Sosialism ato Liberalism?

by Agung Dwi Laksono



Klo di milis desentralisasi kesehatan besutan pak laksono minggu lalu heboh soal end goal system pembiayaan kesehatan kita yang carut marut gak jelas juntrungannya mau ke kutub yang mana? Apakah socialism yang diadopsi gaya eropa ato liberalism yang direpresentatifkan oleh amerika? Perdebatan itu pada ujungnya membuka kembali wacana soal equity yang diusung kutub socialism dan quality oleh kutub liberalism.

Kedua pilihan itu sejatinya bukan masalah salah ato benar. itu hanya masalah pilihan, masing2 punya kelemahan dan kelebihan. Dalam memilihnya yang kita siapkan adalah antisipasi dari resiko kelemahan pilihan tersebut. Itu intisari kebijakan… menurut saya! No boleh protes yak!

Belajar dari kasus banyuwangi… lagi!
Lagi2 gak boleh protes bila anda saya bawa kembali untuk membuka kasus banyuwangi. Bukan karena begitu cintanya saya sama banyuwangi, tapi kebetulan system pembiayaan kesehatan di banyuwangi bisa dijadikan contoh bagus buat pembelajaran untuk ranah yang lebih luas. Saya lakukan hanya demi memuaskan kencitaan saya dengan pertiwi ini… hallaahhhh nggedabrus!

Hehehe.. gak pa pa tho nggedabrus sedikit…
Balik maning yak…

Banyuwangi dengan system pembiayaan kesehatan yang menanggung seluruh penduduknya dalam pelayanan kesehatan rawat jalan di tingkat puskesmas sejatinya melakukan mixing dari dua kutub tersebut, meski tidak disadari oleh actor pengambilan kebijakan di level kabupaten. Gak percaya? Kita akan kupas agak detail yak!

Banyuwangi dan socialism
Dengan menanggung biaya kesehatan (gratis) untuk seluruh penduduknya, maka ini merupakan perwujudan equity yang didengung2kan oleh kutub socialism. Meski equity (keadilan) sebenarnya tidaklah sama dengan equality (kesamaan/pemerataan). Tetapi justru strategi ini, yang diterapkan di tingkat pelayanan kesehatan dasar, membawa efek yang luar biasa bagi tingkat pelayanan di level selanjutnya… unpredictable!

Dengan pemberlakuan pelayanan kesehatan yang sama untuk setiap penduduknya tanpa memandang kaya ato miskin, laki ato perempuan, dus yang ganteng-cwantik dengan yang jelek… banyuwangi mampu membuat kesetaraan dan mengurangi kesenjangan di antara penduduknya. Equity bukan?

Gambaran equity ato tidak bisa dilihat dalam paparan angka distribusi persentase penduduk banyuwangi yang mengakses pelayanan rawat jalan di puskesmas berdasarkan kuintil (lima tingkat) tingkat ekonomi (pengeluaran perkapita) yang saya dapatkan dari kolaborasi data mentah riskesdas dan susenas 2007

Kuintil 1 --> 27,3% (paling mlarat)
Kuintil 2 --> 16,8%
Kuintil 3 --> 19,9%
Kuintil 4 --> 19,2%
Kuintil 5 --> 16,8% (paling sugih)

Sekarang saya no comment dengan paparan angka tersebut, anda sendiri saja yang memberi penilaian, apakah distribusi persentase itu menggambarkan equity ato tidak?

Banyuwangi dan liberalism
Berbeda dengan kabupaten atau propinsi lain yang menerapkan kebijakan pembiayaan kesehatan serupa, yang kebanyakan memberlakukan pembayaran pada provider (puskesmas ato rumah sakit) dengan system kapitasi (per gundul) atau block grand (jatah) per puskesmas, maka banyuwangi memberlakukan system klaim (fee for service) untuk providernya.
Sekarang anda sudah bisa melihat bukan, bagian mana sisi liberalism yang diadopsi banyuwangi?

Dengan system klaim (fee for service) yang merupakan system pembayaran provider yang sangat liberal ini, banyuwangi mampu membuat puskesmas bersaing, bukan hanya dengan sesama puskesmas, tetapi juga dengan provider lain di luar milik pemerintah. Dan ujung2nya adalah quality.
Gak percaya juga? Silahkan ngendon di salah satu puskesmas di banyuwangi, maka anda akan terbiasa melihat pasien bermobil yang ikut duduk di ruang tunggu untuk berobat di puskesmas.

Efek seribu satu…
Mengapa saya katakana efek seribu satu? Karena efek ini… kejadian ini, belum saya temukan di kabupaten ato propinsi lain, setidaknya yang pendapatan asli daerahnya dan kekayaannya setara dengan banyuwangi.

Seperti kita tau… pembiayaan kesehatan di level pusat yang dibesut menkes lama, yaitu jamkesmas, mengalokasikan jaminannya hanya untuk masyarakat miskin (maskin) yang masuk dalam data base yang dimiliki badan pusat statistik (bps). Sedang sisanya, masyarakat miskin yang tidak masuk dalam data base tersebut, yang biasa disebut sebagai maskin non kuota, akan ditanggung oleh pemerintah kabupaten masing2. Klo salah tolong dikoreksi!

Nahhh!!! Kebanyakan pemerintah kabupaten jebol anggaran kesehatannya karena menanggung maskin yang non kuota ini, bahkan beberapa kabupaten menanggung hutang pada rumah sakit.
Kepriben kok bisa gitu? entah karena tidak bisa mengontrol jumlah maskin yang sakit yang kebanyakan di level pelayanan kesehatan lanjutan (yang membutuhkan biaya sangat tinggi), ato gagal melakukan preventive dan promotif di level pelayanan kesehatan dasar, ato cuman tertipu masyarakat kaya yang mengaku miskin (jelek lo!).

Di banyuwangi hal itu tidak terjadi, anggaran yang disediakan selalu bersisa lumayan besar.
Kenapa bisa terjadi? Dalam pengamatan saya… sekali lagi dalam pengamatan saya! Hal ini bisa terjadi karena bagusnya quality di level pelayanan kesehatan dasar. bayangkan… sudah bayarnya gratis, berkualitas pula! Ini yang membuat penduduk banyuwangi tidak enggan untuk berobat secara dini, karena provider (puskesmas) berusaha memberikan pelayanan yang terbaik (manusiawi; memanusiakan manusia jare mas rachmat).

Hal berbeda saya dapati di kabupaten lain. Puskesmas dalam memberikan pelayanannya, bila mendapati kasus yang agak sulit menjadi terlalu mudah untuk merujuk ke rumah sakit, karena ditangani ato tidak toh pendapatan puskesmas tetep saja. Ini pendapat saya lho, jangan diambil ati!

Satu lagi…
Satu lagi hal khusus yang ada di banyuwangi sebelum saya kelupaan… sebelum saya dihujat tidak memikirkan soal public health…
Di banyuwangi… dalam kebijakan system pembiayaan kesehatannya tersebut tidak hanya mengurus masalah upaya kesehatan perorangan (ukp), tapi juga ngurusin masalah upaya kesehatan masyarakat (ukm).
Bagaimana bisa?
Begini ceritanya sodara, di dalam sistem klaim yang dibayarkan dari upaya yang ukp tersebut, dalam klausul perjanjian (juknis dan manlak) memasukkan unsur kewajiban provider untuk membiayai kegiatan ukm dari klaim kegiatan ukp dengan persentase tertentu.

Tentu saja anda akan kuatir bukan? sama dengan saya!
Bagaimana bila tidak ada pasien yang berobat? kegiatan ukm pasti akan mati?

Ternyata anda salah! Saya salah!! Lebih tepatnya… kita salah!!!
Hal itu tidak pernah terjadi, semua provider bisa hidup dan bahkan bisa dibilang berhasil. Bahkan dalam hitung2ang secara duit, pola pembiayaan kesehatan yang tidak memisahkan ukm-ukp sebagai paket yang diterapkan di banyuwangi ini jauh lebih efisien dibandingkan bila dua kegiatan tersebut dialokasikan secara terpisah.

Semua yang saya tulis ini merupakan pendapat saya pribadi, meski pada dasarnya saya melakukan penelitian bersama tim. Tapi boleh dong saya kemukakan penilaian pribadi saya. Anda boleh kok tidak setuju, bahkan mungkin seharusnya memang tidak setuju, sekedar memenuhi keberagaman di antara kita, ato justru untuk membuat polemik, agar bidang kesehatan selalu jadi topic hangat untuk dibicarakan. Piye boss?

Re-definisi Equity

by Agung Dwi Laksono



Salah satu indicator yang paling krusial di dalam kebijakan pembiayaan kesehatan adalah indicator equity (keadilan), yang kalo menurut saya… sekali lagi menurut saya, ‘adil’ itu tidak harus sama dengan ‘sama rata’, equity tidak sama dengan equality. Yang miskin dan yang kaya tidak harus mendapat hak yang sama, harusnya ada pembedaan. Tapi ini kan menurut saya, sedang saya bukan ‘penggedhe’ pengambil keputusan, cuman peneliti yang hobby ‘nggrundel’.

Sedang menurut Bravement dan Gruskin (2003) equity adalah;

“Equity means social justice or fairness; it is an ethical concept, grounded in principles of distributive justice. Equity in health can be—and has widely been—defined as the absence of socially unjust or unfair health disparities. However, because social justice and fairness can be interpreted differently by different people in different settings, a definition is needed that can be operationalised based on measurable criteria“.

WHO (2008) lain lagi, secara praktis mendefinisikan equity atau keadilan di dalam akses terhadap pelayanan kesehatan (Equity in Accessibility) adalah sebagai rasio pemanfaatan pelayanan kesehatan antara tingkat ekonomi perkapita terendah (paling mlarat) terhadap tingkat ekonomi perkapita tertinggi (paling sugih). Artinya bahwa distribusi frekuensi antar tingkatan ekonomi mempunyai rasio yang seimbang atau hampir seimbang.

Belajar dari Kasus Banyuwangi

Kebijakan sistem pembiayaan kesehatan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi adalah penggantian biaya yang ditanggung oleh pemerintah daerah untuk biaya rawat jalan sampai pada pelayanan dasar di tingkat puskesmas. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh penduduk, sugih mlarat podho wae… sama saja! Semua gratis!!!

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dibesut oleh Badan Litbang Depkes dan saya kompilasi dengan data Susenas tahun 2007 besutan Badan Pusat Statistik sehingga kita bisa mendapatkan gambaran distribusi frekuensi tingkat ekonomi (pengeluaran) dari masyarakat Banyuwangi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas, sebagai berikut;


Kuintil Tingkat Pengeluaran
Kuintil 1 (paling mlarat) --> 27.3%
Kuintil 2 --> 16.8%
Kuintil 3 --> 19.9%
Kuintil 4 --> 19.2%
Kuintil 5 (paling sugih) --> 16.8%


Berdasarkan gambaran komposisi persentase di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan fasilitas rawat jalan di puskesmas yang biayanya ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi terbanyak ada pada tingkat pengeluaran terrendah (kuintil 1 ato paling mlarat). Meski perbedaan distribusi persentasenya terpaut tidak terlalu jauh.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan system pembiayaan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi sudah memiliki tingkat keadilan terhadap akses pelayanan kesehatan yang dijamin (equity in accessibility) sangat baik. Saya memutuskan ‘baik’ ini secara obyektif, karena target kebijakan pembiayaan kesehatan di Banyuwangi adalah memang untuk seluruh penduduk, sama rata!

Tapi itu pandangan obyektif saya! Secara subyektif saya blas gak setuju pwoooll! Harusnya ada pembedaan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, tidak hantem kromo semua mendapat hak yang sama. Dan lagi-lagi ini akibat janji politik, dan lagi-lagi saya juga harus mengakui ‘public health is a policy’

Tapi lagi-lagi ini menurut saya, sampeyan bebas berpendapat lain, kalo bisa juga memang berpendapat lain, biar diskusinya agak rame!
Piye? Yang lain yo… please..



Pustaka

Braveman, P and S Gruskin, 2003. Defining equity in health. Journal Epidemiology Community Health 2003;57; halaman 254-258
World Health Organization, 2008. Primary Health Care; Now More Than Ever. World Health Organization, Geneva

Hak Asasi Kesehatan Manusia; Versi siapa?


by Agung Dwi Laksono

 


Isu ini sudah lama sebenarnya digulirkan, sejak jaman deklarasi Alma Ata (kalo gak salah taon 1978). Tapi tetep aja kita (ato ‘mereka’ aja.., aku gak mau terlibat didalamnya) banyak menyalahartikan dalam upaya pengejawantahannya menjadi sebuah kebijakan.

Pengobatan gratis? Jangan pernah mengira itu merupakan wujud kepedulian para pengambil kebijakan (level kabupaten/kota) atas kesehatan warganya. Apalagi untuk kesehatan sebagai hak asasi manusia. Itu lebih merupakan tekanan masyarakat atas janji yang dilontarkan pada saat kampanye.

Dan lagi-lagi itu bukan kebijakan yang benar menurut ‘saya’... sekali lagi menurut ‘saya’! Kebijakan pengobatan gratis hanya sampai tingkat dasar, pengobatan untuk sekedar rawat jalan sampai tingkat puskesmas, lebih merupakan omong kosong. Bullshit! Mbwujuk puwooll!

Gak percaya!!! Masyarakat kita, kalo cuman berobat ke puskesmas yang retribusinya cuman sepuluh ribu rupiah masih cukup kuat coy untuk menanggungnya. Yang dibutuhkan justru bila sampai tingkat lanjutan (rujukan), rawat inap di rumah sakit.

Kenapa emang?? Sistem kesehatan kita adalah sistem kesehatan terjahat di dunia! Orang yang kelasnya gak jelas kayak saya, miskin enggak kaya juga enggak (PNS mak!), akan jatoh miskin sengsara tujuh turunan kalo pake acara sakit yang harus rawat inap di RS.

Lahh nek wong mlarat piye? Masih mending ada askeskin. Sing sugih? Pan kuat bayar ndiri. Nahh! Masyarakat yang di batas abu2 inilah yang gak kepikiran...
(yang brasa sekelas dengan saya buruan deh ikut asuransi!)

Kebijakan askeskin di level pusat mau nggak mau harus diakui sebagai langkah awal pemerintah (pusat) untuk peduli pada hak rakyatnya, meski banyak kelemahan disono-sini.
Cuman kebijakan tersebut bisa menjadi kebijakan ‘konyol’ ketika anggaran kesehatan yang tidak seberapa, dialokasikan dengan salah pula.

Di pertiwi ini, diperkirakan hanya terdapat 15-20% penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20-30% saja yang dapat dilayani.

Jadi 20-30% dari 15-20% seluruh penduduk Indonesia; kira2 3-6% dari total penduduk yang menikmati anggaran kesehatan (kuratif/pengobatan). Dan sementara... penduduk lain yang lebih banyak sekitar 85%, yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah ora digatekke. Piye to? Gembul tenan!

Menurut saya... mbuh nek nurut sampean, bila kesehatan merupakan sebuah hak asasi... maka itu berlaku untuk seluruh rakyat, untuk seluruh penduduk. Bukan hanya untuk sebagian kecil penduduk. Kesehatan bukan melulu sembuh dari penyakit. Mencegah orang ‘gak kaya’ macam saya untuk tidak jatuh sakit dan menjadi jatuh miskin juga merupakan urusan penting kesehatan yang harus didahulukan.

Kados pundi?

Human Rights and Health

Introduction by Paul Hunt
U.N. Special Rapporteur on the Right to Health
and Professor of Law, University of Essex, UK

Over fifty years ago, the constitution of the World Health Organization recognized the enjoyment of the highest attainable standard of health is a fundamental human right. Since then, the right to the highest attainable standard of health (“right to health”) has been enshrined in a series of international and regional human rights treaties, as well as in over 100 constitutions worldwide.

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights includes as a central provision the right to health in international human rights law: “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health” (article 12). International treaties also recognize a range of other human rights of central relevance to health, including the rights to adequate shelter, food, education, privacy, non-discrimination and the prohibition against torture.
  1. There are a variety of links between health and human rights;
  2. Violations of, or inattention to, human rights can have serious consequences for health;
  3. Health policies and programs can either promote or violate human rights in the way that they are designed or implemented;
  4. Vulnerability and the impact of ill-health can be reduced by taking steps to respect, protect and fulfill human rights.

Human rights are relevant to a great many health issues, including prevention and treatment of HIV/AIDS; sexual and reproductive health; access to clean water and adequate sanitation; medical confidentiality; access to education and information on health; access to drugs; and the health of marginalized and vulnerable groups such as women, ethnic and racial minorities, refugees and people with disabilities. Human rights are also relevant to promoting health in broader contexts, such as in armed conflict, poverty reduction strategies, and international trade.

I greatly welcome this initiative by Human Rights & Human Welfare to draw together literature on the relationship between health and human rights. This resource will serve as a very useful starting point for research on many issues that are central to the promotion and protection of human rights in the contemporary world.

© 2004, Graduate School of International Studies, University of Denver

Polemik Kontaminasi Produk Susu Formula


by Oryz Setiawan

Kembali ke ASI adalah salah satu bentuk kampanye kesehatan yang paling efektif untuk menekan berbagai laju penyakit yang mengancam si jabang bayi sebab ASI secara alami mengandung antibodi yang dirancang khusus oleh Tuhan untuk menangkal terjadinya penyakit sekaligus palinng aman dan menyehatkan. Apalagi fenomena menyusui bayi oleh ibu adalah bentuk sentuhan psikologis paling dasar dalam membangun 'hubungan' batin yang secara reflektif dapat menumbuhkembangkan sifat kasih sayang yang hakiki.

Kontroversi seputar produk susu formula dan sebagian makanan bayi dan balita yang terkontaminasi bakteri berbahaya kini terus menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat terutama kalangan ibu-ibu yang memiliki bayi dan balita. Penyakit yang diduga bersumber dari bakteri yang disebut enterobacteri sakazakii disinyalir dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti diare, iritasi, gangguan metabolisme dan mengakibatkan gangguan radang selaput otak (meningitis) bahkan mengancam keselamatan bayi dan balita yang mengkonsumsinya.

Memang penemuan bakteri yang terdapat pada makanan balita di berbagai merek dagang susu formula yang kini beredar di pasaran adalah hasil penelitian dari IPB yang tengah memicu keresahan di masyarakat. Meski secara umum tingkat konsumsi susu dan produk makanan bayi di Indonesia paling rendah dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara namun tingkat ketergantungan terhadap susu formula baik berbentuk bubuk maupun cair sangat tinggi.

Seperti diketahui susu merupakan sumber makanan lengkap bagi bayi, balita hingga anak-anak yang mengandung berbagai zat-zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Hampir semua nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita ada pada produk susu formula.

Selain sebagai sumber makanan utama, produk susu juga telah menjadi sumber makanan untuk pendamping Air Susu Ibu (ASI) pada bayi diatas 6 bulan.

Pada bayi berumur 0 - 6 bulan diharuskan hanya mengkonsumsi ASI atau ASI eksklusif sehingga penggunaan susu formula lebih ditujukan pada bayi berumur lebih dari enam bulan. Tingkat komposisi produk susu formula baik yang berbentuk bubuk maupun cair pada umumnya mengandung lemak susu (casein) disamping protein, lemak, vitamin dan mineral-mineral esensial yang sangat diperlukan bagi perkembangan balita.

Adapun yang membedakan antarproduk adalah jumlah, komposisi dan prosentase zat-zat nutrisi. Di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok keluarga, keberadaan susu dan produk makanan bayi adalah salah satu prioritas utama dalam menjaga agar buah hati selalu sehat, tumbuh dan berkembang sesuai pertambahan usia dan terjaga dari setiap penyakit yang mengancam.

Kekhawatiran para ibu sangat beralasan oleh karena balita adalah kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi penyakit dan jangka panjang akan mempengaruhi warna generasi bangsa kelak dikemudian hari.

Kampanye ASI

Kembali ke ASI adalah salah satu bentuk kampanye kesehatan yang paling efektif untuk menekan berbagai laju penyakit yang mengancam si jabang bayi sebab ASI secara alami mengandung antibodi yang dirancang khusus oleh Tuhan untuk menangkal terjadinya penyakit sekaligus palinng aman dan menyehatkan.

Apalagi fenomena menyusui bayi oleh ibu adalah bentuk sentuhan psikologis paling dasar dalam membangun 'hubungan' batin yang secara reflektif dapat menumbuhkembangkan sifat kasih sayang yang hakiki. Oleh karena itu para ibu wajib memberi ASI eksklusif (hanya ASI) bagi bayi yang berumur hingga 6 bulan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 menunjukan bahwa ibu-ibu yang yang menyusui bayinya hingga usia enam bulan hanya 7,8 persen dan sebanyak 64 persen ibu yang menyusui bayinya hingga berumur kurang dari 2 bulan.

Adanya stigma bahwa memberikan susu formula lebih baik padahal harganya lebih mahal, bahkan tak jarang untuk berhemat mereka mengurangi takaran atau tidak sesuai anjuran sehingga asupan gizi berkurang. Sedangkan makanan pendamping ASI ditujukan pada bayi hingga berumur dua tahun.

Memang tidak semua ibu mampu menyusui secara sempurna akibat keterbatasan asupan susu ibu, gangguan hormone prolaktin, dan akibat faktor lain sehingga kasus-kasus yang demikian memerlukan pendampingan dan saran oleh tenaga kesehatan tentang makanan pendamping ASI (MP-ASI) untuk menunjang kelancaran asupan makanan bayi.

Dukungan sosial terutama bagi pekerja wanita atau wanita karier berupa cuti hamil, melahirkan dan tempat khusus untuk menyusui belum memadai sehingga kurang melegimitasi program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang (sebenarnya) telah lama digaungkan oleh pemerintah. Program GSI merupakan program yang didasari atas masih tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia sehingga semua pihak dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan ibu dan bayi bukan semata-mata hanya sebuah acara seremonial belaka.

Pemahaman yang benar atas perlakuan ibu terhadap bayi dan balita akan mendorong kesadaran kolektif untuk menghindarkan setiap potensi bahaya penyakit yang mengancam buah hatinya termasuk pemberian ASI, makanan tambahan balita dan lain-lain.

Terlepas dari terkontaminasinya suatu merek produk susu formula oleh bakteri enterobacteri sakazaki diperlukan upaya pencegahan antara lain : pertama, meski hingga kini pemerintah belum secara resmi melakukan pelarangan atau penarikan produk susu formula yang diduga kini tengah beredar di pasaran sikap waspada dan deteksi dini sangat diperlukan bagi ibu-ibu untuk mencegah penularan bakteri berbahaya tersebut.

Sebelum membeli produk susu maupun makanan balita, lakukan secara teliti apakah produk tersebut telah memenuhi syarat, kemasan, komposisi hingga masa kadaluarsa sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh si kecil.

Jangan terkecoh oleh produk susu yang murah atau menawarkan berbagai macam hadiah sebab di era perang dagang, iming-iming harga murah dan hadiah adalah bentuk persaingan merek produk di mata konsumen. Kedua, diperlukan upaya menjaga kebersihan peralatan minum, proses sterilisasi yang tepat, proses penyajian, penyimpanan hingga menjaga pola asupan ke bayi dan balita. Karakteristik bakteri pada umumnya adalah tidak tahan dan mati oleh suhu pemanasan minimal 80 derajat celsius selama 2-3 menit.

Susu sebaiknya langsung habis diminum guna menghindari kontak dengan udara yang merupakan media bagi penyakit sehingga ibu harus mengetahui takaran dan porsi bagi balita. Oleh karena itu aspek hieginitas dan pola sanitasi yang tepat merupakan salah satu upaya dini dan paling mudah untuk mencegah timbulnya penyakit yang bersumber pada produk makanan bayi.

Ketiga, menghindari makanan atau minuman yang tidak dibutuhkan oleh tubuh meski banyak disukai oleh balita sehingga tidak memenuhi standar gizi atau menurunkan daya tahan tubuh yang cenderung rentan. Oleh karena itu kebiasaan jajanan di luar rumah atau makanan ringan yang menstimulasi timbulnya penyakit selayaknyanya dihindarkan demi kesehatan balita maupun anak-anak.

Diterbitkan di harian Surya edisi 4 Maret 2008

Mengawasi Produk Susu Bermelamin


by Oryz Setiawan


Setelah kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri Entero Sakazakii beberapa waktu lalu, kini beredar kabar bahwa susu berformula yang berasal dari Tiongkok ditengarai terkontaminasi melamin.

Misalnya, China Daily melansir temuan Badan Pengawas Kualitas (AQSIQ) Tiongkok. Berdasar hasil uji terhadap 1.202 sampel susu, ternyata 10 persen positif terkontaminasi melamin.

Melamin merupakan senyawa kimia yang termasuk kategori logam berat yang bila dalam konsentrasi tinggi dan terakumulasi akan sulit diekskresi oleh tubuh, terutama organ ginjal, sehingga menyebakan kerusakan ginjal, gagal ginjal kronis, dan berujung pada kematian.

Menurut hasil penelitian, kandungan melamin (miligram per kilogram produk) dalam susu setelah tercampur bahan cair dalam tubuh di atas 60 kilogram berat badan atau lebih pada orang dewasa memang masih dapat diurai. Namun, sifat dan karakteristik melamin yang dalam batas dan jangka waktu tertentu akan terakumulasi berdampak buruk bagi kesehatan. Apalagi, produk susu didominasi kalangan balita dan anak-anak yang notabene sistem kekebalan (daya imunitas) tubuhnya masih sangat rentan terhadap penyakit.

Tiongkok memang dikenal sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dengan menawarkan harga yang murah, sehingga banyak produknya yang diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.

Seiring menjamurnya industri modern, industri berskala menengah, maupun tradisional atau home industry, pengelolaan dan kontrol terhadap suatu produk menjadi tidak ketat, apalagi terkait dengan produk susu (dairy product) dalam industri susu (dairy industry). Dalam iklim globalisasi dan perdagangan bebas, produk negara-negara lain sangat mudah beredar di berbagai negara.

Karena itu, pemerintah melalui Badan POM, Departemen Perindustrian, dan Departemen Perdagangan harus ketat serta kontinu memonitor peredaran berbagai produk susu atau bahan baku susu, terutama yang berasal dari Tiongkok.

Misalnya, Badan POM selaku institusi yang berwenang untuk pemilihan bahan baku, proses pembuatan, hingga pola distribusinya. Bukan hanya produk susu formula yang beredar baik yang menyangkut pengujian mutu pangan dan kandungan gizi suatu produk untuk memperoleh izin edar di pasaran, namun juga obat-obatan serta makanan lain yang dikonsumsi masyarakat luas.

Selain itu, dilakukan pengawasan rutin dan menguji ulang setiap produk yang diduga menyalahi aturan (ambang batas yang diperkenankan) dan merugikan konsumen.


Sensitivitas Balita

Belajar dari beredarnya kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri beberapa waktu lalu memang berimplikasi pada tingkat kepercayaan terhadap produk susu berformula, terutama bagi ibu-ibu yang memiliki balita. Kepanikan tak terhindarkan, mengingat susu formula dalam konteks kekinian (meski tak sesempurna dan seideal ASI) ternyata masih merupakan kebutuhan elementer yang tak tergantikan sekaligus menjadi makanan utama bagi balita.

Peredaran produk susu maupun makanan balita di pasaran sangat beragam, sehingga membutuhkan ketelitian, kecermatan, serta kecocokan dalam memilih produk bagi sang buah hati.

Di pihak lain, setiap bayi dan balita memiliki tingkat kerentanan maupun sensitivitas yang berbeda-beda dalam mengonsumsi susu formula, sehingga terkadang sangat memerlukan konsultasi pihak medis maupun ahli gizi.

Asumsi susu formula yang diproduksi luar negeri (susu impor) selalu lebih baik harus dikaji kembali. Sebab, pada dasarnya, di Indonesia bahan baku maupun pembuatan produk susu formula telah diuji secara ketat, sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi balita sesuai petunjuk pada kemasan.

Komposisi, izin produk, dan batasan masa edar hingga masa kedaluwarsa harus mutlak dicantumkan oleh industri susu formula. Ibu-ibu juga harus memiliki tingkat ketelitian dalam memilih produk sesuai kebutuhan balita. Seperti diketahui, susu merupakan sumber makanan lengkap bagi bayi, balita, hingga anak-anak yang mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh.

Hampir semua nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi serta balita ada pada produk susu formula. Selain sebagai sumber makanan utama, produk susu telah menjadi sumber makanan untuk pendamping ASI bagi bayi di atas 6 bulan. Penggunaan susu formula lebih ditujukan pada bayi berumur lebih dari 6 bulan.

Di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok keluarga, susu dan produk makanan bayi menjadi salah satu prioritas utama dalam menjaga agar buah hati selalu sehat, tumbuh, dan berkembang sesuai pertambahan usia serta terjaga dari setiap penyakit yang mengancam.

Kekawatiran para ibu sangat beralasan karena balita adalah kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi penyakit dan jangka panjang akan memengaruhi warna generasi bangsa kelak.


Kajian Penelitian

Upaya pengawasan produk pangan secara berkelanjutan bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penelitian seperti uji sampel acak (sampling), uji mutu produk, dan melakukan manajemen berbasis risiko demi mencegah timbulnya gangguan kesehatan atau keselamatan konsumen akibat kerusakan, terindikasi terkontaminasi sumber penyakit, dan tercemar bahan-bahan berbahaya.

Menurut sistem keamanan pangan generasi ketiga yang direkomendasikan WHO, telah diatur tentang analisis risiko pangan terdiri atas kajian risiko dan manajemen risiko. Kajian risiko pada sistem keamanan pangan berupa identifikasi bahaya, karakteristik bahaya, dan dampak yang mungkin timbul, kajian paparan, serta karakterisasi risiko.

Kajian risiko itu lebih banyak diperankan lembaga riset, perguruan tinggi, dan surveilans. Sedangkan manajemen risiko memuat berbagai tindakan untuk menentukan prioritas penanganan, mencari alternatif penanganan masalah, serta memilih opsi yang terbaik sesuai kondisi yang ada berupa penetapan standar dan regulasi.

Untuk mengantisipasi peredaran susu bermelamin di Indonesia, setidaknya menjadi ujian bagi Badan POM untuk semakin ketat menfungsikan diri sebagai institusi yang benar-benar mampu menjalankan fungsi pengawasan suatu produk pangan di tengah membanjirnya produk dalam iklim pasar bebas.

Di pihak lain, konsumen berhak mengetahui setiap informasi produk, termasuk potensi risiko yang ditimbulkan, khususnya terhadap kelompok rentan seperti bayi, balita, dan anak-anak.

Karena itu, hakikat penelitian berbasis ilmiah merupakan upaya pencerahan (enlightment) bagi perkembangan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat. Itu terutama untuk mencegah terjadinya bencana sosial dalam masyarakat kekinian, sehingga konsumen sadar terhadap hak-haknya.


Diterbitkan di Jawa Pos edisi Kamis, 25 September 2008

PELAYANAN KESEHATAN KITA, KAPITALIS ATAU SOSIALIS?



by Siswanto

Pada masa kampanye Pilpres kali ini kita masyarakat awam telah disuguhi dengan dua jargon ekonomi, yakni neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Secara umum, neoliberal dimaknai sebagai sistem ekonomi yang bertumpu pada pasar bebas (free market), sementara ekonomi kerakyatan dihembuskan sebagai panacea (resep) terhadap kondisi saat ini di mana terjadi kesenjangan yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin, yang diklaim sebagai akibat sistem neoliberal. Sementara, di pihak pemerintah yang berkuasa tidak mengakui bahwa saat ini pemerintah menerapkan sistem neoliberal. Bahkan, pihak pemerintah yang sedang berkuasa mengklaimnya sebagai sistem ekonomi jalan tengah, yakni sistem ekonomi pasar tetapi pro rakyat.


Dalam tulisan ini, kita mencoba mencermati sistem kesehatan di Indonesia dalam perspektif pengelolaan sistem ekonomi. Namun, dalam analisisnya kita menghindarkan diri dari terminologi neoliberal dan ekonomi kerakyatan, agar kita tidak terjebak pada jargon politik kampanye pilpres saat ini, yang notabene belum jelas secara konseptual. Kiranya kita sudah mahfum, bahwasanya di dunia ini terdapat dua sistem ekonomi, yakni sistem kapitalis (pasar bebas) dan sosialis. Amerika Serikat, barang kali bisa diambil contoh negara dengan sistem kapitalis. Untuk contoh sosialis murni, barang kali tinggal Korea Utara yang menerapkan sosialis murni.


Sektor kesehatan adalah sektor unik yang harus diperlakukan secara khusus. Mengapa demikian? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa intervensi kesehatan adalah suatu jasa pelayanan dengan spektrum sangat lebar, dari yang paling privat (bedah kosmetik) sampai dengan yang paling publik (pemberantasan penyakit menular). Oleh karena itu, banyak negara di Eropa, meski menerapkan sistem pasar bebas dalam pengelolaan ekonominya, mereka memberlakukan sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan sosialis. Sebut saja, Jerman dan Inggris adalah contoh negara yang negaranya memberlakukan suatu jaminan atau asuransi kesehatan sosial yang mengkover seluruh penduduknya. Dengan sistem sosialis seperti ini peran negara sangat besar dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan agar mampu mengkover semua penduduknya (universal coverage).


Sesungguhnya Indonesia sudah mempunyai payung hukum yang kuat untuk menerapkan asuransi sosial kesehatan, yakni UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioanl (SJSN). UU tersebut sesungguhnya merupakan ”pendekatan sosialis” dalam pengelolaan sektor pembiayaan kesehatan, dengan tujuan untuk menjamin akses semua penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Namun sayang sekali sejak diundangkan pada akhir pemerintahan Megawati, sampai sekarang belum ada implementasi yang nyata (belum ada PP yang dibuat).


Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 maupun UU penggantinya yakni UU No. 32 tahun 2004, sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang diotonomikan (didesentralisasikan). Secara prinsip otonomi adalah penyerahan kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan antara sistem otonomi dan privatisasi sistem pelayanan kesehatan, namun dalam periode lima tahun terakhir ini terasa benar terjadinya pergerakan ke arah privatisasi pelayanan kesehatan.


Dengan berjalannya otonomi sejak tahun 2001, realita di lapangan mengindikasikan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita cenderung bergeser ke arah sistem pasar bebas terkendali, kalau tidak boleh dikatakan pasar bebas. Ini bisa dibuktikan dengan menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, sebut saja, klinik 24 jam, klinik spesialis, rumah sakit swasta, rumah sakit internasional, dan sebagainya. Bahkan, institusi pelayanan kesehatan pemerintah telah bergerak ke arah kutub ”privatisasi”. Ini terbukti dengan perubahan inkremental rumah sakit pemerintah dari kutub ”birokrasi” ke ”privatisasi”, dengan mengubah status rumah saki pemerintah dari model retribusi menjadi rumah sakit swadana, dan akhirnya dewasa ini menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Argumennya, dengan BLU, rumah sakit dapat berkinerja lebih baik karena dapat mengelola secara langsung pendapatan fungsionalnya untuk operasional pelayanan dan insentif karyawan. Ironisnya status BLU tetap mendapat budget pemerintah untuk belanja investasi dan gaji.


Konsekuensi ”privatisasi” institusi pelayanan kesehatan pemerintah adalah penyesuaian tarif (penyesuaian terhadap biaya riil), dengan argumentasi bahwa peningkatan tarif adalah untuk meningkatkan pendapatan fungsional guna kemandirian biaya operasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sudah pasti, dengan kebijakan penerapan BLU di rumah sakit akan menghasilkan ”trade off” kepada berbagai pihak pemangku kepentingan. Pihak manajemen dan provider akan diuntungkan dengan status BLU, namun dari segi biaya, masyarakat miskin akan dirugikan dengan naiknya tarif pelayanan. Meskipun, kerugian rakyat miskin tadi sudah ditanggulangi dengan Jamkesmas (Askeskin), sebagaimana diprogramkan pemerintah.


Puskesmas tidak kalah radikalnya dalam konteks ”privatisasi” dibandingkan dengan rumah sakit. Beberapa puskemas di DKI Jakarta dan juga provinsi lain menggarap secara bisnis pelayanan kesehatannya dengan menerapkan International Standard Organisation (ISO). Juga, secara bersamaan dengan pengakuan ISO, puskesmas dapat menggunakan pendapatan fungsionalnya untuk biaya operasional dan kesejahteraan karyawan. Pergeseran model puskesmas birokrasi (retribusi disetor penuh ke pemerintah) ke arah privatisasi ini juga membawa konsekuensi kenaikan tarif pelayanan. Lagi-lagi diklaim bahwa rakyat miskin tidak ada masalah karena sudah terlindungi dengan Jamkesmas.


Contoh-contoh kasus menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, bahkan rumah sakit kelas internasional, pergeseran rumah sakit pemerintah dan puskesmas ke arah privatisasi, hal ini semua mengindikasikan kecenderungan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita menuju ke kutub pasar bebas (kapitalis). Atau, setidak-tidaknya pasar bebas terkontrol kalau tidak boleh disebut pasar bebas.


Masalah pilihan


Model sistem kapitalis atau sosialis dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan sesungguhnya hanyalah masalah pilihan, yang tidak bisa langsung dinilai salah atau benar. Dalam sistem pelayanan kesehatan, karena sifat kepublikannya, maka baik pilihan kapitalis maupun pilihan sosialis keduanya harus mendapatkan intervensi khusus agar dampak negatifnya dapat tertanggulangi.


Dalam masalah pelayanan barang publik, misalnya pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, imunisasi, dan sejenisnya, para ahli sepakat bahwa intervensi pelayanan ini pembiayaannya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Di Amerika Serikatpun intervensi kesehatan barang publik juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentunya pelaksananya bisa oleh institusi pemerintah atau model contracting out. Pemerintah harus membiayai jenis pelayanan ini, karena sifat kepublikan (publicness) dari jenis pelayanan kesehatan ini.

Persoalan pilihan sistem sosialis atau kapitalis sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan kesehatan perorangan. Pada sistem sosialis, secara umum pelayanan kesehatan perorangan dibiayai atau setidak-tidaknya pembiayaannya dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah. National Health System (NHS) di Inggris atau asuransi kesehatan nasional Australia, misalnya, premi jaminan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya disatukan dengan pajak (tax based health insurance). Dengan sistem seperti, maka semua warga negara mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dengan benefit package yang relatif sama (paket generik). Dari segi keadilan dalam kontribusi pembiayaan, sistem ini cukup adil karena semakin kaya seorang warga negara maka semakin tinggi kontribusinya terhadap pembiayaan kesehatan. Bahkan, untuk orang miskin bisa bebas dari kontribusi pembiayaan, karena adanya ambang batas untuk kewajiban membayar pajak (orang miskin dengan pendapatan di bawah ambang batas tidak membayar pajak).


Meskipun model ini dengan mudah mampu mengkover seluruh penduduk dalam mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, namun juga mempunyai banyak kelemahan. Pertama, karena premi jaminan kesehatan dan sosial diambilkan dari pajak maka proporsi anggaran sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial mengambil proporsi yang besar dalam belanja negara. Dan, porsi anggaran ini setiap tahunnya harus dipertarungkan dengan sektor lain pada saat penyusunan rencana anggaran pemerintah. Kedua, sistem ini tetap menyisakan persoalan bagi masyarakat kaya dan sangat kaya, karena kelompok ini biasanya menginginkan pelayanan yang lebih (paket khusus). Untuk menanggulangi ini negara biasanya tetap mengijinkan asuransi swasta untuk mengakomodasi kebutuhan segmen kelompok kaya ini.


Model sosialis lainnya adalah seperti apa yang diterapkan di Jerman. Meskipun premi jaminan kesehatan tidak disatukan dengan pajak, pemerintah Jerman menerapkan Social Health Insurance (asuransi kesehatan sosial). Secara prinsip, sistem ini mewajibkan semua warga negara mengikuti asuransi kesehatan dengan besaran premi sesuai dengan tingkat pendapatannya, kemudian paket pelayanan kesehatan yang diberikan juga relatif sama (paket generik). Identik dengan model tax based, pemerintah masih tetap menawarkan asuransi swasta bagi yang menginginkan paket khusus.


Bagaimana dengan model kapitalis? Amerika Serikat, sebagai prototipe model kapitalis, menyerahkan pasar asuransi pelayanan kesehatannya kepada pasar bebas. Dengan demikian keikutsertaan warga negara dalam asuransi kesehatan bersifat suka rela (voluntary). Jadi negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk mengikuti asuransi kesehatan. Model ini sesungguhnya identik dengan model Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang pernah dikembangkan di Indonesia sebelum muncul UU No. 40 tahun 20004 tentang SJSN. Sistem kapitalis juga tidak luput dari kelemahan.


Pertama, tingkat cakupan kepada penduduknya akan sulit mencapai universal coverage (cakupan 100%). Konon di Amerika Serikat, negara yang ekonominya sudah sangat maju, masih terdapat 30% penduduknya yang tidak terkover asuransi kesehatan. Kedua, kelompok orang sangat miskin dan miskin akan tertinggal dalam sistem, karena mereka tidak mampu membayar premi asuransi. Untuk itu, negara harus mengintervensi kelompok ini dengan membayar premi kelompok ini. Misalnya, Amerika Serikat mensubsidi orang miskin dengan program Medicaid, dan lansia dengan Medicare.


Bagaimana dengan di Indonesia? Kondisi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia saat ini tampak sangat fragmented. Data kepesertaan jaminan kesehatan di Indonesia sudah menggembirakan karena sudah mendekati angka 40%, dengan rincian sekitar 72 juta penduduk miskin terkover dengan Jamkesmas, kemudian PNS, ABRI, dan Pensiunan terkover dengan Askes, karyawan swasta terkover dengan Jamsostek, dan sejumlah orang kaya tertentu mengikuti asuransi swasta. Namun demikian kita harus sadar bahwa ”sesungguhnya kita belum menerapkan asuransi kesehatan sosial sebagaimana dicita-citakan oleh UU No. 40 tentang SJSN”.


Pertanyaannya sesungguhnya negara kita menganut sistem pelayanan kesehatan yang mana? Sosialis atau kapitalis? Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa kita mengarah kepada kapitalis. Mengapa demikian? Pertama, dari segi penyedia pelayanan kita lebih bergerak ke arah privatisasi, sebagaimana telah dijelaskan di depan. Kedua, dari segi pembiayaan, kita membiarkan kelompok kaya dan sangat kaya untuk mengikuti asuransi kesehatan sesuai sistem pasar (asuransi swasta), sementara kita mengintervensi kelompok miskin dengan Jamkesmas (Askeskin). Bukankah ini identik dengan sistem di Amerika? Yang celaka adalah kelompok menengah, kaya tidak, miskin juga tidak. Mereka menjadi kelompok terbengkelai, di satu pihak belum terkover Jamkesmas, di pihak lain tidak mampu membayar premi asuransi swasta. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa ini ke depannya mampu menerapkan asuransi kesehatan sosial di Indonesia.

CONSUMER GENERATED MEDIA


By Evie Sopacua

Dalam berita.liputan6.com tanggal 9 Juni 2009 dibawah judul Prita dan Kedaulatan Konsumen, Aryanto membandingkan kasus ini dengan kasus perusahaan ternama Dell. Dikisahkan ketika Jeff Jarvis penulis buku What Would Google Do? membeli laptop Dell, ternyata laptop ini bermasalah. Tapi, usai dibawa ke pihak Dell, laptop itu tak kunjung bugar. Dalam keadaan frustasi, Jarvis memuat tulisan di blognya pada Juni 2005, dengan judul "DELL SUCKS". Keluhan ini disambut meriah kalangan blogger. Ratusan komentar bermunculan. Tulisan itu juga disebarkan ke blog-blog lain. Dengan cepat reputasi Dell merosot, apalagi ketika media mainstream ikut juga memberitakan. Bahkan, nilai saham Dell di bursa ikut-ikutan anjlok. Dell tak punya pilihan. Beberapa bulan kemudian, produsen itu mulai berubah pikiran. Pada April 2006, produsen itu menurunkan staf technical support-nya untuk berkomunikasi dengan kalangan blogger. Pada Juli 2006, Dell bahkan membangun blog sendiri, ajang keluh-kesah ataupun pujian bagi produk mereka. Mereka menanggapi setiap posting atau komentar dengan pendekatan yang positif, mau mendengarkan. Dell menjadikan para pelanggan sebagai sahabat yang bisa mengkritik kapan saja. Nama baik perusahaan tersebut akhirnya pulih seperti sediakala.

Aryanto menjelaskan bahwa dunia memang sudah berubah dan dengan cara-cara baru, para konsumen menyusun posisi diri yang baru. Ini semua dipicu revolusi di bidang teknologi informasi. Kontrol informasi sudah mulai bergeser ke tangan publik secara langsung, bukan lagi di genggaman media massa konvensional. Para konsumen menyebarkan informasi melalui blog, milis, situs jejaring sosial, maupun forum di jagat maya. Dulu, konsumen harus menunggu berminggu-minggu, sebelum protesnya dimuat dirubrik surat pembaca. Kini, hanya dalam hitungan menit, protes (atau boleh jadi pujian) itu bisa menyebar tanpa batas, ke seluruh pelosok dunia. Para pakar pemasaran menamakannya consumer generated media (CGM).

Istilah CGM dicetuskan tahun 2002 oleh Pete Blackshaw (www.clickz.com , www.consumergeneratedmedia.com , http://en.wikipedia.org ) CMO dari perusahaan Nielsen untuk menggambarkan pertumbuhan ruang kreasi pelanggan di internet. Ide ini muncul berdasarkan umpan-balik pelanggan melalui surat ‘online’ dan e-mail yang memenuhi videos, gambar dan jaringan situs sosial seperti facebook dan situs berita sosial seperti Digg.

Menurut Amalia E. Maulana (http://amaliamaulana.com diposting 21 Mei 2008) CGM diciptakan sebagai tempat ekspresi pendapat dari konsumen ke konsumen melalui ‘media online’ untuk mendiskusikan pengalaman dalam berinteraksi dengan produk pada khususnya, atau masalah-masalah sosial-politik pada umumnya. Blog, milis, ‘e-forum’ dan situs kajian produk adalah beberapa contoh CGM. Dikatakan Amalia bahwa dalam CGM, semua pesan yang masuk dimuat tanpa terkecuali, dan ini yang membuatnya lebih hidup serta dinamis. Dalam blog, umumnya tanggapan pembaca langsung tayang. Milis yang bersifat umum, anggotanya cenderung diperbolehkan menuliskan komentar apa saja. Di situs kajian produk, konsumen mendeskripsikan produk dari kacamatanya sendiri tanpa campur tangan produsen.

CGM merupakan salah satu bentuk komunikasi ‘word of mouth’ (WOM). Dengan bantuan kemajuan teknologi, penyebaran berita melalui CGM lebih cepat dibandingkan dengan tipe WOM yang lain. Amalia menjelaskan bahwa kelebihan utama CGM adalah dari sisi kredibilitasnya yang tinggi di mata audiens; berbeda dari tulisan di media formal yang sering dipersepsikan berpihak pada kepentingan tertentu. Kenyataan inilah yang menjadikan CGM seolah-olah pisau bermata dua bagi perusahaan, karena media ini bisa menjadi ancaman manakala ada berita buruk tentang produk/perusahaan seperti pada kasus Dell di atas.

Seperti dalam kasus Prita, seharusnya RS Omni menyadari bahwa keluhan Prita bukan pencemaran nama baik, tetapi umpan balik dari pelayanan yang dia peroleh. Manajer humas RS seharusnya menghubungi Prita yang beropini tentang pelayanan yang dia dapatkan lewat “CGM” (emailnya di facebook) secara terpisah guna mendapatkan ‘consumer insight’ yang lebih mendalam untuk usulan perbaikan di RS. Dikatakan oleh Amalia, hasil implementasi usulan ini yang akan menjadi bahan “cerita baru” perusahaan di media CGM (facebook), sehingga jelas dirasakan para anggota CGM bahwa perusahaan memperhatikan umpan balik mereka.

Dalam http://tuhu.blogspot.com dengan judul tulisan Mimpi Buruk Pemasar Itu Bernama Consumer Generated Media (diposting 4 April 2008). Diceritakan demikian :

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah link yang sangat menghebohkan. Sebuah merek mobil ternama, yang menggunakan iklan testimonial dihujat habis oleh penulis blog itu. Karena dia dengan lantang, menuliskan secara jujur proses dibalik layar iklan testimonial tersebut. Apabila Anda sebagai pemilik brand tersebut, bukankah ini sebuah mimpi buruk? Dan tampaknya bagian marketing communication dari perusahaan ini tidak mengetahui, terbukti tidak ada satu komentar pun yang berasal dari pihak produsen. Padahal link tulisan ini sudah menyebar kemana-mana.Parahnya lagi tulisan ini ditulis tahun 2005, dan hingga saat ini pun ternyata masih heboh dibicarakan. Coba Anda bayangkan, page-rank artikel itu saja mencapai 6 (Google page-rank berskala 1-10). Sementara page-rank keseluruhan blognya cuman 3. Ini merupakan indikasi, bahwa khusus tulisan ini banyak dibaca orang, di forward dari mailing list ke mailing list, dan di link kemana-mana.Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menanganinya? Untuk pencegahan, seharusnya perusahaan ikut terlibat dalam dunia blog, mailing list dan forum lainnya dimana konsumennya biasa berkumpul. Sehingga apabila ada keluhan, mereka langsung menuju ke perusahaan dibanding bercerita kemana-mana.Tindakan lainnya, adalah melakukan monitoring tiap hari melalui google, apakah ada berita negatif tentang produk kita. Nah disini menjadi krusial, apabila ada yang berkomentar negatif, hadapilah dengan lapang dada. Anda tidak bisa marah-marah, lalu mengecam Sang Penulis. Akan lebih elegan bila Anda bersimpati, dan berusaha segera memecahkan masalah yang dihadapi.

Rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain dalam era global seperti ini merupakan industri dengan mindset ekonomi yang seharusnya tidak melupakan aspek sosial dalam mewujudkan profit. Bukan semata mengejar keuntungan atau break event point untuk modal besar yang sudah dikeluarkan untuk ijin pendirian dan penyelenggaraan RS, pembelian alat kesehatan yang mahal dan penggajian sumberdaya manusia termasuk dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain maupun tenaga non kesehatan.

Menjaga mutu merupakan hal yang sangat penting dalam suatu industri dan keluhan klien atau pelanggan bahkan dengan judul bombastis seperti yang dilakukan pada perusahaan Dell, sebaiknya tidak disikapi dengan arogansi bahwa telah terjadi pencemaran nama baik. Justeru itulah mutu sebenarnya yang dinilai pelanggan.

Brand bukan sekedar tampilan wah, tapi seharusnya menunjukkan standar profesionalitas. Terakreditasi nasional atau internasional bukan jaminan kalau tidak diikuti dengan pelayanan yang terstandar dan profesional sebagaimana yang tercantum dalam parameter-parameter penilaian akreditasi.

Pelanggan atau klien adalah subyek..bukan obyek, dia punya hak dan kewajiban seperti juga rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain serta semua tenaga kesehatan maupun non kesehatan yang melayani.

’Customer is the king’ bukan sekedar iklan atau slogan dan saya setuju dengan Amalia yang mengutip Pete Blackshaw : “Watch your back!” .

LESSON LEARNED DARI KASUS PRITA vs OMNI

by Evie Sopacua

Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Tangerang merupakan sebuah lesson learned dalam pelayanan rumah sakit, bahwa pelanggan yang adalah klien pelayanan kesehatan merupakan subyek, bukan obyek. Pelanggan adalah subyek, karena hubungan antara mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan (Gerson, 2004). Sehingga mutu menurut Gerson didefenisikan sebagai apapun yang oleh pelanggan dianggap sebagai mutu. Hal ini dijelaskan juga oleh Martin (2004) bahwa hanya bila pelanggan menganggap bahwa kita telah memberikan pelayanan pelanggan bermutu, barulah kita juga bisa menyatakan hal serupa. Martin mengemukakan bahwa pelanggan cenderung memberikan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan dari dua dimensi yaitu dimensi prosedural dan dimensi pribadi. Dimensi prosedural mencakup sistem dan prosedur yang telah tertata guna menyampaikan produk dan atau pelayanan sedangkan dimensi pribadi mencakup sikap, perilaku dan kemampuan lisan penyedia pelayanan dalam berinteraksi dengan pelanggan.

Akreditasi rumah sakit merupakan bagian dari dimensi prosedural yang bila dilaksanakan seiring sejalan akan menyebabkan pelanggan memberikan penilaian yang positif terhadap pelayanan yang diterima. Dapat dikatakan bahwa dari 16 pelayanan yang dinilai melalui kegiatan akreditasi rumah sakit, pelayanan administrasi dan manajemen merupakan payung dari ke 15 pelayanan lain. Mengapa demikian? Sebagai contoh dalam standar 2 parameter 2 dari pelayanan administrasi dan manajemen disebutkan ‘Pemilik rumah sakit menetapkan Hospital Bylaws (HBL)’ yang diterjemahkan sebagai peraturan internal rumah sakit. Pelaksanaan HBL mengacu pada keputusan MenKes RI No 722 tahun 2002 tentang Pedoman Peraturan Internal RS dan keputusan MenKes no 631 tahun 2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis (medical staff bylaws).

HBL terdiri dari kata ‘Hospital’ berarti rumah sakit dan ‘bylaw’ yang menurut The Oxford Illustrated Dictionary : Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions or practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004 dalam mashuriwebblog, 2009). Dengan demikian, pengertian bylaw dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan HBL memegang peranan penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah sakit, karena merupakan aturan main dari dan dalam manajemen rumah sakit.

HBL merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL dapat merupakan kumpulan dari peraturan rumah sakit, standar operating procedure (SOP), surat keputusan, surat penugasan, pengumuman, pemberitahuan dan perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

Jadi HBL merupakan payung dari semua peraturan dan kebijakan yang dilaksanakan di rumah sakit.

Dalam pelaksanaan HBL ini salah satu muatan materi pengaturan adalah hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit sebagaimana Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997.

Hak Pasien
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
2. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran/ kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
4. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.
5. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
6. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
7. Hak atas ’second opinion’ / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
8. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku.
9. Hak untuk memperoleh informasi / penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya.
10. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
11. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
12. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam berobat dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
13. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum/ pasien lainya.
14. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit.
15. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya.
16. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.
17. Hak transparansi biaya pengobatan/ tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
18. Hak akses / ‘inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.

Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat.
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/ peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit.
4. Melunasi semua imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
5. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.

Hak Dokter
Hak dokter adalah kekuasaan atau kewenangan dokter untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu
1. Hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional serta berdasarkan hak otonomi dan kebutuhan medis pasien yang sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4. Hak untuk mengakhiri atau menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain, kecuali untuk pasien gawat darurat.
5. Hak atas ‘privacy’ (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan).
6. Hak memperoleh informasi yang lengkap dari jujur dari pasien atau keluarganya.
7. Hak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
8. Hak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien.
9. Hak mendapatkan imbalan jasa profesi yang diberikan berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan atau peraturan yang berlaku di rumah sakit.

Kewajiban Dokter
1. Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit.
2. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yg sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Merujuk pasien ke dokter lain atau rumah sakit lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
4. Memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
5. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien (menjaga kerahasiaan pasien) bahkan setelah pasien meninggal dunia.
6. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melaksanakan.
7. Meminta persetujuan pada setiap melakukan tindakan kedokteran / kedokteran gigi, khusus untuk tindakan yang berisiko persetujuan dinyatakan secara tertulis. Persetujuan dimintakan setelah dokter menjelaskan tentang : diagnosa, tujuan tindakan, alternative tindakan, risiko tindakan, komplikasi dan prognose.
8. Membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien.
9. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran / kedokteran gigi.
10. Memenuhi hal- hal yang telah disepakati / perjanjian yang telah dibuatnya.
11. Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
12. Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
13. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik dokter / dokter gigi.
14. Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
15. Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
16. Wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
17. Wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran I ndonesia.

Hak Rumah Sakit
Hak rumah sakit adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu yaitu:
1. Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS nya sesuai dengan kondisi atau keadaan yang ada di RS tersebut (hospital by laws).
2. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS.
3. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter kepadanya.
4. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui panitia kredential.
5. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dll).
6. Mendapat jaminan dan perlindungan hukum.
7. Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada pasien.

Kewajiban Rumah Sakit

1. Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
2. Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien.
3. Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas perawatan (Duty of Care).
4. Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care).
5. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi terlebih dahulu.
6. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan.
7. Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku.
8. Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam keadaan siap pakai.
9. Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan.
10. Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
11. Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya.

Kasus Prita Mulyasari menjadi sebuah lesson learned bahwa mungkin saja, RS Omni Tangerang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan rinci. Apabila rumah sakit sudah terakreditasi, maka seharusnya mempunyai HBL yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Atau RS Omni Tangerang sudah mempunyai HBL, tetapi belum seiring sejalan dalam pelaksanaannya. Sehingga hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit belum diterapkan dengan tepat. Terlihat dalam kasus Prita bahwa hak pasien belum dipenuhi yaitu hak untuk memperoleh informasi / penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya dan hak akses / ‘inzage’ kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya. Sedangkan kewajiban dokter (a.l. : membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien) dan kewajiban rumah sakit (a.l. : ’duty of care’ dan ’quality of care’) belum dilaksanakan sebagaimana seharusnya.
Dengan mengetahui hak pasien, dokter dan rumah sakit yang sudah dipaparkan, kiranya menjadikan kita semua lebih smart ketika menerima pelayanan di rumah sakit.

Referensi

Gerson RF. 2004. Mengukur kepuasan pelanggan. Cetakan ke 3. Lembaga Manajemen PPM. Jakarta. Victory Jaya Abadi

Martin WB. 2004. Quality Customer Service. Lembaga Manajemen PPM. Jakarta. Victory Jaya Abadi
Hak dan kewajiban RS, dokter & pasien. http://cintalestari.wordpress.com diunduh 10 Juni 2009
Hospital Bylaws.2007. http://mashuriwebblog.wordpress.com diunduh 12 Juni 2009

MAKNA AKREDITASI RUMAH SAKIT BAGI KEPENTINGAN PUBLIK




by Rachmad Puageno


Tak dapat dipungkiri bahwa pelayanan kesehatan (baca: Rumah Sakit ) pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama, setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut (Nurachmah, 2001). Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan.


Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya pelayanan namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen tetap diutamakan, karena indikator tersebut masih tetap menjadi tolak ukur (benchmark) utama keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan (Miloney, 2001).


Sejalan dengan adanya UU tentang Perlindungan Konsumen dan hasil amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pasal 28H ayat I, para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini mulai menyadari hak-haknya sehingga keluhan, harapan, laporan, sampai dengan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa tersebut. Munculnya berbagai Lembaga Perlindungan Konsumen merupakan indikasi kuat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan hak-haknya, meski belum semua.


Di samping itu, tak kalah pentingnya, isu AFTA 2003 dan globalisasi mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan semakin didominasi oleh perusahaan yang mampu memberikan pelayanan atau menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing tinggi dalam memanfaatkan peluang pasar, keadaan ini berlaku bagi industri perumahsakitan di Indonesia, tentu saja dalam perspektif otoda, termasuk Rumah Sakit di daerah.


Oleh karena itu industri jasa kesehatan semakin merasakan bahwa kualitas pelayanan adalah jawaban yang mutlak dalam rangka mempertahankan eksistensi mutu pelayanan dan menjawab tuntutan masyarakat terhadap mutu layanan. Selain itu upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit di daerah adalah langkah terpenting untuk meningkatkan daya saing usaha daerah di sektor kesehatan.


Dalam upaya tersebut diperlukan alat untuk mengevaluasi mutu pelayanan Rumah Sakit. Salah satu strategi penting yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan medik rumah sakit saat ini adalah melalui standarisasi (akreditasi, audit klinis, dll).


Bahasan kita kali ini, sengaja dibatasi pada aspek akreditasi RS. Hal ini lebih disebabkan pelaksanaan program akreditasi RS akhir-akhir semakin gencar dilakukan. Namun, apa itu akreditasi dan pentingnya buat publik/masyarakat, hal inilah yang nampaknya masih menjadi ‘misteri’. Akreditasi sering lebih dipahami sebagai ‘konsumsi terbatas’ para insan kesehatan, mulai dari pemerintah hingga orang-orang yang terlibat dalam jasa pelayanan kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga di RS lainnya).


Sementara masyarakat, yang notabenenya pengguna pelayanan kesehatan sering ‘ketinggalan kereta’ dalam hal ini. Dengan kata lain masyarakat lebih sebagai ‘obyek’ daripada sebagai ‘subyek’. Padahal dalam otoda, unsur masyarakat mendapat porsi yang cukup dominan.
Tulisan ini ingin mengulas informasi seputar akreditasi, harapannya agar ‘makhluk’ yang bernama Akreditasi Rumah Sakit lebih dipahami oleh publik (baca: masyarakat), alih-alih sebagai upaya pemenuhan hak publik atas informasi (the right of well information).

Seputar Akreditasi
Menurut kamus Webster, kata akreditasi adalah pertimbangan atau pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah terkemuka. Sedangkan menurut Permenkes RI No 159a/Menkes/PER/II /1998 tentang Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan bahwa Rumah Sakit memenuhi standart minimal yang ditentukan. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa akreditasi adalah pengakuan resmi dari pemerintah yang diberikan kepada Rumah Sakit yang telah memenuhi standart pelayanan.


Penilaian akreditasi Rumah Sakit, dilakukan oleh sebuah komisi independen dibawah Departemen Kesehatan RI yang berkedudukan di Jakarta, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan (KARS). Penilaiannya difokuskan pada kebutuhan dan harapan konsumen dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability) agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Didalamnya, terdapat ahli-ahli yang bertindak sebagai surveyor, yang direkrut dari daerah-daerah dan dipilih sesuai kualifikasi di bidangnya. Sehingga KARS inilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penilaian program akreditasi.


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit juga dilaksanakan di luar negeri. Akreditasi Rumah Sakit di luar negeri dilakukan oleh komisi yang bersifat independen, misalnya ; di Amerika Serikat dilakukan oleh JCHAO (Joint Commission on Accrediatition of Health Care), di Australia oleh ACHS (Australian of Health Care Standart Council) dan di Belanda oleh NIAZ (Nederlands Instituut Voor Accreditatle Van Zie Kenhuiden). Singkatnya, program akreditasi bersifat universal alias mendunia.


Hasil dari program akreditasi di sebuah Rumah Sakit terdapat 4 kemungkinan yang akan diperoleh, mulai dari ; Tidak diakreditasi (tidak lulus, harus mengulang), Akreditasi bersyarat (belum memenuhi syarat secara keseluruhan), Akreditasi penuh (memenuhi standart yang telah ditetapkan, yang diberikan selama 3 tahun dan Akreditasi Istimewa (bagi Rumah Sakit yang menunjukkan pemenuhan melebihi standart yang telah ditetapkan).


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan Rumah Sakit, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut (20 pelayanan). Untuk tingkat dasar adalah pemenuhan standart untuk 5 kegiatan pelayanan pokok, yaitu; Adminsitrasi dan Manajemen, Pelayanan medis, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Keperawatan dan Rekam Medis. Sementara untuk kegiatan tingkat lanjutnya, antara lain; Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Penanggulangan Infeksi Nosokomial, Pelayanan Kamar Operasi, Pelayanan Farmasi, Pelayanan Radiologi, Pelayanan Laboratorium, Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi. Logikanya, semakin tinggi tingkatannnya otomatis semakin bagus kualitas pelayanan sebuah Rumah Sakit.

Akreditasi bagi Publik
Makna akreditasi Rumah Sakit sering lebih diartikan sebagai kepentingan Rumah Sakit an sich, sementara maknanya bagi masyarakat justru ‘tenggelam’. Hal ini menjadi sebuah ironi apabila kita kaitkan dengan semangat Otoda, yang menuntut partisipasi aktif masyarakat. Mestinya hal ini tidak boleh terjadi lagi, masyarakat patut mengetahui pentingnya arti akreditasi bagi mereka.

Memang dalam beberapa kasus, hal ini lebih disebabkan masyarakat juga ‘tidak mau tahu’ dalam masalah ini. Tapi satu hal yang pasti, aspek publik kelihatannya belum banyak dilibatkan. Bagi mereka, yang mereka tahu adalah pelayanan di Rumah Sakit tidak mengecewakan mereka dan keluarga yang dirawat sembuh. Tentu saja, pemahaman masyarakat yang semacam itu, tidak salah. Karena sebenarnyalah, salah satu tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, salah satu aspeknya adalah kepuasan konsumen.


Namun, bila kita lihat secara lebih dalam, ternyata akreditasi mempunyai makna yang lebih luas. Bagi Rumah Sakit, program akreditasi adalah instrumen yang valid untuk mengetahui sejauh mana pelayanan di Rumah Sakit tersebut memenuhi standart yang berlaku secara nasional.
Status terakreditasi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas layanan di Rumah Sakit dan sebagai alat pencegahan terjadinya kasus malpraktek, karena dalam melaksanakan tugasnya, tenaga di Rumah Sakit telah memilki Standart Operating Procedure (SOP) yang jelas. Dengan kata lain, akreditasi bagi Rumah Sakit adalah bentuk pertanggungjawaban (accountability) dan perlindungan kepada masyarakat sebagai pengguna jasanya.


Selain makna diatas, bagi masyarakat, akreditasi dapat bermakna sebagai alat bantu yang shahih dalam menentukan pilihan tempat pelayanan kesehatan yang baik. Rumah Sakit yang telah terakreditasi tentu saja merupakan pilihan yang lebih bijaksana, karena Rumah Sakit tersebut telah memenuhi standart pelayanan yang berlaku, mulai dari tenaganya, peralatan medis, hingga fasilitas penunjang lainnya. Harapannya masyarakat lebih merasa ‘aman’ mendapat pelayanan di Rumah Sakit yang sudah terakreditasi daripada yang belum terakreditasi. Tentu saja, hal ini tetap tidak menafikkan ‘takdir’ tuhan, tapi sebagai bentuk ikhtiar, wajib dilakukan. Seperti pepatah latin yang mengatakan “ora et labora”.


Diatas itu semua, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan program akreditasi banyak diartikan sebagai ‘proyek’ untuk sebagian oknum dalam mengeruk keuntungan. Karena dalam pelaksanaannya, program ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar, sehingga dalam implementasinya muncul nuansa KKN, suap dan istilah lainnya yang pada akhirnya adalah UUD (ujung-ujungnya duit). Singkatnya, semua bisa diatur asal ada duit.


Namun, seperti kata orang bijak, “Orang yang beruntung adalah orang-orang yang dapat mengambil hikmah positif dalam suatu kegiatan atau peristiwa”. Maka marilah akreditasi RS kita maknai sebagai salah satu upaya ‘jihad’ mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dan bagi oknum yang mengeruk keuntungan lewat program akreditasi RS, cukup kita doakan agar Tuhan menyadarkan mereka. Wallahu Alam Bishshowab.