PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN; MEMIHAK SIAPA?

by Agung Dwi Laksono



Agresifnya pemasaran Rumah Sakit negara-negara tetangga di Indonesia (khususnya Singapura dan China), yang disertai pelayanan secara profesional, peralatan yang canggih dan digabungkan dengan paket kunjungan wisata ataupun belanja, menjadikan daya tarik dan standar gengsi tersendiri bagai kaum borjuis di Indonesia untuk berobat ataupun memeriksakan kesehatannya di negeri tetangga.

Banyaknya pasien ber’duit’ yang lari ke luar negeri, dan gencarnya pemberitaan infotainment soal artis-artis dalam negeri yang berobat, check up, ataupun sekedar memeriksakan kehamilannya ke Singapura membuat dunia kedokteran Indonesia meradang, harus segera diambil tindakan untuk memulihan kepercayaan masyarakat di dalam negeri agar mau berobat di di pelayanan kesehatan dalam negeri.

Pendirian Rumah Sakit Spesialis
Peresmian sekaligus pembukaan Rumah Sakit Spesialis Husada Utama oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia di Surabaya kembali menyemarakkan dan lebih menggerakkan teknologi kedokteran, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur menjadi selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju.

Pendirian Rumah Sakit Spesialis ini, dengan mengusung teknologi kedokteran mutakhir yang tercanggih, dimaksudkan untuk menggaet dan ‘mengembalikan’ pasien dalam negeri yang lari berobat ke luar negeri.

Mulai beroperasinya Rumah Sakit Spesialis yang dilengkapi dengan hotel ini menjadi lebih mempertegas proses privatisasi bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. Arus dana privat (swasta) yang berorientasi murni keuntungan materi (profit oriented) menjadi tidak terbendung lagi, meski wilayah yang digarap adalah wilayah kesehatan yang berdasarkan sejarah secara turun-temurun selalu mengedepankan sifat sosial.

Arah Kebijakan
Arah kebijakan sistem kesehatan dua dasawarsa terakhir ini memang lebih condong pada arus kebijakan privatisasi, menyusul keterpurukan ekonomi dan moneter yang menyebabkan menurunnya kemampuan Pemerintah dalam pembiayaan kesehatan. Kecenderungan ini semakin jelas dengan keluarnya beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, antara lain KEPPRES Nomor 38 tahun 1991 tentang Rumah Sakit Swadana, PERMENKES Nomor 159B tahun 1998 tentang Pembangunan Rumah Sakit Pemilik Modal, ataupun PAKMEI tahun 1990 tentang Debirokratisasi Usaha Farmasi.

Dengan melepas sebagian dari pelayanan kesehatan tersebut menjadi unit mandiri, membuat beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung pemerintah menjadi berkurang. Hal ini ditandai dengan kecenderungan rumah sakit ataupun puskesmas yang mulai mengembel-embeli papan namanya dengan akhiran ‘...swadana’. Kebijakan lima tahun terakhir justru menambah sinyalemen ini dengan dikeluarkannya kebijakan badan layanan umum (BLU).

Dalam era otonomi ini, kebijakan privatisasi memang lebih terlihat ‘gagah’ ketika trend saat itu (sampai sekarang) lebih mengetengahkan profesionalisme tenaga, pelayanan ataupun lembaga, yang ditandai dengan banyaknya kajian dan pelatihan mengenai Reinventing Government (diartikan sebagai ‘mewirausahakan birokrasi’). Sebuah kajian kebijakan yang terlihat sangat baik untuk sebuah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Intervensi dengan pelatihan tentang profesionalisme pada salah satu Puskesmas di Kota Blitar menunjukkan bahwa dengan profesionalisme yang baik, ditunjukkan dengan kecepatan dan ketepatan pelayanan yang terstandarisasi dan selalu dipegang teguh (dengan membuat kontrak tertulis), akan menghasilkan angka kunjungan yang luar biasa, sampai-sampai tetangga di kanan-kiri Puskesmas tersebut mengeluh, karena membludaknya kunjungan pasien mengakibatkan gangguan keramaian rutin.

Privatisasi Pelayanan Kesehatan
Kebijakan yang baik (menguntungkan) bagi pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, belum tentu baik bagi masyarakat, meski penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut dikelola oleh Pemerintah. Pernyataan ini dikemukakan bukan untuk nggembosi kebijakan kesehatan yang dikeluarkan pemerintah (Depkes), tetapi lebih untuk membuat lebih waspada di dalam membuat ataupun mengeluarkan sebuah kebijakan, dengan menganalisa dampak atau efek lain yang tidak diinginkan.

Dengan bergulirnya era pasar bebas, yang negara kita masuk didalamnya, privatisasi mau tidak mau akan menjadi sebuah keniscayaan yang harus diambil. Dan untuk dapat bersaing di era global tersebut, kualitas menjadi utama, bila pelayanan kesehatan yang dioperatori pemerintah tidak mau kalah bersaing dan terlindas oleh pelayanan kesehatan yang dioperatori oleh swasta ataupun pihak asing.

Untuk bersaing dan demi berebut kepuasan pasien, peningkatan kualitas secara maksimal akan dilakukan, pemakaian peralatan dengan teknologi paling mutakhir menjadi wajib, meski seringkali menjadi pelayanan yang berlebihan. Pelayanan kesehatan yang demikian akan mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan menjadi sangat mahal karena adanya supply induced demand yang memaksa masyarakat untuk membeli teknologi yang sebetulnya bisa jadi tidak dibutuhkan, dan pada akhirnya pelayanan kesehatan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat.

Himbauan Menkes pada saat peresmian Rumah Sakit Spesialis Husada Utama untuk tidak menolak pasien Gakin (keluarga miskin) yang datang berobat menjadi seperti himbauan kosong. Karena posisi strategis Rumah Sakit Spesialis yang hanya berjarak beberapa meter dengan Rumah Sakit dr. Soetomo akan dengan mudah untuk membelokkan pasien Gakin ke Rumah Sakit Pemerintah ini.

Kesan yang menggantung?
Kesimpulan akhir saya serahkan kepada anda untuk memberikan arah kemana akhir tulisan ini!

2 komentar:

  1. Just info, dari riset yang dilakukan Pak Wid, ada pasar yang potensial di dalam negeri yang membutuhkan RS sekelas Mount Elizabeth Singapore. Pada titik ini, sah-sah saja, semisal ada investor dalam negeri mau bikin RS seperti itu. Karena faktanya memang ada pasar/market potensial.
    Soal keberpihakan masy miskin, menurutku soal lain, sudah barang tentu itu hukumnnya WAJIB bagi pemerintah untuk memenuhi. Bukan hanya masy miskin, seluruh masy di negeri ini mestinya dilindungi, karena termaktub dalam konstirusi negara (UUD 45). Bahkan UU seperti SJSN sudah diputus. Tapi apa yang terjadi ??
    Disinilah dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator yang konsisten.
    Bisakah pemerintah berperan seperti itu ?? Mestinya wajib bisa, bila tidak, buat apa negara ini ada ????

    BalasHapus
  2. saya setuju. tidak ada salah dng kebijakan ini. saya hanya mengingatkan implikasi yg bisa ditimbulkan. agar pemerintah bisa mewaspadai konsekuensi dr kebijakan yg dibuat. ini bukan masalah salah benar, ini masalah pilihan. that's all about policy!

    BalasHapus