Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!

Wamena, 04 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecil yang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah! Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah Papua lainnya.
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harus ditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter. Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara; Sumber: antaranews
Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam pemberitaan nasional dengan berita yang kurang mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita membandingkan dengan pembangunan di wilayah lain republik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan. Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan akselerasi pembangunan di wilayah ini.
Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua dan Nasional; Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari 497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam, anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorang asisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui. Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan. Sementara beberapa orang lokal tampak duduk serampangan di depan pohon yang melintang tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong. Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pun diijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak, kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer (Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo via Bluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya kurang begitu tajam.
Seorang personel tentara lain asli Medan, Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya, menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka, tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko Polhutkam.
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu; Sumber: Personel Koramil Kurulu
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah Distrik Kurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial di kantor Kabupaten yang sama.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru, memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohon tersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang dipalang tersebut.
Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di wilayah ini.
Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota sebelum Bertolak Kembali ke Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan sejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali ke Rumah Duka; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya dapatkan ketika menempuh perjalanan ke Kabupaten Tolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut. “Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir, sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untuk mendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami. Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikan hamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik. Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telinga saya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L., sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan. Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di Karubaga. Suatu saat. @dl.

Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh

Toboali, 08 April 2016.
Perjalanan kali ini saya bersama dua rekan lain, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi Antropolog, menuju ke Toboali, ibukota Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten yang menjuluki dirinya dengan sebutan “Negeri Junjung Besaoh”. Junjung Besaoh sejatinya adalah semboyan masyarakat Bangka Selatan, yang artinya merupakan cerminan kuatnya ikatan kekeluargaan dan persaudaraan masyarakat Bangka Selatan.
Perjalanan mencapai Kota Toboali relatif mulus, sangat mulus. Jalanan aspal hotmix secara keseluruhan yang memakan waktu 2,5-3 jam dari Pangkal Pinang sebagai ibukota Provinsi Bangka Belitung, meski pada beberapa titik harus sedikit berhati-hati karena beberapa jembatan terputus sebagai akibat hujan lebat yang tak juga bosan menerpa wilayah ini meski bulan sudah menunjuk awal April.

Peta Posisi Kabupaten Bangka Selatan
Ada dua insiden yang sedikit menodai mulusnya perjalanan kami. Belum setengah jam meninggalkan Kota Pangkal Pinang, saat Avanza yang kami tumpangi hampir menyerempet sebuah truk besar bermuatan ubi kayu. Kami berhasil lolos, tetapi truk besar itu banting setir ke kiri untuk menghindari setidaknya dua motor. Truk terguling karena dua ban sebelah kiri terperosok dalam got. Dua motor terlihat tergeletak di tengah jalan dan satu lagi masuk ke dalam got. Dua orang pemotor saya lihat langsung bisa berdiri. Spontan saya ikut membantu menarik motor yang terperosok di got. Terdengar jerit tangis dari salah satu pemotor yang menarik-narik rekannya sambil menjerit-jerit, teman yang ditarik tetap saja terdiam tak bergerak, dengan tubuh bagian atas yang separuh utuh. Saya lunglai, limbung. Duh Gusti…
Jalanan yang terlalu mulus memang membuat sesiapa saja merasa bisa menjadi seorang pembalap. Terbukti setengah jam kemudian dari saat kejadian pertama, terlihat kerumunan orang dengan beberapa mobil yang berhenti. Terlihat mobil polisi dan sebuah mobil derek, yang berusaha menarik sebuah Kijang LGX yang nyungsep ke selokan sebelah kiri jalan. Gusti… semoga semua penumpangnya selamat.
Kolong di Kolong Langit Bangka
Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Provinsi Bangka Belitung, setelah sebelumnya selalu berkutat di bagian Timur Indonesia, kali ini saya ingin menjelajah di bagian Barat Indonesia. Kesan pertama menempuh perjalanan di wilayah ini adalah banyaknya lubang besar seperti danau-danau kecil, yang menganga berisi air keruh, meski ada beberapa yang airnya terlihat biru, yang di sekelilingnya terlihat tumpukan tanah putih kekuningan.

Pemandangan Kolong (Bekas Galian Tambang Timah) dari Atas Langit
“Itu namanya kolong pak,” sebut salah seorang warga. Kolong adalah merupakan bekas galian tambang timah yang ditinggalkan oleh para petambang, setelah timah yang dicari mulai jarang ditemukan, habis. Ratusan kolong seperti ini memenuhi hampir di seluruh wilayah di Pulau Bangka, yang menurut Ferdi, sopir asli Suku Melayu Toboali yang menjemput kami, juga terjadi di beberapa pulau kecil lain di sekitar Pulau Bangka. Kerusakan alam yang sangat massif.
“Masih bisa ditanami pak… itu di samping-sampingnya… kelapa sawit, karet, …tapi kalau ditanami lada tidak bisa,” lanjut Ferdi saat saya bertanya tentang pemanfaatan tanah-tanah di sekitar kolong ini. Pemanfaatan lainnya?
“Yaa… kolong itu dibiarkan saja pak. Tidak bisa dimanfaatkan untuk apapun, kita tidak tau juga mau dimanfaatkan untuk apa. Mau ditanami ikan tidak cocok pak, selain terlalu dalam (puluhan meter), juga pH-nya tidak cocok… terlalu asam. Jadi ya kita biarkan saja seperti itu…” (Al, Dinkes Bangka Selatan)
Sampai dengan saat ini saya dan tim masih berpikir dengan sangat keras, bagaimana bisa memanfaatkan kolong yang demikian massif ada di Pulau Bangka ini? Bagaimana bila dimanfaatkan untuk WC umum? Waaahh… tentu akan puluhan tahun baru bisa penuh. Eh tapi… bagaimana bila terperosok saat nongkrong di atas WC itu? Waah… bisa berabe dengan kedalaman puluhan meter seperti itu.
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Pemilihan Bangka Selatan sebagai salah satu wilayah Riset Etnografi Kesehatan tahun 2016 sesungguhnya dimulai dengan peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten Bangka Selatan yang berada pada ranking 7 dari 7 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bangka Belitung. Sedang secara nasional berada pada peringkat 376 dari 497 kabupaten/kota yang disurvey pada tahun 2013.
Beberapa indikator pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah ini memang menunjukkan capaian yang rendah. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 indikator kesehatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan lingkungan dan perilaku kesehatan tercatat kurang begitu menggembirakan. Cakupan akses dan air bersih di masyarakat hanya mencapai 9,38% dari keseluruhan masyarakat di Bangka Selatan. Cakupan perilaku sikat gigi juga menunjukkan angka yang cukup rendah, hanya 1,14% masyarakat saja yang melakukannya dengan benar.
Sedang untuk perilaku buang air besar dengan benar, di Kabupaten Bangka Selatan hanya mencapai angka 76,88%. Angka ini masih di bawah rata-rata Provinsi Bangka Belitung yang berada pada kisaran 87,04%, dan juga rata-rata di Indonesia yang mencapai angka 82,59%. Pengertian perilaku buang air besar dengan benar adalah buang air besar pada WC dengan kloset berbentuk leher angsa, dan dengan pembuangan akhir pada tangki septictank. Rendahnya capaian perilaku buang air besar inilah yang membuat saya kepikiran untuk memanfaatkan kolong bekas galian timah sebagai septictank raksasa. Hehehe…
Potensi Ekonomi Bahari
Pasca meredupnya pertambangan timah, Kabupaten Bangka Selatan mulai menata diri pada sektor pertanian dan perkebunan. Pemerintah Kabupaten dalam lima tahun terakhir berusaha untuk dapat berswasembada beras, selain juga mengupayakan pemanfaatan lahan perkebunan untuk lada, karet dan kelapa sawit.
Sesungguhnya potensi ekonomi wilayah Bangka Selatan cukup besar, terutama di bidang wisata bahari. Apalagi setelah booming novel dan film “Laskar Pelangi” yang menimpa wilayah tetangganya, Belitoong. Sebagai wilayah kepulauan, potensi pantai yang khas dengan batu-batu raksasa dan pasirnya yang putih halus sungguh sangat mengundang wisatawan untuk betah berlama-lama menikmati terbit atau tenggelamnya matahari di wilayah ini.

Landscape view Pantai Batu Kodok yang Didominasi Batu-Batu Raksasa
Sunset di Pantai Batu Kodok, Toboali
Potensi bahari lain yang belum terjamah adalah potensi bawah lautnya, taman laut dengan terumbu karang yang cantik. Potensi ini tersimpan di bagian Timur Bangka Selatan, yaitu di sekitar wilayah Pulau Pongok dan Lepar yang merupakan wilayah Kecamatan Tanjung Labu. Bila potensi ini bisa betul-betul dimanfaatkan, saya percaya kebangkitan Bangka Selatan hanya tinggal menunggu waktu saja. Semoga. (@dl).

Pemandangan Bawah Laut di Pulau Lepar; Sumber: Tim Terumbu Karang UBB

e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM

e book 4 free: Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat; Serial Studi Kualitatif IPKM




Penulis
Agung Dwi Laksono
Mara Ipa
Ina Kusrini
Arief Sudrajat

Penerbit PT Kanisius Yogyakarta

© 2015 - PT Kanisius
306 halaman


Apa yang telah dicapai oleh Kabupaten Lombok Barat ini cukup luar biasa. Berdasarkan hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 cakupan "persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan" hanya mencapai 76,45%. Survei yang sama dilakukan pada tahun 2013, dan mencatat adanya lonjakan cakupan drastis, yang mencapai angka 90,09%. Meski dengan indikator yang sesungguhnya jauh lebih sulit, "persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan".

Apa yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan di Lombok Barat?
Upaya apa yang mempunyai daya ungkit demikian besar?
Buku "Geliat Sistemik Kabupaten Lombok Barat" mencatat dengan rapi setiap detail upaya tersebut.


Menginginkan softfile buku ini? tuliskan alamat email pada kolom komentar.

e book 4 free: Jelajah Nusantara #2



Buku ‘Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan’ ini merupakan edisi ke-dua sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan yang sama pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang membedakan adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas orang peneliti.

Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.

Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di Republik ini.

Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai wilayah-wilayah perbatasan negeri. 


Penulis
Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani, Ummu Nafisah, Nor Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah, Izzah Dienillah Saragih, Harus Alrasyid, Lafi Munira, Siti Khodijah Parinduri

Editor
Prof. Lestari Handayani, Tri Juni Angkasawati

228 halaman

©2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat


Daftar ISI


1. Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara
 Agung Dwi Laksono

2. Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke
 Elia Nur Ayunin

3. Kesikut Talaud
 Agung Dwi Laksono

4. Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas
 Ade Aryanti Fahriani

5. Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan
 Agung Dwi Laksono

6. Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau Raijua
Agung Dwi Laksono

7. Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian Ganda
 Ummu Nafisah 

8. Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu
 Nor Efendi

9. Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin
 Agung Dwi Laksono 

10. Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito
 Astutik Supraptini

11. Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan Perjalanan Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah

12. Cerita dari Pulau Sapudi
Izzah Dienillah Saragih 

13. Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana
 Agung Dwi Laksono

14. Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik Daerah konflik
Harun Alrasyid

15. Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur
 Lafi Munira 

16. Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri



menginginkan softcopy buku ini? balas atau tuliskan alamat e mail di kolom komentar.

Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kabupaten Timor Tengah Selatan


Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015

Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami berempat berangkat dari Surabaya. Saya sendiri, kang Pranata (seorang anthropolog), dan dua rekan dari tim videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen). Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit perjalanan supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset Ethnografi Kesehatan kali ini yang harus kami lalui. Tentu saja bila hal ini merujuk pada perjalanan-perjalanan di daerah perifer yang harus saya lalui sebelumnya.

Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini, Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.

Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara TimurGambar 1. 

Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan 
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur

Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013. Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai 451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga, dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga Berencana-nya, atau jangan-jangan…? Ahh… biarkan saja menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan refleksi.


Lingkaran Setan

Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan. Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sedang pada IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440 kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun 2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pembangunan kesehatan yang telah dilakukan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10 tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91% penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.

Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam “Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka Tahun 2014”, tercatat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53% (lihat Gambar 2). Dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin 
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014Gambar 2. 
Tren Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012 
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014


Status Gizi Balita

Bila kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 2013 maka kita akan mendapati kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.

Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur. Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan balita stunting atau pendek. Dan lagi-lagi angka ini jauh di atas prevalensi provinsi maupun nasional.

Meski demikian, cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya saja kemiskinan yang bisa menjadi salah satu kendala yang cukup serius untuk faktor pertumbuhan balita.




Perjalanan Menuju Desa

Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan di SoE. Meski kami masih harus menambah lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak, longsor dan berbatu.



Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 3. 

Jalanan Menuju Desa Nenas 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi kesempatan melihat pemandangan seindah ini.



Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 4. 

Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


Desa Nenas di Kecamatan FatumnasiDesa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari. Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang pada akhir perjalanan.

Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa Dawam artinya “lengkap”. Menurut kepercayaan orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan orang luar, karena mereka menganggap demikianlah memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi “lengkap”nya Mutis.

Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih menjadi anggota dewan, meski tetap saja nasib Desa Nenas tak juga beranjak naik.

Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor. Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo. Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai “terkenal”.

Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal di ‘rumah sehat’, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk menggantikan ‘rumah bulat’, rumah asli warga suku Molo. Meski pada saat malam mereka lebih sering berada di rumah bulat karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari gempuran hawa dingin di luar.

Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang 
Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 5. 

Proses Shooting Tari Giring-giring yang Mengambil Latar Belakang Rumah Bulat 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas. Meski yang kami diami adalah rumah salah seorang pejabat desa, jangan pernah membayangkan kemewahan yaan akan kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di atas plesteran semen.

Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 6. 

Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang kayu.

Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban-nya yang menjadi lebih bergigi.

Dalam observasi memang terlihat balita-balita di Desa Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga cenderung pendek. Meski lagi-lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.

Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi bubur nasi tanpa tambahan apapun. “Balita sekarang makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja… tanpa tambahan apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras… ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an…,” jelas pak Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.

Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi asupan balita di desa ini, kecuali ASI yang dalam pengakuan masyarakat diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih, kecuali beberapa balita yang sudah “kesundulan”, kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.

Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot. Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa, cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab menyeruput kopi lewat botol dotnya.

Gambar 7.
Darfa Tambelab dan Ayahnya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 

Gambar 7. 
Darfa Tambelab dan Ayahnya 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


Ketersediaan Pelayanan Kesehatan

Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi. Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18 orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT. Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi, yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.

Pada masing-masing desa ‘ada’ fasilitas pelayanan kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang pelayannya ada empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan dari Puskesmas Fatumnasi. Sedang di Desa Nenas sendiri sudah ada Puskesmas Pembantu (Pustu) permanen yang dijaga oleh seorang perawat. Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya seperti kurang terurus.

Untuk mengatasi masalah akses yang cukup jauh dari desa ke Puskesmas, masyarakat di lima desa ‘urunan’ secara tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu persalinan di samping gedung Puskesmas. “Kondisinya sudah sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi permanen…,” jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat miring seperti mau roboh.

Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 8. 

Rumah Tunggu Persalinan 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun. Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.

Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal seharusnya menurut regulasi tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Maka denda yang diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp. 200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,-.

Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP) tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/Keringanan.

Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik… sangat baik! tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?  


Potensi Sumber Daya Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang. Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani. Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang hidup di lereng Gunung Mutis ini.

Karbohidrat utama bagi seringkali didapatkan dari jagung, ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit sawah di wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Yak… memang tercatat ada sekitar 147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang mendapatkan jatah beras dari pemerintah setiap bulannya.

Beberapa protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam, ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka, hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam sebulan. “Sebenarnya ada juga pak itu apa… daging dan ikan di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala) faktor ekonomi pak…” jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa Nenas, yaitu “Ikan Blek”, sebutan masyararakat setempat untuk ikan kalengan atau sarden.

Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya menyumbangkan ternaknya berupa sapi, babi, kambing ataupun ayam. Seringkali memang mereka menyisakan satu-dua saat menjual ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia sangat melimpah, masyarakat bisa sampai berhari-hari mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai (maaf) busuk pun akan dikonsumsi.

Sumber protein lain berupa protein nabati bisa didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Hanya saja konsumsi kacang merah seringkali lewat sayur sup saja. Tidak ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal goreng.


Mampir ke Surga

Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi (kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis… “Ini surga…”. …dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?






Gambar 9.
“Surga” Lelofui
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 9. 

“Surga” Lelofui 
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu yang tinggi telah mengikat kami.

Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi PenelitiGambar 10. 

Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang 
Sumber: Dokumentasi Peneliti


(ADL)