Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 1)


Tulisan ini merupakan nukilan kecil bab dari buku Riset Etnografi Kesehatan yang dilakukan pada Etnik Muyu di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel. Untuk memudahkan dalam membaca, maka tulisan ini akan diunggah dalam beberapa seri.

***

 Menelisik apa yang dirasakan para pelaku tradisi, baik perempuan sebagai seorang istri yang berperan sebagai subyek utama, ataupun seorang laki-laki sebagai suami dan juga orang tua serta keluarga sebagai subyek pendukung, serta pandangan para tokoh masyarakat dan masyarakat Muyu itu sendiri, terasa sangat menarik. Apalagi bila kita menelisik lebih dalam relasi yang terjadi antar mereka, antara laki-laki dan perempuan di antara para pelaku tersebut.

Tabrakan antara nilai kekinian dan nilai tradisi yang coba dipelihara oleh orang-orang Muyu, terasa tumpah tindih melatarbelakangi setiap sikap dan perilaku yang diwujudkan dalam tindakan pada masyarakat Etnik Muyu saat mereka menjalankan tradisinya. Pergulatan batin yang timbul antara pilihan menjalankan atau tidak, tradisi yang sangat terasa dominasi superioritas dunia laki-laki Muyu. Superioritas yang tidak hanya dirasakan inferior bagi pihak perempuan Muyu, tapi juga dirasakan sangat mengekang bagi beberapa pihak laki-laki Muyu lainnya.

Tana Barambon Ambip
Menurut Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), pada saat akan bersalin seorang perempuan Muyu harus keluar dari rumah induk, harus diasingkan. Suaminya akan membuatkan sebuah pondok kecil berjarak 10-20 meter dari rumah induk bila tanah di lingkungan rumahnya tidak rata atau bahkan dekat jurang, dan jarak ini semakin jauh, bisa berjarak sampai dengan 50 meter, bila tanah lingkungannya cenderung dataran. Pondok kecil inilah yang dinamai tana barambon ambip.

Tana barambon ambip  terdiri dari tiga suku kata dalam Bahasa Muyu yang mempunyai arti; tana=anak; barambon=tempat; ambip=rumah. Secara harfiah diartikan sebagai “rumah tempat untuk melahirkan seorang anak”. Arti yang sederhana dan netral.

Tana barambon ambip ini berukuran cukup kecil, 2 meter x 2 meter, karena memang hanya disediakan untuk ibu yang hendak melahirkan dan bayinya sampai dengan tali pusarnya putus pasca persalinan (Dalam Etnik Jawa putusnya tali pusar ini biasa disebut sebagai pupak puser). Menurut Adolfia Tepu (44 tahun), pondok kecil ini dibuat secara sederhana dengan dinding dan atap dari daun rumbia. Bila di rumah induk tersedia papan, maka bisa saja dinding pondok kecil untuk bersalin ini dibuat dari papan.

Adolfia Tepu menambahkan bahwa pondok yang dibuat khusus untuk persalinan ini diisi kayu bakar dan beberapa bahan makanan untuk keperluan si ibu dan jabang bayi. Pernyataan ini dibenarkan oleh Pamijaya Wangbon (37 tahun);
“…kayu bakar biasanya disediakan untuk mencegah ibu dan bayinya biar tidak kedinginan pak. Sedangkan untuk makanannya tidak mutlak harus ada, karena ada kemungkinan tidak disediakan, tetapi dikirim dari rumah induk oleh saudara perempuan atau ibu dari perempuan yang bersalin…”.

Seringkali tana barambon ambip dibangun langsung di atas tanah, tanpa lantai. Untuk persiapan persalinan, lantai tanah pondok biasanya dilapisi dengan daun pisang, kemudian kain, dan terakhir plastik.
“Beberapa yang lain ada yang dibuatkan lubang khusus untuk bersalin pak. Maksudnya setelah persalinan kan ada banyak kotor-kotor dan darah, nah… setelah selesai lubang yang berisi darah dan kotoran itu bisa langsung ditimbun dengan tanah…”
(Adolfia Tepu, 44 tahun)

Tana barambon ambip yang digambarkan tersebut adalah yang secara umum diketahui, biasa disediakan oleh laki-laki Muyu saat istrinya akan melakukan persalinan. Tapi fakta empiris di lapangan menunjukkan banyak sekali variasi, terutama untuk bahan pembangun tana barambon ambip. Karena seringkali bergantung pada bahan-bahan yang ada, yang saat itu tersedia di sekitar rumah.         

Meski sebenarnya tana barambon ambip memiliki makna yang sederhana dan netral, tetapi dalam realitasnya merupakan sebuah rumah pengasingan bagi perempuan-perempuan Etnik Muyu. Pengasingan yang berlaku tidak hanya pada saat bersalin dan beberapa hari saat pasca persalinan saja, tetapi juga pada saat perempuan Etnik Muyu sedang mendapat tamu rutin bulanannya.

Pada saat sedang bersalin dan atau menstruasi, diyakini oleh masyarakat Etnik Muyu bahwa perempuan membawa hawa supernatural yang kurang baik, yang dalam Bahasa Muyu biasa disebut sebagai iptém. Iptém perempuan yang dipercaya sedang membawa hawa “kotor” ini diyakini bisa mengakibatkan hal-hal buruk bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi kaum laki-laki. Kesaktian laki-laki Etnik Muyu bisa luntur, waruk (mantra-mantra kesaktian) yang dimilikinya bisa melempem, tidak memiliki daya kesaktian lagi.  

Dalam catatan Schoorl (1997) bahkan menyebutkan bahwa masyarakat Etnik Muyu juga berkeyakinan bahwa ìptém perempuan yang sedang bersalin atau menstruasi bila berada di sekitar orang yang sedang berjualan, bisa membuat barang dagangan menjadi tidak laku dijual; bila perempuan itu berada di rumah seorang pemburu, maka waruk (kesaktian) berburunya melemah, dan bahkan bisa hilang; bila berada dalam rumah, bisa membuat seluruh isi rumah menjadi jatuh sakit (hosa/sesak nafas, TBC, radang sendi, batuk), dan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Dalam sebuah penelitian pada masyarakat Etnik Towe Hitam di Kecamatan Web, Kabupaten Jayapura, Djoht(2003) melaporkan bahwa “kotor”nya darah pada proses persalinan perempuan dipercaya bisa membawa sial bagi laki-laki Towe Hitam;
“Pola melahirkan seperti ini dipraktekkan oleh semua perempuan hamil yang ada di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa diijinkan memasak untuk keluarganya.” 

Aan Kurniawan, dkk. (2012), dalam sebuah riset etnografi kesehatan mencatat kepercayaan yang sama tentang “kotor"nya perempuan saat mengalami menstruasi atau sedang bersalin, yang berlaku pada masyarakat Etnik Ngalum di Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam kepercayaan orang Etnik Ngalum, seorang perempuan yang sedang dalam masa kewanitaannya dipercaya membawa suatu jenis penyakit yang berbahaya bagi anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, dalam masa-masa itu mereka harus memisahkan diri dari keluarga mereka. 

Dalam riset etnografi kesehatan yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut masyarakat Etnik Ngalum – yang berbatasan secara langsung dengan Etnik Muyu di sebelah Utara – juga dilaporkan melakukan ritual praktek yang mirip dengan masyarakat Etnik Muyu dalam hal mengasingkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi dan/atau mengalami persalinan. Tana barambon ambip versi masyarakat Etnik Ngalum tersebut diberi nama sukam
“Seorang ibu suku Ngalum yang akan melahirkan tidak diperbolehkan melahirkan anaknya di rumah sendiri. Secara adat ia harus melahirkan anaknya di dalam sebuah rumah khusus yang disebut sukam. Sukam adalah rumah khusus perempuan. Secara khusus rumah ini diperuntukkan bagi kaum perempuan ketika mereka sedang berada dalam masa kewanitaan mereka, seperti pada saat menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan... Rumah khusus ini dibangun tidak jauh dari rumah induk (abip), biasanya hanya beberapa meter jauhnya. Kaum laki-lakilah yang membangun rumah ini. Bentuk bangunannya tidak berbeda jauh dari bentuk rumah utama, hanya ukurannya lebih kecil. Biasanya sebuah sukam berukuran kurang lebih 2X2 meter. Tidak semua keluarga dalam satu rumpun iwol memiliki sukam. Biasanya sebuah sukam dibangun untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar (Kurniawan, dkk., 2012).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar