Editor:
Heni Prasetyowati
Lukman Hakim
Penulis:
Heni Prasetyowati
Yuneu Yuliasih
Endang Puji Astuti
Mara Ipa
Roy Nusa RES
Rohmansyah WN
Hubullah Fuadzy
Rina Marina
Joni Hendri
Djani H. W. Hermanus
Asep Jajang K.
Pandji Wibawa D.
Firda Yanuar Pradani
Lukman Hakim
Marliah Santi HR.
Halaman: 146
Penerbit: Health Advocacy bekerja sama dengan Loka Litbang P2B2 Ciamis
Copyright 2013 (c)Health Advocacy
Buku
ini merupakan kumpulan hasil penelitian, pengamatan dan kegiatan kami
di Loka Litbang P2B2 Ciamis. Penyebaran hasil penelitian dan tuntutan
masyarakat akan pentingnya informasi penyakit tular vektor terutama
malaria menjadi tujuan utama buku ini kami buat. Di dalam buku ini
berisi mengenai berbagai informasi mengenai nyamuk Anopheles, peranan
dan faunanya sebagai vektor penyakit di beberapa berbagai tempat di
Indonesia.
Daftar Isi
Bab
1. Anopheles dan Peranannya sebagai Vektor Penyakit Malaria di
Beberapa Daerah di
Indonesia
Heni Prasetyowati, Yuneu Yuliasih
Bab 2. Fauna Nyamuk Anopheles di Wilayah Pantai dan Perkebunan Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut
Endang Puji Astuti, Mara Ipa
Bab 3. Fauna Anopheles di Wilayah Perbukitan Desa Pandean, Kab Trenggalek dan Potensinya sebagai Vektor Malaria
Roy Nusa RES, Rohmansyah WN
Bab 4. Karakteristik Anopheles nigerrimus Giles sebagai Vektor Malaria
Hubullah Fuadzy, Rina Marina
Bab 5. Anopheles spp. di Kecamatan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara
Joni Hendri, Djani H. W. Hermanus
Bab 6. Fauna Sesaat Nyamuk Anopheles spp. di Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat
Heni Prasetyowati, Asep Jajang
Bab 7. Keanekaragaman Jenis Nyamuk Anopheles (Diptera: Culicidae) di Dataran Rendah
Desa Pesisir, Ciamis Selatan
Pandji Wibawa Dhewantara, Firda Yanuar P.
Bab 8. Fauna dan Bionomik Nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat
Lukman Hakim, Marliah Santi HR.
Bab 9. Anopheles spp., Vektor Malaria yang Bersifat Local Specific Area
Mara Ipa, Endang Puji Astuti
bila menginginkan buku ini, sila meninggalkan alamat email pada kolom komen.
e book 4 free; Jelajah Nusantara, Catatan Perjalanan Seorang Peneliti Kesehatan
Buku ‘Jelajah Nusantara, Catatan Seorang Peneliti Kesehatan’
ini lebih merupakan catatan yang dirasakan penulis dalam setiap
perjalanan dalam menjalani tugas sebagai seorang peneliti. Sebuah
catatan yang sebetulnya bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.
Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya bercampur baur dalam
buku ini, seiring realitas masih lebarnya rentang variabilitas
ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga
kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai
langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Cerita bagaimana petugas kesehatan di Puskesmas Sampang termotivasi
dan bangkit dari keterpurukannya, atau petugas di Puskesmas Perampuan
Lombok Barat yang penuh inovasi, sampai masyarakat Kabupaten Pegunungan
Bintang yang dengan arif memanfaatkan potensi lokalnya, mampu
mem’besar’kan kepala penulis merasai endorfin yang mengalir seiring rasa
bangga ditakdirkan menjadi anak-anak negeri ini.
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini mampu membawa
setiap pembaca ikut merasakan perjalanan dan realitas kondisi wajah
negeri ini. Tidak hanya nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di
telinga kita, tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.
Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk bisa memberi
kesadaran dan kecintaan pada Republik ini. Sungguh kami berharap banyak
untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!
-ADL-
***
menginginkan buku ini? tinggal ninggalin alamat email di kolom komen...
Buku ini lebih merupakan catatan keprihatinan atas banyak hal dan
kejadian yang menjadi potret buruk status kesehatan di Pulau Madura,
khususnya di
Kabupaten Sampang.
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) menempatkan semua
(empat) kabupaten di Pulau Madura sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan
(DBK). Dalam catatan, hal ini sudah sangat biasa, bahwa empat kabupaten
di Madura selalu, baik bergantian maupun bersama-sama, menempati posisi
bawah pemeringkatan status kesehatan dilihat dari sisi manapun di
Propinsi Jawa Timur. Faktor budaya Madura yang seringkali dipakai
sebagai kambing hitam atas kondisi ini, meski dibantah keras oleh aktor
kebijakan lokal.
Buku ini merupakan dokumentasi salah satu rangkaian catatan ‘Diskusi
Senin Pagi’ yang dilakukan oleh penulis di laman jejaring sosial
Facebook. Penulis mencoba membawa ‘masalah kesehatan’, khususnya
‘kebijakan kesehatan’ menjadi ranah publik yang lebih populer. Hal ini
lebih didasari pada keprihatinan bahwa bidang kesehatan lebih menjadi
‘mainstream’ pemerintah daripada menjadi milik masyarakat!
Buku ini banyak mencatat permasalahan kesehatan aktual di Madura,
khususnya Kabupaten Sampang. Mencoba memetakan setiap permasalahan
tersebut, mencoba menawarkan solusi, sekaligus pada akhirnya mencatat
juga geliat perubahan yang sedang terjadi, dan masih terus terjadi pada
saat buku ini diterbitkan.
Pada akhirnya buku menyisakan harapan masyarakat di Madura bisa
terbebas dari tirani keterpurukannya, sekaligus bisa menjadi potret dan
bahkan model
pemberdayaan bagi daerah lainnya. Sungguh penulis berharap banyak untuk itu!
link download; http://www.scribd.com/doc/117719333/Gado-gado-ala-Sampang-Serial-Diskusi-Masalah-Kesehatan
emergence muncul sebagai sebuah kreativitas dalam menyikapi sebuah kesulitan yang dianggap sebagai tantangan.
persembahan dari kreativitas teman-teman Rumah Sakit Daerah Kabupaten
Lumajang untuk membantu mensosialisasikan Jampersal di bumi Lumajang
***
"Visinya siyy..utk sosialisasi Jampersal,dimana persalinan itu
musthinya ke nakes. Didalam ceritanya kita buat yg bisa diterima oleh
masyarakat,dan nyentil nakes, pun stake holder. Ada punokawan sbg bentuk
pamong dan masyarakat di desa, ada dalang yg bercerita, ada bidan
sebagai nakes (yg di sini ngumung Madura), ada sinden yang menyanyi utk
selingan lagu2 yg lagi in...biar mereka tertarik. Kenapa kia ambil
setiing goro2..ya karena emang goro-goro ntu tempatnya masalah
ngumpul..njur bar kuwi khan ana solusi...just a simple thing,I
think..cuman bentuk kemasan yg lain. itu saja..tdk lebih. Ide awalnya
dari saya, lucu2annya juga,keluar dari yg"biasa" itu juga butuh
keberanian..dan saya support semua teman utk allout di panggung,bukan
sbg keseharian. Alhamdulillah dapat sambutan..he he
he..begitu,yak...matur nuwun atensinya..."
(@Anni Haryati, RSD Lumajang)
Full Team
Punakawan on stage
Makassar, 24 November 2012
dear all,
Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara.
Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi
jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang
ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...
***
Matahora, Senin, 19 November 2012
Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -saya dan dua
peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara
satu-satunya di Pulau Wangi-wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan
Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan
dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus
transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang
saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya
tempat saya tinggal dan menetap.
Hujan deras menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah, hujan
rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap,
Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan
kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda
dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya
pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada
setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri.
Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang
pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat
istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya
peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda
kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika
Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti,
seorang anthropolog.
Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu
berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah
bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun,
dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan
”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap
komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan,
seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin,
sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart yang berwarna-warni.
Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...
***
Wanci, Selasa, 20 November 2012
Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di
Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya
didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun
persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan.
Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama
mereka.
Tepat
pukul sembian pagi perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau
Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan
menggunakan kapal speed bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam.
Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya
terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal
ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat
jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam,
bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti
lokomotif tiada henti.
Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya
tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya
memutuskan untuk keluar dari speed dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish
yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran
sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju
pelan, tak terganggu oleh lajunya speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...!
Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai jung atau ketinting.
Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau
Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk
koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.
***
Lamanggau, Rabo, 21 November 2012
Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La
Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas
induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya
Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini.
Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya
sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah
sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka
berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Lamanggau,
Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900
ribuan.
Secara administratif Suku Bajo menempati wilayah yang disebut
Lasohilo, atau masyarakat biasa menyebut sebagai daerah bawah. Sedang
penduduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut
daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini sudah membaur, juga dalam
beberapa perkawinan.
Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka.
***
Onemobaa, Kamis, 22 November 2012
Agak
miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau
ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah
termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan
basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari
pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang
ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau
seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian
yang PTT pusat.
Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah
Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas
Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang
diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang
sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada
di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang
menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah
jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada
penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di
dalam wilayah ‘Wakatobi Dive Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.
Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati.
Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini
dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan
Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk
berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung
desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah
satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk
berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk
mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau.
Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah
sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi Dive Resort’.
Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak
manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa
masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan
masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu
ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses
perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort ini. Saya masih sakit hati!
Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa
secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni
hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.
Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat
megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara
keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas.
Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para
pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa
di wilayah ini.
Mungkin mereka tidak tahu?
Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya?
Bupati juga pasti turut hadir saat itu.
Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa
dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini.
Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.
***
Usuku, Jum’at, 23 November 2012
Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan
Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama
saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk
lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali
lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang
kesehatan.
Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-adik peneliti saya itu akan menggali peran pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran pangulleh yang sudah mulai tua.
Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!