KABUPATEN NATUNA, DONGENG IRONI POJOKAN NEGERI


Ranai_Natuna, 02 November 2012


Secara umum kondisi Kabupaten Natuna tidak bisa kita dapatkan hanya bila bertandang ke ibukotanya saja. Hal yang seringkali selama ini dilakukan oleh banyak pejabat saat kunjungan ke wilayah ini.
Hahaha... mohon ma’af bila memulai tulisan dengan kalimat yang sedikit pedes, karena saya sungguh sangat berharap banyak.



Bila mendengar kata ‘Kabupaten Natuna’, maka imej yang ada di kepala adalah kabupaten kaya raya! Bagaimana tidak? Sumber daya alam tambangnya sungguh benar-benar melimpah. Belum lagi cadangan gas alam Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Kabupaten kaya? Tentu saja! Hanya mungkin perlu banyak sentuhan oleh pemimpin-pemimpin yang punya hati. Karena setidaknya sudah dua periode pemerintahan, dua mantan Bupati berhasil ‘disekolahkan’ oleh Kejaksaan. Mantan Bupati periode ketiga sepertinya juga harus deg-degan.



Pemerintahan daerah Kabupaten Natuna saat ini adalah periode ke empat pasca pemekaran Kabupaten Natuna dari Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Kabupaten Kepulauan Riau sendiri berkembang menjadi Propinsi tersendiri dari hasil pemekaran Propinsi Riau.

Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape view yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).



Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon tetap (fixed landlines), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya, sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah berharap akan ada sinyal yang sampai.

Untuk Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, secara nasional Kabupaten Natuna menempati urutan ke 306 dari 440 kabupaten/kota yang ada saat dilakukan pemeringkatan pembangunan kesehatan tersebut. Sedang secara propinsi Kabupaten Natuna menempati posisi kunci, atau urutan terakhir dari 6 kabupaten/kota yang yang ada di Propinsi Kepulauan Riau. Kondisi yang demikian menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan).


Jaminan Kesehatan Daerah

Kabupaten Natuna adalah salah satu dari sekian banyak Kabupaten/Kota yang memiliki dan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan sendiri. Secara umum jaminan semacam ini di Indonesia biasa disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna membiayai Jamkesda-nya murni dari dana APBD. Dengan paket layanan yang menyeluruh Pemerintah Daerah mencantumkan seluruh penduduk tanpa kecuali sebagai peserta Jamkesda. Penduduk hanya perlu membawa Kartu tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan tanda Kartu Peserta khusus Jamkesda.

Dalam pengakuan petugas kesehatan, pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2009 ini di lapangan cukup disiplin. Provider, dalam hal ini Puskesmas dan Rumah Sakit cukup tegas untuk menanyakan Kartu Peserta saat ada pasien yang datang. Bila pasien lupa atau tidak mempunyai Kartu Peserta, maka provider akan menarik tarif pelayanan sesuai Perda.

Meski demikian, realitas berbeda diungkap oleh tokoh masyarakat setempat. Pak Ayat, salah satu tokoh masyarakat setempat yang baru saja memanfaatkan pelayanan di Puskesmas mengaku,
“...menurut saya tidak terlalu ketat pak. Kemarin, dua hari yang lalu, saya sempat mengantar ibu saya berobat ke Puskesmas. Begitu datang langsung dilayani tanpa ditanyakan tentang Kartu Perserta Jamkesda...”
Sebuah peluang untuk kebocoran dana Jamkesda.

Beberapa keluhan sempat terlontar saat berdiskusi dengan para bidan di Puskesmas Ranai dan Puskesmas Percontohan Sedanau. Sistem klaim Jamkesda yang rumit, serta waktu pencairannya yang cukup lama, antara 3 bulan sampai dengan 1 tahun. Belum lagi masalah berkas yang hilang.


Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak;Jamkesda versus Jampersal

Pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Natuna dalam pandangan saya seperti sebuah judul parodi, ‘Maju Kena, Mundur Kena’, semuanya serba setengah-setengah. Magak.

Keberanian Kabupaten Natuna untuk tidak ikut mengambil sumber pembiayaan kesehatan ibu dan anak yang di-launching Pemerintah Pusat, dalam benak saya sebelumnya lebih dikarenakan alasan Pemerintah Daerah (Pemda) sudah merasa cukup mampu dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang cukup besar, sekitar satu setengah trilyun rupiah, sehingga Pemda Kabupaten Natuna sudah bisa mandiri dalam semua pembiayaan daerahnya.

Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan beserta Kasie Kesehatan Keluarga, didapatkan beberapa alasan yang menjadi ke’tidakmampu’an Kabupaten Natuna mengadopsi Jampersal.
“Pada saat Jampersal di-launching oleh Kementerian Kesehatan sekitar bulan April 2011, di Kabupaten Natuna telah ada Perda Nomor 2 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketentuan tarif pelayanan kesehatan. Perbedaan tarif pelayanan antara yang ditanggung oleh Jampersal dengan Jamkesda seperti diatur dalam Perda tersebut menurut Dinas Kesehatan tidak bisa diadaptasi oleh Perda. Hal ini dikarenakan penulisan (wording) Perda yang tidak ada celah untuk kompromi tarif. Sedang untuk merubah Perda dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga akhirnya diputuskan untuk tetap membiayai pelayanan persalinan melalui Jamkesda.”
Pernyataan ini setidaknya telah dibenarkan oleh Kasie Jaminan Kesehatan serta verivikator Jamkesda.

Tarif pelayanan sesuai ketentuan Jampersal, untuk persalinan normal pada tahun 2011 sebesar Rp. 350.000,-, dan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi Rp. 500.000,-. Besaran tarif pelayanan persalinan normal ini saja sudah membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna berpikir ulang untuk bersegera mengadaptasi Jampersal.

Sebagai perbandingan, tabel berikut memaparkan tarif pelayanan tindakan kebidanan yang ditanggung oleh Jamkesda sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2009;



Dengan tingginya kesenjangan tarif layanan yang ditanggung ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan bidan. Ketidakpuasan ini terlontar saat diskusi dengan para bidan, setidaknya bidan di wilayah Puskesmas Ranai dan Puskesmas Sedanao. Hal ini juga setidaknya di’amin’i oleh Ketua IBI setempat.

Di wilayah Puskesmas Sedanao sendiri, tidak ada satupun persalinan dilakukan di dalam Puskesmas, meski Puskesmas Percontohan Sedanao adalah Puskesmas rawat inap yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan lebih baik dibanding Puskesmas lainnya. Bidan lebih senang menolong di rumah penduduk, karena Jamkesda tidak mengcover persalinan yang tidak dilakukan fasilitas pelayanan kesehatan. Jadi bidan bisa menarik biaya persalinan yang berkisar Rp. 500.000,-. Meski menurut pengelola Jamkesda di Puskesmas Sedanao, klaim Jamkesda tetap juga dilakukan oleh Bidan. Dobel klaim yang pada akhirnya diakui lirih oleh pengelola Jamkesda Puskesmas.

Ke depan, pada tahun 2013, dalam rencana akan diambil langkah strategis untuk merubah Perda yang mengatur tentang tarif tersebut. Sehingga diharapkan nantinya Pemda Kabupaten Natuna nantinya bisa mengadopsi Jampersal sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatannya.


Ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan          
                                            
Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja, kecuali di ibu kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat kabupaten. Gambaran utuh kombinasi antara RSUD sebagai satu-satunya pelayanan kesehatan lanjutan serta ketersediaan sarana transportasinya, bisa didapatkan setelah pembaca membaca topik ‘Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan’.

Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini. Dengan jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70an bidan menumpuk di Ranai.

Gambaran sisi lain pelayanan kesehatan bisa didapatkan saat saya berkunjung ke Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTD-RS), satu-satunya UTD yang ada di Kabupaten tersebut. Saat itu tanggal 1 November 2012, stok darah untuk golongan darah A tinggal satu kantong, golongan darah B satu kantong, golongan darah AB tujuh kantong, dan golongan darah O juga tersisa satu kantong.

Saya pun tergerak ingin ikut merasakan pelayanan UTD-RS ini. Saya mendaftar untuk ikut mendonorkan darah. Pelayanan dilakukan tanpa pemeriksaan awal yang berbelit, seperti layaknya sebuah UTD yang saya biasa lalui di UTD PMI Surabaya. Hanya dilakukan pengukuran tekanan darah, tanpa pemeriksaan golongan darah, tanpa pemeriksaan kadar HB, tanpa pengukuran berat badan/tinggi badan, tanpa ditanyai sedang sehat atau sakit, juga tanpa inform consent. Saya berpikiran positif saja, mungkin darah akan diperiksa pasca layanan penyadapan darah.

Tak terlalu lama, kantong darah berisi 250 cc telah terisi penuh! Saatnya pulang, saatnya berpamitan. Dan saya pulang dengan dibekali empat kaleng susu kental manis dan satu papan telur ayam mentah, yang berisi sekitar 30 butir telur. Kompensasi untuk pendonor darah yang sangat ‘mewah’ dibanding dengan daerah lain.
Siapa biang Natuna tidak kaya???


Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan

Berbicara tentang sarana transportasi di Natuna, rasanya kita perlu sering berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas dengan sangat dalam.
Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai, dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan kesabaran untuk mencapainya.

Paparan berikut saya harap mampu memberi sedikit gambaran tentang beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya, berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna;
  1. Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga bergantung dengan tingkat keamanannya.
  2. Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi sekitar 15 hari sekali.
  3. Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya, cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.
Dalam benak saya, bagaimana sistem rujukan bisa berjalan dengan ketersediaan sarana transportasi yang sedemikian? Buat apa ada jaminan kesehatan daerah yang mengcover semua jenis pelayanan bila aksesnya tidak cukup tersedia? Bagaimana bila ada ibu hamil yang butuh rujukan dengan segera? Harus menunggu satu minggu lagi? Dua minggu lagi? Ahh...

Dalam kesempatan wawancara dengan Kabid Yankes ini juga sempat terlontar adanya janji dari Kementerian Kesehatan (sie DTPK) yang menjanjikan speedboad untuk daerah perbatasan lau, khususnya Pulau Laut, yang sampai dengan saat ini belum ada realisasinya. Padahal menurut pengakuan Kabid Yankes tersebut, telah sempat untuk disuruh mengajukan spesifikasi kapal yang sesuai dengan kondisi setempat.


Local Wisdom

Dalam sebuah diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, kepada desa/lurah, serta dukun bayi, terungkap budaya masyarakat Natuna yang selalu harus didampingi bidan kampung (dukun bayi) pada saat melahirkan. Ke’harus’an ini juga tetap berlaku meski pertolongan persalinannya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan).

Bidan kampung memang memiliki posisi strategis dan cukup berpengaruh bagi masyarakat Suku Melayu yang mendominasi penduduk Natuna (sekitar 87%). Dalam satu kali persalinan masyarakat mau merogoh kocek sampai dengan Rp. 500.000,- untuk jasa bidan kampung ini. Halifah, salah satu bidan kampung yang biasa dipanggil ‘Mak Pah’ ini telah berpraktek sebagai bidan kampung selama 35 tahun di wilayah Bunguran Timur. Bidan kampung yang sudah nenek-nenek tapi masih kenes ini mengaku dalam sepanjang karirnya belum pernah ada satu pun ibu atau bayi yang meninggal dalam ampuannya.

Kondisi lain yang cukup menarik di Kabupaten Natuna adalah komposisi penduduknya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah 17.961 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 69.319 jiwa. Hal ini berarti bahwa banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga secara rata-rata sebanyak 3,86 orang, atau dengan kata lain dalam satu rumah tangga, dengan dua orang tua, hanya ada satu atau dua anak dalam rumah tangga tersebut.



Rata-rata anggota rumah tangga ini di setiap kecamatan cukup bervariasi, berkisar antara 3,55 orang sampai dengan 4,22 orang. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga terendah adalah di kecamatan Midai yakni 3,55 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni 4,22 orang.

Sudah hampir waktu subuh, kita cukupkan dulu tulisan ini. semoga kearifan lokal ini bisa menjadi modal untuk memulai sebuah perubahan. Semoga.

-ADL-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar