e book 4 free; STANDAR PELAYANAN MINIMAL KESEHATAN, Sebuah Panduan Formulasi di Tingkat Puskesmas/Kecamatan - Agung Dwi Laksono

e book 4 free; STANDAR PELAYANAN MINIMAL KESEHATAN, Sebuah Panduan Formulasi di Tingkat Puskesmas/Kecamatan

by

Agung Dwi Laksono

EVIE SOPACUA
SUHARMIATI
LESTARI HANDAYANI
RISTRINI
HERTI MARYANI
BAMBANG WASITO

Diterbitkan oleh;
Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat

Bekerja sama dengan;
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN, KEMENTERIAN KESEHATAN RI

96 halaman
1.022 bytes




PENGANTAR

Dalam era desentralisasi, penggunaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai tolok ukur kinerja menjadi sebuah keniscayaan. Akuntabilitas adalah sebuah syarat mutlak yang memaksa kita untuk mau tidak mau mengimplemen-tasikannya dalam sebuah pelayanan publik, tidak terkecuali pelayanan kesehatan di dalamnya.

Di dalam sebuah negara besar seperti Indonesia, dengan tingginya tingkat variabilitas antar daerah sesungguhnya diperlukan sebuah SPM yang juga spesifik lokal. Penerbitan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/Menkes/ Sk/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota sebenarnya sebuah langkah maju dalam upaya akuntabilitas kinerja pelayanan publik.

Penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/ 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota yang menganulir kebijakan sebelumnya juga sebenarnya sangat produktif. Karena kebijakan terbaru tentang SPM Kesehatan ini lebih menyederhanakan indikator kinerja di bidang pelayanan kesehatan.

Kekurangan dari ke-dua kebijakan ini adalah tidak mengadopsi tingkat variabilitas yang tinggi antar wilayah. Untuk itu maka buku ini ditulis. Meski juga buku ini tidak untuk membagi peran yang lebih adil antar kabupaten/kota, tapi lebih ditekankan pada pembagian peran antar puskesmas/kecamatan dalam satu wilayah kabupaten/kota dengan pertimbangan input (sarana & prasarana, sumber daya tenaga kesehatan, dan besaran alokasi anggaran bidang kesehatan) dan target.

Harapan yang tinggi agar buku ini bisa operasional di lapangan, untuk itu masih berharap kritik membangun untuk perbaikan ke depan.

Untuk Indonesia yang lebih baik!


klo menginginkan buku ini... tinggal kirim alamat email di kolom komen!

Sosialism ato Liberalism?

by Agung Dwi Laksono



Klo di milis desentralisasi kesehatan besutan pak laksono minggu lalu heboh soal end goal system pembiayaan kesehatan kita yang carut marut gak jelas juntrungannya mau ke kutub yang mana? Apakah socialism yang diadopsi gaya eropa ato liberalism yang direpresentatifkan oleh amerika? Perdebatan itu pada ujungnya membuka kembali wacana soal equity yang diusung kutub socialism dan quality oleh kutub liberalism.

Kedua pilihan itu sejatinya bukan masalah salah ato benar. itu hanya masalah pilihan, masing2 punya kelemahan dan kelebihan. Dalam memilihnya yang kita siapkan adalah antisipasi dari resiko kelemahan pilihan tersebut. Itu intisari kebijakan… menurut saya! No boleh protes yak!

Belajar dari kasus banyuwangi… lagi!
Lagi2 gak boleh protes bila anda saya bawa kembali untuk membuka kasus banyuwangi. Bukan karena begitu cintanya saya sama banyuwangi, tapi kebetulan system pembiayaan kesehatan di banyuwangi bisa dijadikan contoh bagus buat pembelajaran untuk ranah yang lebih luas. Saya lakukan hanya demi memuaskan kencitaan saya dengan pertiwi ini… hallaahhhh nggedabrus!

Hehehe.. gak pa pa tho nggedabrus sedikit…
Balik maning yak…

Banyuwangi dengan system pembiayaan kesehatan yang menanggung seluruh penduduknya dalam pelayanan kesehatan rawat jalan di tingkat puskesmas sejatinya melakukan mixing dari dua kutub tersebut, meski tidak disadari oleh actor pengambilan kebijakan di level kabupaten. Gak percaya? Kita akan kupas agak detail yak!

Banyuwangi dan socialism
Dengan menanggung biaya kesehatan (gratis) untuk seluruh penduduknya, maka ini merupakan perwujudan equity yang didengung2kan oleh kutub socialism. Meski equity (keadilan) sebenarnya tidaklah sama dengan equality (kesamaan/pemerataan). Tetapi justru strategi ini, yang diterapkan di tingkat pelayanan kesehatan dasar, membawa efek yang luar biasa bagi tingkat pelayanan di level selanjutnya… unpredictable!

Dengan pemberlakuan pelayanan kesehatan yang sama untuk setiap penduduknya tanpa memandang kaya ato miskin, laki ato perempuan, dus yang ganteng-cwantik dengan yang jelek… banyuwangi mampu membuat kesetaraan dan mengurangi kesenjangan di antara penduduknya. Equity bukan?

Gambaran equity ato tidak bisa dilihat dalam paparan angka distribusi persentase penduduk banyuwangi yang mengakses pelayanan rawat jalan di puskesmas berdasarkan kuintil (lima tingkat) tingkat ekonomi (pengeluaran perkapita) yang saya dapatkan dari kolaborasi data mentah riskesdas dan susenas 2007

Kuintil 1 --> 27,3% (paling mlarat)
Kuintil 2 --> 16,8%
Kuintil 3 --> 19,9%
Kuintil 4 --> 19,2%
Kuintil 5 --> 16,8% (paling sugih)

Sekarang saya no comment dengan paparan angka tersebut, anda sendiri saja yang memberi penilaian, apakah distribusi persentase itu menggambarkan equity ato tidak?

Banyuwangi dan liberalism
Berbeda dengan kabupaten atau propinsi lain yang menerapkan kebijakan pembiayaan kesehatan serupa, yang kebanyakan memberlakukan pembayaran pada provider (puskesmas ato rumah sakit) dengan system kapitasi (per gundul) atau block grand (jatah) per puskesmas, maka banyuwangi memberlakukan system klaim (fee for service) untuk providernya.
Sekarang anda sudah bisa melihat bukan, bagian mana sisi liberalism yang diadopsi banyuwangi?

Dengan system klaim (fee for service) yang merupakan system pembayaran provider yang sangat liberal ini, banyuwangi mampu membuat puskesmas bersaing, bukan hanya dengan sesama puskesmas, tetapi juga dengan provider lain di luar milik pemerintah. Dan ujung2nya adalah quality.
Gak percaya juga? Silahkan ngendon di salah satu puskesmas di banyuwangi, maka anda akan terbiasa melihat pasien bermobil yang ikut duduk di ruang tunggu untuk berobat di puskesmas.

Efek seribu satu…
Mengapa saya katakana efek seribu satu? Karena efek ini… kejadian ini, belum saya temukan di kabupaten ato propinsi lain, setidaknya yang pendapatan asli daerahnya dan kekayaannya setara dengan banyuwangi.

Seperti kita tau… pembiayaan kesehatan di level pusat yang dibesut menkes lama, yaitu jamkesmas, mengalokasikan jaminannya hanya untuk masyarakat miskin (maskin) yang masuk dalam data base yang dimiliki badan pusat statistik (bps). Sedang sisanya, masyarakat miskin yang tidak masuk dalam data base tersebut, yang biasa disebut sebagai maskin non kuota, akan ditanggung oleh pemerintah kabupaten masing2. Klo salah tolong dikoreksi!

Nahhh!!! Kebanyakan pemerintah kabupaten jebol anggaran kesehatannya karena menanggung maskin yang non kuota ini, bahkan beberapa kabupaten menanggung hutang pada rumah sakit.
Kepriben kok bisa gitu? entah karena tidak bisa mengontrol jumlah maskin yang sakit yang kebanyakan di level pelayanan kesehatan lanjutan (yang membutuhkan biaya sangat tinggi), ato gagal melakukan preventive dan promotif di level pelayanan kesehatan dasar, ato cuman tertipu masyarakat kaya yang mengaku miskin (jelek lo!).

Di banyuwangi hal itu tidak terjadi, anggaran yang disediakan selalu bersisa lumayan besar.
Kenapa bisa terjadi? Dalam pengamatan saya… sekali lagi dalam pengamatan saya! Hal ini bisa terjadi karena bagusnya quality di level pelayanan kesehatan dasar. bayangkan… sudah bayarnya gratis, berkualitas pula! Ini yang membuat penduduk banyuwangi tidak enggan untuk berobat secara dini, karena provider (puskesmas) berusaha memberikan pelayanan yang terbaik (manusiawi; memanusiakan manusia jare mas rachmat).

Hal berbeda saya dapati di kabupaten lain. Puskesmas dalam memberikan pelayanannya, bila mendapati kasus yang agak sulit menjadi terlalu mudah untuk merujuk ke rumah sakit, karena ditangani ato tidak toh pendapatan puskesmas tetep saja. Ini pendapat saya lho, jangan diambil ati!

Satu lagi…
Satu lagi hal khusus yang ada di banyuwangi sebelum saya kelupaan… sebelum saya dihujat tidak memikirkan soal public health…
Di banyuwangi… dalam kebijakan system pembiayaan kesehatannya tersebut tidak hanya mengurus masalah upaya kesehatan perorangan (ukp), tapi juga ngurusin masalah upaya kesehatan masyarakat (ukm).
Bagaimana bisa?
Begini ceritanya sodara, di dalam sistem klaim yang dibayarkan dari upaya yang ukp tersebut, dalam klausul perjanjian (juknis dan manlak) memasukkan unsur kewajiban provider untuk membiayai kegiatan ukm dari klaim kegiatan ukp dengan persentase tertentu.

Tentu saja anda akan kuatir bukan? sama dengan saya!
Bagaimana bila tidak ada pasien yang berobat? kegiatan ukm pasti akan mati?

Ternyata anda salah! Saya salah!! Lebih tepatnya… kita salah!!!
Hal itu tidak pernah terjadi, semua provider bisa hidup dan bahkan bisa dibilang berhasil. Bahkan dalam hitung2ang secara duit, pola pembiayaan kesehatan yang tidak memisahkan ukm-ukp sebagai paket yang diterapkan di banyuwangi ini jauh lebih efisien dibandingkan bila dua kegiatan tersebut dialokasikan secara terpisah.

Semua yang saya tulis ini merupakan pendapat saya pribadi, meski pada dasarnya saya melakukan penelitian bersama tim. Tapi boleh dong saya kemukakan penilaian pribadi saya. Anda boleh kok tidak setuju, bahkan mungkin seharusnya memang tidak setuju, sekedar memenuhi keberagaman di antara kita, ato justru untuk membuat polemik, agar bidang kesehatan selalu jadi topic hangat untuk dibicarakan. Piye boss?

Re-definisi Equity

by Agung Dwi Laksono



Salah satu indicator yang paling krusial di dalam kebijakan pembiayaan kesehatan adalah indicator equity (keadilan), yang kalo menurut saya… sekali lagi menurut saya, ‘adil’ itu tidak harus sama dengan ‘sama rata’, equity tidak sama dengan equality. Yang miskin dan yang kaya tidak harus mendapat hak yang sama, harusnya ada pembedaan. Tapi ini kan menurut saya, sedang saya bukan ‘penggedhe’ pengambil keputusan, cuman peneliti yang hobby ‘nggrundel’.

Sedang menurut Bravement dan Gruskin (2003) equity adalah;

“Equity means social justice or fairness; it is an ethical concept, grounded in principles of distributive justice. Equity in health can be—and has widely been—defined as the absence of socially unjust or unfair health disparities. However, because social justice and fairness can be interpreted differently by different people in different settings, a definition is needed that can be operationalised based on measurable criteria“.

WHO (2008) lain lagi, secara praktis mendefinisikan equity atau keadilan di dalam akses terhadap pelayanan kesehatan (Equity in Accessibility) adalah sebagai rasio pemanfaatan pelayanan kesehatan antara tingkat ekonomi perkapita terendah (paling mlarat) terhadap tingkat ekonomi perkapita tertinggi (paling sugih). Artinya bahwa distribusi frekuensi antar tingkatan ekonomi mempunyai rasio yang seimbang atau hampir seimbang.

Belajar dari Kasus Banyuwangi

Kebijakan sistem pembiayaan kesehatan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi adalah penggantian biaya yang ditanggung oleh pemerintah daerah untuk biaya rawat jalan sampai pada pelayanan dasar di tingkat puskesmas. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh penduduk, sugih mlarat podho wae… sama saja! Semua gratis!!!

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dibesut oleh Badan Litbang Depkes dan saya kompilasi dengan data Susenas tahun 2007 besutan Badan Pusat Statistik sehingga kita bisa mendapatkan gambaran distribusi frekuensi tingkat ekonomi (pengeluaran) dari masyarakat Banyuwangi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas, sebagai berikut;


Kuintil Tingkat Pengeluaran
Kuintil 1 (paling mlarat) --> 27.3%
Kuintil 2 --> 16.8%
Kuintil 3 --> 19.9%
Kuintil 4 --> 19.2%
Kuintil 5 (paling sugih) --> 16.8%


Berdasarkan gambaran komposisi persentase di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan fasilitas rawat jalan di puskesmas yang biayanya ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi terbanyak ada pada tingkat pengeluaran terrendah (kuintil 1 ato paling mlarat). Meski perbedaan distribusi persentasenya terpaut tidak terlalu jauh.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan system pembiayaan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi sudah memiliki tingkat keadilan terhadap akses pelayanan kesehatan yang dijamin (equity in accessibility) sangat baik. Saya memutuskan ‘baik’ ini secara obyektif, karena target kebijakan pembiayaan kesehatan di Banyuwangi adalah memang untuk seluruh penduduk, sama rata!

Tapi itu pandangan obyektif saya! Secara subyektif saya blas gak setuju pwoooll! Harusnya ada pembedaan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, tidak hantem kromo semua mendapat hak yang sama. Dan lagi-lagi ini akibat janji politik, dan lagi-lagi saya juga harus mengakui ‘public health is a policy’

Tapi lagi-lagi ini menurut saya, sampeyan bebas berpendapat lain, kalo bisa juga memang berpendapat lain, biar diskusinya agak rame!
Piye? Yang lain yo… please..



Pustaka

Braveman, P and S Gruskin, 2003. Defining equity in health. Journal Epidemiology Community Health 2003;57; halaman 254-258
World Health Organization, 2008. Primary Health Care; Now More Than Ever. World Health Organization, Geneva

Hak Asasi Kesehatan Manusia; Versi siapa?


by Agung Dwi Laksono

 


Isu ini sudah lama sebenarnya digulirkan, sejak jaman deklarasi Alma Ata (kalo gak salah taon 1978). Tapi tetep aja kita (ato ‘mereka’ aja.., aku gak mau terlibat didalamnya) banyak menyalahartikan dalam upaya pengejawantahannya menjadi sebuah kebijakan.

Pengobatan gratis? Jangan pernah mengira itu merupakan wujud kepedulian para pengambil kebijakan (level kabupaten/kota) atas kesehatan warganya. Apalagi untuk kesehatan sebagai hak asasi manusia. Itu lebih merupakan tekanan masyarakat atas janji yang dilontarkan pada saat kampanye.

Dan lagi-lagi itu bukan kebijakan yang benar menurut ‘saya’... sekali lagi menurut ‘saya’! Kebijakan pengobatan gratis hanya sampai tingkat dasar, pengobatan untuk sekedar rawat jalan sampai tingkat puskesmas, lebih merupakan omong kosong. Bullshit! Mbwujuk puwooll!

Gak percaya!!! Masyarakat kita, kalo cuman berobat ke puskesmas yang retribusinya cuman sepuluh ribu rupiah masih cukup kuat coy untuk menanggungnya. Yang dibutuhkan justru bila sampai tingkat lanjutan (rujukan), rawat inap di rumah sakit.

Kenapa emang?? Sistem kesehatan kita adalah sistem kesehatan terjahat di dunia! Orang yang kelasnya gak jelas kayak saya, miskin enggak kaya juga enggak (PNS mak!), akan jatoh miskin sengsara tujuh turunan kalo pake acara sakit yang harus rawat inap di RS.

Lahh nek wong mlarat piye? Masih mending ada askeskin. Sing sugih? Pan kuat bayar ndiri. Nahh! Masyarakat yang di batas abu2 inilah yang gak kepikiran...
(yang brasa sekelas dengan saya buruan deh ikut asuransi!)

Kebijakan askeskin di level pusat mau nggak mau harus diakui sebagai langkah awal pemerintah (pusat) untuk peduli pada hak rakyatnya, meski banyak kelemahan disono-sini.
Cuman kebijakan tersebut bisa menjadi kebijakan ‘konyol’ ketika anggaran kesehatan yang tidak seberapa, dialokasikan dengan salah pula.

Di pertiwi ini, diperkirakan hanya terdapat 15-20% penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20-30% saja yang dapat dilayani.

Jadi 20-30% dari 15-20% seluruh penduduk Indonesia; kira2 3-6% dari total penduduk yang menikmati anggaran kesehatan (kuratif/pengobatan). Dan sementara... penduduk lain yang lebih banyak sekitar 85%, yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah ora digatekke. Piye to? Gembul tenan!

Menurut saya... mbuh nek nurut sampean, bila kesehatan merupakan sebuah hak asasi... maka itu berlaku untuk seluruh rakyat, untuk seluruh penduduk. Bukan hanya untuk sebagian kecil penduduk. Kesehatan bukan melulu sembuh dari penyakit. Mencegah orang ‘gak kaya’ macam saya untuk tidak jatuh sakit dan menjadi jatuh miskin juga merupakan urusan penting kesehatan yang harus didahulukan.

Kados pundi?

Human Rights and Health

Introduction by Paul Hunt
U.N. Special Rapporteur on the Right to Health
and Professor of Law, University of Essex, UK

Over fifty years ago, the constitution of the World Health Organization recognized the enjoyment of the highest attainable standard of health is a fundamental human right. Since then, the right to the highest attainable standard of health (“right to health”) has been enshrined in a series of international and regional human rights treaties, as well as in over 100 constitutions worldwide.

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights includes as a central provision the right to health in international human rights law: “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health” (article 12). International treaties also recognize a range of other human rights of central relevance to health, including the rights to adequate shelter, food, education, privacy, non-discrimination and the prohibition against torture.
  1. There are a variety of links between health and human rights;
  2. Violations of, or inattention to, human rights can have serious consequences for health;
  3. Health policies and programs can either promote or violate human rights in the way that they are designed or implemented;
  4. Vulnerability and the impact of ill-health can be reduced by taking steps to respect, protect and fulfill human rights.

Human rights are relevant to a great many health issues, including prevention and treatment of HIV/AIDS; sexual and reproductive health; access to clean water and adequate sanitation; medical confidentiality; access to education and information on health; access to drugs; and the health of marginalized and vulnerable groups such as women, ethnic and racial minorities, refugees and people with disabilities. Human rights are also relevant to promoting health in broader contexts, such as in armed conflict, poverty reduction strategies, and international trade.

I greatly welcome this initiative by Human Rights & Human Welfare to draw together literature on the relationship between health and human rights. This resource will serve as a very useful starting point for research on many issues that are central to the promotion and protection of human rights in the contemporary world.

© 2004, Graduate School of International Studies, University of Denver