KAMPANYE YANG MISKIN ISU KESEHATAN


by Rachmat A. Puageno

Masa kampanye pemilu legislatif yang dimulai sekitar akhir tahun lalu akhirnya berakhir juga. Masyarakat kini menunggu tanggal 9 April 2009, sebagai momentum memilih wakilnya yang duduk sebagai anggota dewan. Baik ditingkat Kab/Kota, Provinsi, Pusat maupun anggota DPD. Masyarakat sangat dinanti berpartisipasi menyalurkan hak suaranya, tidak hanya bahwa pemilu ini menghabiskan dana trilyunan rupiah, tapi momen ini dianggap sebagai momen perubahan dan perbaikan. Maka tidak berlebihan, ketika grup COKLAT mengeluarkan single khusus pemilu “5 MENIT UNTUK 5 TAHUN”.

Namun, benarkah pemilu 9 April nanti ada momen perubahan bagi nasib bangsa yang masih terpuruk ini. Satu hal yang mudah untuk menilainya adalah mengamati sepak terjang partai politik dan para calon legislatif selama menjalani kampanye. Sebelum kampanye terbuka, para parpol dan caleg berlomba mengenalkan partai dan caleg dengan cara masif, seperti memasang spanduk, baliho dan sejenisnya. Mungkin karena media yang terbatas itu, pesan yang disampaikanpun sangat singkat. Mengenalkan nomer urut, nama lengkap, foto ditambah dengan sedikit kata-kata heroik.
Sementara, jenis kampanye terbuka didominasi dengan model kampanye pengerahan massa, seperti rapat terbuka yang diselingi dengan hiburan musik atau dengan cara mengadakan kegiatan sosial. Sebut saja salah satunya pengobatan massal.
Bersyukur, model kampanye masih tertolong dengan siaran program pemilu di tv yang lebih berbobot. Mengajak para parpol untuk berbicara panjang tentang sebuah program. Namun, sayangnya tidak seluruh parpol yang muncul, lebih didominasi oleh parpol “besar”. Itupun, pada isu-isu seputar ekonomi dan politik. Sementara isu tentang kesehatan sangat minim dibicarakan.

Bilapun dibicarakan, terbatas pada masalah yang tidak fokus pada masalah pemberdayaan kesehatan. Isu yang sering dibicarakan adalah program pengobatan gratis bagi kaum miskin.
Melihat fenomena tersebut, bisa kita simpulkan bahwa parpol belum memiliki pemahaman yang benar terhadap bidang kesehatan. Parpol masih mengganggap bidang kesehatan adalah sektor konsumtif seperti kebutuhan pengobatan tersebut. Pemahaman ini tergolong primitif. Apalagi mereka sebagai salah satu unsur pengambil keputusan. Maka tidak mengherankan bila kebijakan yang dikeluarkan selama jarang yang pro kesehatan.

Sebagaimana dalam pedoman indeks pembangunan manusia, terdapat tiga pilar utama yang menentukan kualitas SDM yaitu taraf ekonomi, derajat kesehatan serta taraf pendidikan. Oleh karenanya, setiap parpol mestinya memiliki visi dan misi atas bidang-bidang tersebut secara gamblang.
Sebetulnya ada beberapa isu atau pikiran pokok tentang bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian para parpol dan para legislator terpilih. Namun terbatas ruang, kami sajikan 3 isu yang kami anggap terpenting..

Pertama;. Pemerintah sejak tanggal 1 Maret 1999 telah mencanangkan visi Indonesia Sehat 2010, visi tersebut juga menjadi pendorong untuk mengembangkan Kota/Kabupaten Sehat. Gerakan Indonesia Sehat adalah gerakan masyarakat yang berupaya secara terus menerus dan sistematis yang didukung pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya melalui pemberdayaan potensi masyarakat (HAKLI, 1999).
Untuk mengimplementasikannya, harus ada paradigma “Kesehatan sebagai Investasi”. Bila masyarakat sakit akan terjadi kerugian ekonomi (loss economic). Bila ada keluarga kita sakit tentu saja kita akan berupaya untuk mengobati agar segera sembuh. Dalam upaya mencari penyembuhan tersebut, tentu kita mengeluarkan biaya. Selain itu, hilangnya waktu produktif penduduk karena sakit. Bila kita sakit maka kita mengalami disabilitas selama beberapa hari. Seperti tidak masuk kerja, absen sekolah, tidak dapat bermain atau bersosialisasi ataupun setidaknya melakukan tugas keseharian. Dari pihak pemerintahpun akan mengeluarkan biaya kesehatan yang cukup tinggi bagi masyarakatnya yang sakit.

Oleh karena itu, agar mengurangi terjadinya resiko kerugian ekonomi tersebut, para legislator justru perlu berpikir menyusun program untuk menghindari agar masyarakat tidak sakit.
Inilah yang disebut program preventif dan promotif, berjuta contoh dapat disampaikan disini, tapi yang perlu diperhatikan bahwa program itu tidak melulu program fisik, tapi lebih sederhana lagi seperti program penghijauan, pengaturan tata ruang wilayah, promosi kesehatan melalui berbagai media, dll.

Ingat peristiwa tragedi situ gintung. Semuanya itu terjadi karena aspek preventif terlupakan. Bagaimana mungkin, kawasan yang sebetulnya tidak boleh menjadi kawasan pemukiman, justru dihuni ribuan orang. Artinya setiap kebijakan pemerintah selalu memikirkan aspek kesehatan masyarakat, sehingga bisa menghasilkan healthy public policy.
Adagium yang menyebutkan “Health is not everything, but without health, everything is nothing” merupakan cerminan dari urgensitas kesehatan dalam suatu pengembangan masyarakat, karena jelas betapa besar return on investment-nya. Oleh sebab itu, kewajiban para legislator untuk melakukan investasi terhadap kesehatan.

Bukan rahasia lagi, baik dipusat maupun Kab/Kota dalam alokasi anggaran sektor kesehatan masih rendah. Kesehatan masih dianggap sebagai sektor tidak produktif (cost centered), sehingga cukup diberi anggaran kecil. Namun ironisnya, sektor kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas) dijadikan ‘sapi perahan’ untuk menggenjot pendapatan.
Kedua; Mengupayakan program jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi penduduk. Seiring dengan diberlakukannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah berupaya untuk mampu menyediakan dana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Penduduk yang diambil dari APBN. Tidak terbatas pada masyarakat miskin saja, tapi lebih meluas cakupannya. Karena bagaimanapun juga seluruh masyarakat haruslah mendapat jaminan kesehatan, sebagaimana tercantum dalam amandemen UUD ’45.

Dalam hal ini, tidak ada satupun parpol dan caleg yang mengangkat isu ini sebagai isu kampanye. Mereka kurang paham atau mungkin masa bodoh ? Tidak salah, bila salah satu NGO, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia mengkampanyekan mencari parpol, caleg bahkan capres yang memperjuangkan jaminan kesehatan bagi semua. (www.gapri.org).
Sejatinya JKN adalah model pendanaan kesehatan universal, sistem perawatan kesehatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas namun terjangkau. Dibanyak negara, isu JKN adalah isu populer untuk memperoleh dukungan pemilih, karena JKN merupakan strategi penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi.

Sedikit data dari ILO, pada tahun 2007, JKN di Indonesia baru dinikmati 43,2 persen penduduk. Jamsostek mengelola 3,1 juta jiwa, Askes mencakup 15,6 juta pserta, sedangkan Jamkesmas menanggung 74,6 juta jiwa. Artinya.58,6 persen atau sekitar 115 juta jiwa di Indonesia belum memperoleh jaminan kesehatan. Akibatnya, mereka harus bayar sendiri biaya kesehatannya bila sakit. Sementara musibah sakit, tidak mengenal usia, golongan dan suku. Bagi mereka yang kelas menengah saja, bila sakit beberapa hari, tidak kurang puluhan juta harus dikeluarkan.
Saat ini, pelaksanaan SJSN belum menemui titik terang. Pada titik inilah, mestinya para parpol dan caleg berani bersuara bagaimana strategi mereka memperjuangkan salah satu poib SJSN, yaitu JKN dapat terwujud. Sayangnya, suara parpol dan caleg “Nyaris Tak Terdengar”.

Ketiga ; Para legislator juga perlu mengerti tentang peran puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, fungsi dan peran puskesmas harus lebih menitikberatkan sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan, menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan masyarakat. Namun, selama ini puskesmas tidak lebih dari sebuah “miniatur RS”, dengan hanya menitikberatkan pada fungsi pengobatan.
Kedepan mestinya, harus ada pemisahan yang jelas antara fungsi puskesmas sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan dengan fungsi RS sebagai pusat pengobatan. Puskesmas hendaknya tidak terlalu dibebani dengan fungsi pengobatan. Puskesmas lebih cocok dan bermakna untuk merangsang bagaimana agar penduduk tetap sehat dengan pemberian pendidikan kesehatan, bukannya menunggu penduduk sakit kemudian diobati.

Terakhir, untuk mewujudkan pokok pikiran diatas, perlu merevitalisasi peran Departemen Kesehatan sebagai kelompok dinas ‘produktif’. Tidak sekedar dinas yang masuk dalam golongan “Kesra” yang lebih berkonotasi pada definisi sosial dan konsumtif. Mereka perlu dilibatkan dalam jajaran koordinator perekonomian, karena sejatinya sektor kesehatan adalah investasi dan produktif.

1 komentar:

  1. bravo..
    yg mas kemukakan khusus point terakhir, krn Depkes dan Dinkes belum memainkan peran sbg regulator yg pas..peran regulator (dinkes prov/kab/kota) ke RS? yg pemerintah aja gak kepegang palagi swasta...jd terserak2 kayak puisinya mas agung..dikupas dong mas ttg peran regulasi depkes n t.u dinkes..

    BalasHapus