Catatan Diskusi AKI jatim


by Agung Dwi Laksono



Atas keberatan seorang teman, yang juga sudah terdaftar di list kontributor blog ini (Yumiko Lanny) saya berusaha merubah habis gaya penulisan di blog ini.

Blog ini terlalu berat katanya, terlalu teknis, apalagi yang diomongin kebijakan. Yang akhirnya dijadikan alasan gak mau kontribusi tulisan, please deh Non!

Akhirnya saya mencoba berubah, suer saya sudah berusaha, saya mencoba menulis dengan cara bertutur, ato kembali ke gaya features khasnya metropolis Jawa Pos!
ntar gak diakui jadi peneliti lagi! Gak ilmiah kata senior di KPP manajemen.

EGP lah yang penting pesan tersampaikan, dan Yumiko Lanny mau nyumbang coretan.

Eh jadi lupa mau share…

Minggu lalu sebelum berangkat ikut pelatihan HPSR, saya diajak bu Evie (ato lebih tepat dipaksa) untuk rapat dengan Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, membahas angka kematian ibu di Jatim. Undangan selain dari litbang, ada dari internal dinas, dari BPS dan ada juga pak Harsono Sumanteri (mbah e angka kematian ibu, jare orang BPS).
Lumayan sih buat nambah wawasan metode mendapatkan angka kematian bayi.

Bla.. bla.. bla.. pak Harsono prensentasi sampai berbusa tentang metode mendapatkan AKI. Mulai dari survey rumah tangga (SDKI, SKRT, Susenas, SUPAS) sampai pada pendekatan estimasi (direct sisterhood method, PMDF based estimation).

Bapak-bapak dari BPS menjelaskan rencana survey Susenasnya yang rencananya akan diboncengi oleh survey AKI dari dinas ini.

Mbak Dian dari sie kesga (mbuk kalo salah koreksi ya! Red; evie sopacua) juga memaparkan apa yang telah dilakukan dinas kesehatan dengan PWS KIA nya. Mbak Dian mengungkapkan betapa dongkolnya dia karena angka yang dihitung oleh dinas kesehatan sama sekali tidak dipercaya oleh orang propinsi. Propinsi hanya mau percaya angka dari BPS. Weleh..weleh..

Usut punya usut.. tanya ke BPS, darimana angka yang dimiliki oleh BPS, yang disampaikan ke gubernur itu..
jawabannya apa?
Konyol..sama sekali konyol..
dari dinas kesehatan… halahhhh!!!

Yang konyol siapa? (*menertawakan diri sendiri mode on*)

Lanjuuut…

Setelah diskusi panjang.. dinas memutuskan (atau ngeyel) bahwa akan dilakukan survey dengan nebeng susenas.

Pak Harsono berargumen, lebih baik memperbaiki system pencatatan-pelaporan (RR; reporting, recorcing) di dinas supaya lebih efisien daripada melakukan survey. Dinas tetep pada pendirian..’survey’ (*ngeyel mode on*)

Saya, bu evie, dan akhirnya orang BPS juga sepakat bahwa sebaiknya yang dilakukan adalah perbaikan system RR dari pada survey yang membutuhkan dana besar, dan setiap kali membutuhkan data AKI harus survey lagi, dana besar lagi..

Bukankah lebih baik memperbaiki sistem RR yang investnya cuman sekali, selanjutnya tinggal maintenance saja..

SDKI dengan sampel 40.000 rumah tangga hanya berhasil mendapatkan 63 kasus kematian ibu, PWS KIA (meski masih dianggap under reporting) malah memiliki report 4.500 kematian ibu. Bukankah modal yang layak diperhitungkan? (tapi mesti ditambah dengan pembobotan2 lagi)
Bagaimana dengan rencana Susenas yang hanya dengan sampel 29.500 rumah tangga?
Prediksi BPS hanya akan mampu mendapatkan 50 kematian ibu… kalo lagi beruntung

Pilih yang mana fren? logika rasional apa saja boleh dijadikan landasan…

Hasilnya…?
Tetap saja dinas (*ngeyel mode on semakin mantab*) ‘surveeeeeeeey………..!!!!!!!!!!!!!!!!!’

Usut punya usut ternyata…
anggaran sudah kadung di dok (DIP) sebagai biaya perjalanan… halahhh!
Tidak ada pilihan lain.. survey!
(ngapain juga ngundang diskusi, kalo kesimpulan sudah ada)

Fren terkasih sebening Kristal (*gaya pak Mario mode on*, salam super pak!)

Itu adalah sebuah proses pengambilan kebijakan..
Seringkali para pembuat keputusan (decision maker) membuat keputusan jangka panjang dalam waktu yang singkat. Kadang tanpa pertimbangan ilmiah, rasional, apalagi sense kerakyatan..

Keputusan dinas yang tegesa2 lebih merupakan menyelesaikan masalah dengan masalah, harusnya dinas bisa meniru pegadaian.. yang menyelesaikan masalah tanpa masalah

Mengundang pakar (pak Harsono, bukannya saya) hanyalah sebuah ‘bemper’, bemper bahwa kebijakan yang diputuskan sudah dikonsulkan, sudah didiskusikan dengan profesional.
Meski sebenarnya keputusan sudah diambil tanpa memperhatikan sama sekali masukan dan wacana yang berkembang…

Whatever will be…will be… (*lemes mode on*)

1 komentar:

  1. mas Agung,ada 2 koreksi :
    1) pak Suharsono Sumantri (pak Harsono)

    2) bukan mbak tapi bu Diah, Kasi Kesehatan Ibu dan Anak (dulu Kesehatan Keluarga [Kesga])di Dinkes Prov Jatim

    ;)..

    BalasHapus