Antara Manokwari, Sorong, Teminabuan dan Distrik Saifi

Teminabuan, 24 Oktober 2016
Perjalanan kali ini disponsori oleh Kementerian Kesehatan via Pusat Perencanaan dan Penggunaan Tenaga Kesehatan (Pusrengun). Saya ditugaskan untuk menjadi pendamping adik-adik yang tergabung sebagai tim Nusantara Sehat Batch 4 dengan penempatan Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan.
Pada Batch 4 kali ini, Kabupaten Sorong Selatan mendapatkan dua tim, dengan penempatan selain Puskesmas Saifi, satu lagi di Puskesmas Seremuk. Total ada sekitar tujuh tim yang ditempatkan di Provinsi Papua Barat dengan penempatan di tiga kabupaten. Selain Sorong Selatan, dua kabupaten lain adalah Tambrauw dan Raja Ampat.
Tim Nusantara Sehat penempatan Puskesmas Saifi ini terdiri dari enam orang tenaga kesehatan dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Pendekatan team work memang menjadi ciri khas program Nusantara Sehat untuk menggantikan program PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang telah ada sebelumnya, dengan pendekatan per tenaga.
Menuju Kota Manokwari
Perjalanan kami harus dimulai dengan menyesuaikan dengan alur birokrasi setempat. Tujuan utama kami adalah Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan, tetapi kami harus menuju Kota Manokwari terlebih dahulu, meski untuk mencapai Kota Manokwari kami harus transit di Kota Sorong terlebih dahulu. Sebagai informasi, Kota Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat, dimana Dinas Kesehatan Provinsi berada.





Gambar 1. ‘Terlantar’ di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan udara untuk mencapai Kota Manokwari, selain perjalanan yang lama, serta delay empat jam yang melelahkan karena kondisi cuaca Bandara Rendani di Manokwari yang cukup ekstrem dengan hujan lebatnya. Sisanya, adalah kebersamaan yang cukup menyenangkan bersama tim yang berasal dari berbagai penjuru republik ini.
Tawaran lanskap Manokwari dari kompleks perkantoran Gubernur yang menampilkan view laut cukup menghibur. Setidaknya memuaskan pandangan mata para pecinta fotografi lanskap. Gambar 2. Lanscape view dari Komplek Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat Sumber: Dokumentasi Peneliti





Gambar 2. Lanscape view dari Komplek Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, tim kembali mendapat pembekalan materi-materi muatan lokal. Sebelumnya mereka sudah dibekali dengan berbagai program kesehatan di Pusdikkes TNI AD selama empat puluh hari. Program yang menjadi andalan dan khas Papua Barat adalah “Kebas Malaria” (Keluarga Bebas Malaria), yang dimotori oleh dr. Victor selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan.
Menuju Kota Sorong
Setelah proses pembekalan perjalanan dilanjutkan sesuai dengan tujuan akhir masing-masing tim. Enam tim melanjutkan dengan jalur udara ke Kota Sorong, sedang satu tim lain dengan jalur darat ke wilayah Kabupaten Tambrauw di Distrik Miyah, yang memang lebih dekat bila ditempuh dari Kota Manokwari.
Dari Kota Sorong, tim berpencar dengan jalur masing-masing. Tiga tim dengan penempatan Kabupaten Raja Ampat menggunakan jalur laut menuju Waisai, ibo kota Kabupaten Raja Ampat. Satu tim dengan jalur darat menuju Sausapor, ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw, sementara ibu kota aslinya sedang dalam pembangunan infrastruktur. Dua tim terakhir dengan tujuan Kabupaten Sorong Selatan juga menggunakan jalur darat.
Tak kalah dengan Manokwari, kawasan pantai Kota Sorong juga menawarkan landscape view yang menarik. Bila Manokwari menawarkan view sunrise, maka Kota Sorong menawarkan view sunset.





Gambar 3. Sunset dilihat dari Tembok Berlin, Kota Sorong; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menuju Kota Teminabuan
Perjalanan menuju Teminabuan, ibukota Kabupaten Sorong Selatan, tidaklah menggambarkan imej ‘Papua’ yang terbelakang. Perjalanan 3-4 jam dengan jalan aspal dan beton yang terkelupas sana-sini relatif mudah digilas fortuner sewaan. Beriring-iringan empat Fortuner terasa gagah melaju di tengah-tengah hutan menuju Teminabuan.
Di Kabupaten Sorong Selatan rombongan tim Nusantara Sehat diterima dengan baik oleh bapak Bupati. Kami berdiskusi banyak hal, setelah sebelumnya sempat ikut apel bersama seluruh PNS kabupaten.





Gambar 4. Apel Pagi bersama Bupati dan PNS Kabupaten Sorong Selatan; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menuju Distrik Saifi
Selesai urusan dengan kabupaten dan dinas kesehatan, saatnya kami mempersiapkan diri untuk menuju Distrik Saifi. Kami sewa mobil double gardan, karena Fortuner yang kami sewa sebelumnya tidak berani menempuh jalur seksi menuju Distrik Saifi.





Gambar 5. Dilepas Kadinkes untuk menuju Distrik Saifi; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan menuju Distrik Saifi aman-aman saja pada awalnya, jalanan bergelombang bukan hal istimewa di Tana Papua. Tapi tentu saja tidak berlangsung lama. Bila tidak, kenapa mobil sekelas Fortuner menolak jalur seksi ini?
Jalur lumpur pertama, kedua, ketiga… dapat dilibas dengan mudah oleh Triton yang kami tumpangi. Daeng Idris terlihat lincah menguasi medan. Tentu saja dengan kondisi penumpang yang teraduk-aduk dengan jerit bersahutan.
Sampai tiba saatnya pada satu titik jalan berlumpur yang cukup panjang, mobil tak lagi mampu melawan. Sementara tak jauh di depan terlihat ambulance 4WD milik Puskesmas Saifi juga tertanam dengan sukses.
Banyak upaya ditempuh untuk mencoba mengeluarkan mobil dari lumpur. Mengganjal di depan ban mobil dengan batu, mendorong, menarik, semua tidak membuahkan hasil, roda berputar tanpa membuat mobil beranjak, sampai mengeluarkan bau asap ban yang terbakar. Upaya saling menarik antar mobil juga tidak bisa dilakukan, bagaimana tidak? Keduanya sama-sama tidak bergerak, tertanam dalam lumpur.
Drama mobil tertanam semakin tragis saat mendung datang dengan cepat. Tuhan, bila hujan turun, tidak saja kami basah kuyup di tengah-tengah antah berantah, tetapi mobil akan semakin tertanam. Segala rapalan doa terkembang. Ilmu pawang hujan terpaksa dikeluarkan.
Setidaknya dua jam kami berusaha seperti dalam kesia-siaan, tapi minimal hujan tidak jadi turun, berganti dengan terik matahari yang menyengat, yang membekaskan luka bakar di sekujur wajah dan leher. Cindera mata dari Saifi.





Gambar 6. Tertanam di Jalur Lumpur Menuju Distrik Saifi; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dua jam terlewat, muncul sebuah harapan, saat datang mobil lain menuju arah kami. Semangat kembali tergali, berusaha kembali. Sampai saat harapan kembali pupus. Mobil ke-tiga tertanam kembali bersama kami. Tapi setidaknya bertambah lagi teman perjalanan mengasyikkan ini.
Setengah jam berselang, dua mobil datang dari arah yang berbeda. Tidak mau mengulang pengalaman mobil sebelumnya yang turut tertanam, kedua mobil ini bertahan di tempat yang lebih kering, mencoba menarik dengan tali tambang yang lumayan panjang.
Setelah berkutat satu jam lebih, dengan saling tolong dan tarik, akhirnya lima mobil bisa keluar dari kubangan lumpur itu, meski tali tambang besar yang dipakai menarik itu pada akhirnya juga terputus.
Meski masih banyak jalur lumpur lain, sisa perjalanan menuju Distrik Saifi terasa lebih ringan, karena jalur lumpur tak lagi membuat kami takut, kami telah melewati bagian terdalam. Anak-anak tim Nusantara Sehat ini tetap bersemangat, selalu terlihat bersemangat. Sepanjang perjalanan mereka berfoto, selfi, bernyanyi-nyanyi membangkitkan semnagt, dan merekam seluruh kejadian ini dengan tertawa-tawa. Baju tak lagi sesuai warna asli, berganti motif polkadot lumpur. Rambut pun bersemu merah dengan titik-titik lumpur yang menjadi rata bersama keringat.





Gambar 7. Mobil Triton yang berubah warna, dan Tim Nusantara Sehat yang Tetap Semangat; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sampai di rumah dinas calon tempat tinggal tim Nusantara Sehat semua sampai dengan selamat tanpa luka sedikitpun. Korban hanya berupa bemper depan terlepas, besi pelindung bagian belakang patah, dan pengait serta rantai pengikat ban serep yang putus. Alhamdulillaah.
Masalah Kesehatan di Sorong Selatan
Secara umum Kabupaten Sorong Selatan menempati ranking 450 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Perankingan ini berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ke-dua yang dilakukan berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 yang dimotori Badan Litbangkes, dan data Survei Podes (Potensi Desa) dan Susenas (Survei Sosial ekonomi) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Apabila kita lakukan perankingan pada level Provinsi Papua Barat, maka Kabupaten Sorong Selatan berada pada ranking 10 dari 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua Barat. Ranking Kabupaten Sorong Selatan ini satu tingkat lebih tinggi dari ranking terbawah, Kabupaten Tambrauw yang menempati ranking 11 dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.
Indikator kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan secara keseluruhan menunjukkan kondisi yang kurang memuaskan. Kita ambil satu contoh tentang status gizi balita. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek (stuting) mencapai angka 60,70%. Angka cakupan balita stunting di Kabupaten Sorong Selatan ini jauh lebih tinggi dibanding angka nasional yang berada pada angka 37,2%, serta angka Provinsi Papua Barat yang berada pada kisaran 44,7%.
Secara umum prevalensi balita stunting ini meningkat tipis dibanding enam tahun sebelumnya. Data Riskesdas 2007 Kabupaten Sorong Selatan memiliki cakupan balita stunting sebesar 60,58%.
Tidak berbeda dengan prevalensi balita stunting, balita dengan status gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan juga cenderung memiliki cakupan cukup tinggi, sebesar 47,63%. Prevalensi balita gizi buruk dan kurang ini jauh lebih tinggi dibanding angka cakupan nasional yang berada pada kisaran 19,6%, serta angka cakupan balita gizi buruk dan kurang di tingkat Provinsi Papua Barat yang mencapai angka 30,9%.
Cakupan balita gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2013 meningkat tajam dibanding dengan enam tahun sebelumnya. Hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 mencatat angka prevalensi sebesar 35,20%, artinya ada peningkatan kasus gizi buruk dan kurang sebesar 12,43% selama enam tahun.
Potensi Kebangkitan Distrik Saifi
Potensi Tana Papua untuk bangkit cukup besar, tak terkecuali di Distrik Saifi. Tanahnya cukup subur, sayuran dan tanaman pangan bisa ditanam dengan mudah. Sementara di sisi lain, kondisi geografis Distrik Saifi yang berbatasan dengan laut menawarkan potensi lain.
Bila kondisi Distrik Saifi diasumsikan sama dengan kondisi Sorong Selatan, maka agak mengherankan ketika prevalensi stunting demikian tinggi. Potensi Protein hewani dari laut sangat bagus. Kerang, lobster, cumi dan ikan laut tersedia demikian melimpah. Sudah seharusnya potensi ketersediaan lahan dan pangan ini bisa dijadikan modal bagi tim Nusantara Sehat untuk memulai kebangkitan status gizi balita di Distrik Saifi.
Potensi lain? Aparat setempat di level kampong dan distrik sangat bersahabat, mereka menyambut dengan antusias kedatangan tim Nusantara Sehat. Kader-kader kesehatan juga sangat ramah, mereka turut menyiapkan tempat tinggal bagi tim Nusantara Sehat yang akan menetap selama setidaknya dua tahun. Tentu saja bidang kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Perlu banyak kerja sama dan saling pengertian dengan bidang lain. Akses jalan yang buruk bukanlah tanggung jawab bidang kesehatan, meski pada akhirnya merupakan determinan utama akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Jangan bicara akses pelayanan kesehatan yang berkualitas, kalau akses jalan fisik belum bisa diselesaikan. @dl

Menilik Pelayanan Kesehatan di Tepi Pasifik; Catatan Perjalanan ke Halmahera Barat, Maluku Utara

oleh Agung Dwi Laksono
Jailolo, Agustus 2016
Perjalanan kali ini saya bersama dua teman lainnya, ditugaskan untuk melakukan assessment wilayah penempatan tim Nusantara Sehat di salah satu wilayah Kabupaten Halmahera Barat, Puskesmas Talaga. Nusantara Sehat adalah salah satu program andalan Kementerian Kesehatan untuk mengisi atau memperkuat keberadaan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil dan sangat terpencil. Pada program ini pendekatan yang dipakai adalah team based (berbasis tim), yang menempatkan beberapa jenis tenaga kesehatan secara bersamaan sebagai sebuah tim untuk memperkuat Puskesmas pada wilayah tertentu.


Peta Lokasi Kabupaten Halmahera Barat; Hasil Olahan Peneliti dari Berbagai Sumber

Halmahera Barat merupakan salah satu kabupaten pemekaran Kabupaten Maluku Utara di wilayah Provinsi Maluku Utara, yang juga sebelumnya wilayah pemekaran dari Provinsi Maluku. Secara resmi Kabupaten Halmahera Barat berdiri mulai tanggal 25 Februari 2003. Dasar hukum pendiriannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Sula Kepulauan dan Kota Tidore Kepulauan.
Kabupaten seluas 2.755 km2 ini mulai dikenal secara luas oleh publik sejak mulai mengadakan even tahunan Festival Teluk Jailolo. Acara tahunan andalan Dinas Pariwisata ini biasa diselenggarakan pada bulan Mei setiap tahunnya. Festival ini menghadirkan tampilan ragam budaya dan juga kuliner khas wilayah Halmahera Barat.

Menuju Halmahera Barat

Menuju Halmahera Barat bukanlah sebuah perjalanan yang berat seperti layaknya beberapa wilayah lain yang masuk kategori terpencil. Dari Kota Ternate sebagai ibukota provinsi, kita bisa langsung menggunakan speed boat kapasitas 40 orang langsung menuju Jailolo, ibukota Kabupaten Halmahera Barat. Jalur laut seharga Rp. 50.000,- memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan dari Pelabuhan Dufadufa di Ternate menuju Pelabuhan Jailolo.


Pelabuhan DufaDufa, Ternate; Dokumentasi Peneliti

Menempuh perjalanan laut Ternate-Jailolo sangatlah menarik, sebanding dengan perjalanan saat saya menempuh perjalanan antara Ranai - Sedanau di Natuna, atau Wanci - Tomia di Wakatobi. Sebuah pengalaman perjalanan laut menawan yang dipenuhi dengan pemandangan lanskap birunya laut menyangga pulau-pulau yang berderet indah.


Lanskap Pemandangan Laut Selama Perjalanan Menuju Jailolo; Dokumentasi Peneliti

Speed boat yang langsung menuju Jailolo bukanlah satu-satunya jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Halmahera Barat. Jalur yang sama juga dilayani oleh kapal yang lebih besar. Hanya saja dibutuhkan waktu tempuh laut yang lebih lama untuk sampai ke Jailolo, sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan.
Alternatif lainnya, dari Ternate kita bisa melalui Pelabuhan Sofifi di wilayah Kabupaten Tidore Kepulauan. Waktu yang diperlukan sedikit lebih pendek, karena menuju pada Pulau Halmahera bagian Selatan dengan speed boat seharga Rp. 50.000,- per orang. Hanya saja kita masih harus menempuh tambahan perjalanan darat selama 1,5 jam menuju Jailolo seharga Rp. 75.000,-. Meski membutuhkan effort lebih, jalur ini dinilai lebih aman saat laut sedang tidak tenang, karena jarak tempuh lautnya yang relatif pendek.

Puskesmas Talaga di Kecamatan Ibu Selatan

Seperti rencana semula, kedatangan kami adalah untuk melakukan penilaian Puskesmas Talaga sebagai salah satu calon wilayah penempatan Tim Nusantara Sehat di wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Kami ditugaskan untuk menilai kelayakannya.
Dari Kota Jailolo kami ke arah Utara menuju wilayah Puskesmas Talaga. Perjalanan yang memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam dua puluh menit dengan menggunakan jenis mobil niaga. Jalanan yang ditempuh pun relatif aman, sekitar 80% jalanan beraspal yang masih cukup baik, dan sisanya jalanan beraspal yang sudah hancur, yang membuat perut serasa diaduk-aduk.
Puskesmas Talaga berada di wilayah Kecamatan Ibu Selatan. Menurut keterangan Dinas Kesehatan, ada dua Puskesmas yang melayani di wilayah Kecamatan Ibu Selatan, selain Puskesmas Talaga ada satu lagi Puskesmas Baru.


Puskesmas Baru; Dokumentasi Peneliti

Puskesmas Baru merupakan pemekaran Puskesmas Talaga. “Puskesmas Baru ini memang benar-benar Puskesmas baru pak. Baru beroperasional tahun 2015. Belum terregistrasi di Kementerian Kesehatan, masih kita lengkapi syarat-syaratnya…,” kilah Sadik Umasangadji, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Kabid Yankes) Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat yang menemani perjalanan kami.
Kecamatan Ibu Selatan terdiri dari 16 desa. Kedua Puskesmas tersebut berbagi wilayah kerja menjadi masing-masing delapan desa. Puskesmas Baru memegang desa-desa di bagian Selatan, sementara Puskesmas Talaga di bagian Utara.
Secara umum kondisi geografis Kecamatan Ibu Selatan cukup potensial, di sebelah Barat diapit laut lepas yang langsung terhubung dengan Samudera Pasifik, sementara di sebelah Timurnya berdiri dengan kokoh sebuah gunung, salah satu gunung berapi yang masih aktif di wilayah Halmahera.
Kontur tanah di wilayah ini terbilang sangat subur. Tidak aneh bila mata pencaharian paling dominan di wilayah ini adalah petani kebun. “Rata-rata masyarakat sini bertani tanaman tahunan pak. Ada kelapa, pala, coklat, cengkeh, dan beberapa yang menanam jati. Hanya sedikit saja yang menjadi nelayan,” jelas James Mawea, Kepala Puskesmas Talaga yang seorang perawat.
Meski potensi bahari perikanan laut kurang tergali di wilayah Ibu Selatan, tetapi potensi bahari lainnya sudah terekspose sejak puluhan tahun lalu, Pelabuhan Laut Bataka. Pelabuhan ini melayani kebutuhan masyarakat sekitar yang dipasok dari pelabuhan di Manado dan Bitung.


Pelabuhan Laut Bataka di Wilayah Kecamatan Ibu Selatan; Dokumentasi Peneliti

Ada dua suku yang cukup dominan di wilayah Ibu Selatan, yaitu suku Wayoli dan Tabaru. Sementara suku-suku lain dari berbagai wilayah melengkapi keberagaman di wilayah ini. “Masyarakat sini cukup terbuka pak, mau menerima orang lain dengan ramah. Saya rasa tidak akan ada hambatan…,” jelas Kepala Puskesmas Talaga ketika kami menanyakan kemungkinan adanya hambatan budaya saat tim Nusantara Sehat ditempatkan di wilayah ini nantinya.
Dari delapan desa yang menjadi ampuan atau wilayah kerja Puskesmas Talaga, hanya dijumpai dua pemeluk agama saja, yaitu Nasrani dan Islam. Pemeluk agama Nasrani lebih dominan, lima dari delapan desa adalah pemeluk agama nasrani, sisanya baru pemeluk agama Islam. Kekhasannya adalah bahwa dalam satu desa seluruh pemeluk agamanya homogen, baik Nasrani maupun Islam.
Secara umum sulit dijumpai sinyal telepon seluler di wilayah ini. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi untuk mencari sinyal Telkomsel di beberapa tempat yang terkadang muncul sinyal. Kalau mau aman bisa bergeser ke kecamatan sebelah, barang setengah jam perjalanan, untuk mendapat sinyal Telkomsel yang lebih stabil, satu-satunya operator yang bisa menjangkau wilayah tersebut. Tidak berbeda dengan sinyal telepon seluler, aliran listrik pun juga merupakan barang mewah di wilayah ini. Lampu baru bisa menyala pada pukul 19.00 WIT sampai dengan pukul 06.00 WIT pagi, itupun bila tidak sedang ngadat.
Puskesmas Talaga berdiri kokoh di depan sebuah lereng gunung yang membuatnya terlihat sebagai lanskap yang sangat eksotis. Dengan papan namanya yang mulai lapuk termakan usia, bendera merah putih berkibar dengan gagahnya di halaman depan Puskesmas. Di sekeliling Puskesmas hamparan rumput hijau tertata dengan sangat manis, menyejukkan setiap mata yang melihat.


Puskesmas Talaga di Kecamatan Ibu Selatan; Dokumentasi Peneliti

Pasien terlihat sepi, hanya beberapa petugas Puskesmas saja yang bergerombol di bangku depan Puskesmas. “Setiap hari rata-rata pasien yang berkunjung ada 10 pak…,” jelas James Mawea. Dengan sejumlah 8.880 peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas ini, saya jadi mengernyitkan kening mendengar jumlah masyarakat yang berkunjung. Semoga hanya karena masyarakat benar-benar sehat. Semoga.
Secara ketenagaan, ada delapan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdi di Puskesmas Talaga, ditambah dengan dua tenaga Pegawai Tidak Tetap (PTT) Pusat, dan satu PTT Daerah. Total 11 petugas, plus 10 orang tenaga sukarelawan yang magang di Puskesmas Talaga.
Tidak ada fasilitas rawat inap di Puskesmas Talaga. Meski demikian, empat bidan yang ada melayani ibu hamil yang hendak melahirkan (partus) di empat tempat tidur yang tersedia di ruang partus, yang terkadang juga memerlukan menginap, meski hanya satu malam.
Di salah satu sudut ruang partus saya menemui sebuah alat sterilisasi yang masih sangat bagus, yang bahkan plastik pembungkusnya sebagian besar masih menempel. Menurut keterangan Sadik Umasangadji, Kabid Yankes yang menyertai perjalanan kami, “Itu alat drop-dropan dari pusat pak, datang beberapa waktu lalu… kan di sini tidak ada listrik yaa. Ada juga genset, tapi kan watt-nya tinggi kan… sekitar 1.500 watt, jadi ya genset tidak bisa. Listrik di sini pun (kalau malam), hanya 900 watt. Jadi yaa…”.


Alat Sterilisasi yang Masih Terbungkus Plastik; Dokumentasi Peneliti

Saat mengecek keberadaan kamar mandi atau toilet, terlihat cukup bagus, sudah berporselen. Hanya saja tidak ada air sama sekali. Menurut keterangan petugas Puskesmas sumber air diambilkan dari sumur di rumah dinas, hanya saja memerlukan pompa air untuk mengalirkan ke Puskesmas. Sementara saat ini pompa air sedang rusak.
Satu-satunya tenaga dokter yang ada di Puskesmas Talaga adalah tenaga PTT Daerah. Itupun ternyata harus berbagi dengan Puskesmas Baru. Menurut keterangan Kepala Dinas Kabupaten Halmahera Barat hal tersebut memang terpaksa harus dilakukan, karena keterbatasan jumlah tenaga dokter. “Tidak ada dokter di Puskesmas Talaga pak. Kami hanya menempatkan dokter dari wilayah Puskesmas lain di sekitarnya untuk secara bergiliran melayani di Puskesmas Talaga. Jadi bergantian saja…,” jelas Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes.

Kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Halmahera Selatan

Dalam sebuah diskusi dengan Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat di Jailolo, Sadik Umasangadji, Kabid Yankes menjelaskan bahwa, “Dari 12 Puskesmas yang ada di wilayah Halmahera Barat kesemuanya bisa ditempuh melalui jalur darat, kecuali Puskesmas Kedi. Itu kalau ke sana harus jalur laut… ke wilayah-wilayah kerjanya juga semua jalur laut. Petugas kesehatan yang ditempatkan disana harus bisa berenang…”.
Lebih lanjut Kepala Bidang Yankes yang akrab dipanggil “Om Deki” ini menjelaskan bahwa tidak bisanya Puskesmas Kedi ditempuh dengan jalur darat ini bukan berarti bahwa Puskesmas tersebut berada pada daratan atau pulau yang berbeda. Puskesmas Kedi masih berada di Pulau Halmahera, hanya saja tidak ada jalur transportasi darat yang menghubungkan wilayah tersebut dengan wilayah lain di Halmahera Barat.
Pada kesempatan yang sama Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat, menjelaskan bahwa dari 12 Puskesmas yang ada kesemuanya masuk dalam kategori terpencil, kecuali Puskesmas Kedi yang masuk kategori sangat terpencil. Hal ini sesuai dengan Keputusan Bupati Halmahera Barat Nomor 133.A/KPTS/V/2016 tentang Penetapan Sarana Pelayanan Kesehatan yang Termasuk dalam Kriteria Terpencil dan Sangat Terpencil di Kabupaten Halmahera Barat.
Menutup diskusi kami, Kepala Dinas menitipkan pesan permohonan pada Kementerian Kesehatan agar Kabupaten Halmahera Barat diberi tambahan lagi dua tim Nusantara Sehat untuk Puskesmas yang berbeda. “Masih ada dua sampai tiga Puskesmas lagi yang sangat membutuhkan bantuan tenaga di wilayah Halmahera Barat ini, termasuk Puskesmas Kedi tadi. Saya sangat berharap ada bantuan lebih dari Kementerian Kesehatan…”
Baiklah, mari tetap bersemangat. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menghadirkan negara dalam pelayanan kesehatan di setiap sudut republik ini. (adl)

MENIMBANG KEBIJAKAN NUSANTARA SEHAT





Sumber: web Nusantara Sehat. http://nusantarasehat.kemkes.go.id/
Surabaya, 21 Juli 2016

Kemarin, 20 Juli 2016, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menutup penerimaan peserta baru Nusantara Sehat periode ke-dua pada tahun 2016. Dibutuhkan tenaga kesehatan dari beragam profesi yang akan ditempatkan di 92 lokus Puskesmas di seluruh Indonesia. Penempatan Nusantara Sehat periode ke-dua ini menyusul 194 orang tenaga kesehatan yang telah ditempatkan pada periode pertama tahun 2016 bulan Juni lalu.
Tahun sebelumnya, tahun 2015, Kementerian Kesehatan telah memberangkatkan setidaknya 694 orang tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sejumlah tersebut ditempatkan di 120 lokus Puskesmas pada 48 kabupaten/kota di 15 provinsi di seluruh Indonesia.
Pendekatan penempatan Nusantara Sehat yang berbasis tim (team based) dirasakan cukup membuat tim ini mumpuni di lapangan. Ada sekitar lima sampai sembilan jenis tenaga kesehatan yang terlibat, yang diharapkan mampu menangani masalah kesehatan dalam tiga ranah, yaitu secara preventif, promotif dan kuratif.
ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH JOKOWI
Dalam pemerintahan Jokowi, dengan visi nawa citanya selalu menggarisbawahi pembangunan yang ditekankan untuk dilakukan dari pinggiran. Pengarusutamaan pembangunan melalui wilayah pinggiran menuju ke wilayah tengah ini patut diapresiasi, tak terkecuali untuk bidang kesehatan. Pemerintah Jokowi ingin negara hadir pada setiap jengkal tanah di Indonesia, di pelosok atau di perbatasan sekalipun.
Bagaimana dengan Nusantara Sehat? Penempatan tenaga kesehatan berbasis tim ini ditempatkan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), dan juga wilayah Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Tentu saja kebijakan Nusantara Sehat dengan penempatan yang demikian sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, membangun dari pinggiran.
Disparitas atau kesenjangan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan memang hal yang benar-benar menjadi masalah di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan Laksono, dkk (2016) menemukan fakta bahwa kesenjangan itu terjadi pada hampir semua aspek. Kesenjangan aksesibilitas pelayanan kesehatan terjadi antara wilayah kabupaten dengan wilayah kota. Kesenjangan juga terjadi antara wilayah miskin dan non miskin.
Kesenjangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ini setidaknya terjadi pada indikator supply (jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan rasio tenaga kesehatan), indikator barrier (waktu tempuh, biaya transportasi dan kepemilikan asuransi), serta indikator demand (cakupan pelayanan rawat jalan dan rawat inap).
Satu-satunya sub indikator yang tidak ditemukan kesenjangan adalah indikator supply antara wilayah kategori miskin dan non miskin. Sementara antara wilayah kabupaten dan kota masih terdeteksi adanya kesenjangan.
KEBIJAKAN PEMADAM KEBAKARAN
Tidak ada yang salah dengan nawa cita kebijakan membangun dari pinggiran. Justru kebijakan ini sudah sangat ditunggu mereka yang sudah terlalu lama merasa dianaktirikan. Hanya saja kebijakan populis semacam Nusantara Sehat lebih terlihat sebagai kebijakan ‘pemadam kebakaran’. Hanya mengatasi masalah disparitas aksesibilitas pelayanan kesehatan di wilayah pinggiran dalam jangka pendek. Diperlukan kebijakan lain yang menjamin sistem pelayanan kesehatan.
Kebijakan semacam Nusantara Sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan selaku pemerintah pusat ini memang diyakini bisa meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Tetapi tetap perlu dipikirkan kebijakan lain yang berdampak jangka panjang. Perlu dipikirkan bagaimana sistem pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan cita-cita otonomi daerah, bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Kebijakan Nusantara Sehat tetap perlu diapresiasi, sebagai sebuah langkah tepat secara cepat untuk mengatasi adanya disparitas akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pemerintah pusat perlu memikirkan kembali kebijakan selanjutnya, agar apa yang telah dicapai oleh Nusantara Sehat bisa diteruskan, tidak hanya baik dan berhenti pada saat kebijakan Nusantara Sehat telah selesai.
APA YANG BISA DILAKUKAN?
Cita-cita otonomi daerah adalah penguatan pemerintah daerah sebagai perwakilan pemerintah di setiap wilayah. Penguatan sistem pelayanan kesehatan di daerah bisa dilakukan dengan pemberdayaan tenaga kesehatan lokal yang ada di daerah.
Jokowi sebagai puncak policy makermemang tidak suka, dan anti dengan kata pemberdayaan. Solusi langkah ‘pemberdayaan’ terdengar sangat absurd di telinga Jokowi, untuk itu kita perlu membuat turunan kalimat menjadi kata-kata yang lebih operasional. Misalnya, pemerintah pusat perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah untuk dapat memfasilitasi putra daerah untuk menempuh jenjang pendidikan kesehatan.
Selain itu, pemerintah pusat harus mampu ‘memaksa’ pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran lebih banyak lagi untuk bidang kesehatan hingga mencapai sepuluh persen. Angka sepuluh persen ini di luar anggaran gaji, sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 36 tentang Kesehatan.
Selanjutnya, apabila banyak pemerintah daerah dirasa sudah berdaya, pemerintah pusat bertindak selaku penyeimbang. Pemerintah pusat bertindak dengan membantu wilayah-wilayah yang pemerintah daerahnya masih dirasakan lemah. (adl).

SANG PENGISI KEKOSONGAN DI MANGGARAI TIMUR

Ruteng, Manggarai, 09 Juni 2016
Pada perjalanan kali ini kami berkesempatan untuk mendampingi ibu sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Ria Sukarno, SKM., MCN., untuk melakukan supervisi kegiatan lapangan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Kegiatan supervisi kali ini mengambil tempat di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Manggarai Timur. Sumber: id.wikipedia.org

Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari 25 kabupaten lainnya yang menjadi sasaran Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Riset yang digawangi oleh Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan ini ditujukan untuk menggali potensi lokal, terutama yang berbasis budaya, untuk dipergunakan bagi sebaik-baiknya status kesehatan masyarakat setempat.
Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari dua kabupaten pemekaran Kabupaten Manggarai. Kabupaten yang berada di antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada ini terlahir secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 per tanggal 17 Juli 2007.
Secara umum untuk menuju salah satu kabupaten di Pulau Flores ini tidaklah sulit. Bila kita berasal dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka kita bisa menggunakan pesawat udara tujuan Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo. Yup, Bandar Udara Komodo! yang merupakan pintu gerbang utama untuk menuju salah satu destinasi binatang purba dunia, komodo. Naik pesawat udara menuju Labuan Bajo, serasa kita adalah turis asing yang sedang melancong, betapa tidak? Pesawat ATR Garuda Indonesia yang kami tumpangi, sekitar 80% penumpangnya adalah orang bule, sementara pribumi Indonesia hanya beberapa gelintir saja.
Selanjutnya dari Labuan Bajo kita bisa menggunakan jalur darat selama kurang lebih empat sampai lima jam menuju Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Sebuah perjalanan dengan jalan yang membikin neg, isi perut serasa mau keluar, jalan yang naik-turun, berkelok-kelok. Meski selama perjalanan tidak terlalu panjang ini kita akan disuguhi lanskap alam yang menyejukkan mata. Kebun cengkeh, kebun coklat, kebun kopi, kebun jeruk, sawah sarang laba-laba, Danau Ranamese, sungai, gunung, dan hutan, semua tampil bergantian memamerkan keindahan lanskap suburnya tanah daratan Pulau Flores. Kondisi ini berbanding terbalik dengan daratan Pulau Timor, salah satu pulau besar lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang kering dan gersang.

Gambar 2. Jalan Berkelok dan Naik-Turun (kiri); Sawah Sarang Laba-laba (tengah); Danau Ranamese (kanan). Sumber: Dokumentasi Penulis

Kali pertama kami menemui salah satu peneliti yang berada di Puskesmas Mano. Pada kesempatan ini kami berdiskusi cukup seru tentang tema yang diambil oleh peneliti etnografi yang ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur ini, tentang dukun patah tulang. Rupa-rupanya di wilayah ini kecelakaan lalu lintas cukup banyak terjadi. Track jalan yang berkelok yang naik-turun ternyata cukup banyak membawa korban.
Kejadian patah tulang sebagai akibat kecelakaan lalu lintas ternyata juga masih ditambah dengan kejadian karena jatuh dari pohon. “Iyaa paak… itu mereka panjat pohon cengkeh… itu tinggii… tapi dahan-dahannya lapuk too…,” cerita Ochi, salah satu peneliti asli Maumere yang live in di wilayah Puskesmas Mano ini.

Gambar 3. Diskusi dengan Peneliti REK, Dokter Puskesmas dan Kepala Puskesmas Mano. Sumber: Dokumentasi Penulis

Meski kejadian yang menyebabkan banyak terjadinya patah tulang, tetapi tidak terlalu banyak catatan resmi di Puskesmas tentang kejadian ini. “Mereka kalau patah tulang memang jarang ke sini pak. Hanya beberapa saja, kebanyakan langsung ke dukun yang bisa menangani patah tulang,” kata Helen, dokter cantik asli Ruteng yang sudah bertugas di Puskesmas Mano selama kurang lebih dua tahun tersebut. Keterangan dokter Puskesmas Mano tersebut dibenarkan oleh Bidan Yustina selaku Kepala di Puskesmas Mano, “Benar pak kata bu dokter, meski mereka ke sini… biasanya hanya minta obat untuk penghilang nyeri saja. Kalaupun kami rujuk ke rumah sakit jarang yang tuntas pengobatannya. Kebanyakan pulang paksa, karena tidak punya uang to…”.
Tidak tersedianya pelayanan kesehatan untuk menangani kejadian patah tulang di Puskesmas membuat dokter merujuk ke rumah sakit daerah di Ruteng (rumah sakit daerah milik Pemda Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur sendiri belum memiliki rumah sakit daerah). Meski menurut keterangan dokter Puskesmas Mano, di Rumah Sakit Daerah Ruteng pun tidak memiliki dokter spesialis orthopedi yang bisa menangani kejadian patah tulang ini. Jadi memang ada kekosongan pelayanan publik yang disediakan pemerintah untuk kejadian patah tulang di wilayah ini.
“…untuk kalau patah tulang memang orang-orang pada berobat ke pak tua (pengobat tradisional)… itu om Fikus ituu…,” ulang Kepala Puskesmas Mano tentang bagaimana masyarakat di wilayah ini mendapatkan pertolongan untuk penyakit akibat kecelakaan ini. Di wilayah ini, menurut keterangan peneliti yang live in, hampir di setiap desa ada pengobat tradisional yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan patah tulang. Para pengobat inilah yang mengisi kekosongan pelayanan kesehatan pengobatan patah tulang yang belum tersedia.

Gambar 4. Proses Pengobatan di Dukun Patah Tulang. Sumber: Dokumentasi Peneliti (Zulfadhli)

Tidak ada tarif khusus untuk mendapatkan pelayanan dari para pengobat patah tulang ini, atau bahkan gratis sama sekali. “Saya tidak tarik sepeserpun bayaran. Saya ikhlas seratus persen…,” terang om Fikus, panggilan akrab pengobat tradisional di Desa Mano yang sempat kami temui. Lebih lanjut om Fikus mengatakan, “Orang datang minta tolong harus ditolong. Orang haus harus dikasih minum… orang lapar harus dikasih makan… orang datang minta tolong harus kita tolong. Itu kewajiban kita…”.
Cara pengobatan yang dilakukan oleh pengobat tradisional patah tulang ini terlihat cukup sederhana. Ada dua jenis tahapan yang biasa dilakukan, yang pertama adalah kunyahan halia (jahe), kopra (kelapa kering), daun campa, daun tadak, dan daun angos yang disemburkan pada bagian yang patah. Selanjutnya ampas kunyahan tersebut dibalurkan ke bagian yang sakit dibebat dengan kain kasa atau kain biasa. Selain itu pasien juga diberi minum air putih yang sudah didoakan. “Itu saja ramuannya untuk patah tulang. Tapi macam bapak-ibu bisa kasih seperti bahan-bahan itu pada patah tulang, tapi tidak akan berhasil… karena ada doa yang tidak saya berikan…,” dalih om Fikus.
Meski pelayanan kesehatan untuk pengobatan patah tulang dirasakan minim di wilayah ini, tetapi tidak serta merta menutup upaya petugas kesehatan untuk tetap berusaha. “Kalau ada yang patah tulang terbuka, yaa kami rawat dulu sampai lukanya sembuh dulu… baru kalau sudah sembuh mau ke dukun patah tulang itu ya silahkan saja. Tapi kami tetap merujuknya ke rumah sakit…”
Konfirmasi tentang keberadaan para pengobat tradisional patah tulang sempat kami lakukan pada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, dr. Philipus Mantur, yang menyatakan, “Masyarakat di sini memang begitu. Mereka memilih ke dukun patah tulang bila harus membayar sendiri… misalnya kalau jatuh dari pohon. Tapi mereka sebenarnya mau operasi bila ada yang membayar. Misalnya kecelakaan… trus yang menabrak mau membiayai untuk operasi… dioperasi di Bali atau Jakarta…”.
Sementara berbicara tentang kosongnya pelayanan kesehatan di wilayah Manggarai Timur, Dinas Kesehatan setempat menyatakan bahwa sudah direncanakan untuk membangun sebuah rumah sakit daerah di wilayah Kecamatan Borong. Rencana pembangunan rumah sakit ini juga disertai dengan rencana pembangunan akses jalan dari tiga penjuru menuju arah rumah sakit. Menurut Bidang Pelayanan Kesehatan, pembangunan kemungkinan akan memakan waktu tiga tahun, karena minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah daerah untuk membangun dalam satu kali atau satu tahun anggaran.

Gambar 5. Berpose bersama Kadinkes dan Jajarannya sebelum Beranjak Pulang. Sumber: Dokumentasi Penulis

Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!

Wamena, 04 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecil yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah! Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah Papua lainnya.
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus ditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter. Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara; Sumber: antaranews
Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam pemberitaan nasional dengan berita yang kurang mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan. Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan akselerasi pembangunan di wilayah ini.
Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua dan Nasional; Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari 497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam, anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui. Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo via Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.
Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhutkam.
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial di kantor Kabupaten yang sama.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang dipalang tersebut.
Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di wilayah ini.
Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota sebelum Bertolak Kembali ke Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali ke Rumah Duka; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut. “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir, sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L., sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.