MAKNA AKREDITASI RUMAH SAKIT BAGI KEPENTINGAN PUBLIK




by Rachmad Puageno


Tak dapat dipungkiri bahwa pelayanan kesehatan (baca: Rumah Sakit ) pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama, setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut (Nurachmah, 2001). Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan.


Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya pelayanan namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen tetap diutamakan, karena indikator tersebut masih tetap menjadi tolak ukur (benchmark) utama keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan (Miloney, 2001).


Sejalan dengan adanya UU tentang Perlindungan Konsumen dan hasil amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pasal 28H ayat I, para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini mulai menyadari hak-haknya sehingga keluhan, harapan, laporan, sampai dengan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa tersebut. Munculnya berbagai Lembaga Perlindungan Konsumen merupakan indikasi kuat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan hak-haknya, meski belum semua.


Di samping itu, tak kalah pentingnya, isu AFTA 2003 dan globalisasi mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan semakin didominasi oleh perusahaan yang mampu memberikan pelayanan atau menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing tinggi dalam memanfaatkan peluang pasar, keadaan ini berlaku bagi industri perumahsakitan di Indonesia, tentu saja dalam perspektif otoda, termasuk Rumah Sakit di daerah.


Oleh karena itu industri jasa kesehatan semakin merasakan bahwa kualitas pelayanan adalah jawaban yang mutlak dalam rangka mempertahankan eksistensi mutu pelayanan dan menjawab tuntutan masyarakat terhadap mutu layanan. Selain itu upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit di daerah adalah langkah terpenting untuk meningkatkan daya saing usaha daerah di sektor kesehatan.


Dalam upaya tersebut diperlukan alat untuk mengevaluasi mutu pelayanan Rumah Sakit. Salah satu strategi penting yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan medik rumah sakit saat ini adalah melalui standarisasi (akreditasi, audit klinis, dll).


Bahasan kita kali ini, sengaja dibatasi pada aspek akreditasi RS. Hal ini lebih disebabkan pelaksanaan program akreditasi RS akhir-akhir semakin gencar dilakukan. Namun, apa itu akreditasi dan pentingnya buat publik/masyarakat, hal inilah yang nampaknya masih menjadi ‘misteri’. Akreditasi sering lebih dipahami sebagai ‘konsumsi terbatas’ para insan kesehatan, mulai dari pemerintah hingga orang-orang yang terlibat dalam jasa pelayanan kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga di RS lainnya).


Sementara masyarakat, yang notabenenya pengguna pelayanan kesehatan sering ‘ketinggalan kereta’ dalam hal ini. Dengan kata lain masyarakat lebih sebagai ‘obyek’ daripada sebagai ‘subyek’. Padahal dalam otoda, unsur masyarakat mendapat porsi yang cukup dominan.
Tulisan ini ingin mengulas informasi seputar akreditasi, harapannya agar ‘makhluk’ yang bernama Akreditasi Rumah Sakit lebih dipahami oleh publik (baca: masyarakat), alih-alih sebagai upaya pemenuhan hak publik atas informasi (the right of well information).

Seputar Akreditasi
Menurut kamus Webster, kata akreditasi adalah pertimbangan atau pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah terkemuka. Sedangkan menurut Permenkes RI No 159a/Menkes/PER/II /1998 tentang Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan bahwa Rumah Sakit memenuhi standart minimal yang ditentukan. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa akreditasi adalah pengakuan resmi dari pemerintah yang diberikan kepada Rumah Sakit yang telah memenuhi standart pelayanan.


Penilaian akreditasi Rumah Sakit, dilakukan oleh sebuah komisi independen dibawah Departemen Kesehatan RI yang berkedudukan di Jakarta, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan (KARS). Penilaiannya difokuskan pada kebutuhan dan harapan konsumen dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability) agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional. Didalamnya, terdapat ahli-ahli yang bertindak sebagai surveyor, yang direkrut dari daerah-daerah dan dipilih sesuai kualifikasi di bidangnya. Sehingga KARS inilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penilaian program akreditasi.


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit juga dilaksanakan di luar negeri. Akreditasi Rumah Sakit di luar negeri dilakukan oleh komisi yang bersifat independen, misalnya ; di Amerika Serikat dilakukan oleh JCHAO (Joint Commission on Accrediatition of Health Care), di Australia oleh ACHS (Australian of Health Care Standart Council) dan di Belanda oleh NIAZ (Nederlands Instituut Voor Accreditatle Van Zie Kenhuiden). Singkatnya, program akreditasi bersifat universal alias mendunia.


Hasil dari program akreditasi di sebuah Rumah Sakit terdapat 4 kemungkinan yang akan diperoleh, mulai dari ; Tidak diakreditasi (tidak lulus, harus mengulang), Akreditasi bersyarat (belum memenuhi syarat secara keseluruhan), Akreditasi penuh (memenuhi standart yang telah ditetapkan, yang diberikan selama 3 tahun dan Akreditasi Istimewa (bagi Rumah Sakit yang menunjukkan pemenuhan melebihi standart yang telah ditetapkan).


Pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan Rumah Sakit, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut (20 pelayanan). Untuk tingkat dasar adalah pemenuhan standart untuk 5 kegiatan pelayanan pokok, yaitu; Adminsitrasi dan Manajemen, Pelayanan medis, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Keperawatan dan Rekam Medis. Sementara untuk kegiatan tingkat lanjutnya, antara lain; Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Penanggulangan Infeksi Nosokomial, Pelayanan Kamar Operasi, Pelayanan Farmasi, Pelayanan Radiologi, Pelayanan Laboratorium, Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi. Logikanya, semakin tinggi tingkatannnya otomatis semakin bagus kualitas pelayanan sebuah Rumah Sakit.

Akreditasi bagi Publik
Makna akreditasi Rumah Sakit sering lebih diartikan sebagai kepentingan Rumah Sakit an sich, sementara maknanya bagi masyarakat justru ‘tenggelam’. Hal ini menjadi sebuah ironi apabila kita kaitkan dengan semangat Otoda, yang menuntut partisipasi aktif masyarakat. Mestinya hal ini tidak boleh terjadi lagi, masyarakat patut mengetahui pentingnya arti akreditasi bagi mereka.

Memang dalam beberapa kasus, hal ini lebih disebabkan masyarakat juga ‘tidak mau tahu’ dalam masalah ini. Tapi satu hal yang pasti, aspek publik kelihatannya belum banyak dilibatkan. Bagi mereka, yang mereka tahu adalah pelayanan di Rumah Sakit tidak mengecewakan mereka dan keluarga yang dirawat sembuh. Tentu saja, pemahaman masyarakat yang semacam itu, tidak salah. Karena sebenarnyalah, salah satu tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, salah satu aspeknya adalah kepuasan konsumen.


Namun, bila kita lihat secara lebih dalam, ternyata akreditasi mempunyai makna yang lebih luas. Bagi Rumah Sakit, program akreditasi adalah instrumen yang valid untuk mengetahui sejauh mana pelayanan di Rumah Sakit tersebut memenuhi standart yang berlaku secara nasional.
Status terakreditasi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas layanan di Rumah Sakit dan sebagai alat pencegahan terjadinya kasus malpraktek, karena dalam melaksanakan tugasnya, tenaga di Rumah Sakit telah memilki Standart Operating Procedure (SOP) yang jelas. Dengan kata lain, akreditasi bagi Rumah Sakit adalah bentuk pertanggungjawaban (accountability) dan perlindungan kepada masyarakat sebagai pengguna jasanya.


Selain makna diatas, bagi masyarakat, akreditasi dapat bermakna sebagai alat bantu yang shahih dalam menentukan pilihan tempat pelayanan kesehatan yang baik. Rumah Sakit yang telah terakreditasi tentu saja merupakan pilihan yang lebih bijaksana, karena Rumah Sakit tersebut telah memenuhi standart pelayanan yang berlaku, mulai dari tenaganya, peralatan medis, hingga fasilitas penunjang lainnya. Harapannya masyarakat lebih merasa ‘aman’ mendapat pelayanan di Rumah Sakit yang sudah terakreditasi daripada yang belum terakreditasi. Tentu saja, hal ini tetap tidak menafikkan ‘takdir’ tuhan, tapi sebagai bentuk ikhtiar, wajib dilakukan. Seperti pepatah latin yang mengatakan “ora et labora”.


Diatas itu semua, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan program akreditasi banyak diartikan sebagai ‘proyek’ untuk sebagian oknum dalam mengeruk keuntungan. Karena dalam pelaksanaannya, program ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar, sehingga dalam implementasinya muncul nuansa KKN, suap dan istilah lainnya yang pada akhirnya adalah UUD (ujung-ujungnya duit). Singkatnya, semua bisa diatur asal ada duit.


Namun, seperti kata orang bijak, “Orang yang beruntung adalah orang-orang yang dapat mengambil hikmah positif dalam suatu kegiatan atau peristiwa”. Maka marilah akreditasi RS kita maknai sebagai salah satu upaya ‘jihad’ mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dan bagi oknum yang mengeruk keuntungan lewat program akreditasi RS, cukup kita doakan agar Tuhan menyadarkan mereka. Wallahu Alam Bishshowab.

3 komentar:

  1. mas,
    bukan 20 pelayanan lagi, udh di reduksi jadi 16 pelayanan n RS hanya mau terakreditasi 5 pelayanan saja juga gpp, tp sesuai aturan main, klo RS-x kelas B, maka memang sebaiknya terakreditasi 16 pelayanan..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. yup betul, direduksi jadi 16 pelayanan..tulisan ini dibuat saat masih 20 pelayanan....(rpG)

    BalasHapus