PELAYANAN KESEHATAN KITA, KAPITALIS ATAU SOSIALIS?



by Siswanto

Pada masa kampanye Pilpres kali ini kita masyarakat awam telah disuguhi dengan dua jargon ekonomi, yakni neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Secara umum, neoliberal dimaknai sebagai sistem ekonomi yang bertumpu pada pasar bebas (free market), sementara ekonomi kerakyatan dihembuskan sebagai panacea (resep) terhadap kondisi saat ini di mana terjadi kesenjangan yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin, yang diklaim sebagai akibat sistem neoliberal. Sementara, di pihak pemerintah yang berkuasa tidak mengakui bahwa saat ini pemerintah menerapkan sistem neoliberal. Bahkan, pihak pemerintah yang sedang berkuasa mengklaimnya sebagai sistem ekonomi jalan tengah, yakni sistem ekonomi pasar tetapi pro rakyat.


Dalam tulisan ini, kita mencoba mencermati sistem kesehatan di Indonesia dalam perspektif pengelolaan sistem ekonomi. Namun, dalam analisisnya kita menghindarkan diri dari terminologi neoliberal dan ekonomi kerakyatan, agar kita tidak terjebak pada jargon politik kampanye pilpres saat ini, yang notabene belum jelas secara konseptual. Kiranya kita sudah mahfum, bahwasanya di dunia ini terdapat dua sistem ekonomi, yakni sistem kapitalis (pasar bebas) dan sosialis. Amerika Serikat, barang kali bisa diambil contoh negara dengan sistem kapitalis. Untuk contoh sosialis murni, barang kali tinggal Korea Utara yang menerapkan sosialis murni.


Sektor kesehatan adalah sektor unik yang harus diperlakukan secara khusus. Mengapa demikian? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa intervensi kesehatan adalah suatu jasa pelayanan dengan spektrum sangat lebar, dari yang paling privat (bedah kosmetik) sampai dengan yang paling publik (pemberantasan penyakit menular). Oleh karena itu, banyak negara di Eropa, meski menerapkan sistem pasar bebas dalam pengelolaan ekonominya, mereka memberlakukan sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan sosialis. Sebut saja, Jerman dan Inggris adalah contoh negara yang negaranya memberlakukan suatu jaminan atau asuransi kesehatan sosial yang mengkover seluruh penduduknya. Dengan sistem sosialis seperti ini peran negara sangat besar dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan agar mampu mengkover semua penduduknya (universal coverage).


Sesungguhnya Indonesia sudah mempunyai payung hukum yang kuat untuk menerapkan asuransi sosial kesehatan, yakni UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioanl (SJSN). UU tersebut sesungguhnya merupakan ”pendekatan sosialis” dalam pengelolaan sektor pembiayaan kesehatan, dengan tujuan untuk menjamin akses semua penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Namun sayang sekali sejak diundangkan pada akhir pemerintahan Megawati, sampai sekarang belum ada implementasi yang nyata (belum ada PP yang dibuat).


Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 maupun UU penggantinya yakni UU No. 32 tahun 2004, sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang diotonomikan (didesentralisasikan). Secara prinsip otonomi adalah penyerahan kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan antara sistem otonomi dan privatisasi sistem pelayanan kesehatan, namun dalam periode lima tahun terakhir ini terasa benar terjadinya pergerakan ke arah privatisasi pelayanan kesehatan.


Dengan berjalannya otonomi sejak tahun 2001, realita di lapangan mengindikasikan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita cenderung bergeser ke arah sistem pasar bebas terkendali, kalau tidak boleh dikatakan pasar bebas. Ini bisa dibuktikan dengan menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, sebut saja, klinik 24 jam, klinik spesialis, rumah sakit swasta, rumah sakit internasional, dan sebagainya. Bahkan, institusi pelayanan kesehatan pemerintah telah bergerak ke arah kutub ”privatisasi”. Ini terbukti dengan perubahan inkremental rumah sakit pemerintah dari kutub ”birokrasi” ke ”privatisasi”, dengan mengubah status rumah saki pemerintah dari model retribusi menjadi rumah sakit swadana, dan akhirnya dewasa ini menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Argumennya, dengan BLU, rumah sakit dapat berkinerja lebih baik karena dapat mengelola secara langsung pendapatan fungsionalnya untuk operasional pelayanan dan insentif karyawan. Ironisnya status BLU tetap mendapat budget pemerintah untuk belanja investasi dan gaji.


Konsekuensi ”privatisasi” institusi pelayanan kesehatan pemerintah adalah penyesuaian tarif (penyesuaian terhadap biaya riil), dengan argumentasi bahwa peningkatan tarif adalah untuk meningkatkan pendapatan fungsional guna kemandirian biaya operasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sudah pasti, dengan kebijakan penerapan BLU di rumah sakit akan menghasilkan ”trade off” kepada berbagai pihak pemangku kepentingan. Pihak manajemen dan provider akan diuntungkan dengan status BLU, namun dari segi biaya, masyarakat miskin akan dirugikan dengan naiknya tarif pelayanan. Meskipun, kerugian rakyat miskin tadi sudah ditanggulangi dengan Jamkesmas (Askeskin), sebagaimana diprogramkan pemerintah.


Puskesmas tidak kalah radikalnya dalam konteks ”privatisasi” dibandingkan dengan rumah sakit. Beberapa puskemas di DKI Jakarta dan juga provinsi lain menggarap secara bisnis pelayanan kesehatannya dengan menerapkan International Standard Organisation (ISO). Juga, secara bersamaan dengan pengakuan ISO, puskesmas dapat menggunakan pendapatan fungsionalnya untuk biaya operasional dan kesejahteraan karyawan. Pergeseran model puskesmas birokrasi (retribusi disetor penuh ke pemerintah) ke arah privatisasi ini juga membawa konsekuensi kenaikan tarif pelayanan. Lagi-lagi diklaim bahwa rakyat miskin tidak ada masalah karena sudah terlindungi dengan Jamkesmas.


Contoh-contoh kasus menjamurnya institusi pelayanan kesehatan swasta, bahkan rumah sakit kelas internasional, pergeseran rumah sakit pemerintah dan puskesmas ke arah privatisasi, hal ini semua mengindikasikan kecenderungan bahwa sistem pelayanan kesehatan kita menuju ke kutub pasar bebas (kapitalis). Atau, setidak-tidaknya pasar bebas terkontrol kalau tidak boleh disebut pasar bebas.


Masalah pilihan


Model sistem kapitalis atau sosialis dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan sesungguhnya hanyalah masalah pilihan, yang tidak bisa langsung dinilai salah atau benar. Dalam sistem pelayanan kesehatan, karena sifat kepublikannya, maka baik pilihan kapitalis maupun pilihan sosialis keduanya harus mendapatkan intervensi khusus agar dampak negatifnya dapat tertanggulangi.


Dalam masalah pelayanan barang publik, misalnya pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, imunisasi, dan sejenisnya, para ahli sepakat bahwa intervensi pelayanan ini pembiayaannya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Di Amerika Serikatpun intervensi kesehatan barang publik juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentunya pelaksananya bisa oleh institusi pemerintah atau model contracting out. Pemerintah harus membiayai jenis pelayanan ini, karena sifat kepublikan (publicness) dari jenis pelayanan kesehatan ini.

Persoalan pilihan sistem sosialis atau kapitalis sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan kesehatan perorangan. Pada sistem sosialis, secara umum pelayanan kesehatan perorangan dibiayai atau setidak-tidaknya pembiayaannya dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah. National Health System (NHS) di Inggris atau asuransi kesehatan nasional Australia, misalnya, premi jaminan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya disatukan dengan pajak (tax based health insurance). Dengan sistem seperti, maka semua warga negara mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dengan benefit package yang relatif sama (paket generik). Dari segi keadilan dalam kontribusi pembiayaan, sistem ini cukup adil karena semakin kaya seorang warga negara maka semakin tinggi kontribusinya terhadap pembiayaan kesehatan. Bahkan, untuk orang miskin bisa bebas dari kontribusi pembiayaan, karena adanya ambang batas untuk kewajiban membayar pajak (orang miskin dengan pendapatan di bawah ambang batas tidak membayar pajak).


Meskipun model ini dengan mudah mampu mengkover seluruh penduduk dalam mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, namun juga mempunyai banyak kelemahan. Pertama, karena premi jaminan kesehatan dan sosial diambilkan dari pajak maka proporsi anggaran sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial mengambil proporsi yang besar dalam belanja negara. Dan, porsi anggaran ini setiap tahunnya harus dipertarungkan dengan sektor lain pada saat penyusunan rencana anggaran pemerintah. Kedua, sistem ini tetap menyisakan persoalan bagi masyarakat kaya dan sangat kaya, karena kelompok ini biasanya menginginkan pelayanan yang lebih (paket khusus). Untuk menanggulangi ini negara biasanya tetap mengijinkan asuransi swasta untuk mengakomodasi kebutuhan segmen kelompok kaya ini.


Model sosialis lainnya adalah seperti apa yang diterapkan di Jerman. Meskipun premi jaminan kesehatan tidak disatukan dengan pajak, pemerintah Jerman menerapkan Social Health Insurance (asuransi kesehatan sosial). Secara prinsip, sistem ini mewajibkan semua warga negara mengikuti asuransi kesehatan dengan besaran premi sesuai dengan tingkat pendapatannya, kemudian paket pelayanan kesehatan yang diberikan juga relatif sama (paket generik). Identik dengan model tax based, pemerintah masih tetap menawarkan asuransi swasta bagi yang menginginkan paket khusus.


Bagaimana dengan model kapitalis? Amerika Serikat, sebagai prototipe model kapitalis, menyerahkan pasar asuransi pelayanan kesehatannya kepada pasar bebas. Dengan demikian keikutsertaan warga negara dalam asuransi kesehatan bersifat suka rela (voluntary). Jadi negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk mengikuti asuransi kesehatan. Model ini sesungguhnya identik dengan model Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang pernah dikembangkan di Indonesia sebelum muncul UU No. 40 tahun 20004 tentang SJSN. Sistem kapitalis juga tidak luput dari kelemahan.


Pertama, tingkat cakupan kepada penduduknya akan sulit mencapai universal coverage (cakupan 100%). Konon di Amerika Serikat, negara yang ekonominya sudah sangat maju, masih terdapat 30% penduduknya yang tidak terkover asuransi kesehatan. Kedua, kelompok orang sangat miskin dan miskin akan tertinggal dalam sistem, karena mereka tidak mampu membayar premi asuransi. Untuk itu, negara harus mengintervensi kelompok ini dengan membayar premi kelompok ini. Misalnya, Amerika Serikat mensubsidi orang miskin dengan program Medicaid, dan lansia dengan Medicare.


Bagaimana dengan di Indonesia? Kondisi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia saat ini tampak sangat fragmented. Data kepesertaan jaminan kesehatan di Indonesia sudah menggembirakan karena sudah mendekati angka 40%, dengan rincian sekitar 72 juta penduduk miskin terkover dengan Jamkesmas, kemudian PNS, ABRI, dan Pensiunan terkover dengan Askes, karyawan swasta terkover dengan Jamsostek, dan sejumlah orang kaya tertentu mengikuti asuransi swasta. Namun demikian kita harus sadar bahwa ”sesungguhnya kita belum menerapkan asuransi kesehatan sosial sebagaimana dicita-citakan oleh UU No. 40 tentang SJSN”.


Pertanyaannya sesungguhnya negara kita menganut sistem pelayanan kesehatan yang mana? Sosialis atau kapitalis? Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa kita mengarah kepada kapitalis. Mengapa demikian? Pertama, dari segi penyedia pelayanan kita lebih bergerak ke arah privatisasi, sebagaimana telah dijelaskan di depan. Kedua, dari segi pembiayaan, kita membiarkan kelompok kaya dan sangat kaya untuk mengikuti asuransi kesehatan sesuai sistem pasar (asuransi swasta), sementara kita mengintervensi kelompok miskin dengan Jamkesmas (Askeskin). Bukankah ini identik dengan sistem di Amerika? Yang celaka adalah kelompok menengah, kaya tidak, miskin juga tidak. Mereka menjadi kelompok terbengkelai, di satu pihak belum terkover Jamkesmas, di pihak lain tidak mampu membayar premi asuransi swasta. Mudah-mudahan para pemimpin bangsa ini ke depannya mampu menerapkan asuransi kesehatan sosial di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar