Mengawasi Produk Susu Bermelamin


by Oryz Setiawan


Setelah kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri Entero Sakazakii beberapa waktu lalu, kini beredar kabar bahwa susu berformula yang berasal dari Tiongkok ditengarai terkontaminasi melamin.

Misalnya, China Daily melansir temuan Badan Pengawas Kualitas (AQSIQ) Tiongkok. Berdasar hasil uji terhadap 1.202 sampel susu, ternyata 10 persen positif terkontaminasi melamin.

Melamin merupakan senyawa kimia yang termasuk kategori logam berat yang bila dalam konsentrasi tinggi dan terakumulasi akan sulit diekskresi oleh tubuh, terutama organ ginjal, sehingga menyebakan kerusakan ginjal, gagal ginjal kronis, dan berujung pada kematian.

Menurut hasil penelitian, kandungan melamin (miligram per kilogram produk) dalam susu setelah tercampur bahan cair dalam tubuh di atas 60 kilogram berat badan atau lebih pada orang dewasa memang masih dapat diurai. Namun, sifat dan karakteristik melamin yang dalam batas dan jangka waktu tertentu akan terakumulasi berdampak buruk bagi kesehatan. Apalagi, produk susu didominasi kalangan balita dan anak-anak yang notabene sistem kekebalan (daya imunitas) tubuhnya masih sangat rentan terhadap penyakit.

Tiongkok memang dikenal sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dengan menawarkan harga yang murah, sehingga banyak produknya yang diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.

Seiring menjamurnya industri modern, industri berskala menengah, maupun tradisional atau home industry, pengelolaan dan kontrol terhadap suatu produk menjadi tidak ketat, apalagi terkait dengan produk susu (dairy product) dalam industri susu (dairy industry). Dalam iklim globalisasi dan perdagangan bebas, produk negara-negara lain sangat mudah beredar di berbagai negara.

Karena itu, pemerintah melalui Badan POM, Departemen Perindustrian, dan Departemen Perdagangan harus ketat serta kontinu memonitor peredaran berbagai produk susu atau bahan baku susu, terutama yang berasal dari Tiongkok.

Misalnya, Badan POM selaku institusi yang berwenang untuk pemilihan bahan baku, proses pembuatan, hingga pola distribusinya. Bukan hanya produk susu formula yang beredar baik yang menyangkut pengujian mutu pangan dan kandungan gizi suatu produk untuk memperoleh izin edar di pasaran, namun juga obat-obatan serta makanan lain yang dikonsumsi masyarakat luas.

Selain itu, dilakukan pengawasan rutin dan menguji ulang setiap produk yang diduga menyalahi aturan (ambang batas yang diperkenankan) dan merugikan konsumen.


Sensitivitas Balita

Belajar dari beredarnya kasus susu formula yang diduga tercemar bakteri beberapa waktu lalu memang berimplikasi pada tingkat kepercayaan terhadap produk susu berformula, terutama bagi ibu-ibu yang memiliki balita. Kepanikan tak terhindarkan, mengingat susu formula dalam konteks kekinian (meski tak sesempurna dan seideal ASI) ternyata masih merupakan kebutuhan elementer yang tak tergantikan sekaligus menjadi makanan utama bagi balita.

Peredaran produk susu maupun makanan balita di pasaran sangat beragam, sehingga membutuhkan ketelitian, kecermatan, serta kecocokan dalam memilih produk bagi sang buah hati.

Di pihak lain, setiap bayi dan balita memiliki tingkat kerentanan maupun sensitivitas yang berbeda-beda dalam mengonsumsi susu formula, sehingga terkadang sangat memerlukan konsultasi pihak medis maupun ahli gizi.

Asumsi susu formula yang diproduksi luar negeri (susu impor) selalu lebih baik harus dikaji kembali. Sebab, pada dasarnya, di Indonesia bahan baku maupun pembuatan produk susu formula telah diuji secara ketat, sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi balita sesuai petunjuk pada kemasan.

Komposisi, izin produk, dan batasan masa edar hingga masa kedaluwarsa harus mutlak dicantumkan oleh industri susu formula. Ibu-ibu juga harus memiliki tingkat ketelitian dalam memilih produk sesuai kebutuhan balita. Seperti diketahui, susu merupakan sumber makanan lengkap bagi bayi, balita, hingga anak-anak yang mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh.

Hampir semua nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi serta balita ada pada produk susu formula. Selain sebagai sumber makanan utama, produk susu telah menjadi sumber makanan untuk pendamping ASI bagi bayi di atas 6 bulan. Penggunaan susu formula lebih ditujukan pada bayi berumur lebih dari 6 bulan.

Di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok keluarga, susu dan produk makanan bayi menjadi salah satu prioritas utama dalam menjaga agar buah hati selalu sehat, tumbuh, dan berkembang sesuai pertambahan usia serta terjaga dari setiap penyakit yang mengancam.

Kekawatiran para ibu sangat beralasan karena balita adalah kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi penyakit dan jangka panjang akan memengaruhi warna generasi bangsa kelak.


Kajian Penelitian

Upaya pengawasan produk pangan secara berkelanjutan bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penelitian seperti uji sampel acak (sampling), uji mutu produk, dan melakukan manajemen berbasis risiko demi mencegah timbulnya gangguan kesehatan atau keselamatan konsumen akibat kerusakan, terindikasi terkontaminasi sumber penyakit, dan tercemar bahan-bahan berbahaya.

Menurut sistem keamanan pangan generasi ketiga yang direkomendasikan WHO, telah diatur tentang analisis risiko pangan terdiri atas kajian risiko dan manajemen risiko. Kajian risiko pada sistem keamanan pangan berupa identifikasi bahaya, karakteristik bahaya, dan dampak yang mungkin timbul, kajian paparan, serta karakterisasi risiko.

Kajian risiko itu lebih banyak diperankan lembaga riset, perguruan tinggi, dan surveilans. Sedangkan manajemen risiko memuat berbagai tindakan untuk menentukan prioritas penanganan, mencari alternatif penanganan masalah, serta memilih opsi yang terbaik sesuai kondisi yang ada berupa penetapan standar dan regulasi.

Untuk mengantisipasi peredaran susu bermelamin di Indonesia, setidaknya menjadi ujian bagi Badan POM untuk semakin ketat menfungsikan diri sebagai institusi yang benar-benar mampu menjalankan fungsi pengawasan suatu produk pangan di tengah membanjirnya produk dalam iklim pasar bebas.

Di pihak lain, konsumen berhak mengetahui setiap informasi produk, termasuk potensi risiko yang ditimbulkan, khususnya terhadap kelompok rentan seperti bayi, balita, dan anak-anak.

Karena itu, hakikat penelitian berbasis ilmiah merupakan upaya pencerahan (enlightment) bagi perkembangan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat. Itu terutama untuk mencegah terjadinya bencana sosial dalam masyarakat kekinian, sehingga konsumen sadar terhadap hak-haknya.


Diterbitkan di Jawa Pos edisi Kamis, 25 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar