Bagaimana menggunakan IPKM?


Surabaya, home sweet home, 22 Mei 2012


Dear all,

Sebagai sebuah indeks pemeringkatan ‘Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) terdiri dari 24 indikator yang diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan masyarakat di 440 kabupaten/kota yang datanya berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survey Potensi Desa (PODES). Semuanya merupakan data survey tahun 2007. Rencananya pada tahun 2013 nanti akan dirilis IPKM yang terbaru.

IPKM terdiri dari 3 kriteria indikator dengan pembobotan yang berbeda. Yang pertama adalah 11 indikator ‘mutlak’ dengan nilai pembobotan 5, yang ke-dua 5 indikator ‘penting’ dengan nilai pembobotan 4, dan yang terakhir 8 indikator ‘perlu’ dengan nilai pembobotan 3.



Bila sebuah kabupaten/kota ingin melakukan akselerasi atau percepatan pembangunan kesehatan, maka tidak perlu membabi-buta melakukan perombakan besar-besaran di semua indikator, terutama bagi kabupaten/kota yang jelas-jelas minim sumber pembiayaannya. Upaya bisa langsung difokuskan pada indikator-indikator yang mempunyai bobot besar, yang bisa diartikan indikator tersebut memiliki daya ungkit yang maksimal terhadap status kesehatan masyarakat.

Apa saja indikator dengan daya ungkit maksimal tersebut?
Tentu saja indikator mutlak yang menjadi targetnya!
Tapi tidak semua indikator ‘mutlak’ harus digarap maksimal. Perlu dipilih lagi, terutama indikator-indikator dengan upaya berbudget minimal.

‘Rasio dokter/puskesmas’ dan ‘rasio bidan/desa’ perlu dikeluarkan sementara, karena tentu saja tidak bisa kita upayakan secara cepat. Kemudian indikator ‘akses air bersih’ dan ‘akses sanitasi’ juga kita keluarkan, karena upayanya tidak bisa kita usahakan hanya dari Dinas Kesehatan saja, perlu melibatkan Bappeda/Bappeko untuk pengadaannya. So... bisa butuh waktu lebih dari lama untuk realisasinya.

Dari 11 indikator ‘mutlak’ dikurangi 4 indikator, jadi tersisa 7 indikator yang harus kita upayakan secara maksimal. Dan hampir semuanya berhubungan dengan ‘Posyandu’ sebagai media upayanya, dan ibu hamil serta balita yang menjadi sasarannya.

Bila ingin betul-betul mengupayakan pada 7 indikator tersebut, tentu saja kita harus benar-benar tahu sasaran kita! Bukan hanya target yang diproyeksikan dari angka-angka Badan Pusat Statistik (BPS). Kita tidak bisa lagi hanya menunggu balita dan ibu hamil datang ke Puskesmas atau Posyandu ataupun pelayanan kesehatan lainnya. Perlu dilakukan sensus menyeluruh terhadap sasaran tembak, total populasi sasaran. Pelayanan jemput bola.

Kita coba bedah data profil Kabupaten Sampang, ranking IPKM paling buntut di Propinsi Jawa Timur.
Berdasarkan data tahun 2010, dengan jumlah penduduk 837.275 jiwa, maka jumlah balita sekitar 10,1% atau 84.115 jiwa. Dengan jumlah desa 180, maka beban per desa adalah sekitar 468 balita. Rata-rata desa di sampang memiliki 6 dusun, maka tiap dusun harus mencari sekitar 78 balita selama setahun. Masih mungkin bukan dilakukan?



Kita coba bedah data ibu hamil. Jumlah ibu hamil diestimasikan sekitar 19.790 bumil. Jumlah bidan yang ada pada tahun 2010 ada sekitar 309 bidan. Bila semua kehamilan ditolong oleh bidan maka tanggung jawab setiap bidan adalah menolong 64 persalinan setiap tahunnya, yang artinya setiap bulan bidan wajib menolong 5-6 persalinan. Apanya yang tidak mungkin?

Untuk melakukan sweeping balita kita bisa menggunakan seluruh tenaga kesehatan yang ada sekitar 716 tenaga kesehatan tanpa memandang apapun latar belakangnya. Bila dikerjakan dan menjadi tanggung jawab bersama tentu menjadi lebih ringan lagi itung-itungan beban kerjanya. Belum lagi pemanfaatan tenaga kader Posyandu serta bantuan dari aparat desa/dusun atau pak klebun.

Faktor budaya ada dimanapun tempat di republik ini. Jangan dijadikan alasan, tapi mari kita jadikan kekayaan untuk pengembangan upaya kesehatan yang lebih baik.

Piye jal?


-ADL-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar