat terasa dominasi
superioritas dunia laki-laki Muyu. Superioritas yang tidak hanya
dirasakan inferior bagi pihak perempuan Muyu, tapi juga dirasakan sangat
mengekang bagi beberapa pihak laki-laki Muyu lainnya.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;"><b><i>Tana Barambon Ambip</i></b></span><br />
<span style="font-size: large;">Menurut
Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), pada saat akan bersalin seorang
perempuan Muyu harus keluar dari rumah induk, harus diasingkan. Suaminya
akan membuatkan sebuah pondok kecil berjarak 10-20 meter dari rumah
induk bila tanah di lingkungan rumahnya tidak rata atau bahkan dekat
jurang, dan jarak ini semakin jauh, bisa berjarak sampai dengan 50
meter, bila tanah lingkungannya cenderung dataran. Pondok kecil inilah
yang dinamai <i>tana barambon ambip.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;"><i>Tana barambon ambip </i>terdiri dari tiga suku kata dalam Bahasa Muyu yang mempunyai arti; <i>tana</i>=anak; <i>barambon</i>=tempat; <i>ambip</i>=rumah. Secara harfiah diartikan sebagai “rumah tempat untuk melahirkan seorang anak”. Arti yang sederhana dan netral.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;"><i>Tana barambon ambip</i>
ini berukuran cukup kecil, 2 meter x 2 meter, karena memang hanya
disediakan untuk ibu yang hendak melahirkan dan bayinya sampai dengan
tali pusarnya putus pasca persalinan (Dalam Etnik Jawa putusnya tali
pusar ini biasa disebut sebagai <i>pupak puser</i>). Menurut Adolfia
Tepu (44 tahun), pondok kecil ini dibuat secara sederhana dengan dinding
dan atap dari daun rumbia. Bila di rumah induk tersedia papan, maka
bisa saja dinding pondok kecil untuk bersalin ini dibuat dari papan.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Adolfia
Tepu menambahkan bahwa pondok yang dibuat khusus untuk persalinan ini
diisi kayu bakar dan beberapa bahan makanan untuk keperluan si ibu dan
jabang bayi. Pernyataan ini dibenarkan oleh Pamijaya Wangbon (37 tahun);</span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;">“…kayu
bakar biasanya disediakan untuk mencegah ibu dan bayinya biar tidak
kedinginan pak. Sedangkan untuk makanannya tidak mutlak harus ada,
karena ada kemungkinan tidak disediakan, tetapi dikirim dari rumah induk
oleh saudara perempuan atau ibu dari perempuan yang bersalin…”.</span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Seringkali <i>tana barambon ambip</i>
dibangun langsung di atas tanah, tanpa lantai. Untuk persiapan
persalinan, lantai tanah pondok biasanya dilapisi dengan daun pisang,
kemudian kain, dan terakhir plastik. </span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;">“Beberapa
yang lain ada yang dibuatkan lubang khusus untuk bersalin pak.
Maksudnya setelah persalinan kan ada banyak kotor-kotor dan darah, nah…
setelah selesai lubang yang berisi darah dan kotoran itu bisa langsung
ditimbun dengan tanah…”</span><br />
<span style="font-size: large;">(Adolfia Tepu, 44 tahun)</span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;"><i>Tana barambon ambip </i>yang
digambarkan tersebut adalah yang secara umum diketahui, biasa
disediakan oleh laki-laki Muyu saat istrinya akan melakukan persalinan.
Tapi fakta empiris di lapangan menunjukkan banyak sekali variasi,
terutama untuk bahan pembangun<i> tana barambon ambip</i>. Karena seringkali bergantung pada bahan-bahan yang ada, yang saat itu tersedia di sekitar rumah. <b> </b></span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Meski sebenarnya <i>tana barambon ambip</i>
memiliki makna yang sederhana dan netral, tetapi dalam realitasnya
merupakan sebuah rumah pengasingan bagi perempuan-perempuan Etnik Muyu.
Pengasingan yang berlaku tidak hanya pada saat bersalin dan beberapa
hari saat pasca persalinan saja, tetapi juga pada saat perempuan Etnik
Muyu sedang mendapat tamu rutin bulanannya.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Pada
saat sedang bersalin dan atau menstruasi, diyakini oleh masyarakat
Etnik Muyu bahwa perempuan membawa hawa supernatural yang kurang baik,
yang dalam Bahasa Muyu biasa disebut sebagai <i>iptém</i>. <i>Iptém</i>
perempuan yang dipercaya sedang membawa hawa “kotor” ini diyakini bisa
mengakibatkan hal-hal buruk bagi orang-orang di sekitarnya, terutama
bagi kaum laki-laki. Kesaktian laki-laki Etnik Muyu bisa luntur, <i>waruk</i> (mantra-mantra kesaktian) yang dimilikinya bisa <i>melempem</i>, tidak memiliki daya kesaktian lagi. </span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Dalam catatan Schoorl (1997) bahkan menyebutkan bahwa masyarakat Etnik Muyu juga berkeyakinan bahwa <i>ìptém </i>perempuan
yang sedang bersalin atau menstruasi bila berada di sekitar orang yang
sedang berjualan, bisa membuat barang dagangan menjadi tidak laku
dijual; bila perempuan itu berada di rumah seorang pemburu, maka<i> waruk</i>
(kesaktian) berburunya melemah, dan bahkan bisa hilang; bila berada
dalam rumah, bisa membuat seluruh isi rumah menjadi jatuh sakit (<i>hosa</i>/sesak nafas, TBC, radang sendi, batuk), dan bahkan bisa menyebabkan kematian. </span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Dalam
sebuah penelitian pada masyarakat Etnik Towe Hitam di Kecamatan Web,
Kabupaten Jayapura, Djoht(2003) melaporkan bahwa “kotor”nya darah pada
proses persalinan perempuan dipercaya bisa membawa sial bagi laki-laki
Towe Hitam;</span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;">“Pola melahirkan seperti ini dipraktekkan oleh semua perempuan hamil yang ada di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa diijinkan memasak untuk keluarganya.” </span></blockquote>
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Aan
Kurniawan, dkk. (2012), dalam sebuah riset etnografi kesehatan mencatat
kepercayaan yang sama tentang “kotor"nya perempuan saat mengalami
menstruasi atau sedang bersalin, yang berlaku pada masyarakat Etnik
Ngalum di Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam kepercayaan orang Etnik Ngalum, seorang perempuan yang sedang dalam masa kewanitaannya dipercaya membawa suatu jenis penyakit yang berbahaya bagi anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, dalam masa-masa itu mereka harus memisahkan diri dari keluarga mereka. </span><br />
<span style="font-size: large;"><br /></span>
<span style="font-size: large;">Dalam
riset etnografi kesehatan yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut
masyarakat Etnik Ngalum – yang berbatasan secara langsung dengan Etnik
Muyu di sebelah Utara – juga dilaporkan melakukan ritual praktek yang
mirip dengan masyarakat Etnik Muyu dalam hal mengasingkan perempuan yang
sedang mengalami menstruasi dan/atau mengalami persalinan. <i>Tana barambon ambip</i> versi masyarakat Etnik Ngalum tersebut diberi nama <i>sukam</i>; </span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;">“Seorang ibu suku Ngalum yang akan melahirkan tidak diperbolehkan melahirkan anaknya di rumah sendiri. Secara adat ia harus melahirkan anaknya di dalam sebuah rumah khusus yang disebut <i>sukam. Sukam </i>adalah rumah khusus perempuan. Secara khusus rumah ini diperuntukkan bagi kaum perempuan ketika mereka sedang berada dalam masa kewanitaan mereka, seperti pada saat menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan... Rumah khusus ini dibangun tidak jauh dari rumah induk <i>(abip)</i>, biasanya hanya beberapa meter jauhnya. Kaum laki-lakilah yang membangun rumah ini. Bentuk bangunannya tidak berbeda jauh dari bentuk rumah utama, hanya ukurannya lebih kecil. Biasanya sebuah sukam berukuran kurang lebih 2X2 meter. Tidak semua keluarga dalam satu rumpun <i>iwol </i>memiliki sukam. Biasanya sebuah <i>sukam </i>dibangun untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar</span><span style="font-size: large;"> (Kurniawan, dkk., 2</span>012).” </blockquote>
</div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-6093078792337682092014-05-02T05:55:00.000+07:002014-05-02T05:55:34.020+07:00KETERSEDIAAN NAKES DI #savePAPUA<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="timelineUnitContainer"></span></span></span><div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">dear para pemerhati #savePapua,</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">berikut
data ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas di Propinsi Papua. data
masih bersifat global secara kuantitatif pada level distrik, sebenarnya
akan lebih menarik bila ditelusur secara kualitatif untuk melihat
'keberadaan' sesungguhnya. meski dengan yang seperti inipun sudah bisa
menggambarkan adanya disparitas dan adanya masalah equity di wilayah
ini.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-ash3/t1.0-9/q71/s720x720/1478984_10201101143405392_561894369_n.jpg" title="" /></span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">untuk
dapat lebih memahami kedalaman analisis lapangan, pada tabel
selanjutnya disajikan data ketersediaan listrik 24 jam dan air bersih di
setiap puskesmas di masing-masing distrik. silahkan dicermati lebih
jauh.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/t1.0-9/q71/s720x720/1549213_10201101149085534_93153556_n.jpg" title="" /></span></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">sebuah
keniscayaan bahwa ketersediaan air bersih dan listrik merupakan faktor
yang sangat berpengaruh pada bidang kesehatan, bahkan sangat vital.
tetapi menjadi masalah besar ketika kita tidak bisa berbuat banyak untuk
hal tersebut. karena ketersediaan air bersih maupun listrik merupakan
domain pekerjaan dinas pekerjaan umum.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">semoga bisa menambah
pemahaman terhadap permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah paling
timur ini. untuk analisis disparitas ataupun untuk melihat equity
dibandingkan dengan wilayah propinsi lain saya rasa sudah cukup jelas.
tidak perlu diperbandingkan lagi! yang terpenting adalah bagaimana
memberi urun solusi terhadap permasalahan ini.</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">- ADL -</span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></span></span><br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></span><span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">*catatan: data diolah dari hasil Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan Litbangkes</span></span></div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7474797489456545417.post-37099495419144441622014-05-01T21:12:00.000+07:002014-05-01T21:12:12.859+07:00e book 4 free: Pro-Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube<span class="timelineUnitContainer"></span><div class="_5k3v _5k3w clearfix">
<div>
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;"><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/t1.0-9/10294422_10201273160905722_4605505555611391121_n.jpg" title="" /></span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">"Pesan
yang disampaikan kelompok pro rokok disampaikan dengan sangat baik.
Pihak pro rokok sangat cerdik menampilkan pesan-pesan sosial yang
atraktif (simbol kejantanan atau kesetiakawanan sosial). Sedang upaya
yang dilakukan oleh pihak kontra rokok terlalu terpaku pada pendekatan
normatif yang mengutamakan aspek legal yang kaku dan ‘tidak
bersahabat’."</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Editor:</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Rachmad Hargono</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Agung Dwi Laksono</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Kontributor:</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Agung Dwi Laksono</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Diyan Ermawan Effendi</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Eka Denis Machfutra</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Hario Fisto Megatsari</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">Pulung Siswantara</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">ISBN 978-979-21-3970-9</span></span><br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">© 2014 PT Kanisius</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: large;">204 halaman</span></span></div>
</div>
agungdlhttp://www.blogger.com/profile/15040988919979168720noreply@blogger.com0