Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!

Wamena, 04 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecil yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah! Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah Papua lainnya.
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus ditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter. Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara; Sumber: antaranews
Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam pemberitaan nasional dengan berita yang kurang mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan. Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan akselerasi pembangunan di wilayah ini.
Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua dan Nasional; Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari 497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam, anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui. Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo via Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.
Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhutkam.
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial di kantor Kabupaten yang sama.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang dipalang tersebut.
Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di wilayah ini.
Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota sebelum Bertolak Kembali ke Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali ke Rumah Duka; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut. “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir, sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L., sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.

Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh

Toboali, 08 April 2016.
Perjalanan kali ini saya bersama dua rekan lain, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi Antropolog, menuju ke Toboali, ibukota Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten yang menjuluki dirinya dengan sebutan “Negeri Junjung Besaoh”. Junjung Besaoh sejatinya adalah semboyan masyarakat Bangka Selatan, yang artinya merupakan cerminan kuatnya ikatan kekeluargaan dan persaudaraan masyarakat Bangka Selatan.
Perjalanan mencapai Kota Toboali relatif mulus, sangat mulus. Jalanan aspal hotmix secara keseluruhan yang memakan waktu 2,5-3 jam dari Pangkal Pinang sebagai ibukota Provinsi Bangka Belitung, meski pada beberapa titik harus sedikit berhati-hati karena beberapa jembatan terputus sebagai akibat hujan lebat yang tak juga bosan menerpa wilayah ini meski bulan sudah menunjuk awal April.

Peta Posisi Kabupaten Bangka Selatan
Ada dua insiden yang sedikit menodai mulusnya perjalanan kami. Belum setengah jam meninggalkan Kota Pangkal Pinang, saat Avanza yang kami tumpangi hampir menyerempet sebuah truk besar bermuatan ubi kayu. Kami berhasil lolos, tetapi truk besar itu banting setir ke kiri untuk menghindari setidaknya dua motor. Truk terguling karena dua ban sebelah kiri terperosok dalam got. Dua motor terlihat tergeletak di tengah jalan dan satu lagi masuk ke dalam got. Dua orang pemotor saya lihat langsung bisa berdiri. Spontan saya ikut membantu menarik motor yang terperosok di got. Terdengar jerit tangis dari salah satu pemotor yang menarik-narik rekannya sambil menjerit-jerit, teman yang ditarik tetap saja terdiam tak bergerak, dengan tubuh bagian atas yang separuh utuh. Saya lunglai, limbung. Duh Gusti…
Jalanan yang terlalu mulus memang membuat sesiapa saja merasa bisa menjadi seorang pembalap. Terbukti setengah jam kemudian dari saat kejadian pertama, terlihat kerumunan orang dengan beberapa mobil yang berhenti. Terlihat mobil polisi dan sebuah mobil derek, yang berusaha menarik sebuah Kijang LGX yang nyungsep ke selokan sebelah kiri jalan. Gusti… semoga semua penumpangnya selamat.
Kolong di Kolong Langit Bangka
Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Provinsi Bangka Belitung, setelah sebelumnya selalu berkutat di bagian Timur Indonesia, kali ini saya ingin menjelajah di bagian Barat Indonesia. Kesan pertama menempuh perjalanan di wilayah ini adalah banyaknya lubang besar seperti danau-danau kecil, yang menganga berisi air keruh, meski ada beberapa yang airnya terlihat biru, yang di sekelilingnya terlihat tumpukan tanah putih kekuningan.

Pemandangan Kolong (Bekas Galian Tambang Timah) dari Atas Langit
“Itu namanya kolong pak,” sebut salah seorang warga. Kolong adalah merupakan bekas galian tambang timah yang ditinggalkan oleh para petambang, setelah timah yang dicari mulai jarang ditemukan, habis. Ratusan kolong seperti ini memenuhi hampir di seluruh wilayah di Pulau Bangka, yang menurut Ferdi, sopir asli Suku Melayu Toboali yang menjemput kami, juga terjadi di beberapa pulau kecil lain di sekitar Pulau Bangka. Kerusakan alam yang sangat massif.
“Masih bisa ditanami pak… itu di samping-sampingnya… kelapa sawit, karet, …tapi kalau ditanami lada tidak bisa,” lanjut Ferdi saat saya bertanya tentang pemanfaatan tanah-tanah di sekitar kolong ini. Pemanfaatan lainnya?
“Yaa… kolong itu dibiarkan saja pak. Tidak bisa dimanfaatkan untuk apapun, kita tidak tau juga mau dimanfaatkan untuk apa. Mau ditanami ikan tidak cocok pak, selain terlalu dalam (puluhan meter), juga pH-nya tidak cocok… terlalu asam. Jadi ya kita biarkan saja seperti itu…” (Al, Dinkes Bangka Selatan)
Sampai dengan saat ini saya dan tim masih berpikir dengan sangat keras, bagaimana bisa memanfaatkan kolong yang demikian massif ada di Pulau Bangka ini? Bagaimana bila dimanfaatkan untuk WC umum? Waaahh… tentu akan puluhan tahun baru bisa penuh. Eh tapi… bagaimana bila terperosok saat nongkrong di atas WC itu? Waah… bisa berabe dengan kedalaman puluhan meter seperti itu.
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Pemilihan Bangka Selatan sebagai salah satu wilayah Riset Etnografi Kesehatan tahun 2016 sesungguhnya dimulai dengan peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten Bangka Selatan yang berada pada ranking 7 dari 7 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bangka Belitung. Sedang secara nasional berada pada peringkat 376 dari 497 kabupaten/kota yang disurvey pada tahun 2013.
Beberapa indikator pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah ini memang menunjukkan capaian yang rendah. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 indikator kesehatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan lingkungan dan perilaku kesehatan tercatat kurang begitu menggembirakan. Cakupan akses dan air bersih di masyarakat hanya mencapai 9,38% dari keseluruhan masyarakat di Bangka Selatan. Cakupan perilaku sikat gigi juga menunjukkan angka yang cukup rendah, hanya 1,14% masyarakat saja yang melakukannya dengan benar.
Sedang untuk perilaku buang air besar dengan benar, di Kabupaten Bangka Selatan hanya mencapai angka 76,88%. Angka ini masih di bawah rata-rata Provinsi Bangka Belitung yang berada pada kisaran 87,04%, dan juga rata-rata di Indonesia yang mencapai angka 82,59%. Pengertian perilaku buang air besar dengan benar adalah buang air besar pada WC dengan kloset berbentuk leher angsa, dan dengan pembuangan akhir pada tangki septictank. Rendahnya capaian perilaku buang air besar inilah yang membuat saya kepikiran untuk memanfaatkan kolong bekas galian timah sebagai septictank raksasa. Hehehe…
Potensi Ekonomi Bahari
Pasca meredupnya pertambangan timah, Kabupaten Bangka Selatan mulai menata diri pada sektor pertanian dan perkebunan. Pemerintah Kabupaten dalam lima tahun terakhir berusaha untuk dapat berswasembada beras, selain juga mengupayakan pemanfaatan lahan perkebunan untuk lada, karet dan kelapa sawit.
Sesungguhnya potensi ekonomi wilayah Bangka Selatan cukup besar, terutama di bidang wisata bahari. Apalagi setelah booming novel dan film “Laskar Pelangi” yang menimpa wilayah tetangganya, Belitoong. Sebagai wilayah kepulauan, potensi pantai yang khas dengan batu-batu raksasa dan pasirnya yang putih halus sungguh sangat mengundang wisatawan untuk betah berlama-lama menikmati terbit atau tenggelamnya matahari di wilayah ini.

Landscape view Pantai Batu Kodok yang Didominasi Batu-Batu Raksasa
Sunset di Pantai Batu Kodok, Toboali
Potensi bahari lain yang belum terjamah adalah potensi bawah lautnya, taman laut dengan terumbu karang yang cantik. Potensi ini tersimpan di bagian Timur Bangka Selatan, yaitu di sekitar wilayah Pulau Pongok dan Lepar yang merupakan wilayah Kecamatan Tanjung Labu. Bila potensi ini bisa betul-betul dimanfaatkan, saya percaya kebangkitan Bangka Selatan hanya tinggal menunggu waktu saja. Semoga. (@dl).

Pemandangan Bawah Laut di Pulau Lepar; Sumber: Tim Terumbu Karang UBB