CONSUMER GENERATED MEDIA


By Evie Sopacua

Dalam berita.liputan6.com tanggal 9 Juni 2009 dibawah judul Prita dan Kedaulatan Konsumen, Aryanto membandingkan kasus ini dengan kasus perusahaan ternama Dell. Dikisahkan ketika Jeff Jarvis penulis buku What Would Google Do? membeli laptop Dell, ternyata laptop ini bermasalah. Tapi, usai dibawa ke pihak Dell, laptop itu tak kunjung bugar. Dalam keadaan frustasi, Jarvis memuat tulisan di blognya pada Juni 2005, dengan judul "DELL SUCKS". Keluhan ini disambut meriah kalangan blogger. Ratusan komentar bermunculan. Tulisan itu juga disebarkan ke blog-blog lain. Dengan cepat reputasi Dell merosot, apalagi ketika media mainstream ikut juga memberitakan. Bahkan, nilai saham Dell di bursa ikut-ikutan anjlok. Dell tak punya pilihan. Beberapa bulan kemudian, produsen itu mulai berubah pikiran. Pada April 2006, produsen itu menurunkan staf technical support-nya untuk berkomunikasi dengan kalangan blogger. Pada Juli 2006, Dell bahkan membangun blog sendiri, ajang keluh-kesah ataupun pujian bagi produk mereka. Mereka menanggapi setiap posting atau komentar dengan pendekatan yang positif, mau mendengarkan. Dell menjadikan para pelanggan sebagai sahabat yang bisa mengkritik kapan saja. Nama baik perusahaan tersebut akhirnya pulih seperti sediakala.

Aryanto menjelaskan bahwa dunia memang sudah berubah dan dengan cara-cara baru, para konsumen menyusun posisi diri yang baru. Ini semua dipicu revolusi di bidang teknologi informasi. Kontrol informasi sudah mulai bergeser ke tangan publik secara langsung, bukan lagi di genggaman media massa konvensional. Para konsumen menyebarkan informasi melalui blog, milis, situs jejaring sosial, maupun forum di jagat maya. Dulu, konsumen harus menunggu berminggu-minggu, sebelum protesnya dimuat dirubrik surat pembaca. Kini, hanya dalam hitungan menit, protes (atau boleh jadi pujian) itu bisa menyebar tanpa batas, ke seluruh pelosok dunia. Para pakar pemasaran menamakannya consumer generated media (CGM).

Istilah CGM dicetuskan tahun 2002 oleh Pete Blackshaw (www.clickz.com , www.consumergeneratedmedia.com , http://en.wikipedia.org ) CMO dari perusahaan Nielsen untuk menggambarkan pertumbuhan ruang kreasi pelanggan di internet. Ide ini muncul berdasarkan umpan-balik pelanggan melalui surat ‘online’ dan e-mail yang memenuhi videos, gambar dan jaringan situs sosial seperti facebook dan situs berita sosial seperti Digg.

Menurut Amalia E. Maulana (http://amaliamaulana.com diposting 21 Mei 2008) CGM diciptakan sebagai tempat ekspresi pendapat dari konsumen ke konsumen melalui ‘media online’ untuk mendiskusikan pengalaman dalam berinteraksi dengan produk pada khususnya, atau masalah-masalah sosial-politik pada umumnya. Blog, milis, ‘e-forum’ dan situs kajian produk adalah beberapa contoh CGM. Dikatakan Amalia bahwa dalam CGM, semua pesan yang masuk dimuat tanpa terkecuali, dan ini yang membuatnya lebih hidup serta dinamis. Dalam blog, umumnya tanggapan pembaca langsung tayang. Milis yang bersifat umum, anggotanya cenderung diperbolehkan menuliskan komentar apa saja. Di situs kajian produk, konsumen mendeskripsikan produk dari kacamatanya sendiri tanpa campur tangan produsen.

CGM merupakan salah satu bentuk komunikasi ‘word of mouth’ (WOM). Dengan bantuan kemajuan teknologi, penyebaran berita melalui CGM lebih cepat dibandingkan dengan tipe WOM yang lain. Amalia menjelaskan bahwa kelebihan utama CGM adalah dari sisi kredibilitasnya yang tinggi di mata audiens; berbeda dari tulisan di media formal yang sering dipersepsikan berpihak pada kepentingan tertentu. Kenyataan inilah yang menjadikan CGM seolah-olah pisau bermata dua bagi perusahaan, karena media ini bisa menjadi ancaman manakala ada berita buruk tentang produk/perusahaan seperti pada kasus Dell di atas.

Seperti dalam kasus Prita, seharusnya RS Omni menyadari bahwa keluhan Prita bukan pencemaran nama baik, tetapi umpan balik dari pelayanan yang dia peroleh. Manajer humas RS seharusnya menghubungi Prita yang beropini tentang pelayanan yang dia dapatkan lewat “CGM” (emailnya di facebook) secara terpisah guna mendapatkan ‘consumer insight’ yang lebih mendalam untuk usulan perbaikan di RS. Dikatakan oleh Amalia, hasil implementasi usulan ini yang akan menjadi bahan “cerita baru” perusahaan di media CGM (facebook), sehingga jelas dirasakan para anggota CGM bahwa perusahaan memperhatikan umpan balik mereka.

Dalam http://tuhu.blogspot.com dengan judul tulisan Mimpi Buruk Pemasar Itu Bernama Consumer Generated Media (diposting 4 April 2008). Diceritakan demikian :

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah link yang sangat menghebohkan. Sebuah merek mobil ternama, yang menggunakan iklan testimonial dihujat habis oleh penulis blog itu. Karena dia dengan lantang, menuliskan secara jujur proses dibalik layar iklan testimonial tersebut. Apabila Anda sebagai pemilik brand tersebut, bukankah ini sebuah mimpi buruk? Dan tampaknya bagian marketing communication dari perusahaan ini tidak mengetahui, terbukti tidak ada satu komentar pun yang berasal dari pihak produsen. Padahal link tulisan ini sudah menyebar kemana-mana.Parahnya lagi tulisan ini ditulis tahun 2005, dan hingga saat ini pun ternyata masih heboh dibicarakan. Coba Anda bayangkan, page-rank artikel itu saja mencapai 6 (Google page-rank berskala 1-10). Sementara page-rank keseluruhan blognya cuman 3. Ini merupakan indikasi, bahwa khusus tulisan ini banyak dibaca orang, di forward dari mailing list ke mailing list, dan di link kemana-mana.Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menanganinya? Untuk pencegahan, seharusnya perusahaan ikut terlibat dalam dunia blog, mailing list dan forum lainnya dimana konsumennya biasa berkumpul. Sehingga apabila ada keluhan, mereka langsung menuju ke perusahaan dibanding bercerita kemana-mana.Tindakan lainnya, adalah melakukan monitoring tiap hari melalui google, apakah ada berita negatif tentang produk kita. Nah disini menjadi krusial, apabila ada yang berkomentar negatif, hadapilah dengan lapang dada. Anda tidak bisa marah-marah, lalu mengecam Sang Penulis. Akan lebih elegan bila Anda bersimpati, dan berusaha segera memecahkan masalah yang dihadapi.

Rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain dalam era global seperti ini merupakan industri dengan mindset ekonomi yang seharusnya tidak melupakan aspek sosial dalam mewujudkan profit. Bukan semata mengejar keuntungan atau break event point untuk modal besar yang sudah dikeluarkan untuk ijin pendirian dan penyelenggaraan RS, pembelian alat kesehatan yang mahal dan penggajian sumberdaya manusia termasuk dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain maupun tenaga non kesehatan.

Menjaga mutu merupakan hal yang sangat penting dalam suatu industri dan keluhan klien atau pelanggan bahkan dengan judul bombastis seperti yang dilakukan pada perusahaan Dell, sebaiknya tidak disikapi dengan arogansi bahwa telah terjadi pencemaran nama baik. Justeru itulah mutu sebenarnya yang dinilai pelanggan.

Brand bukan sekedar tampilan wah, tapi seharusnya menunjukkan standar profesionalitas. Terakreditasi nasional atau internasional bukan jaminan kalau tidak diikuti dengan pelayanan yang terstandar dan profesional sebagaimana yang tercantum dalam parameter-parameter penilaian akreditasi.

Pelanggan atau klien adalah subyek..bukan obyek, dia punya hak dan kewajiban seperti juga rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan lain serta semua tenaga kesehatan maupun non kesehatan yang melayani.

’Customer is the king’ bukan sekedar iklan atau slogan dan saya setuju dengan Amalia yang mengutip Pete Blackshaw : “Watch your back!” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar