Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 2)

Studi Kasus “Petronela Apai”



Studi kasus pengasingan perempuan Etnik Muyu yang pertama, dilakukan pada proses persalinan yang dialami oleh Petronela Apai. Penulisan secara naratif dimulai dengan perasaan Petronela pada saat menerima berita kehamilan, persalinan, dan sampai dengan tiga hari masa nifas.


Berita Kehamilan; Perasaan Seorang Istri


Di saat mendapati dirinya sering merasa mual-mual dan pusing, Petronela mulai berhitung. Petronela menelisik lebih jauh, kapan dia mendapat menstruasi terakhirnya? Berapa lama dia tidak mendapatkan hal “kotor” itu? “Ahh… apakah aku beruntung bisa mendapatkan anak ketiga?” pikirnya.

Kepastian bisa didapatkannya setelah menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas Mindiptana. Bidan Natalia Tuwok dan Suster Rosa Mianip yang memeriksanya membuat senyum simpulnya terkembang seharian itu. Petronela dinyatakan tengah mengandung, menginjak usia kehamilan bulan ke-tiga. Sungguh keberkahan yang sangat disyukurinya. Anak ke-tiga ini akan melengkapi hidupnya setelah Samorika Yukamoh (9 tahun) dan Engelbertus Yohanes (2 tahun 7 bulan) hadir terlebih dahulu dari rahimnya.



“Tapi…,“ Petronela menghela nafas panjang mengingat hal itu, tradisi pengasingan itu, yang harus dijalaninya. Sungguh sesak dadanya membayangkannya. Kelanjutan kehamilannya enam bulan ke depan, yang harus diakhirinya di pengucilan. Bayangan tana barambon ambip yang sempit dan dingin sungguh membuat kebahagiaan dengan berita kehamilan yang baru diterimanya sekejap hilang. “Haruskah…?” keluhnya.

Sebagai seorang perempuan yang terlahir di tengah Etnik Muyu, Petronela merasa tidak bisa menghindar untuk menjalani persalinan di tana barambon ambip, yang oleh masyarakat di sekitarnya biasa disebut sebagai bévak. Mau tidak mau dia terjebak di dalam adat tradisi yang harus dijalaninya. Tidak ada tawar menawar untuk hal ini.



Petronela merasa lebih nyaman bila dia bisa melahirkan di rumah dibandingkan di bévak, dan bahkan bila dibanding melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit sekalipun. Bayangannya pada kesendirian di pondok pengasingan sungguh membuat Petronela merasa tak nyaman, membuatnya merasa disingkirkan. “ahh... seandainya bisa memilih... alangkah nyamannya bisa melahirkan di rumah saja...,” bisik batin Petronela.

Tetapi rumah yang ditinggali Petronela saat ini bukanlah rumahnya. Ini rumah orang tuanya, dimana Petronela dan saudara-saudara dan ipar-iparnya yang lain tinggal bersama-sama. Dia tak punya kuasa apapun atas rumah ini…




Laki-laki Muyu; Sikap Seorang Suami


Eduardus Kimbum (35 tahun), adalah seorang suami yang sangat membanggakan bagi Petronela. Suami yang dirasakan sangat mencintainya dengan sangat. Suami yang mendukungnya dengan penuh, yang telah memberikan dua anak yang sangat manis.


Eduardus yang menikahinya pada tanggal 15 Juli 2013 secara Katolik, meski sudah menikah secara adat sebelumnya, sangat menginginkan agar Petronela dapat melahirkan di rumah saja, tidak perlu harus mengasingkan diri ke bévak. Eduardus sangat ingin bisa menemani istri yang sangat disayanginya pada saat-saat penting itu.

Sebagai suami-istri, dan juga sebagai sebuah keluarga, Eduardus dan Petronela sudah sangat jarang merengkuh kebersamaan. Kalau tidak karena kewajiban untuk segera dapat melunasi hutang tukòn (Tukòn adalah mahar untuk “membeli” perempuan pada Etnik Muyu) yang diminta kakak laki-laki Petronela, Eduardus ingin bisa terus bersama-sama dengan keluarga kecilnya.



Harga sensor (gergaji mesin) yang lima belas juta rupiah sebagai tukòn saat Eduardus mempersunting gadis pujaannya, Petronela Apai, sungguh berat bagi Eduardus Kimbum yang hanya bekerja sebagai buruh tambang pasir di Kali Wet-Tanah Merah, yang membuatnya harus hidup terpisah dengan keluarganya, harus menetap di Tanah Merah. Kalau seandainya kakak iparnya tidak mengancam akan membongkar rumah bantuan pemerintah yang hendak diterimanya, mungkin Eduardus akan mengulur waktu melunasi hutang tukòn tersebut, semata agar bisa lebih sering menemani istrinya, agar bisa lebih lama menikmati kebersamaan, bersama istri dan juga buah hatinya.



Sungguh, bagi Eduardus Kimbun dan Petronela Apai sangat mahal arti sebuah kebersamaan. Kewajibannya sebagai orang Muyu untuk menjalani tradisi, yang mengharuskan Petronela dikucilkan di bévak, membuat dada Eduardus sesak. Lelaki Muyu itu menyadari bahwa dia harus mengikuti tradisi yang sudah digariskan para leluhurnya, tapi sungguh Eduardus merasa kebersamaan bersama istrinya juga sangat penting bagi mereka.

“Tidakkah mereka mengerti kondisi ini?” keluhnya. Tapi tradisi yang hendak dilawannya terlalu kuat. Masyarakat yang mengelilinginya tidak memberinya sedikitpun kelonggaran. Keluarga yang diharapkan bisa mengerti dengan kondisinya pun bersikap setali tiga uang, sama saja, bersikukuh bahwa Petronela Apai harus dikucilkan di bévak.





Keluarga Muyu; Keteguhan pada Tradisi


Sikap yang ditunjukkan ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di rumah panggung turut membuat perasaan Petronela dan Eduardus Kimbum, suaminya, tak menentu. Sebagian besar dari mereka terus mendesak agar Petronela melahirkan di bévak. Keluarga besar Petronela tidak mau menanggung iptém persalinan yang mereka yakini akan memberi dampak buruk pada kesehatannya.

Petronela dapat merasakan rasa sayang dan dukungan adik lelaki satu-satunya, Agustinus Apai (22 tahun), yang sama sekali tidak mau berkomentar soal keharusan pengucilannya saat bersalin nanti ke bévak. Tapi apalah daya, satu suara sama sekali tidak berpengaruh banyak dibanding seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah panggung kayu, tempat dia dan suaminya menumpang. Victor Tenjab (52 tahun; ayah Petronela) dan Poli Apai (36 tahun; kakak laki-laki) sama sekali tidak bergeming. Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke bévak saat bersalin nanti.

Sementara Yosefita Apai (29 tahun), adik perempuan satu-satunya, yang diharapkan dapat mendukungnya sebagai sesama perempuan Muyu, untuk sebuah kelonggaran terhadap tradisi yang sudah turun temurun itu, ternyata tak juga bisa membesarkan harapannya. Yosefita seakan sama sekali tidak peduli hal itu. Dia turut bersuara keras agar bévak segera dibangun, agar tidak terlambat didahului sebuah kelahiran, seperti dahulu, saat Petronela melahirkan yang anak yang pertama, Samorika Yukamoh, yang keduluan lahir sebelum bévak sempat didirikan. Theresia Kiripan (26 tahun), perempuan Muyu lainnya yang tinggal di rumah kayu panggung pun bersikap sama saja dengan Yosefita Apai. Kakak ipar Petronela itu turut mendukung suaminya, Poli Apai, untuk mengasingkan Petronela di bévak.

Mau tidak mau pengucilan harus dijalani Petronela. Meski jauh di lubuk hatinya Petronela enggan, sangat enggan! Tradisi harus dijunjung tinggi bila tidak mau dijauhi, adat harus dipegang kuat bila tak ingin dilaknat, dan bahkan bila Petronela terpaksa harus sekarat.


Sebuah ketakutan besar yang memenuhi kepala Petronela bila tradisi pengasingan turun-temurun itu dilanggar, bila Petronela benar-benar harus dihukum, dijauhi keluarganya. Dijauhi masyarakat Petronela masih merasa bisa bertahan. Tapi dijauhi keluarga? Sungguh Petronela tak kuasa membayangkan hal itu. Bagaimana bila dia diusir dari rumah panggung itu? Bagaimana bila dia harus putus hubungan dengan keluarganya? Bagaimana dia harus menjelaskan pada anak-anaknya bila bertanya tentang kakeknya?





Membangun Bévak; Rumah Pengasingan


Saat itu, baru minggu ke-dua memasuki bulan April 2014, usia kehamilan Petronela telah mencapai umur sembilan bulan, sebentar lagi saat-saat menegangkan itu akan segera tiba. Suami Petronela didesak keluarganya untuk segera mempersiapkan diri membuat bévak, gubuk kecil sederhana yang akan menjadi ‘rumah tinggal’nya nanti selama beberapa hari ke depan bersama anak yang akan dilahirkannya.

Petronela pun juga berharap, bévak yang akan segera dibangun suaminya dapat segera selesai. Segera berdiri, sebelum keburu jabang bayi yang dikandungnya lahir ke dunia. Tidak ada alasan apapun bagi Petronela untuk mengharapkan segera terselesaikannya bévak itu, kecuali ketakutan yang sangat besar akan konsekwensi bila Petronela tidak ikut menjalankan tradisi ratusan tahun yang telah mendarah daging di masyarakat Etnik Muyu tersebut.

Eduardus pun bersegera membuat persiapan sederhana. Mengumpulkan daun-daun sagu untuk dikeringkan, mengukur dan memotong sisa papan yang disimpannya di bawah rumah panggung, dan mencari beberapa batang kayu berukuran sedang dan kecil untuk tiang dan kerangka panggung dan atap bévak yang akan dibangunnya nanti. Tak lupa beberapa ruas rotan yang disiapkan untuk tali pengikat daun-daun sagunya nanti.

Eduardus, dengan dibantu Poli Apai, kakak laki-laki Petronela, menjalin satu persatu daun-daun sagu yang telah dikeringkan, yang dipergunakan sebagai dinding, dan juga atap pelindung bévak. Sementara sisa papan yang telah dipotong rapi dipergunakan sebagai dasar lantai panggung bévak. Entah, apakah dinding dan atap dari jalinan daun-daun sagu itu bisa menahan hawa dingin hembusan angin wilayah Pegunungan Tengah?

Pada akhirnya berdirilah bévak itu! Rumah pengasingan yang sangat sederhana. Berukuran tak lebih besar dari 1,5 meter x 1,5 meter. Tidak tersedia fasilitas apapun di dalam bévak. Tidak tempat tidur, tidak meja, ataupun kursi. Bagaimana pula meubelair sederhana seperti itu bisa masuk dalam gubuk se”megah” bévak?


Bévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petronela
di Kampung WanggatkibiBévak Sangat Sederhana untuk Pengasingan Petronela di Kampung Wanggatkibi

Sebenarnya bévak sederhana itu dibangun berjarak tak lebih dari 15 meter dari rumah kayu utama tempat Petronela dan saudara-saudaranya tinggal. Tetapi kondisi jalan tanahnya yang sangat licin, dan langsung berupa turunan, serta dibangun di tengah tegalan yang sepertinya tidak terurus, sungguh memerlukan perjuangan untuk mencapainya. Apalagi bagi Petronela, perempuan Muyu yang tengah mengandung sembilan bulan. Sembilan bulan!


Posisi Bévak dari Rumah Panggung Utama, berjarak 15 meter,
di Kampung WanggatkibiPosisi Bévak dari Rumah Panggung Utama, berjarak 15 meter, di Kampung Wanggatkibi


Saat Persalinan

Siang itu, Kamis, 24 April 2014, Petronela memakan dengan lahab papéda buatan suaminya. Dengan kuah ikan kesukaannya, bubur sagu itu terasa nikmat sekali siang itu. Dengan ditemani Eduardus suaminya, makan siang hari ini terasa sangat sempurna. Tiba-tiba saja Petronela merasakan sakit pada perutnya. Pengalaman Petronela sebagai seorang ibu dengan dua kelahiran sebelumnya membuatnya merasa yakin, bahwa sebentar lagi waktunya akan tiba. Dia harus bergegas!

Menurut perhitungan Bidan Natalia Tuwok dari Puskesmas Mindiptana saat datang memeriksa pagi tadi, seharusnya Petronela baru akan melahirkan sekitar jam dua siang. Sekarang masih kurang satu setengah jam lagi dari perhitungan, tapi rasa-rasanya waktunya sudah dekat.

Dengan memasang tanda salib di tubuhnya, Petronela dilepas suaminya dengan pandangan yang lekat menatap tak berkedip, Petronela berjalan seorang diri, menuruni jalan setapak tanah yang terjal itu, menuju rumah pengasingannya, bévak. Tak lagi sempat memikirkan kesendirian yang hendak dijalaninya, yang ada hanya keinginan untuk segera sampai di bévak. Rasa di perutnya sudah tak tertahankan lagi. Rasanya ingin segera sampai!

Sebentar terpeleset, sebentar berdiri tegak, dan sebentar kemudian tertatih maju, selangkah demi selangkah. Petronela harus menguatkan tekad. Dia harus segera sampai di bévak itu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya naik ke panggung bévak, Petronela merasakan anaknya akan segera keluar. Rasanya sudah di ujung. Kepala bayinya telah menyeruak keluar. Tak lagi sempat berbaring, dalam posisi berdiri Petronela memegang kepala bayinya yang menyembul di jalan lahir. Rasanya susah sekali memegang kepala bayinya dengan tangan melewati belakang pahanya. Rasa sakit tak tertahankan tak lagi dihiraukannya, ”Anakku harus terlahir selamat!”

Demi melihat Petronela yang berjuang sendirian, Eduardus berlari, secepat kilat bergegas menghampiri Petronela. Persetan dengan tradisi! Persetan dengan amòp (pamali atau pantangan) yang dalam keyakinan Muyu bisa membuatnya sakit, yang Eduardus tahu istrinya sedang membutuhkannya, istrinya sedang meregang nyawa melahirkan anaknya, darah dagingnya!

Tak membutuhkan waktu lama, jabang bayi merah salah satu penerus generasi Muyu terlahir dengan selamat. Petronela berbaring dengan nafas yang masih terengah. Eduardus mengambil alih bayi merah yang baru saja keluar dari rahim Petronela. Nafas lega mengiringi keduanya, saat-saat genting telah lewat. Jabang bayi yang masih merah itu diletakkan di lantai papan dengan dialasi kain.

Tali pusat telah dipotong Eduardus dengan gunting yang ditemukannya tergeletak begitu saja di rumah, dan lalu mereka terdiam. Saling menatap dalam sepi. Mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan.

Untung saja Bidan Natalia Tuwok segera datang. Rupanya ada yang memberitahu Bidan Natalia bahwa bayi Petronela telah lahir. Meski terlambat, Eduardus dan Petronela tetap saja senang dan bersyukur dengan kehadiran bidan asli Muyu itu. Setidaknya Bidan Natalia Tuwok tahu apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan.

Natalia Tuwok, bidan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Mindiptana bergegas datang. Tak lebih dari setengah jam, jarak kurang lebih 15 kilometer dilahapnya dengan motor Honda Win ber-plat merah miliknya. Seandainya saja jalanan sepanjang itu masih banyak lubang menganga yang dipenuhi lumpur seperti tahun lalu, tentu saja Bidan Natalia Tuwok perlu waktu lebih lama untuk mencapai rumah Petronela di Wanggatkibi. Bidan putri mantan Camat Woropko ini tinggal di Kampung Mindiptana, di rumah dinas yang bersebelahan dengan Puskesmas Mindiptana.

Tugas selanjutnya untuk bersih-bersih, perawatan bayi serta ibunya, diambil alih oleh Natalia Tuwok. Bidan yang masih saja betah membujang ini merawat bayi Petronela dengan cekatan. Tali pusat yang dipotong Eduardus dipotong kembali dengan rapi. Eduardus hanya membantu menyiapkan air panas saja. Usapan lembut kain yang dicelup dengan air hangat untuk membersihkan bayi Petronela seakan memancarkan kasih sayang dari hati Bidan Natalia Tuwok yang tulus. Petronela merasakan ketulusan itu, mereka terlibat obrolan hangat berjam-jam setelahnya.

Hari itu berhasil dilalui dengan kelegaan. Bayi dan ibunya akhirnya selamat. Kebahagiaan yang dirasakan Petronela seakan menghapus sementara kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya. Yaa… hanya sementara.





Menjalani Pengasingan


Kelegaan akan kelahiran bayi dan ibunya dengan selamat masih harus ditahan sebagai sebuah kebahagiaan yang penuh dan sempurna. Beberapa hari ke depan Petronela beserta bayinya harus tetap tinggal di pengasingan.

Malam pertama Petronela tinggal di bévak terasa sangat asing. Ruangannya terasa sempit, bahkan kakinya harus sedikit ditekuk saat berbaring, atau menjulur keluar ke arah pintu bila ingin diluruskan. Petronela merasa dingin sekali malam itu. Anyaman daun pohon sagu yang dibuat suaminya tak sanggup menahan hawa dingin yang menyergap saat malam mulai turun, apalagi pintu bévak terbuka begitu saja tanpa penutup. Yang diingat Petronela hanya bayinya saja. Dia tidak boleh kedinginan. Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya. Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.

Malam ini terasa sangat gelap, halimun tipis mulai turun memenuhi tegalan belakang yang lebih mirip hutan. Lentera yang dipasang suaminya sinarnya tak mampu menembus kegelapan malam. Mendung bergayut menutupi pantulan sinar rembulan. “Semoga malam ini tidak turun hujan…,” bisik Petronela dalam harap, sambil merapatkan selimut anaknya. Kekhawatiran Petronela bukannya tanpa alasan. Wilayah Pegunungan Tengah ini adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di Propinsi Papua. Hampir tiada hari yang terlewatkan tanpa turun buliran air dari langit.

Lamunan Petronela Apai terhenti, saat dengkur halusnya mulai terdengar pelan dan teratur. Perjuangannya menyabung nyawa saat siang tadi cukup membuat tubuh kecilnya kelelahan. Untung saja perempuan Muyu itu kuat. Petronela tidak mau dikalahkan.

Pagi itu Petronela terbangun dengan suara anak gadisnya, Samorika Yukamoh yang datang menyusul ke bévak. “Ahh… kunjungan pagi yang menyenangkan…,” desis Petronela lirih. Bibirnya meengkung, senyumnya mengembang, gadis kecil itu mulai beranjak besar rupanya. Cerewetnya sungguh minta ampun. Tapi kehadirannya sungguh membuat hati Petronela bersinar. Sesekali tertawa tergelak dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu.

Pagi itu di bibir Petronela tersungging senyum yang manis sekali saat suaminya datang membawakan panci berisi air panas. Ritual pagi untuk memandikan bayinya terasa sangat menyenangkan bagi Petronela. Apalagi dua buah hatinya, Samorika Yukamoh dan Engelbertus Yohanes, turut bercengkerama, ikutan nimbrung di bévak. Mereka ikut-ikutan repot, atau malah merepotkan? Entahlah... meski bévak yang sempit makin terasa sempit, tapi tak sanggup mengurangi kegembiraan yang dirasakan Petronela saat ini.

Pagi ini suaminya membakar sagu kering untuk akét (semacam kue sagu kering) dan menjerang air untuk segelas teh manis. Suguhan sarapan pagi sederhana khas masyarakat Etnik Muyu. Rasanya nikmat sekali dirasakan oleh Petronela. Kebersamaanlah yang menjadi resep utama kelezatan olahan masakan suaminya. Apalagi tak berhenti sampai di situ saja, siangnya tangan terampil Eduardus memasakkan Petronela menu khusus untuk ibu-ibu menyusui, sayur katuk. Meski hanya dimakan bersama sepiring besar nasi putih tanpa lauk, tetap saja terasa sangat nikmat di lidah Petronela.

Petronela sungguh bersyukur hari ini, tidak ada alasan apapun untuk tidak selalu mengucap rasa syukur pada Sang Penciptanya. Tuhan sungguh sangat baik padanya. Di saat Petronela harus menjalani pengasingan seperti ini, diberiNya seorang suami yang sangat pengertian. Alam pun seakan turut mendukungnya, hujan yang diturunkan pun hanya berupa gerimis kecil saja, itupun hanya pada siang hari. Seandainya buliran-buliran air itu diturunkan pada malam hari, tak terbayangkan di benak Petronela siksaan dingin yang harus dihadapinya bersama Herman Kewok, demikian bayi mungilnya itu diberi nama oleh suaminya.

Hari menjelang sore, Somarika Yukamoh tetap bertahan di bévak. Dia memaksa ingin menemani mamanya malam ini. Petronela sungguh merasa tak tega, tapi sekaligus juga merasa bahagia... sangat bahagia! Anak gadisnya sungguh-sungguh dirasakan sangat menyayanginya.

Hari ini, malam ke-dua Petronela tinggal di bévak. Kegaduhan hari kemarin sudah mulai terredam. Ketenangan dan sepi mencekam yang ditunjukkan malam, membuatnya punya banyak waktu untuk berpikir dan merenung. Dalam kesepiannya di bévak, Petronela terbenam dalam lamunan panjang, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ”Dimanakah saudara-saudaraku? Kemanakah gerangan adik perempuanku? Kenapa mereka enggan menjengukku? Tidakkah mereka merasa perlu melihatku di pengasingan ini…?”

Petronela heran, Yosefita, adik kandung perempuannya tidak juga datang menjenguknya, juga Theresia Kiripan, kakak ipar perempuannya, tak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Kalau saudara laki-laki dan ayahnya yang tidak datang menjenguk, Petronela memaklumi, sangat memaklumi. Adat masyarakat Muyu yang menggariskan amòp (pamali) bagi laki-laki mendekati perempuan yang sedang bersalin. Tapi Yosefita? Kak Theresia? Bukannya mereka perempuan? Pertanyaan itu seperti berdengung mengisi kepalanya, menggantung tanpa jawaban...

Dielusnya rambut anak sulung yang setia menemaninya malam ini. Rambut ikal gadis kecil yang belum genab berusia sembilan tahun itu dimain-mainkannya. “Semoga engkau juga kuat menjalani tradisi ini nak…,” bisiknya. Lidahnya terasa kelu membayangkan pada saatnya nanti, Samorika Yukamoh, anak perempuan satu-satunya itu, juga harus menanggung beban berat pengucilan seperti yang dijalaninya saat ini.

Di antara lamunan kesedihan karena kesendirian, Petronela masih sempat menyungging senyum. Dia trenyuh dengan kesungguhan kasih sayang yang ditunjukkan Eduardus Kimbun, suaminya. Lelaki Muyu kecintaannya itu dengan setia memasakkannya setiap hari. Meski dengan menu-menu sederhana macam akét dan segelas teh panas untuk sarapan pagi tadi. Tetapi ketelatenan Eduardus itu semakin saja membuatnya merasa beruntung dipersunting lelaki Muyu pujaannya itu. Terkadang makanan itu dibawakan anak gadisnya, Somarika Yukamoh, dari rumah, tak jarang juga diantar sendiri oleh suaminya.

Pagi itu hari ke-tiga sejak Herman Kewok lahir ke dunia. Di saat Petronela asik bercengkerama dengan anak-anaknya, Eduardus datang sambil membawakan kembali akét dan segelas teh manis. Eduardus datang dengan senyum lebar membawa kabar yang cukup menyenangkan. Viktor Tenjab, ayah Petronela, meminta agar Petronela kembali ke rumah panggung hari ini, kembali berkumpul bersama keluarga besarnya.

Biasanya, perempuan Muyu yang sedang mengungsi si bévak, diperbolehkan kembali ke rumah induk setelah tali pusat bayinya lepas. Tapi hal ini belum terjadi pada Herman Kewok, bayi Petronela. Hanya saja Viktor Tenjab merasa kasihan. Kakek dari bayinya ini tidak tega membiarkan anak beserta cucunya tinggal lebih lama lagi di bévak yang gelap dan dingin. “Saya tak tahan lagi... kasihan mereka, sudah dua hari mereka tinggal di sana...,” bisiknya lirih dengan mata menerawang jauh. Bagaimanapun Petronela Apai dan Herman Kewok adalah anak dan cucunya, darah dagingnya.

Perempuan Muyu dalam Pengasingan (Bagian 1)


Tulisan ini merupakan nukilan kecil bab dari buku Riset Etnografi Kesehatan yang dilakukan pada Etnik Muyu di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel. Untuk memudahkan dalam membaca, maka tulisan ini akan diunggah dalam beberapa seri.

***

 Menelisik apa yang dirasakan para pelaku tradisi, baik perempuan sebagai seorang istri yang berperan sebagai subyek utama, ataupun seorang laki-laki sebagai suami dan juga orang tua serta keluarga sebagai subyek pendukung, serta pandangan para tokoh masyarakat dan masyarakat Muyu itu sendiri, terasa sangat menarik. Apalagi bila kita menelisik lebih dalam relasi yang terjadi antar mereka, antara laki-laki dan perempuan di antara para pelaku tersebut.

Tabrakan antara nilai kekinian dan nilai tradisi yang coba dipelihara oleh orang-orang Muyu, terasa tumpah tindih melatarbelakangi setiap sikap dan perilaku yang diwujudkan dalam tindakan pada masyarakat Etnik Muyu saat mereka menjalankan tradisinya. Pergulatan batin yang timbul antara pilihan menjalankan atau tidak, tradisi yang sangat terasa dominasi superioritas dunia laki-laki Muyu. Superioritas yang tidak hanya dirasakan inferior bagi pihak perempuan Muyu, tapi juga dirasakan sangat mengekang bagi beberapa pihak laki-laki Muyu lainnya.

Tana Barambon Ambip
Menurut Phillips Leonard Bonggo (64 tahun), pada saat akan bersalin seorang perempuan Muyu harus keluar dari rumah induk, harus diasingkan. Suaminya akan membuatkan sebuah pondok kecil berjarak 10-20 meter dari rumah induk bila tanah di lingkungan rumahnya tidak rata atau bahkan dekat jurang, dan jarak ini semakin jauh, bisa berjarak sampai dengan 50 meter, bila tanah lingkungannya cenderung dataran. Pondok kecil inilah yang dinamai tana barambon ambip.

Tana barambon ambip  terdiri dari tiga suku kata dalam Bahasa Muyu yang mempunyai arti; tana=anak; barambon=tempat; ambip=rumah. Secara harfiah diartikan sebagai “rumah tempat untuk melahirkan seorang anak”. Arti yang sederhana dan netral.

Tana barambon ambip ini berukuran cukup kecil, 2 meter x 2 meter, karena memang hanya disediakan untuk ibu yang hendak melahirkan dan bayinya sampai dengan tali pusarnya putus pasca persalinan (Dalam Etnik Jawa putusnya tali pusar ini biasa disebut sebagai pupak puser). Menurut Adolfia Tepu (44 tahun), pondok kecil ini dibuat secara sederhana dengan dinding dan atap dari daun rumbia. Bila di rumah induk tersedia papan, maka bisa saja dinding pondok kecil untuk bersalin ini dibuat dari papan.

Adolfia Tepu menambahkan bahwa pondok yang dibuat khusus untuk persalinan ini diisi kayu bakar dan beberapa bahan makanan untuk keperluan si ibu dan jabang bayi. Pernyataan ini dibenarkan oleh Pamijaya Wangbon (37 tahun);
“…kayu bakar biasanya disediakan untuk mencegah ibu dan bayinya biar tidak kedinginan pak. Sedangkan untuk makanannya tidak mutlak harus ada, karena ada kemungkinan tidak disediakan, tetapi dikirim dari rumah induk oleh saudara perempuan atau ibu dari perempuan yang bersalin…”.

Seringkali tana barambon ambip dibangun langsung di atas tanah, tanpa lantai. Untuk persiapan persalinan, lantai tanah pondok biasanya dilapisi dengan daun pisang, kemudian kain, dan terakhir plastik.
“Beberapa yang lain ada yang dibuatkan lubang khusus untuk bersalin pak. Maksudnya setelah persalinan kan ada banyak kotor-kotor dan darah, nah… setelah selesai lubang yang berisi darah dan kotoran itu bisa langsung ditimbun dengan tanah…”
(Adolfia Tepu, 44 tahun)

Tana barambon ambip yang digambarkan tersebut adalah yang secara umum diketahui, biasa disediakan oleh laki-laki Muyu saat istrinya akan melakukan persalinan. Tapi fakta empiris di lapangan menunjukkan banyak sekali variasi, terutama untuk bahan pembangun tana barambon ambip. Karena seringkali bergantung pada bahan-bahan yang ada, yang saat itu tersedia di sekitar rumah.         

Meski sebenarnya tana barambon ambip memiliki makna yang sederhana dan netral, tetapi dalam realitasnya merupakan sebuah rumah pengasingan bagi perempuan-perempuan Etnik Muyu. Pengasingan yang berlaku tidak hanya pada saat bersalin dan beberapa hari saat pasca persalinan saja, tetapi juga pada saat perempuan Etnik Muyu sedang mendapat tamu rutin bulanannya.

Pada saat sedang bersalin dan atau menstruasi, diyakini oleh masyarakat Etnik Muyu bahwa perempuan membawa hawa supernatural yang kurang baik, yang dalam Bahasa Muyu biasa disebut sebagai iptém. Iptém perempuan yang dipercaya sedang membawa hawa “kotor” ini diyakini bisa mengakibatkan hal-hal buruk bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi kaum laki-laki. Kesaktian laki-laki Etnik Muyu bisa luntur, waruk (mantra-mantra kesaktian) yang dimilikinya bisa melempem, tidak memiliki daya kesaktian lagi.  

Dalam catatan Schoorl (1997) bahkan menyebutkan bahwa masyarakat Etnik Muyu juga berkeyakinan bahwa ìptém perempuan yang sedang bersalin atau menstruasi bila berada di sekitar orang yang sedang berjualan, bisa membuat barang dagangan menjadi tidak laku dijual; bila perempuan itu berada di rumah seorang pemburu, maka waruk (kesaktian) berburunya melemah, dan bahkan bisa hilang; bila berada dalam rumah, bisa membuat seluruh isi rumah menjadi jatuh sakit (hosa/sesak nafas, TBC, radang sendi, batuk), dan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Dalam sebuah penelitian pada masyarakat Etnik Towe Hitam di Kecamatan Web, Kabupaten Jayapura, Djoht(2003) melaporkan bahwa “kotor”nya darah pada proses persalinan perempuan dipercaya bisa membawa sial bagi laki-laki Towe Hitam;
“Pola melahirkan seperti ini dipraktekkan oleh semua perempuan hamil yang ada di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa diijinkan memasak untuk keluarganya.” 

Aan Kurniawan, dkk. (2012), dalam sebuah riset etnografi kesehatan mencatat kepercayaan yang sama tentang “kotor"nya perempuan saat mengalami menstruasi atau sedang bersalin, yang berlaku pada masyarakat Etnik Ngalum di Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam kepercayaan orang Etnik Ngalum, seorang perempuan yang sedang dalam masa kewanitaannya dipercaya membawa suatu jenis penyakit yang berbahaya bagi anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, dalam masa-masa itu mereka harus memisahkan diri dari keluarga mereka. 

Dalam riset etnografi kesehatan yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut masyarakat Etnik Ngalum – yang berbatasan secara langsung dengan Etnik Muyu di sebelah Utara – juga dilaporkan melakukan ritual praktek yang mirip dengan masyarakat Etnik Muyu dalam hal mengasingkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi dan/atau mengalami persalinan. Tana barambon ambip versi masyarakat Etnik Ngalum tersebut diberi nama sukam
“Seorang ibu suku Ngalum yang akan melahirkan tidak diperbolehkan melahirkan anaknya di rumah sendiri. Secara adat ia harus melahirkan anaknya di dalam sebuah rumah khusus yang disebut sukam. Sukam adalah rumah khusus perempuan. Secara khusus rumah ini diperuntukkan bagi kaum perempuan ketika mereka sedang berada dalam masa kewanitaan mereka, seperti pada saat menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan... Rumah khusus ini dibangun tidak jauh dari rumah induk (abip), biasanya hanya beberapa meter jauhnya. Kaum laki-lakilah yang membangun rumah ini. Bentuk bangunannya tidak berbeda jauh dari bentuk rumah utama, hanya ukurannya lebih kecil. Biasanya sebuah sukam berukuran kurang lebih 2X2 meter. Tidak semua keluarga dalam satu rumpun iwol memiliki sukam. Biasanya sebuah sukam dibangun untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar (Kurniawan, dkk., 2012).”

KETERSEDIAAN NAKES DI #savePAPUA

dear para pemerhati #savePapua,

berikut data ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas di Propinsi Papua. data masih bersifat global secara kuantitatif pada level distrik, sebenarnya akan lebih menarik bila ditelusur secara kualitatif untuk melihat 'keberadaan' sesungguhnya. meski dengan yang seperti inipun sudah bisa menggambarkan adanya disparitas dan adanya masalah equity di wilayah ini.



untuk dapat lebih memahami kedalaman analisis lapangan, pada tabel selanjutnya disajikan data ketersediaan listrik 24 jam dan air bersih di setiap puskesmas di masing-masing distrik. silahkan dicermati lebih jauh.



sebuah keniscayaan bahwa ketersediaan air bersih dan listrik merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada bidang kesehatan, bahkan sangat vital. tetapi menjadi masalah besar ketika kita tidak bisa berbuat banyak untuk hal tersebut. karena ketersediaan air bersih maupun listrik merupakan domain pekerjaan dinas pekerjaan umum.

semoga bisa menambah pemahaman terhadap permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah paling timur ini. untuk analisis disparitas ataupun untuk melihat equity dibandingkan dengan wilayah propinsi lain saya rasa sudah cukup jelas. tidak perlu diperbandingkan lagi! yang terpenting adalah bagaimana memberi urun solusi terhadap permasalahan ini.


- ADL -



*catatan: data diolah dari hasil Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan Litbangkes

e book 4 free: Pro-Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube



"Pesan yang disampaikan kelompok pro rokok disampaikan dengan sangat baik. Pihak pro rokok sangat cerdik menampilkan pesan-pesan sosial yang atraktif (simbol kejantanan atau kesetiakawanan sosial). Sedang upaya yang dilakukan oleh pihak kontra rokok terlalu terpaku pada pendekatan normatif yang mengutamakan aspek legal yang kaku dan ‘tidak bersahabat’."


Editor:
Rachmad Hargono
Agung Dwi Laksono


Kontributor:
Agung Dwi Laksono
Diyan Ermawan Effendi
Eka Denis Machfutra
Hario Fisto Megatsari
Pulung Siswantara

ISBN 978-979-21-3970-9
© 2014 PT Kanisius

204 halaman

KESIKUT TALAUD

Melonguane, Selasa, 22 April 2014


Siang itu kami mendarat di Bandara Melonguane dengan hentakan roda pesawat keluaran Prancis, ATR72,  yang cukup keras menghantam bumi. Pesawat berpenumpang 72 seat itu terbang tiga kali seminggu melayani rute Bandara Sam Ratulangi Manado ke Bandara Melonguane Talaud pulang pergi.

Kami datang disambut dengan rinai hujan yang ringan, seakan sebuah keramahan menyambut kedatangan tamu agung! Hahaha…
Eh… tapi benar-benar tamu agung lho! Bersama kami ada rombongan dari Polda Sulawesi Utara. Juga terselip Konsulat Jenderal (Konjen) dari Negara seberang Philipina.

Kami… eh Konjen Philipina ding! disambut dengan tiga tetua adat, yang disertai dengan suara pukulan tambur yang mengiringi sembilan pemuda Talaud meliuk-liuk dengan gerakan maskulin dan tegas membawakan tarian dengan menggunakan pedang dan tameng. Benar-benar menyambut tamu agung!

Kedatangan tamu-tamu agung ini pulalah yang membuat kami harus keliling mutar-mutar Kota Talaud, untuk mencari penginapan yang sudah pada penuh dibooking para tamu agung tersebut.
Kota Talaud??! Jangan dibayangkan yang indah gemerlap yak! Hanya diperlukan tidak sampai setengah jam saja kami diantar Regina, dokter wanita asli putri daerah Talaud, untuk menghabiskan dari sudut ke sudut ibu kota kabupaten paling Utara Republik ini.



PERHATIAN DAN RASA IRI

Sungguh iri sebenarnya, melihat fakta empiris di depan mata, Pemerintah Philipina yang diwakili oleh Konjennya begitu perhatian terhadap warga negaranya. Mereka masih mau menyempatkan diri datang berkunjung ke wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) republik ini untuk melihat kondisi warga negaranya yang menyeberang dan tinggal di wilayah ini.

Yaaa… jarak yang teramat dekat antara wilayah Kabupaten Talaud dengan Philipina yang hanya sekitar beberapa jam saja dengan kapal laut membuat terjadi banyak pertukaran penduduk di wilayah ini. Hanya dibutuhkan KTP saja bagi penduduk beberapa wilayah di perbatasan laut ini untuk dapat menyeberang dan berkunjung di Negara tetangga ini. Tanpa paspor.

Apakah saya pantas iri dengan Warga Negara Philipina itu? Entahlah… tapi nyatanya saat saya menekan keyboard di lappy saya untuk tulisan ini saya benar-benar merasakan iri yang teramat sangat atas perhatian pemerintah Philipina.
Seandainya…


JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN KEADILAN PELAYANAN

Sejatinya kedatangan kami ke wilayah ini untuk melihat upaya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional dari sisi regulasi. Tetapi seperti wilayah-wilayah DTPK lain yang pernah saya saksikan di negeri ini, banyak hal yang seharusnya benar-benar kita perbaiki sebelum kita menjalankan kebijakan JKN. Seharusnya…

Upaya implementasi JKN secara serentak untuk seluruh wilayah republik ini harusnya disertai dengan upaya pemerataan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Atau bahkan untuk beberapa wilayah terluar dan wilayah Timur Indonesia disertai dengan upaya ketersediaan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Jangan berkoar-koar tentang pemerataan pelayanan bila tersedia pelayanan saja tidak!

Sebagai sebuah kabupaten, Talaud termasuk salah satu daerah miskin yang kurang mempunyai Pendapatan Asli Daerah. Meski demikian, kemauannya untuk memenuhi hak rakyatnya dalam pelayanan kesehatan sangat kuat. Pemerintah setempat mengalokasikan 2,5 juta bagi bidan yang mau dan bersedia ditempatkan di wilayah tersebut. Untuk tenaga dokter umum disediakan insentif tambahan 2 juta selain gaji 7,5 juta yang diterimakan. Bahkan untuk wilayah Miangas disediakan take home pay rutin sebesar 11 juta per bulannya.

Apa mau di kata? Gaji dan insentif yang cukup besar tak bisa membuat para tenaga kesehatan betah dan tinggal di wilayah terluar paling Utara ini. Meyke Maatuil, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Talaud, menyatakan bahwa banyak tenaga kesehatan yang ‘hilang’ di wilayah ini. Semacam jaelangkung, mereka datang dan pergi tak berjejak, sementara gaji dan insentif jalan terus (transfer melalui rekening bank). Mekanisme kontrol sangat lemah, hanya mengandalkan niat baik dan nurani dari tenaga kesehatan yang telah berani tanda tangan kontrak dan terima uang insentifnya.

Keterbatasan dan minimnya fasilitas memang menjadi kendala utama untuk penempatan tenaga kesehatan di wilayah ini. Untuk ke Miangas misalnya, hanya tersedia kapal perintis yang datang 2 kali sebulan menyambangi wilayah terluar tersebut. Bisa juga sih kita sewa kapal tongkang dari kayu untuk mencapai Miangas, tapi harus merogoh kocek cukup dalam. Sangat dalam! 50 juta sekali pergi.

Untuk komunikasi sebenarnya sudah ada Telkomsel yang bersedia merambah wilayah ini, meski seringkali sinyalnya pergi ga pamit. Tapi setidaknya cukup untuk menebus rasa kangen.


CERITA TENTANG VERIVIKASI DATA

Ada cerita yang… entah lucu… entah membikin trenyuh…
Adalah Barnadus P. Timpua, Kepala Bidang Promosi Kesehatan, yang membawahi masalah Jaminan Kesehatan Nasional di Dinas Kesehatan, yang menceriterakan soalan verivikasi data kepesertaan.
Dahulu… pada saat pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang menanggung jaminan pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin, Pemerintah Daerah setempat juga menanggung masyarakat miskin yang tidak tercover Jamkesmas. Saat itu istilahnya adalah masyarakat miskin non kuota.

Masyarakat miskin non kuota inilah yang diwadahi dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jamkesda menanggung masyarakat miskin yang tidak tanggung-tanggung, mencapai 23 ribu penduduk (total jumlah penduduk sekitar 105 ribu menurut Dinas Kependudukan, atau 97 ribu menurut BPS. Jumlah penduduk pastinya hanya Tuhan yang tahu).

Untuk keperluan Jaminan Kesehatan Nasional maka data kepesertaan harus detail ‘by name, by address’. Maka dilakukan verifikasi ulang untuk memutakhirkan data masyarakat miskin tersebut. Hingga akhirnya didapatkan angka 8 ribu penduduk yang terverifikasi. Nah lhoo! Artinya selama ini ada 15 ribu penduduk ‘siluman’ yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

 Entahlah… banyak mahluk jejadian di negeri ini. Bukan hanya sekedar jelangkung atau siluman. Mungkin juga termasuk para dedhemit yang membaca tulisan ini. Hihihi…


-ADL-