QUO VADIS REGULASI PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN DI INDONESIA?


by Rachmad Puageno

Menyoal tentang rokok selalu menimbulkan berbagai kontroversi, ekonomi via a vis kesehatan. Industri rokok identik dengan penghasil devisa yang menggiurkan, ditambah lagi mampu menyerap jutaan tenaga kerja. Namun disisi lain, rokok dihujat karena merupakan penyebab berbagai penyakit yang mematikan.

Untuk menjembatani kontradiksi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Ternyata, regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan telah mengalami 3 kali perubahan dalam kurun waktu 3 kali periode kepresidenan (Habibie, Gus Dur dan Megawati). Tentu saja, perubahan yang relatif singkat tersebut menarik dicermati dan dikaji, bagaimana kuatnya ‘pertarungan’ kepentingan ekonomi dan kesehatan.

Era Habibie.
PP Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (PP 81/99) diawali pada era presiden Habibie, menjelang berakhirnya masa pemerintahan Habibie, tepatnya 5 Oktober 1999. Namun demikian, proses perumusannya sudah dilakukan jauh sebelumnya. Di era Habibie, masalah kesehatan menjadi salah satu prioritas penting yang tercermin dikeluarkannya prasasti Indonesia Sehat 2010 pada tanggal 1 Maret 1999. Bisa dikatakan, munculnya PP 81/99 merupakan konsekwensi logis dari cita-cita Indonesia Sehat 2010.

Awalnya, substansi dari PP 81/99 komprehensif dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan, karena memang tujuan diberlakukannya adalah melindungi kesehatan dari bahaya merokok; membudidayakan hidup sehat dikalangan masyarakat; menekan perokok pemula; serta melindungi perokok pasif.

Komprehensif karena mancakup banyak hal, antara lain; penetapan kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok yang tidak boleh melebihi 1,5 mg nikotin dan 20 mg tar; persyaratan promosi dan iklan rokok yang hanya dapat dilakukan di media cetak dan media luar ruangan; pengaturan tentang batas waktu berapa tahun penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin bagi produsen rokok kretek buatan mesin dan produsen rokok kretek buatan tangan.

Meski cukup komprehensif, belum sempat diberlakukan secara efektif, PP ini sudah ditentang habis-habisan oleh kalangan industriawan rokok. Bahkan mereka mengancam siap ‘perang’ dengan Depkes yang menjadi pengusul PP ini. Mereka menolak PP tersebut dengan alasan bahwa PP ini adalah hasil KKN dan menuding ada intervensi pihak asing mendalangi PP ini. Mereka juga menilai PP ini banyak ruginya daripada untungnya, yaitu akan terjadi PHK besar-besaran pada industri rokok serta akan menghancurkan petani tembakau, dan ujungnya mengurangi pendapatan negara.

Substansi PP yang mereka tolak antara lain; penerapan batas maksimal tar dan nikotin, bagi kalangan industri rokok kretek sudah terbiasa dengan kadar tarnik yang tinggi. Bahkan disebut bahwa kadar tarnik yang tinggi adalah ciri khas rokok kretek Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain yang patut di lindungi.

Mereka juga tidak setuju jika iklan rokok di media elektronik dilarang karena mengurangi daya promosi rokok ke masyarakat.

Era Gus Dur
A
khirnya, protes kalangan industriawan rokok disetujui, ditandai dengan keluarnya PP 38/2000 tentang Perubahan atas PP 81/99 pada tanggal 7 Juni 2000, diera presiden Gus Dur. Revisi yang termuat dalam PP 38/00 bahwa promosi dan iklan rokok dapat dilakukan di media elektronik dengan pengaturan masa tayang mulai pukul 21.30 – 05.00 waktu setempat. Selanjutnya, masa penyesuaian pengaturan tentang batas waktu penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin lebih diperpanjang, bagi produsen rokok kretek buatan mesin menjadi 7 tahun dan produsen rokok kretek buatan tangan 10 tahun.

Dalam PP 38/00 ini pula, disepakati untuk membentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang bertugas untuk mengkaji berbagai permasalahan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan PP tersebut.

Meski sudah ada perubahan atas PP 81/99 menjadi PP 38/00 yang terkesan lebih ‘mengalah’ kepada kaum industriawan, namun belum memuaskan bagi kalangan tersebut. Mereka masih mengganggap aturan dalam PP 38/00 masih banyak yang mengatur hal teknis industri rokok kretek. Mereka terus berupaya melobi pihak yang dianggap dapat membatalkan PP ini, antara lain Departemen Perindustrian, Depnaker, DepTan, Depkeu bahkan DPR.

Era Megawati
P
uncaknya di era Presiden Megawati, dengan dalih untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan dipandang perlu adanya penyempurnaan peraturan mengenai pengamanan rokok bagi kesehatan dengan PP baru (dalam konsideran menimbang). Maka muncullah PP 19 tahun 2003 pada tanggal 10 Maret 2003. Ironisnya bukan malah menyempurnakan, dalam PP 19/03 tersebut beberapa aturan yang justru prinsip langsung dipangkas. Antara lain, penetapan kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok yang tidak boleh melebihi 1,5 mg nikotin dan 20 mg tar hilang dari peredaran. Dalam PP19/03 hanya disebut bahwa produsen rokok wajib memberikan informasi kandungan tar dan nikotin setiap batang rokok yang diproduksinya. Artinya, meski kandungan batas tar dan nikotin melebihi batas toleransi, tidaklah melanggar aturan.

Selanjutnya, sebagai konsekwensi dari perubahan tersebut, aturan tentang masa penyesuaian aturan tentang batas tar dan nikotin sampai dengan batas maksimal otomatis dihilangkan. Dengan demikian, industri rokok kretek bebas memproduksi rokok dengan kandungan tar dan nikotin tinggi tanpa harus khawatir harus memenuhi aturan batas maksimal tarnik. Selain itu, Lembaga Pengkajian Rokok yang semula direncanakan dibentuk, akhirnya tidak jadi dibentuk.

Sangat jelas bahwa presiden Megawati ingin bermain ‘safe’ alias membuat permasalahan ini menjadi ‘menggantung’ dengan tidak menyentuh ranah-ranah yang lebih bersifat teknis namun prinsip.

Mencermati pasang surut regulasi rokok, mulai dari era Habibie hingga Megawati sangat jelas terlihat bahwa regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan di Indoensia terus mengalami degradasi. Artinya, pemerintah mengambil keputusan bahwa kepentingan ekonomi lebih menjadi prioritas daripada kepentingan kesehatan masyarakat. Pemerintah melihat penerimaan negara dari cukai sampai dengan akhir 2004 mencapai Rp 29,25 triliun, yang melebihi target APBN-P 2004 sebesar Rp 28,441 triliun jauh lebih penting daripada sekitar 57 ribu jiwa per tahun yang mati sia-sia akibat tembakau.

Era SBY
Bagaimana dengan era presiden SBY ? PP Pengamanan rokok bagi kesehatan belum menunjukkan ‘taringnya’, Fakta yang ada ; berbagai kegiatan olahraga rakyat saat ini (Bola Voly dan Sepak bola), sponsor utamanya adalah rokok. Perdagangan rokok bebas dijual ke lapisan masyarakat, tanpa batasan umur. Hingga kini, pemerintah belum mau menandatangani ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pengawasan Tembakau (Framework Convention Tobacco Control/FCTC).

Banyak pihak berharap agar pemerintahan SBY merevisi PP pengamanan rokok bagi kesehatan agar kembali pada jalur aslinya. Artinya, harus ada upaya konkret dan terjadwal agar kepentingan aspek kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam merumuskan PP ini.

Beberapa yang diusulkan adalah; Pertama; harus ada program konkret dari kementerian pertanian untuk mendorong dilaksanakan diversifikasi tanaman tembakau ke tanaman lain. Kedua; Begitu pula bagi kementerian perindustrian ada program konkret tentang diversifikasi usaha industri rokok ke industri lain. Bila kedua hal tersebut hanya sekedar diucap/ditulis tanpa dirumuskan secara nyata dalam bentuk program terukur itu sama saja bohong besar. Ketiga; Kewajiban kepada setiap pemerintah daerah untuk mewujudkan kawasan bebas rokok harus lebih mengikat, dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden. Saat ini, baru Prop. DKI Jakarta yang menerapkan kebijakan tentang pembatasan merokok. Keempat; Segera menandatangani dan meratifikasi Kerangka Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pengawasan Tembakau (Framework Convention Tobacco Control/FCTC) serta menjadikan hasil FCTC sebagai dasar merevisi PP tersebut.

Selain itu, selama menunggu proses diatas, segera digagas adanya dana reboisasi akibat rokok yang diambil dari cukai rokok sebagaimana dana reboisasi hutan. Dana reboisasi rokok tersebut khusus dialokasikan kepada bidang kesehatan. Logikanya rokok telah mengakibatkan kesehatan penduduk terganggu karena itu cukai rokok perlu dialokasikan untuk menyelesaikan masalah kesehatan akibat rokok. Tentu saja ini adalah solusi ‘damai’ sembari menunggu program diversifikasi rokok ke produk yang lebih manfaat. Selain itu, untuk menambah alokasi kesehatan yang selama ini masih kurang. Apakah SBY mampu melakukannya ?

KAMPANYE YANG MISKIN ISU KESEHATAN


by Rachmat A. Puageno

Masa kampanye pemilu legislatif yang dimulai sekitar akhir tahun lalu akhirnya berakhir juga. Masyarakat kini menunggu tanggal 9 April 2009, sebagai momentum memilih wakilnya yang duduk sebagai anggota dewan. Baik ditingkat Kab/Kota, Provinsi, Pusat maupun anggota DPD. Masyarakat sangat dinanti berpartisipasi menyalurkan hak suaranya, tidak hanya bahwa pemilu ini menghabiskan dana trilyunan rupiah, tapi momen ini dianggap sebagai momen perubahan dan perbaikan. Maka tidak berlebihan, ketika grup COKLAT mengeluarkan single khusus pemilu “5 MENIT UNTUK 5 TAHUN”.

Namun, benarkah pemilu 9 April nanti ada momen perubahan bagi nasib bangsa yang masih terpuruk ini. Satu hal yang mudah untuk menilainya adalah mengamati sepak terjang partai politik dan para calon legislatif selama menjalani kampanye. Sebelum kampanye terbuka, para parpol dan caleg berlomba mengenalkan partai dan caleg dengan cara masif, seperti memasang spanduk, baliho dan sejenisnya. Mungkin karena media yang terbatas itu, pesan yang disampaikanpun sangat singkat. Mengenalkan nomer urut, nama lengkap, foto ditambah dengan sedikit kata-kata heroik.
Sementara, jenis kampanye terbuka didominasi dengan model kampanye pengerahan massa, seperti rapat terbuka yang diselingi dengan hiburan musik atau dengan cara mengadakan kegiatan sosial. Sebut saja salah satunya pengobatan massal.
Bersyukur, model kampanye masih tertolong dengan siaran program pemilu di tv yang lebih berbobot. Mengajak para parpol untuk berbicara panjang tentang sebuah program. Namun, sayangnya tidak seluruh parpol yang muncul, lebih didominasi oleh parpol “besar”. Itupun, pada isu-isu seputar ekonomi dan politik. Sementara isu tentang kesehatan sangat minim dibicarakan.

Bilapun dibicarakan, terbatas pada masalah yang tidak fokus pada masalah pemberdayaan kesehatan. Isu yang sering dibicarakan adalah program pengobatan gratis bagi kaum miskin.
Melihat fenomena tersebut, bisa kita simpulkan bahwa parpol belum memiliki pemahaman yang benar terhadap bidang kesehatan. Parpol masih mengganggap bidang kesehatan adalah sektor konsumtif seperti kebutuhan pengobatan tersebut. Pemahaman ini tergolong primitif. Apalagi mereka sebagai salah satu unsur pengambil keputusan. Maka tidak mengherankan bila kebijakan yang dikeluarkan selama jarang yang pro kesehatan.

Sebagaimana dalam pedoman indeks pembangunan manusia, terdapat tiga pilar utama yang menentukan kualitas SDM yaitu taraf ekonomi, derajat kesehatan serta taraf pendidikan. Oleh karenanya, setiap parpol mestinya memiliki visi dan misi atas bidang-bidang tersebut secara gamblang.
Sebetulnya ada beberapa isu atau pikiran pokok tentang bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian para parpol dan para legislator terpilih. Namun terbatas ruang, kami sajikan 3 isu yang kami anggap terpenting..

Pertama;. Pemerintah sejak tanggal 1 Maret 1999 telah mencanangkan visi Indonesia Sehat 2010, visi tersebut juga menjadi pendorong untuk mengembangkan Kota/Kabupaten Sehat. Gerakan Indonesia Sehat adalah gerakan masyarakat yang berupaya secara terus menerus dan sistematis yang didukung pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya melalui pemberdayaan potensi masyarakat (HAKLI, 1999).
Untuk mengimplementasikannya, harus ada paradigma “Kesehatan sebagai Investasi”. Bila masyarakat sakit akan terjadi kerugian ekonomi (loss economic). Bila ada keluarga kita sakit tentu saja kita akan berupaya untuk mengobati agar segera sembuh. Dalam upaya mencari penyembuhan tersebut, tentu kita mengeluarkan biaya. Selain itu, hilangnya waktu produktif penduduk karena sakit. Bila kita sakit maka kita mengalami disabilitas selama beberapa hari. Seperti tidak masuk kerja, absen sekolah, tidak dapat bermain atau bersosialisasi ataupun setidaknya melakukan tugas keseharian. Dari pihak pemerintahpun akan mengeluarkan biaya kesehatan yang cukup tinggi bagi masyarakatnya yang sakit.

Oleh karena itu, agar mengurangi terjadinya resiko kerugian ekonomi tersebut, para legislator justru perlu berpikir menyusun program untuk menghindari agar masyarakat tidak sakit.
Inilah yang disebut program preventif dan promotif, berjuta contoh dapat disampaikan disini, tapi yang perlu diperhatikan bahwa program itu tidak melulu program fisik, tapi lebih sederhana lagi seperti program penghijauan, pengaturan tata ruang wilayah, promosi kesehatan melalui berbagai media, dll.

Ingat peristiwa tragedi situ gintung. Semuanya itu terjadi karena aspek preventif terlupakan. Bagaimana mungkin, kawasan yang sebetulnya tidak boleh menjadi kawasan pemukiman, justru dihuni ribuan orang. Artinya setiap kebijakan pemerintah selalu memikirkan aspek kesehatan masyarakat, sehingga bisa menghasilkan healthy public policy.
Adagium yang menyebutkan “Health is not everything, but without health, everything is nothing” merupakan cerminan dari urgensitas kesehatan dalam suatu pengembangan masyarakat, karena jelas betapa besar return on investment-nya. Oleh sebab itu, kewajiban para legislator untuk melakukan investasi terhadap kesehatan.

Bukan rahasia lagi, baik dipusat maupun Kab/Kota dalam alokasi anggaran sektor kesehatan masih rendah. Kesehatan masih dianggap sebagai sektor tidak produktif (cost centered), sehingga cukup diberi anggaran kecil. Namun ironisnya, sektor kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas) dijadikan ‘sapi perahan’ untuk menggenjot pendapatan.
Kedua; Mengupayakan program jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi penduduk. Seiring dengan diberlakukannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah berupaya untuk mampu menyediakan dana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Penduduk yang diambil dari APBN. Tidak terbatas pada masyarakat miskin saja, tapi lebih meluas cakupannya. Karena bagaimanapun juga seluruh masyarakat haruslah mendapat jaminan kesehatan, sebagaimana tercantum dalam amandemen UUD ’45.

Dalam hal ini, tidak ada satupun parpol dan caleg yang mengangkat isu ini sebagai isu kampanye. Mereka kurang paham atau mungkin masa bodoh ? Tidak salah, bila salah satu NGO, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia mengkampanyekan mencari parpol, caleg bahkan capres yang memperjuangkan jaminan kesehatan bagi semua. (www.gapri.org).
Sejatinya JKN adalah model pendanaan kesehatan universal, sistem perawatan kesehatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas namun terjangkau. Dibanyak negara, isu JKN adalah isu populer untuk memperoleh dukungan pemilih, karena JKN merupakan strategi penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi.

Sedikit data dari ILO, pada tahun 2007, JKN di Indonesia baru dinikmati 43,2 persen penduduk. Jamsostek mengelola 3,1 juta jiwa, Askes mencakup 15,6 juta pserta, sedangkan Jamkesmas menanggung 74,6 juta jiwa. Artinya.58,6 persen atau sekitar 115 juta jiwa di Indonesia belum memperoleh jaminan kesehatan. Akibatnya, mereka harus bayar sendiri biaya kesehatannya bila sakit. Sementara musibah sakit, tidak mengenal usia, golongan dan suku. Bagi mereka yang kelas menengah saja, bila sakit beberapa hari, tidak kurang puluhan juta harus dikeluarkan.
Saat ini, pelaksanaan SJSN belum menemui titik terang. Pada titik inilah, mestinya para parpol dan caleg berani bersuara bagaimana strategi mereka memperjuangkan salah satu poib SJSN, yaitu JKN dapat terwujud. Sayangnya, suara parpol dan caleg “Nyaris Tak Terdengar”.

Ketiga ; Para legislator juga perlu mengerti tentang peran puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, fungsi dan peran puskesmas harus lebih menitikberatkan sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan, menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan masyarakat. Namun, selama ini puskesmas tidak lebih dari sebuah “miniatur RS”, dengan hanya menitikberatkan pada fungsi pengobatan.
Kedepan mestinya, harus ada pemisahan yang jelas antara fungsi puskesmas sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan dengan fungsi RS sebagai pusat pengobatan. Puskesmas hendaknya tidak terlalu dibebani dengan fungsi pengobatan. Puskesmas lebih cocok dan bermakna untuk merangsang bagaimana agar penduduk tetap sehat dengan pemberian pendidikan kesehatan, bukannya menunggu penduduk sakit kemudian diobati.

Terakhir, untuk mewujudkan pokok pikiran diatas, perlu merevitalisasi peran Departemen Kesehatan sebagai kelompok dinas ‘produktif’. Tidak sekedar dinas yang masuk dalam golongan “Kesra” yang lebih berkonotasi pada definisi sosial dan konsumtif. Mereka perlu dilibatkan dalam jajaran koordinator perekonomian, karena sejatinya sektor kesehatan adalah investasi dan produktif.

PENERAPAN RAPID ASSESSMENT PROCEDURES

-AV-

Allo everybody...it’s a blessing to get the time to share information with all of you...selamat bertemu dalam seri ke 3 dari materi penelitian cepat.

Kali ini saya share materi yang disampaikan Suwandono A dan Rustika dalam acara Methodologi Advance yang dilaksanakan Komisi Ilmiah Badan Litbangkes tahun 2005....belum kadaluwarsa loh !!...dengan beberapa editing materinya saya share disini, karena sangat memberkati saya untuk memahami gambaran pelaksanaan RAP.... ;-)

Yuk..kita pelajari bersama …..

Prinsip Dasar (penting !!)
­ RA harus dikerjakan secepatnya setelah suatu kejadian, idealnya dalam jangka 1 minggu setelah suatu kejadian.
­ Untuk penyakit menular, waktunya bervariasi, tergantung besarnya wilayah, banyaknya populasi resiko, keamanan, infrastuktur, sumberdaya manusia dan metodologi yang digunakan. Tapi sebaiknya harus selesai dalam waktu 1 minggu
­ Apabila diperlukan diikuti dengan studi yang lebih mendalam setelah RAP
­ Harus dikerjakan oleh para ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog yang berpengalaman

Tujuan RAP (mengerjakan apapun harus ada tujuannya loh …)
­ Memperkirakan dampak kejadian yang mengakibatkan keadaan darurat dan ancaman penyakit menular terhadap penduduk
­ Menentukan jenis dan besar intervensi serta prioritas aktivitasnya
­ Merencanakan penerapan intervensi dan aktivitas
­ Menjadi bahan informasi masyarakat internasional dan dasar pembuatan proposal guna mobilisasi dana dan sumberdaya manusia.

Aktivitas Kunci RAP
(artinya yang perlu dilakukan..)
­ Perencanaan (SDM, data geo-political, kesehatan dsb.)
­ Kunjungan lapangan:
a. Kumpulkan data demografi, lingkungan, kesehatan dan kebutuhan sumber daya
b. Metoda : pengamatan, mapping, review laporan,
c. Pengumpulan data sekunder, wawancara
d. Rapid survey
­ Analisis data, prioritisasi intervensi kesehatan dan identifikasi kelompok resiko
­ Penulisan laporan
­ Penyebarluasan hasil

Dalam menyusun tim RAP, perlu memperhatikan :
1) Jumlah orang disesuaikan dengan kebutuhan informasi /masalah yang akan di assessment.
2) Orang yang terpilih harus mempunyai ketrampilan dan pengalaman, seperti :
­ Ahli kesehatan masyarakat dan epidemiologi
­ Ahli gizi
­ Ahli sanitasi lingkungan
­ Administrator
3) Salah satu anggota tim, ditentukan sebagai ketua tim RAP
4) Pembagian tugas dari tim (penting sekali!!), buat ceklis dan instrumen, atur waktu, logistik, peralatan laboratorium, transpor, komputer, surat-menyurat, hubungan dengan donor, dan sebagainya..ini biasa terlupakan or disepelekan, padahal tanpa ini, pelaksanaan RAP bisa amburadul….
5) Mempersiapkan agenda pertemuan, lama pertemuan (1-3 hari), tempat, aktifitas dan output yang akan dihasilkan

Contoh :

Kegiatan
Menjelaskan :
Pengertian,tujuan, metode,monitoring, inventarisasi data, membandingkan data-data yang tersedia dengan data yang akan dikaji, alat pengumpul data, informan, laboratorium, jadwal wawancara dan perlengkapan pengumpulan data (validitas dan reliabilitas)

Output
Terlaksananya pemahaman mengenai tujuan, metode, monitoring dan inventarisasi data

Metoda pengumpulan data (yang umumnya digunakan)
a. Menelaah informasi yang ada
b. Pengamatan terhadap daerah yang terkena
c. Interview kepada para informan kunci
d. Pelaksanaan survei cepat bila diperlukan
e. Lain-lain: Fokus Grup Diskusi (FGD), dan sebagainya.

1). Telaah info yang ada
 Karakteristik geografi dan lingkungan, infrastruktur, transportasi dan sebagainya.
 Besar masalah, komposisi dan kondisi kesehatan dan gizi daerah tersebut sebelum keadaan darurat
 Pelayanan kesehatan dan program yang ada baik sebelum atau setelah keadaan darurat
 Sumber daya yang ada, sedang diadakan, permintaan dan sebagainya
 Situasi keamanan

2). Pengamatan area (observasi)
 Pengamatan lewat udara
 Pengamatan selintas dengan mengelilingi area, mengunjungi kamp pengungsian, persediaan makanan, lingkungan (wc, limbah & vector breeding, keadaan umum penduduk dan sebagainya)
 Sumber air minum dan penyalurannya
 Pengamatan terhadap fasilitas dan manajemen pelayanan kesehatan setempat
 Sebaiknya dipetakan

3). Wawancara tokoh kunci
Wawancara dilakukan kepada:
 Tokoh resmi dan masyarakat desa
 Kepala desa, camat dan tokoh pemerintahan lain
 Petugas kesehatan termasuk dukun bayi dan dukun lainnya
 Lembaga swadaya masyarakat, , organisasi internasional terkait.
 Masyarakat yang terkena musibah
Pertanyaan sekitar struktur organisasi masyarakat, pola makanan, adat istiadat yang berhubungan dengan kesehatan, air, kebersihan dan pilihan pelayanan kesehatan, penyakit menular lain, dan sebagainya.

4). Survei cepat
Survei cepat memakan waktu dan biaya karena itu sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan data penting yang tak dapat diperoleh dari sumber data lainnya. Teknik sampling dan analisis yang digunakan sebaiknya harus dapat memberikan estimasi situasi penyakit menular setempat yang akurat. Apabila sudah ada sistem surveilans yang baik, dapat dipakai sebagai bahan dasar
Survei cepat diperlukan untuk :
 Memberikan acuan pd keputusan dimana & kapan sumber daya perlu dialokasikan
 Base line data

Beberapa langkah utama survei cepat
 Tentukan tujuannya secara jelas
 Pemilihan area yang sesuai dengan tujuan, kalau diperlukan bisa dengan kontrol
 Tentukan unit analisisnya
 Tentukan jumlah sampel yang dibutuhkan (dengan rumus yang sesuai)
 Pengembangan instrumen survei cepat dengan cacatan : hanya data yang dibutuhkan, simpel, tidak mendua, sependek mungkin, tidak mengundang bias.
 Instrumen perlu diuji coba dan tim harus dilatih
 Perlu menentukan waktu tepat untuk wawancara

Data RAP bisa mencakup beberapa area sebagai berikut :

­ Informasi latar belakang kesehatan
­ Demografi
­ Kesakitan
­ Kematian
­ Pelayanan kesehatan dan infrastruktur
Makanan
­ Status gizi
­ Air dan sanitasi lingkungan
­ Kondisi rumah, dan sebagainya tergantung pada tujuan pelaksanaan RAP-PM

Kesalahan yang sering dilakukan dalam RAP :
­ Logistik yaitu tidak memhitungkan transportasi dan infrastruktur yang berbeda satu dengan yang lain ; perijinan (walaupun darurat) sering tidak tepat waktu; komunikasi yang kurang baik dengan otoritas lokal
­ Organisasi, berkaitan dengan pemimpin yang kurang bisa menguasai masalah ; pembagian tugas tidak dilaksanakan atau tidak jelas ; informasi yang dikumpulkan tidak sesuai dengan tujuan; dilakukan terlambat dan terlalu lama.
­ Teknikal, berkaitan dengan keahlian yang tidak cocok sehingga hasilnya tak bisa diterapkan ; kurang representatif untuk semua populasi ; hasil laboratorium memerlukan waktu, dan lain sebagainya.

(kalo diperhatikan kesalahan terbanyak pada masalah non-sampling…en ini sebenarnya bisa dihindari atau diminimalisasi kalo persiapannya oke..)

Analisis dan penulisan Laporan
Tim dan manajemen assessment bersama-sama menganalisis (format) dan menulis laporan dari mulai pre- assessment, assessment dan rencana untuk implementasi
­ Berorientasi pada program. Presentasi dari hasil temuan (penting, untuk verifikasi hasil temuan) : Diskusi dengan pemegang program yang terkait melalui wokshops untuk mendapatkan sebuat komitmen dalam rangka mengimplementasikan action Plans
­ Memberikan prioritas yang harus dilakukan secara jelas
­ Disebarluaskan cukup merata (Desiminasi)
­ Tidak lebih dari 3-4 hari setelah selesai analisis

Contoh pelaksanaan RAP

A. RAP AWAL SUATU PROYEK: CHN-3 di 5 PROVINSI (1991)
1. Tujuan: Mengetahui masalah kesehatan dan gizi anak yang spesifik di tiap provinsi proyek khususnya Maluku
2. Dilaksanakan selama 1 bulan oleh 1 konsultan + Tim CHN setempat tiap provinsi.
3. Cara :
• Pelajari dokumen, data sekunder, diskusi, observasi, isi kuesioner, wawancara, FGD & membuat prioritasi
• Diskusi dengan tim Provinsi, perwakilan Kabupaten dan Puskesmas
• Prioritas: peningkatan kapasitas, PSM, ISPA, diare, campak & malaria, defisiensi yodium
• Presentasi hasil di provinsi dan nasional

B. RAP KEBIJAKAN JPSBK (1999 & 2001)
1. Tujuan: RAP Untuk Perbaikan Program : 1999, RAP Untuk Evaluasi : 2001
2. Pelaksanaan :
• tahun 1999: 3 – 4 bulan oleh 5 Universitas
• tahun 2001: 1 – 2 bulan oleh Badan Litbangkes
3. Cara :
• Dokumen, Survei Cepat, Observasi, Wawancara & FGD
• Analisis Diskriptif & Kualitatif (analisis SWOT)
• Implikasi kebijakan JPSBK
• 1999: Laporan ke Menkes & Presiden
• 2001: Laporan ke Menkes

C. RAP KEBUTUHAN DOKTER PUSKESMAS (2002)
1. Tujuan: Mengetahui seberapa besar kebutuhan dr puskesmas di tiap-tiap daerah.
2. Pelaksanaan : 2 minggu
3. Cara:
• Karena tidak ada dana maka hanya disebarkan kuesioner kepada para kepala bidang yang sedang pertemuan di Cisarua, dengan penjelasan per telpon.
• Analisis deskriptif, kurang tajam
• Implikasi lanjut : harus diulang secara lebih mendalam, walaupun secara superfisial tergambarkan kebutuhan dokter Puskesmas baru

D. RAP-PM BASELINE SURVEI MANAJEMEN KASUS, MASYARAKAT, PERILAKU DAN VEKTOR PADA MALARIA PROGRAM (Global Fund, 2004)
1. Tujuan : mengetahui situasi malaria saat ini & perilaku masyarakat terhadap malaria program sebagai data dasar sebelum intervensi proyek global fund
2. Dilaksanakan Januari - Maret 2004, selama 3 bulan di Propinsi Papua, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur.
3. Cara :
 Data sekunder dari Dinkes, Puskesmas dan RS di 4 provinsi yang terpilih: Papua, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur.
 Data sekunder yang berhubungan dengan tujuan diupayakan 3 tahun ke belakang. Data yang tidak ada diambil dari survei cepat.
 Survei di Rumah Sakit dan Puskesmas di 6 kabupaten. Puskesmas diambil 2 yaitu satu dengan pemeriksaan mikroskopis dan yang satu tidak. Puskesmas didaerah endemis dan terjangkau.
 Survei perilaku masyarakat di tiap puskesmas 20 kepala keluarga, 40 ibu rumah tangga (termasuk PKK dan Dasawisma), 20 remaja dan 16 guru
 Wawancara mendalam dilakukan kepada 20 tokoh dan program ditiap kabupaten.

E. RAP PROGRAM PASCA TSUNAMI NAD (2005)
1. Tujuan: Mengetahui permasalahan kesehatan yang segera harus ditangani pasca tsunami di NAD
2. Pelaksanaan : 5 hari dalam keadaan darurat oleh tim gabungan 5 unit eselon 1 Depkes.
3. Cara :
• Pembagian tugas, observasi, foto & wawancara, analisis diskriptif
• Implikasi kebijakan: program awal perbaikan sarana kesehatan, P2M PL, Lablitbang (L3) dan asesmen lebih mendalam masing-masing unit

Frens…pasti makin jelas khan, bahwa yang namanya penelitian cepat, prosesnya mulai dari persiapan sampai selesai juga harus cepat..
Tetapi cepat bukan berarti tidak rinci...remember : think and react quick, but smart….

...dalam materi ini ada beberapa penjelasan yang strengthening pemahaman kita tentang pelaksanaan RAP dan melengkapi apa yang sudah dijelaskan dalam seri2 sebelumnya… ;)

Harapan saya..agar terjadi pencerahan sebening kristal...;)..


AV, pamit

NOTIFICATION DALAM RAP



by AV


Dear all, notification adalah catatan yang perlu diperhatikan ketika kita akan melakukan rapid assessment, supaya tidak melakukannya asal2an,….;-) karena ada rambu2 yang harus diperhatikan…(kayak lalu lintas ye..)

Dalam perkembangannya, RAP mengalami beberapa perubahan yang merupakan kesepakatan dari para ahli yang mendalami RAP. Beberapa catatan yang diambil dari Rapid Assessment Procedures: Qualitative Methodologies for Planning and Evaluation of Health Related Programmes (Schrimshaw NS, Gleason, GR., dkk.1992).
 Pilihan untuk melakukan sampling secara random, sering tidak cocok ketika dibutuhkan kedalaman data masyarakat. Dalam kasus yang didasarkan pada masyarakat dengan proses pengambilan sampel yang memakan waktu cukup lama, maka lebih baik untuk menuju ke desa dan berbicara dengan kelompok-kelompok keluarga.
 Salah satu dari penggunaan penting RAP adalah pendekatan partisipasi dengan masyarakat dan para pengambil keputusan.
 Pelatihan dalam RAP sering didasarkan pada peningkatan prosedur pengumpulan data antropologi. Tetapi sering pula tidak ada tambahan dalam kemampuan kita berkomunikasi. Ini adalah area dimana kita membuat banyak asumsi tetapi yang perlu didiskusikan
 Keterbatasan dari riset yang merupakan survey adalah kendala dalam mengumpulkan informasi, walaupun telah menggunakan kuesioner. Dengan RAP, masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi banyak variabel lain dan cara ini menyebabkan variabel tersebut mungkin menjadi relevan atau mungkin dominan dari data yang ada.
 RAP sering dilaksanakan dalam masyarakat dengan kondisi geografis tertentu atau dalam budaya terbatas sehingga hasilnya berorientasi pada daerah itu saja dan tidak dapat digeneralisasi. Ada kebutuhan untuk melakukan metode kuantitatif dalam RAP yang dapat membantu untuk mengembangkan hipotesa dan menjelaskan pertanyaan dalam kuesioner. Perlu difahami bahwa dalam penelitian ada elemen seperti Yin dan Yang : kualitatif seperti Yang, bersifat feminin, lembut seperti bulan sedangkan kuantitatif adalah Yin, bersifat maskulin, kuat seperti matahari. Kita memerlukan keduanya untuk menyelesaikan pertanyaan yang kompleks dalam pengembangan pelaksanaan RAP.
 Ada kebutuhan untuk mengkaitkan RAP dengan intervensi untuk monitoring dan evaluasi. Untuk itu perlu dikembangkan panduan yang lebih jelas.
 Seberapa cepat RAP, atau seberapa lama RAP tidak dapat ditentukan dengan melihat arloji, jam dinding atau kalender, tetapi tergantung dari variabel yang akan diteliti, mudah atau kompleks. Tidak ada ketentuan waktu atau pembatasan waktu dalam RAP. Yang terpenting adalah menentukan variabel yang tepat (kritikal) untuk dikaji dengan menuangkannya dalam kuesioner untuk menemukan apa yang menjadi tujuan RAP.

Pemanfaatan RAP juga dilakukan dalam bidang Usaha Kesehatan Sekolah, seperti yang dilakukan WHO di Indonesia dalam tahun 1992 melalui RAAPP atau Rapid Assessment and Action Planning Process. Pelaksanaan ini melibatkan Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dengan tujuan memperkuat upaya kesehatan di sekolah.

Bentuk lain dari pelaksanaan RAP adalah RARE atau Rapid Assessment, Response and Evaluation di Amerika Serikat yang bertujuan memberikan asistensi tehnis yang menolong masyarakat melakukan pengkajian terhadap kebutuhan mengembangkan intervansi berbasis masyarakat berkaitan dengan HIV/AIDS.

Akhirnya…..

Pelaksanaan RAP bergantung pada data dan informasi yang dibutuhkan secara cepat, masalah apa yang ingin dikaji atau di evaluasi dan waktu pelaksanaannya. Menentukan variable yang tepat untuk dikaji menjadi barometer waktu pelaksanaan RAP karena yang terpenting : kita tahu mau mencari apa. Dengan cara pengkajian lebih dari satu dengan dukungan data sekunder dan info yg berkaitan, wawancara, FGD, rapid survei, wawancara mendalam, dsb. Tim yang mantap dengan pelatihan dan uji coba form pertanyaan, inform consent, persiapan logistik dan Analisis yg sederhana & cepat menjawab tujuan sehingga hasil RAP dapat membantu implikasi kebijakan, atau perencanaan atau action plans.

Dearest friends…ini daftar pustaka or rujukannya, supaya faham kalau 4 seri tulisan tentang penelitian cepat itu ada sumber yang diacu…

Ariawan, Iwan. Pemantauan menyeluruh Program Pembangunan Kesehatan (Dipresentasikan pada pertemuan SIK dalam pelaksanaan survei Cepat Tingkat Pusat) Ciloto. 17 -20 Maret 1998.

Beebe,J. Rapid Assessment Process. www.rapidassessment.net. 20 September 2006

Budijanto D. 1998. Prinsip dasar beberapa methode penelitian cepat (RAP; RAPID SURVEY; REM).Tulisan tidak dipublikasi..

Cernea, M. Re-tooling in Applied Social Investigation for Development Planning: Some Methodological Issues. 1992 In: Scrimshaw NS, Gleason GR, eds. Rapid Assessment Procedures: Qualitative Methodologies for Planning and Evaluation of Health Related Programmes. Boston, MA; International Nutrition Foundation for Developing Countries.
Collins,S. The dangers of rapid assessment. www.ennonline.net diakses 20 September 2006

Departemen Kesehatan. 1996. Aplikasi Survei Cepat. Pusat Data Kesehatan

Departemen Kesehatan. 1996. Tinjauan Statistik Metode Survei Cepat. Pusat Data Kesehatan

Departemen Kesehatan. 1998. Modul Metode Survei Cepat untuk Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota madya . Pusat Data Kesehatan

Departemen Kesehatan. 2000. Prosedur Penilaian Cepat Rapid Assessment Procedures (RAP). Pusat Data Kesehatan.

Hadi, Ella Nurlaela. Rapid Assessment procedures (Disampaikan pada pertemuan Diseminasi Sistem Informasi Kesehatan dalam melaksanakan Survei cepat Tingkat Pusat) Ciloto. 17 - 20 Maret 1998

Murti,B. 2006. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif bidang kesehatan. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Prasetyo, Sabarinah. Metode Evaluasi Cepat. (Disampaikan pada pertemuan Diseminasi SIK dalam pelaksanaan Survei Cepat Tingkat Pusat) Ciloto. 17 - 20 Maret 1998.

RAAPP . www.who.org, diakses 20 September 2006

RARE . www.osophs.dhhs.gov . 20 September 2006

Rustika. 2005. Rapid Assesment:Penyakit Tidak Menular. .Powerpoint disampaikan dalam Metodologi Advance di Badan Litbangkes, 26 Mei 2005.

Schrimshaw SCM & Hurtado 1992. Rapid Assessment Procedures for Nutrition and primary Health Care Anthropological Approackes to Improving programme effectiveness, UCLA, Latin American Centre Publication, University of California, Los Angeles

Scrimshaw NS, Gleason GR, eds. 1992. Rapid Assessment Procedures: Qualitative Methodologies for Planning and Evaluation of Health Related Programmes. Boston, MA; International Nutrition Foundation for Developing Countries.

Suwandono, Agus. 2005. Rapid Assessment penyakit menular (ra-pm) : Review thd bahan WHO “Communicable Desease Control In Emergencies” .Powerpoint disampaikan dalam Metodologi Advance di Badan Litbangkes, 26 Mei 2005.

Suwandono, Agus Rapid Assessment (RA) Secara Umum: Suatu Pengalaman. Powerpoint disampaikan dalam Metodologi Advance di Badan Litbangkes, 26 Mei 2005.


And last but not least,…many thanks untuk pak Didik Budijanto yang dengannya banyak diskusi saya lakukan tentang penelitian cepat dan dorongannya untuk menulis tentang penelitian cepat ini…sayang..akhir tahun 2005 saya diserang virus mualuesssssssssssss yang gak pergi2 …dan artikel yang sudah ditulis mangkrak dalam ketidak sempurnaan..(maksudnya belum kelar..)...sampai dengan beberapa waktu yl ketika mas agung nyentil untuk posting artikel di blog ini…. ;)

Thanks yang banyak juga disampaikan kepada pak Iwan Ariawan, yang memberikan masukan melalui beberapa sms (tahun 2005, ketika lagi getol2nya diskusi dengan pak Didik tentang penelitian cepat en belum diserang virus) sehingga tulisan tentang penelitian cepat bisa seperti ini.

Thanks to all of you frens..yang menjadi adrenalin buat diri-q mengedit ulang tulisan ini untuk bisa tampil di blog keren ini

Thank to God the Almighty for the heavenly strength and spirit untuk mampu menulis dan sekaligus belajar ketika menulis…..

Adios,

AV, pamit.

PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN; MEMIHAK SIAPA?

by Agung Dwi Laksono



Agresifnya pemasaran Rumah Sakit negara-negara tetangga di Indonesia (khususnya Singapura dan China), yang disertai pelayanan secara profesional, peralatan yang canggih dan digabungkan dengan paket kunjungan wisata ataupun belanja, menjadikan daya tarik dan standar gengsi tersendiri bagai kaum borjuis di Indonesia untuk berobat ataupun memeriksakan kesehatannya di negeri tetangga.

Banyaknya pasien ber’duit’ yang lari ke luar negeri, dan gencarnya pemberitaan infotainment soal artis-artis dalam negeri yang berobat, check up, ataupun sekedar memeriksakan kehamilannya ke Singapura membuat dunia kedokteran Indonesia meradang, harus segera diambil tindakan untuk memulihan kepercayaan masyarakat di dalam negeri agar mau berobat di di pelayanan kesehatan dalam negeri.

Pendirian Rumah Sakit Spesialis
Peresmian sekaligus pembukaan Rumah Sakit Spesialis Husada Utama oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia di Surabaya kembali menyemarakkan dan lebih menggerakkan teknologi kedokteran, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur menjadi selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju.

Pendirian Rumah Sakit Spesialis ini, dengan mengusung teknologi kedokteran mutakhir yang tercanggih, dimaksudkan untuk menggaet dan ‘mengembalikan’ pasien dalam negeri yang lari berobat ke luar negeri.

Mulai beroperasinya Rumah Sakit Spesialis yang dilengkapi dengan hotel ini menjadi lebih mempertegas proses privatisasi bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. Arus dana privat (swasta) yang berorientasi murni keuntungan materi (profit oriented) menjadi tidak terbendung lagi, meski wilayah yang digarap adalah wilayah kesehatan yang berdasarkan sejarah secara turun-temurun selalu mengedepankan sifat sosial.

Arah Kebijakan
Arah kebijakan sistem kesehatan dua dasawarsa terakhir ini memang lebih condong pada arus kebijakan privatisasi, menyusul keterpurukan ekonomi dan moneter yang menyebabkan menurunnya kemampuan Pemerintah dalam pembiayaan kesehatan. Kecenderungan ini semakin jelas dengan keluarnya beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, antara lain KEPPRES Nomor 38 tahun 1991 tentang Rumah Sakit Swadana, PERMENKES Nomor 159B tahun 1998 tentang Pembangunan Rumah Sakit Pemilik Modal, ataupun PAKMEI tahun 1990 tentang Debirokratisasi Usaha Farmasi.

Dengan melepas sebagian dari pelayanan kesehatan tersebut menjadi unit mandiri, membuat beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung pemerintah menjadi berkurang. Hal ini ditandai dengan kecenderungan rumah sakit ataupun puskesmas yang mulai mengembel-embeli papan namanya dengan akhiran ‘...swadana’. Kebijakan lima tahun terakhir justru menambah sinyalemen ini dengan dikeluarkannya kebijakan badan layanan umum (BLU).

Dalam era otonomi ini, kebijakan privatisasi memang lebih terlihat ‘gagah’ ketika trend saat itu (sampai sekarang) lebih mengetengahkan profesionalisme tenaga, pelayanan ataupun lembaga, yang ditandai dengan banyaknya kajian dan pelatihan mengenai Reinventing Government (diartikan sebagai ‘mewirausahakan birokrasi’). Sebuah kajian kebijakan yang terlihat sangat baik untuk sebuah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Intervensi dengan pelatihan tentang profesionalisme pada salah satu Puskesmas di Kota Blitar menunjukkan bahwa dengan profesionalisme yang baik, ditunjukkan dengan kecepatan dan ketepatan pelayanan yang terstandarisasi dan selalu dipegang teguh (dengan membuat kontrak tertulis), akan menghasilkan angka kunjungan yang luar biasa, sampai-sampai tetangga di kanan-kiri Puskesmas tersebut mengeluh, karena membludaknya kunjungan pasien mengakibatkan gangguan keramaian rutin.

Privatisasi Pelayanan Kesehatan
Kebijakan yang baik (menguntungkan) bagi pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, belum tentu baik bagi masyarakat, meski penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut dikelola oleh Pemerintah. Pernyataan ini dikemukakan bukan untuk nggembosi kebijakan kesehatan yang dikeluarkan pemerintah (Depkes), tetapi lebih untuk membuat lebih waspada di dalam membuat ataupun mengeluarkan sebuah kebijakan, dengan menganalisa dampak atau efek lain yang tidak diinginkan.

Dengan bergulirnya era pasar bebas, yang negara kita masuk didalamnya, privatisasi mau tidak mau akan menjadi sebuah keniscayaan yang harus diambil. Dan untuk dapat bersaing di era global tersebut, kualitas menjadi utama, bila pelayanan kesehatan yang dioperatori pemerintah tidak mau kalah bersaing dan terlindas oleh pelayanan kesehatan yang dioperatori oleh swasta ataupun pihak asing.

Untuk bersaing dan demi berebut kepuasan pasien, peningkatan kualitas secara maksimal akan dilakukan, pemakaian peralatan dengan teknologi paling mutakhir menjadi wajib, meski seringkali menjadi pelayanan yang berlebihan. Pelayanan kesehatan yang demikian akan mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan menjadi sangat mahal karena adanya supply induced demand yang memaksa masyarakat untuk membeli teknologi yang sebetulnya bisa jadi tidak dibutuhkan, dan pada akhirnya pelayanan kesehatan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat.

Himbauan Menkes pada saat peresmian Rumah Sakit Spesialis Husada Utama untuk tidak menolak pasien Gakin (keluarga miskin) yang datang berobat menjadi seperti himbauan kosong. Karena posisi strategis Rumah Sakit Spesialis yang hanya berjarak beberapa meter dengan Rumah Sakit dr. Soetomo akan dengan mudah untuk membelokkan pasien Gakin ke Rumah Sakit Pemerintah ini.

Kesan yang menggantung?
Kesimpulan akhir saya serahkan kepada anda untuk memberikan arah kemana akhir tulisan ini!

BEBERAPA CARA LAIN PENELITIAN CEPAT

AV

Frens (minjem istilah mas Agung), it’s great to meet you again…ini seri ke 2 dari apa yang ingin saya bagikan. Hanya saja, sebaiknya all of you melengkapi kesepemahaman ini ;-) dengan membaca kepustakaan yang terkait, or en berselancar di dunia maya, sehingga menambah luas wawasan kita.

Kata mas Agung, sekali posting materinya berat, tapi memberi pencerahan, but bukan hanya untuk all of you, tapi especially to me…coz learning is a whole life process..an never ending process..;)
Minjem kata-katanya om Bob Sadino (dalam d’show di trans tv jumat 22 mei 2009)…sekolah (yang dibatasi 4 dinding en dapat gelar) adalah belajar menjadi tahu..tetapi apa yang kita kerjakan seperti saat ini adalah belajar menjadi bisa…;)

So..let’s begin our tour of duty…..yuk..

WHO mengembangkan beberapa cara lain penelitian cepat selain RAP adalah Rapid Survey (Survei Cepat) dan Rapid Evaluation Method (REM).


Apa ya, yang dimaksud dengan RAPID SURVEY.


Rapid Survey atau Survei Cepat ini pertama kali dikembangkan pada proyek Expanded Programme on Imunization dari WHO. Survei cepat ini dilakukan untuk melihat cakupan suatu program kesehatan, seperti yang dilakukan WHO, berkaitan dengan imunisasi.


Survei cepat mempunyai ciri khas, yaitu :
1) Temuan digunakan untuk mengukur kejadian yang sering terjadi di masyareakat berkaitan dengan program kesehatan.
2) Pengambilan sampel secara dua tahap yaitu tiap kabupaten diambil sebanyak 30 klaster, kemudian pada masing-masing klaster diambil sebanyak 7 sampai 10 responden.
3) Jumlah pertanyaan dibatasi ± 20 – 30 pertanyaan.
4) Rancangan sampel, pemasukan, pengolahan dan Analisis data dilakukan dengan bantuan komputer.
5) Waktu sejak pelaksanaan sampai pelaporan singkat ± 2-3 minggu.
6) Hasil survei disajikan dengan memakai teknis statistik yang sederhana dengan tetap memperhatikan kaidah statistik yang berlaku.

Bagaimana proses pelaksanaan Survei Cepat? (apa juga cepat-cepat?)

Perlu memperhatikan beberapa hal dalam pelaksanaan survei cepat, yaitu :
1) Menentukan masalah kesehatan yang menjadi prioritas di daerah penelitian dan menentukan tujuan pelaksanaan survei secara jelas dan rinci
2) Menentukan besar dan metode pengambilan sampel
3) Mengembangkan alat pengumpul data
4) Pengorganisasian dan pelaksanaan survei
5) Analisis data, interpretasi hasil analisis dan penyusunan laporan
6) Pengembangan kegiatan program dan lanjutan.

Kalo gitu, gimana cara pengambilan sampel dalam Survei Cepat?
Usul WHO tentang cara pengambilan sampel di negara berkembang yang melaksanakan survei cepat adalah cara klaster 2 tahap.

Pada pemilihan klaster tahap pertama menggunakan Probability Proportionate to Size (PPS) atau probability yang proporsional dengan besar klaster. Kemudian pada tahap ke dua dilakukan pemilihan subyek penelitian menggunakan desain acak sederhana atau SRS (Simple Random Sampling) atau melakukan pemetaan dengan sistem rumah terdekat.

Secara praktis jumlah sampel pada survei cepat adalah sebesar 30 x 7 (30 klaster / desa, 7 orang tiap klaster/desa), sudah cukup untuk mengukur jumlah kasus yang sering terjadi (15 - 85%)...tapi penentuannya tetap menggunakan cara klaster 2 tahap loh, seperti yang udah diomongin di atas..bukan berarti asal nentuin secara praktis!!!..bisa dimarahin sama yang develop Survei Cepat coz ini pendekatannya kuantitatif...

Terus, pengelolaan & analisis data pada Survei Cepat gimana?

Frens, dalam Survei Cepat, data yang sudah dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan penekanan bahwa pengambilan sampel bertujuan untuk mempelajari kondisi yang ada di populasi. Oleh karena itu dalam analisis data dilakukan estimasi ke populasi dan salah satu ukurannya adalah Confidence Interval.

Confidence Interval ato CI itu, menggambarkan seberapa baik presisi atau ketepatan hasil survei. Semakin sempit interval sampel suatu survei, semakin baik presisi survei tersebut. Penghitungan CI ini bergantung pada desain sampel yang digunakan oleh sebab itu perlu memperhatikan perangkat lunak yang digunakan untuk menghitung CI seperti SPSS, SAS, BMDP, Epistat dll. yang menggunakan asumsi desain acak sederhana (SRS).

Catatan : Survei cepat kadang diperlukan dalam RAP yang luas, ketika pendekatan kualitatif memerlukan verifikasi dengan pendekatan kuantitatif...;-)

Naa,..tarik napas panjang…keluarkan…en kita lanjutkan, yuk...

And now,..kita pelajari bersama yang namanya RAPID EVALUATION METHOD.

Rapid Evaluation Method (REM) dikembangkan tahun 1991 oleh WHO. Kalau pada survei cepat penekanannya adalah melihat ke sasaran masalah terutama cakupan, maka REM menekankan pada kualitas pelayanan kesehatan dan kinerja petugas.

REM adalah suatu pendekatan yang bersifat partisipasif dan motivasional. Artinya partisipasi diperoleh dari semua pihak meliputi para pengambil keputusan, manajer program atau petugas pelayanan kesehatan dan mereka semua termotivasi untuk bekerja bersama secara cepat dan paripurna dalam menilai situasi pelayanan kesehatan program atau bidang tertentu.
Metode yang digunakan dalam REM mencakup metode yang kualitatif maupun yang kuantitatif. Area yang dapat diexplorasi oleh REM meliputi sarana dan prasarana kesehatan, peralatan, penyediaan, managemen, persepsi dan sikap petugas, klien maupun kelompok masyarakat.

Tujuan dari REM secara umum, adalah :
1) Mendapatkan informasi yang reliabel tentang kinerja pelayanan kesehatan dengan penekanan pada kualitas pelayanan, kinerja petugas dan kepuasan klien.
2) Memberikan suatu alat evaluasi yang dapat diadaptasi untuk dapat digunakan pada berbagai tingkatan pelayanan kesehatan, dengan menggunakan sumberdaya lokal.
3) Memberikan kemampuan manager program serta petugas kesehatan dalam melakukan rancangan proses evaluasi, implementasi, analisis data serta menggunakan hasil untuk intervensi.

REM, dalam pelaksanaannya mempunyai beberapa tahapan yaitu :
1) Perencanaan
Pada tahap ini, membentuk suatu tim yang terdiri dari 4 sampai 5 orang petugas termasuk pembuat kebijaksanaan, Dalam tim ini ditentukan satu orang sebagai ketua tim. Tahap perencanaan diperkirakan berlangsung selama 2-3 hari.

2) Persiapan
a. Pada tahap ini tim inti diperbesar dengan melibatkan personil dari tempat pelayanan terpilih dimana personil tersebut diharapkan menguasai aspek klinis maupun manajerial.
b. Salah satu langkah yang penting adalah membuat kerangka sampel dan memilih sampel.
c. Sampling pada REM dilakukan baik pada tempat pelayanan (SDP = Service Delivery Point) atau terhadap masyarakat.
d. Rancangan multistage - cluster random dapat digunakan dan dianjurkan pemilihan tiap jenis SDP dengan cara PPS (Probability Proportional to Size).
e. Tiap SDP dianjurkan untuk diambil minimal 25 klien/responden untuk wawancara dan dipilih secara random.

3) Pengumpulan data dan Analisis
Sebelum dilakukan pengumpulan data dijelaskan terlebih dahulu oleh ketua tim, apa saja yang akan dievaluasi, bagaimana evaluasi yang dilaksanakan dapat membantu pengambilan keputusan.
Pada tahap ini dilakukan telaah :
a. Isu kesehatan utama berdasarkan matriks isu - informasi yang telah disusun.
b. Kegiatan utama yang akan dievaluasi pada tempat pelayanan yang dipilih (SDP).
c. Melakukan konfirmasi tiap aspek yang dievaluasi.
d. Data yang ada, serta menilai bagaimana kualitasnya dan relevansinya dengan isu yang jadi perhatian utama
e. Memilih metode yang paling sesuai untuk tiap isu, serta jenis data yang akan dikumpulkan. Metode yang umumnya digunakan dalam REM.
①. Record Review (telaah catatan)
②. Direct Observation terhadap task (tugas/tanggungjawab) klien.
③. Enumerasi atau pengujian alat dan obat maupun persediaannya.
④. Exit Interview terhadap klien (= Indepth Interview)
⑤. FGD (Focus Group Discusion)
⑥. Wawancara tingkat rumah tangga (Household Interview)

4) Tindak Lanjut
Pada tahap ini dilakukan langkah kegiatan seperti deseminasi hasil temuan, analisis data lanjut dan implementasi perubahan yang direkomendasikan dalam pelayanan kesehatan,

Evaluasi secara menyeluruh dengan REM diperkirakan memakan waktu antara 10 minggu - 16 minggu. Waktu yang demikian ini dirasakan relatif cepat karena informasi yang diperoleh cukup komprehensif, termasuk hal yang bersifat manajerial.

Kalo disimak, setiap jenis penelitian cepat mempunyai kegunaan masing-masing dalam penerapannya en dilaksanakan cepat-cepat karena informasi yang dibutuhkan sifatnya segera (urgently required), sebagai evidence based untuk penetapan kebijakan yang cepat dan mendesak.

Oke..seri ke 2 selesai…tapi sebaiknya all of u frens, browsing dan baca rujukan terkait untuk meluaskan pemahaman tentang semua jenis metode penelitian cepat…n share di blog ini untuk saling melengkapi…

So,...kali ini materinya ringan kan? Seringan udara yang dihirup...tak terasa tapi dibutuhkan...ce’ile..

Sampai ketemu di seri berikutnya...adios

AV, pamit

RAPID ASSESSMENT PROCEDURES


(AV)

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya minggu ke 2 bln mei, saya membantu pak Siswanto dkk share tentang tehnik pengumpulan data (puldat) dalam pelatihan HSR. Bukan karena saya pakar atau dllx..tapi semata udah baca buku HSR tentang materi ini duluan, terus memfasilitasi teman2 dlm pelatihan (ini istilah keren semata, krn forum utk membuat sekomitmen, sepemahaman, se-mindset, sepemikiran, tentang tehnik puldat ini dalam penelitian HSR yang pas namanya apa ya...kalo bisa menjawab, dapat hadiah..)

Kemudian saya jadi ingat dengan yang namanya Rapid Assessment Prosedures (RAP) yang merupakan cara penelitian cepat dengan triangulasi sumberdata dan tehnik puldat. Karena belum sempat membagikannya, saya share disini..moga2 bermanfaat..
Kebetulan mas agung dan tim pernah melakukannya ketika harus puldat saat bencana di yogya dan sinjai, maka ntar tambahin dengan pengalamannya ya mas...

Ada beberapa cara penelitian cepat yang dikembangkan WHO untuk menjawab beberapa data yang perlu penjelasan ‘mengapa dan bagaimana’. RAP merupakan cara pengkajian cepat yang sering digunakan dalam bidang kesehatan. Merupakan cara penilaian yang digolongkan dalam penelitian kualitatif tetapi dalam perkembangannya menjadi Rapid Assessment Prosedures yang luas dan menambahkan metode kuantitatif dalam pentahapannya seperti Survai Cepat. Oleh sebab itu dalam penulisan ini dijelaskan tentang RAP, pelaksanaannya disertai beberapa contoh dan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangannya.

Informasi yang lengkap, akurat dan terkini dibutuhkan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian keberhasilan kegiatan atau program kesehatan. Untuk informasi seperti ini, dapat diolah dari data laporan kegiatan atau program yang rutin, laporan penelitian atau hasil survei seperti SUPAS, SUSENAS, SKRT, SDKI dan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Teman-teman di Dinas Kesehatan misalnya, dapat memperoleh informasi yang demikian dari data yang diolah dari laporan kegiatan atau program yang rutin, baik tribulan maupun tahunan. Hanya saja, data seperti itu pada umumnya mencerminkan banyak dalam arti jumlah, tetapi belum menjawab mengapa dan bagaimana sehingga menggambarkan kondisi kabupaten/kota yang sebenarnya atau evidence based..(..ni penting loh..en selalu terabaikan....)

Untuk itu diperlukan suatu cara atau tehnik yang cepat, relatif murah tetapi tetap memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah utnuk menjawab mengapa dan bagaimana dari data yang ada. Beberapa cara tersebut adalah Rapid Assesment (RA), Rapid Survey (Survei Cepat) dan Rapid Evaluation Method (REM) yang secara prinsip berbeda tetapi pada dasarnya masing-masing dapat saling melengkapi.

Dalam uraian berikut ini diberikan penekanan tentang Rapid Assessment dan pelaksanaannya dalam beberapa kajian dan penjelasan tentang Rapid Survey (Survei Cepat) dan Rapid Evaluation Method (REM).

Pusing ?..belum khan..?..ayo kita teruskan dulu..
Menurut kamus bahasa Inggris, Rapid artinya cepat dan Assessment berarti penilaian atau pengkajian sedangkan Procedures adalah cara, sehingga Rapid Assessment Procedures diterjemahkan sebagai cara penilaian atau pengkajian yang cepat.

Rapid Assesment Procedures (RAP) adalah cara penilaian cepat yang dikenalkan oleh Schrimshaw SCM & Hurtado (1992) untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang hal apa saja yang melatar belakangi perilaku kesehatan masyarakat termasuk faktor sosial budaya dalam waktu yang relatif singkat.

RAP merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif yang digunakan peneliti sosiolog, antropolog dan psikolog secara fenomenologi sejak tahun 1980. Pengambilan sampel pada RAP dilakukan pada sejumlah kecil responden yang disebut informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Oleh sebab itu hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasi pada populasi yang besar.
Teknik pengumpulan data yang umunya digunakan pada RAP adalah wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan pada perorangan dan Focus Group Discusion (FGD) pada sekelompok orang...(kadang juga ditambah observasi seperti yang dilakukan teman2 tim Litbangkes waktu pengkajian bencana di yogya dan sinjai)..
Informasi yang didapatkan dari penelitian ini berupa kata-kata yang di intepretasikan maknanya melalui Content Analysis.

(Mas Agung, sekarang banyak bencana kok tim Litbangkes engga ada yang turun ya...? padahal masalah yang ditemukan bisa masuk agenda setting di Depkes loh..terutama untuk Penanggulangan Krisis dalam membuat kebijakan terkait...)

Okelah..sekarang kita teruskan supaya sepemahaman tentang manfaat RAP khususnya untuk teman2 di Puskesmas dan Dinas Kesehatan.

RAP umumnya dimanfaatkan :
1)Sebagai alat untuk menggali gagasan (ide!..ide!..):
a.Dengan cara mengamati langsung interaksi antara masyarakat sasaran dengan produk pelayanan kesehatan, membicarakan kebiasaan atau mendengar bahasa mereka tentang suatu masalah.
b.Menjajagi penerimaan masyarakat sasaran terhadap gagasan baru atau pesan dalam bentuk visual ataupun verbal, misal : media, kemasan gambar atau bahasa.
c.Mengkaji perilaku kesehatan yang relatif belum diketahui untuk dipelajari melalui penelitian lanjutan.

2)Sebagai langkah awal pengembangan penelitian (ada dasarnya gitu, engga sekedar karena ‘pingin’ or ‘pingin tau’) :
a.Mengembangkan hipotesa tentang pemikiran dan proses pengambilan keputusan masyarakat sasaran tentang kebiasaan atau masalah kesehatan yang sedang diteliti.
b.Merinci informasi pokok yang diperlukan penelitian.
c.Mengidentifikasi siapa yang perlu menjadi responden.
d.Membantu penyusunan form pertanyaan dan urutannya, kemudian melakukan pelatihan dan ujicoba.
e.Membuat inform consent
f.Mengidentifikasi masalah dan rumusannya.

3)Sebagai cara untuk memahami hasil penelitian lanjutan (terutama waktu membahas hasil penelitian or analisis lanjut..engga asal2an apalagi copy paste..!!)
a.Menerangkan, memperluas dan memperjelas data.
b.Memahami penyebab suatu kecenderungan.
c.Menggambarkan faktor yang mempengaruhi perubahan sikap.

4)Sebagai metode pengumpulan data (nah..ini alasan saya pingin share RAP ke teman2 semua..;-)
Beberapa masalah mungkin sulit untuk dijelaskan dengan penelitian kuantitatif, maka Rapid Assessment menjadi pilihan metode untuk pengumpulan data.
Schrimshaw NS, Gleason, GR., dkk (1992) menekankan bahwa RAP merupakan complementary approach untuk memahami KAP dan metode penelitian lainnya, dan bukan pengganti metode-metode tersebut..(..ini mungkin penjelasan yang pas tentang triangulasi sumberdata dan tehnik puldat, karena RAP dilaksanakan untuk saling melengkapi dan verifikasi data baik kuantitatif maupun kualitatif..)

;-)..belum pusing khan?...
Nah..pelaksanaannya ada tahapannya loh...begitu kata yang develop tehnik ini…yuk…
1)Menyusun rancangan studi (semua ada dasarnya dan alasannya, bukan sekedar ’pingin’, ’pingin tau’ apalagi ’belum pernah kesana..’..yeah!!).
a.Rancangan studi disusun mulai dari latar belakang dengan penekanan pada ’mengapa dan bagaimana’.
b.Melakukan studi kepustakaan, menetapkan metode yang digunakan termasuk pemilihan instrumen untuk pengumpulan data.
c.Menyusun rencana jadwal pelaksanaan termasuk pengumpulan data, manajemen dan analisis data.
d.Memilih daerah penelitian dengan memperhatikan kondisi geografis, kebutuhan biaya untuk itu, waktu dan tenaga yang diperlukan pada kondisi yang seperti itu.
e.Memilih dan memanfaatkan informan yang ada.
2)Kesiapan Logistik (yang ini puentuingg buanguett..tapi suka disepelekan..)
a.Mengurus ijin pelaksanaan penelitian sebagai salah satu bentuk etika penelitian.
b.Surat pemberitahuan pelaksanaan RAP sebagai persiapan di daerah penelitian, penting untuk dilakukan
c.Apa yang harus dipersiapkan di daerah penelitian, peran tim daerah dan apa yang jadi tanggung jawab tim assessment, populasi dan sampel terpilih, sebaiknya dideskripsikan dengan jelas
d.Pendeskripsian berkaitan dengan hal apa yang disiapkan dan menjadi tanggung jawab baik oleh daerah penelitian dan oleh tim RAP sangat diperlukan sehingga ada pembagian tugas yang jelas.
e.Panduan tehnis dalam pelaksanaan RAP diperlukan karena tim terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian.

3)Penyusunan Tim RAP (nah yang ini penting, bukan sekedar saya mau pilih mas agung (di artikel AKI bilangnya ’dipaksa’padahal mau..) karena saya bukan hanya bisa bekerja dengan dia, tapi karena dia mempunyai ’keahlian’ yang melengkapi tim..)
a.Memilih orang yang tepat yaitu sesuai keahlian dalam metodologi dan substansi tertentu dan sesuai dengan tujuan serta kemampuan dalam kerja tim. Umumnya terdiri dari ahli kesehatan masyarakat, sosiolog, antropolog, psikolog dan keahlian lain yang diperlukan
b.Leadership ketua tim amat penting
c.Supervisor yang peka, mampu dan bijaksana dan dapat melihat masalah serta mampu mengarahkan.
d.Pelatihan dan ujicoba form pertanyaan oleh tim RAP

Nah…dalam melaksanakan RAP, biasanya digunakan beberapa tehnik puldat yang saling menunjang satu dengan yang lain, yaitu :
1)Telaah informasi yang ada, termasuk data sekunder
2)Observasi (partisipatif dan non partisipatif di HSR)
3)Wawancara mendalam
4)Diskusi kelompok (non FGD)
5)Fokus grup diskusi

Pada perkembangannya, dalam pelaksanaan RAP kemudian ditambah dengan Rapid Survey (Survei Cepat) apabila ada hal-hal yang perlu dijelaskan dengan metode kuantitatif.

Kalo gitu, yang jadi responden di RAP milihnya bagaimana?...cenderung menggunakan non probability sampling (istilah keyennya..!) karena pendekatannya kualitatif.
1)Snow Balling
Tehnik ini khususnya bermanfaat ketika orang-oarang yang diteliti memiliki jaringan yang baik tetapi sulit diakses secara langsung karena merupakan populasi yang ‘tersembunyi’. Disebut bola salju, karena pengambilan sample diibaratkan bola salju yang menggelinding. (Murti,B.2006)

2)Personal kontak
Murti.B (2006) menyebutkannya sebagai Expert Sampling karena individu yang diwawancarai adalah mereka yang dianggap ‘pakar’ dalam bidang yang sedang diteliti. Pakar disini tidak selalu adalah akademisi dan bergelar. Disini dikenal istilah ‘key informan’ yaitu responden tertentu yang dipandang memiliki informasi yang banyak, strategis, mendalam tentang fenomena yang diteliti.

3)Pendekatan pada organisasi, lembaga dll.
Tehnik ini digunakan untuk memperoleh sample minimal dengan homogenitas maksimal sehingga peneliti dapat lebih memusatkan perhatian pada proses tertentu, dapat mendeskripsikan pengalam dan proses dengan lebih terinci (Murti,B.2006)

Kalo datanya sudah terkumpul, enaknya analisisnya apa? Karena pendekatannya kualitatif, maka analisis datanya juga kualitatif…dianjurkan menggunakan analisis tematik en buku panduannya Analisis Data Kualitatif dari Miles & Huberman…(buku ini kalo bisa punya sendiri..karena kalo pinjem perpus ato teman, teyus ngembaliinnya luamuaaa..nyebelin bu!!…)

Langkah-langkah dalam analisis data RAP dapat disimak setelah yang berikut ini (..iklannya Health Adv lewat dengan pict. mas agung yang provokatif, dibelakanganya mbak yumiko tersenyum..[bisa ngebayangin khan?..]…he7..)..
1)Mendengar ulang kaset rekaman dan atau membaca ulang transkip tiap diskusi atau wawancara.
2)Mengelompokkan temuan penelitian berdasarkan wilayah bahasan
3)Mengidentifikasi suatu istilah atau kata atau pernyataan yang tetap muncul dalam tiap bahasan
4)Mempertegas dan memperjelas istilah atau kata atau pernyataan yang tetap muncul berdasarkan temuan lain dalam FGD.
5)Mengidentifikasi perbedaan dan kelainan dalam tiap bahasan
6)Membuat rangkuman temuan atau pola
7)Mengutip ungkapan lisan yang menggambarkan tiap sudut pandang.

Tak ada gading yang tak retak….;..sepandai2nya tupai melompat, jatuh juga ke tanah…;..so…dalam analisis RAP bisa loh terjadi kesalahan…yaitu :
1)Mengkuantifikasi hasil
2)Menerima tanggapan responden seperti apa yang diucapkan, tanpa melakukan pengkajian maksud sebenarnya yang ada dibalik ucapan tersebut.
3)Gagal merangkum dan mengkonseptualisasikan temuan diskusi.
4)Generalisasi hasil RAP.

Ini ceritanya Collins,S yang menuliskan pengalamannya dalam pelaksanaan analisis data suatu survey di Darfur, Sudan antara 28 April – 31 Mei 2001 didanai Safe the Children UK. ""Data survey berasal dari 5 survey nutrisi yang dikombinasi dengan keamanan pangan dan ekonomi. Data dikumpulkan pada early warning system dari masa kelaparan akibat gagal panen. Hasil analisis menunjukkan 24% global malnutrisi dan 6 bulan kedepan ada tanda-tanda gagal panen.
Kembali ke London, hasil analisis ini dipresentasikan didepan donor dengan pengajuan proposal untuk intervensi bantuan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang diperlukan. Dengan pemaparan data yang komplit, diharapkan donor akan mendukung proposal yang diajukan. Tetapi data yang dipaparkan disanggah donor dengan temuan LSM lain yang menggunakan RAP.
LSM ini menggunakan 21 hari dengan mengunjungi 27 lokasi dan bertemu dengan tokoh lokal, mengunjungi institusi kesehatan, sumber air bersih, melakukan diskusi dengan keluarga-keluarga dan melakukan skrining pada anak balita menggunakan LILA dengan menggunakan 'convenience samples' dari kelompok yang diduga berisiko menjadi malnutrisi. Tim LSM ini tidak memberikan gambaran yang ada di daerah penelitian dan langsung memfokuskan sebagai daerah yang diduga dapat menjadi kelaparan dan malnutrisi. Hasil RAP mengejutkan karena hanya 1% dengan LILA < 110 mm, 5% antara 110-125mm dan 12.5% antara 126-135 mm, suatu hasil yang jauh berbeda dengan hasil analisis data dari 5 survey nutrisi yang dilakukan Collins. Pelajaran yang dapat diperoleh dari sini adalah bahwa RAP dan 'convenience samples' merupakan elemen penting dalam pengkajian suatu keadaan darurat. Hanya saja bahwa pada kondisi demikian memerlukan banyak cara pengkajian dan banyak sumber informasi dan mendiskusikan hasil RAP dengan tim ketika masih berada di daerah penelitian sangat penting. Sehingga hasil RAP yang didesiminasikan sudah di’filter’ dan akan berarti untuk implikasi kebijakan lebih lanjut tentang materi yang sedang dikaji. Walau demikian pemahaman tentang statistik dan materi yang dikaji perlu dimiliki oleh tim RAP.
RAP yang baik adalah yang mampu mengakses secara luas informasi di daerah yang diteliti.""

Karena tulisan ini seri ke 1, maka daftar pustakanya belakangan aja ya...karena kalo ditulis sekarang, ntar seri berikut udah ga kepingin dibaca...(;(, maaf klo salah..)... mengutip notes dr mbak ully wirawan dlm Fb-nya : artikel or yl-nya itu seperti Mutiara yang akan tetap jadi mutiara terlepas dari siapapun pengirimnya...jadi bacalah...;-)...

Oc..mudah2an menjadi pencerahan...

AV, pamit...

KONSPIRASI PROVOKATOR

by Agung Dwi Laksono



Dalam suatu kesempatan diskusi tentang kebijakan via facebook, bu Evie Sopacua (AV) menekankan pentingnya ‘agenda setting’ dalam suatu proses/siklus policy analysis.
(siklus policy analysis menurut para pakar terdiri 3-4 tahapan; policy formulation, policy implementation, policy review/evaluation, dan satu lagi ada yang memasukkan agenda setting sebagai salah satu tambahan tahapan)

Boleh dong kalau saya punya pendapat lain.
Tidak ada salah benar dalam hal ini, kembali lagi ini merupakan masalah pilihan.
(kalo kurang sepakat nti bisa disambung mbuk! Red.AV)

Menurut saya.., sekali lagi menurut saya!
Ada hal satu lagi yang jauh lebih penting yang justru berada di luar siklus policy analysis tersebut, yaitu isue atau masalah kebijakan.
Suatu kebijakan seharusnya dibuat atau dirumuskan berdasarkan permasalahan riil yang ada di masyarakat. Artinya, yang sudah benar-benar jadi perbincangan di masyarakat.

Yang hendak saya angkat adalah bukannya bagaimana merumuskan isu public, kalo untuk itu anda baca buku saja, yang hendak saya paparkan adalah bagaimana kita berperan dalam sebuah isue publik.

***

Flu burung misalnya, atau flu babi akhir-akhir ini. Dapat dilihat bagaimana taktisnya kebijakan yang digariskan dan dijalankan oleh pemerintah dalam penanganan masalah ini.

Karena sudah menjadi perhatian publik, maka pemerintah benar-benar mencurahkan segala daya upaya untuk meredam masalah tersebut. Segala sumber daya dikerahkan, termasuk dana, yang hampir selalu merupakan kambing hitam di lapangan.

Korban meninggal flu burung sampai dengan saat ini mungkin cuman dalam hitungan puluhan atau paling banyak ratusan (total).

Bandingkan dengan AKI (Angka Kematian Ibu). Hasil survey rumah tangga yang dilakukan dalam SDKI (Survey Demografi Kesehatan Indonesia) pada tahun 2002/2003 menunjukkan angka 307/100.000 kelahiran hidup atau 20.000 per hari, berarti 50,5 per hari atau 2,1 per jam.
Lebih dari 2 ibu melahirkan mati setiap jamnya! Setiap jamnya! Bayangkan!!!!!!!
(tanda serunya tak kasih banyak biar keliatan bombastis dan anda benar-benar mau membayangkannya dalam benak anda).

Dari hitung-hitungan epidemiologi mungkin dua kasus ini akan lain sudut pandangnya. Tapi point saya sedang tidak ke arah sana.

Point saya adalah dalam hal besaran korban, magnitude. Kasus flu burung dengan korban yang hanya beberapa dibanding dengan AKI, dengan korban yang sedemikian banyak, terjadi terus menerus, rutin, sekali lagi.. rutin!!! Setiap tahun!
Tapi apa yang berkembang di masyarakat? Kematian ibu merupakan hal yang biasa, sangat biasa malah. Dan petugas kesehatan (decision maker) pun menganggap kasus AKI bukan sesuatu yang urgent, yang butuh penanganan secara cepat.
(berita terbaru, berdasarkan hasil SDKI 2007 AKI sudah turun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup, artinya setiap jam masih terdapat 1,55 ibu melahirkan yang meninggal dunia)

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Kasus flu burung bisa terselesaikan dengan cepat dan dengan penanganan yang komprehensif karena telah manjadi isue publik yang sangat dahsyat. Hampir semua media massa memajang kasus ini setiap hari ketika sedang hangat-hangatnya.
Sedang kematian ibu…………………………………………………………..?

Saya sedang tidak ingin menyalahkan siapa-siapa! Media massa? Lha memang berita kematian ibu gak laku dijual, masyarakat gak tertarik untuk membacanya, berita basi!!!

Terus..? yang salah kita! Saya dan anda semua!
(tuh kan tetap aja cari kambing hitam, katanya gak mau nyalahkan siapa2).
Mengapa kita yang salah? Karena kita yang tidak mau berusaha menjadikan kasus kematian ibu sebagai masalah publik. Kita tenang2 aja ketika Angka Kematian Ibu dilansir.
Kita hanya menganggap AKI tak lebih hanyalah sebuah indikator kesehatan.

Sudah sadarkah kita sekarang???!!!!??! Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?

Tulis! Tuliis!! Tuliiis!!! Tuliiiiis!!!!! Tuliiiiiiis!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
sebarkan pada masyarakat, kabarkan kepada dunia, kematian ibu juga sebuah masalah besar.
Dimana? Terserah… Koran terbit setiap hari, atau jaringan internet, facebook, blog apa saja.

Mari kita buat konspirasi besar untuk mengangkat kesehatan sebagai isue publik.
“Anda si fulan 1 nulis tentang kasus A dari sudut pandang atas, anda si fulan 2 menyangkalnya, tulis tentang kasus A dari sudut pandang bawah, dan anda si fulan 3 tidak bersepakat dengan fulan 1 dan 2, anda punya pandangan lain, tulis tentang kasus A dari sudut pandangan samping”.

Paham bro? mudeng opo ora pren?

Buat seakan kita bersebrangan satu sama lain, kita tidak sependapat, kita konfrontir semuanya di ruang publik. Pastikan masyarakat menyadari bahwa kasus yang kita angkat adalah sebuah masalah. Sambil melakukannya, kita berdo’a bersama-sama sambil berharap, kawan kita yang jadi decision maker telinganya tidak ditulikan, mulutnya tidak dibisukan, dan matanya tidak dibutakan dan mau berdiri bersama-sama dengan kita.

Bro…! tidak masalah anda sedang ada dimana, dalam posisi apa, staf puskesmas, dinas kesehatan, rumah sakit, atau tidak di bidang kesehatan sekalipun. Tubuh kita boleh terjebak dalam rutinitas pekerjaan, tapi otak kita jangan.
Mari lakukan semuanya berjama’ah! Jangan sendiri2!
Bebaskan pikiran, lepaskan imajinasi!
Mari kita jadikan diri kita provokator! Demi ibu pertiwi.

‘DE-MEDIKALISASI PENANGGULANGAN HIV/AIDS’ Pendekatan Multidimensi Penanggulangan HIV/AIDS

by Agung Dwi Laksono



Tulisan ini lebih merupakan pengembangan dan pemaknaan kembali atas tulisan Zubairi Djoeban (1999) dalam ‘Membidik Aids, Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA’.

Dua pulu enam tahun (1983-2009) upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang terfokus pada bidang medis sampai saat ini tidak bisa mengikuti trend perkembangan penyakit AIDS yang terus berkembang dengan pesat, dengan virusnya yang terus menerus bermutasi.

Di Indonesia data yang dilansir Dijen PPM & PL Depkes RI sampai dengan Maret 2009 terdapat 6.668 yang mengidap HIV dan 16.964 positif AIDS. Total terdapat 23.632 orang dengan HIV/AIDS.

Jumlah yang masih ‘sedikit’ ini merupakan data resmi dari institusi yang berkompeten di Indonesia, artinya, amat diyakini masih banyak kasus yang sampai saat ini belum terungkap, analogi fenomena ‘gunung es’ diyakini berlaku untuk kasus ini.

Banyak hal bisa menjelaskan hal tersebut. Pertama adalah kondisi kultural seperti perasaan malu, takut dikucilkan, dicemooh dan berbagai kondisi yang kurang menguntungkan lainnya bukan tidak mungkin menjadi kendala bagi penderita untuk dapat secara terbuka menginformasikan tentang penyakit yang diderita. Kondisi sosial ekonomi yang rendah juga menjadi kendala dalam upaya pemeriksaan dan perawatan bagi para penderita HIV/AIDS ini.

Sampai saat ini banyak ditemukan kombinasi obat yang bisa menghentikan AIDS, tetapi obat tersebut sedemikian beracun sehingga menghasilkan efek samping yang berbahaya. Meski demikian harga obat-obatan tersebut sangat tinggi bagi ukuran rakyat Indonesia. Sebuah kemajuan yang tak menguntungkan bagi dunia kedokteran, apalagi di saat krisis sekarang ini.

Secara de facto penanggulangan penyebaran AIDS tidak bisa hanya mengandalkan bidang kedokteran, banyak bukti bahwa inti persoalan penyebaran AIDS sesungguhnya sangat multi dimensional. Penyebaran AIDS dipengaruhi dan mempengaruhi sistem tatanan masyarakat secara sosial, ekonomi, politik, agama ataupun budaya yang sangat komplek.

Sampai saat ini pendidikan seks masih dipandang sebagai hal yang tabu di Indonesia, sehingga pelaksanaan program KIE untuk penyakit HIV/AIDS belum mampu menyentuh sekolah ataupun organisasi kepemudaan, karang taruna misalnya.

Seperti halnya di Cina, Indonesiapun sebenarnya kaya akan beragam cara pengobatan alternatif/tradisional. Bedanya, pemerintah Cina dalam kebijakannya secara de facto melibatkan pengobatan alternatif/tradisional tersebut secara aktif, sedangkan pemerintah Indonesia (Depkes) meminggirkan, kalau tidak boleh dibilang meninggalkan upaya-upaya tersebut. Dengan melihat begitu populernya akupuntur/tusuk jarum sebagai metode pengobatan alternatif/tradisional rasional yang khas China, sudah seharusnya kita lebih memperhatikan upaya-upaya pengobatan alternatif/tradisional, dengan merasionalisasi metode-metode pengobatan alternatif/tradisional, ataupun meredefinisi upaya-upaya tersebut sehingga dapat diterima secara luas sebagai metode pengobatan yang rasional.

Dalam sebuah penelitian di Uganda, dengan tujuan mengetahui bagaimana pasangan-pasangan saling menginfeksi HIV/AIDS. Ditemukan dua hal mengejutkan yang tampak melindungi mereka dari kemungkinan tertular HIV/AIDS, yaitu usia tua dan khitan.

Dari seluruh responden tercatat hanya responden muslim yang khitan. Diduga ada perbedaan kultural soal waktu dan frekuensi berhubungan seks, sedang dugaan lain, khitan mungkin berkaitan dengan praktik lain yang melindungi lelaki dari infeksi.

Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya yang muslim, juga mempraktikkan hal serupa, khitan. Temuan diatas seharusnya lebih memacu kita untuk lebih memperbesar perhatian kita atas bidang-bidang sosial, politik, budaya, dan agama secara terintegrasi, untuk lebih menggali potensinya.

Persepsi yang berkembang di masyarakat yang memposisikan AIDS sebagai ‘penyakit luar negeri’, ‘penyakit kaum homoseks’, ataupun ‘penyakit pelacur’ jadi kurang menguntungkan bagi penanggulangan AIDS, karena masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori tersebut menjadi tenang-tenang saja, merasa aman dari resiko tertular AIDS sehingga membuat mereka tidak waspada terhadap resiko tertular AIDS.

Ini terbukti dengan dilansirnya distribusi penderita AIDS oleh Depkes beberapa waktu lalu, yang menemukan kenyataan mengejutkan, bahwa personel ABRI sebagai penderita AIDS kedua terbanyak, setelah WTS sebagai peringkat pertama. WTS sebagai penderita AIDS sudah dapat kita maklumi, tetapi ABRI?

Untuk itu maka perlu adanya persepsi baru yang bisa menimbulkan kewaspadaan terhadap AIDS, disinilah peran media massa, baik media cetak ataupun elektronik, sangat besar perannya dalam membangun opini publik, yang pada akhirnya dapat mengarahkan persepsi tentang AIDS yang ada pada masyarakat secara benar dan terarah.

Dengan tidak men’cap’ AIDS sebagai penyakit golongan tertentu. AIDS bisa menular ke siapa saja, termasuk kita, dengan cara-cara penularan yang seharusnya kita pahami dan mengerti, sehingga kita bisa menjadi lebih waspada.

Perspektif gender bisa jadi merupakan salah satu kekuatan potensial yang efektif digunakan dalam penanggulangan AIDS. Perspektif gender bukan berarti hanya memandang dari sudut perempuan atau sudut laki-laki.

Daripada membicarakan tentang peningkatan peran serta salah satu jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, lebih baik membicarakan tentang peningkatan atau penurunan ketidaksetaraan antara mereka. Dengan demikian perspektif gender dapat dilihat sebagai salah satu hubungan sosial diantara jutaan interaksi sosial yang ada di masyarakat.

Sumber : 1)Djoeban, Zubairi. (1999). Membidik Aids, Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Galang Press. Yogyakarta; 2) Foster & Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan. Universitas Indonesia Press. Jakarta; 3) Sciortino, Rosalia. (1999). Menuju Kesehatan Madani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta; 4) Tjiong, Roy. (1991). Problem Etis Upaya Kesehatan, Suatu Tinjauan Kritis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta; 5) Zeitlin, Irving M. (1998). Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Catatan Diskusi AKI jatim


by Agung Dwi Laksono



Atas keberatan seorang teman, yang juga sudah terdaftar di list kontributor blog ini (Yumiko Lanny) saya berusaha merubah habis gaya penulisan di blog ini.

Blog ini terlalu berat katanya, terlalu teknis, apalagi yang diomongin kebijakan. Yang akhirnya dijadikan alasan gak mau kontribusi tulisan, please deh Non!

Akhirnya saya mencoba berubah, suer saya sudah berusaha, saya mencoba menulis dengan cara bertutur, ato kembali ke gaya features khasnya metropolis Jawa Pos!
ntar gak diakui jadi peneliti lagi! Gak ilmiah kata senior di KPP manajemen.

EGP lah yang penting pesan tersampaikan, dan Yumiko Lanny mau nyumbang coretan.

Eh jadi lupa mau share…

Minggu lalu sebelum berangkat ikut pelatihan HPSR, saya diajak bu Evie (ato lebih tepat dipaksa) untuk rapat dengan Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, membahas angka kematian ibu di Jatim. Undangan selain dari litbang, ada dari internal dinas, dari BPS dan ada juga pak Harsono Sumanteri (mbah e angka kematian ibu, jare orang BPS).
Lumayan sih buat nambah wawasan metode mendapatkan angka kematian bayi.

Bla.. bla.. bla.. pak Harsono prensentasi sampai berbusa tentang metode mendapatkan AKI. Mulai dari survey rumah tangga (SDKI, SKRT, Susenas, SUPAS) sampai pada pendekatan estimasi (direct sisterhood method, PMDF based estimation).

Bapak-bapak dari BPS menjelaskan rencana survey Susenasnya yang rencananya akan diboncengi oleh survey AKI dari dinas ini.

Mbak Dian dari sie kesga (mbuk kalo salah koreksi ya! Red; evie sopacua) juga memaparkan apa yang telah dilakukan dinas kesehatan dengan PWS KIA nya. Mbak Dian mengungkapkan betapa dongkolnya dia karena angka yang dihitung oleh dinas kesehatan sama sekali tidak dipercaya oleh orang propinsi. Propinsi hanya mau percaya angka dari BPS. Weleh..weleh..

Usut punya usut.. tanya ke BPS, darimana angka yang dimiliki oleh BPS, yang disampaikan ke gubernur itu..
jawabannya apa?
Konyol..sama sekali konyol..
dari dinas kesehatan… halahhhh!!!

Yang konyol siapa? (*menertawakan diri sendiri mode on*)

Lanjuuut…

Setelah diskusi panjang.. dinas memutuskan (atau ngeyel) bahwa akan dilakukan survey dengan nebeng susenas.

Pak Harsono berargumen, lebih baik memperbaiki system pencatatan-pelaporan (RR; reporting, recorcing) di dinas supaya lebih efisien daripada melakukan survey. Dinas tetep pada pendirian..’survey’ (*ngeyel mode on*)

Saya, bu evie, dan akhirnya orang BPS juga sepakat bahwa sebaiknya yang dilakukan adalah perbaikan system RR dari pada survey yang membutuhkan dana besar, dan setiap kali membutuhkan data AKI harus survey lagi, dana besar lagi..

Bukankah lebih baik memperbaiki sistem RR yang investnya cuman sekali, selanjutnya tinggal maintenance saja..

SDKI dengan sampel 40.000 rumah tangga hanya berhasil mendapatkan 63 kasus kematian ibu, PWS KIA (meski masih dianggap under reporting) malah memiliki report 4.500 kematian ibu. Bukankah modal yang layak diperhitungkan? (tapi mesti ditambah dengan pembobotan2 lagi)
Bagaimana dengan rencana Susenas yang hanya dengan sampel 29.500 rumah tangga?
Prediksi BPS hanya akan mampu mendapatkan 50 kematian ibu… kalo lagi beruntung

Pilih yang mana fren? logika rasional apa saja boleh dijadikan landasan…

Hasilnya…?
Tetap saja dinas (*ngeyel mode on semakin mantab*) ‘surveeeeeeeey………..!!!!!!!!!!!!!!!!!’

Usut punya usut ternyata…
anggaran sudah kadung di dok (DIP) sebagai biaya perjalanan… halahhh!
Tidak ada pilihan lain.. survey!
(ngapain juga ngundang diskusi, kalo kesimpulan sudah ada)

Fren terkasih sebening Kristal (*gaya pak Mario mode on*, salam super pak!)

Itu adalah sebuah proses pengambilan kebijakan..
Seringkali para pembuat keputusan (decision maker) membuat keputusan jangka panjang dalam waktu yang singkat. Kadang tanpa pertimbangan ilmiah, rasional, apalagi sense kerakyatan..

Keputusan dinas yang tegesa2 lebih merupakan menyelesaikan masalah dengan masalah, harusnya dinas bisa meniru pegadaian.. yang menyelesaikan masalah tanpa masalah

Mengundang pakar (pak Harsono, bukannya saya) hanyalah sebuah ‘bemper’, bemper bahwa kebijakan yang diputuskan sudah dikonsulkan, sudah didiskusikan dengan profesional.
Meski sebenarnya keputusan sudah diambil tanpa memperhatikan sama sekali masukan dan wacana yang berkembang…

Whatever will be…will be… (*lemes mode on*)