by Agung Dwi Laksono
Tulisan ini lebih merupakan pengembangan dan pemaknaan kembali atas tulisan Zubairi Djoeban (1999) dalam ‘Membidik Aids, Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA’.
Dua pulu enam tahun (1983-2009) upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang terfokus pada bidang medis sampai saat ini tidak bisa mengikuti trend perkembangan penyakit AIDS yang terus berkembang dengan pesat, dengan virusnya yang terus menerus bermutasi.
Di Indonesia data yang dilansir Dijen PPM & PL Depkes RI sampai dengan Maret 2009 terdapat 6.668 yang mengidap HIV dan 16.964 positif AIDS. Total terdapat 23.632 orang dengan HIV/AIDS.
Jumlah yang masih ‘sedikit’ ini merupakan data resmi dari institusi yang berkompeten di Indonesia, artinya, amat diyakini masih banyak kasus yang sampai saat ini belum terungkap, analogi fenomena ‘gunung es’ diyakini berlaku untuk kasus ini.
Banyak hal bisa menjelaskan hal tersebut. Pertama adalah kondisi kultural seperti perasaan malu, takut dikucilkan, dicemooh dan berbagai kondisi yang kurang menguntungkan lainnya bukan tidak mungkin menjadi kendala bagi penderita untuk dapat secara terbuka menginformasikan tentang penyakit yang diderita. Kondisi sosial ekonomi yang rendah juga menjadi kendala dalam upaya pemeriksaan dan perawatan bagi para penderita HIV/AIDS ini.
Sampai saat ini banyak ditemukan kombinasi obat yang bisa menghentikan AIDS, tetapi obat tersebut sedemikian beracun sehingga menghasilkan efek samping yang berbahaya. Meski demikian harga obat-obatan tersebut sangat tinggi bagi ukuran rakyat Indonesia. Sebuah kemajuan yang tak menguntungkan bagi dunia kedokteran, apalagi di saat krisis sekarang ini.
Secara de facto penanggulangan penyebaran AIDS tidak bisa hanya mengandalkan bidang kedokteran, banyak bukti bahwa inti persoalan penyebaran AIDS sesungguhnya sangat multi dimensional. Penyebaran AIDS dipengaruhi dan mempengaruhi sistem tatanan masyarakat secara sosial, ekonomi, politik, agama ataupun budaya yang sangat komplek.
Sampai saat ini pendidikan seks masih dipandang sebagai hal yang tabu di Indonesia, sehingga pelaksanaan program KIE untuk penyakit HIV/AIDS belum mampu menyentuh sekolah ataupun organisasi kepemudaan, karang taruna misalnya.
Seperti halnya di Cina, Indonesiapun sebenarnya kaya akan beragam cara pengobatan alternatif/tradisional. Bedanya, pemerintah Cina dalam kebijakannya secara de facto melibatkan pengobatan alternatif/tradisional tersebut secara aktif, sedangkan pemerintah Indonesia (Depkes) meminggirkan, kalau tidak boleh dibilang meninggalkan upaya-upaya tersebut. Dengan melihat begitu populernya akupuntur/tusuk jarum sebagai metode pengobatan alternatif/tradisional rasional yang khas China, sudah seharusnya kita lebih memperhatikan upaya-upaya pengobatan alternatif/tradisional, dengan merasionalisasi metode-metode pengobatan alternatif/tradisional, ataupun meredefinisi upaya-upaya tersebut sehingga dapat diterima secara luas sebagai metode pengobatan yang rasional.
Dalam sebuah penelitian di Uganda, dengan tujuan mengetahui bagaimana pasangan-pasangan saling menginfeksi HIV/AIDS. Ditemukan dua hal mengejutkan yang tampak melindungi mereka dari kemungkinan tertular HIV/AIDS, yaitu usia tua dan khitan.
Dari seluruh responden tercatat hanya responden muslim yang khitan. Diduga ada perbedaan kultural soal waktu dan frekuensi berhubungan seks, sedang dugaan lain, khitan mungkin berkaitan dengan praktik lain yang melindungi lelaki dari infeksi.
Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya yang muslim, juga mempraktikkan hal serupa, khitan. Temuan diatas seharusnya lebih memacu kita untuk lebih memperbesar perhatian kita atas bidang-bidang sosial, politik, budaya, dan agama secara terintegrasi, untuk lebih menggali potensinya.
Persepsi yang berkembang di masyarakat yang memposisikan AIDS sebagai ‘penyakit luar negeri’, ‘penyakit kaum homoseks’, ataupun ‘penyakit pelacur’ jadi kurang menguntungkan bagi penanggulangan AIDS, karena masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori tersebut menjadi tenang-tenang saja, merasa aman dari resiko tertular AIDS sehingga membuat mereka tidak waspada terhadap resiko tertular AIDS.
Ini terbukti dengan dilansirnya distribusi penderita AIDS oleh Depkes beberapa waktu lalu, yang menemukan kenyataan mengejutkan, bahwa personel ABRI sebagai penderita AIDS kedua terbanyak, setelah WTS sebagai peringkat pertama. WTS sebagai penderita AIDS sudah dapat kita maklumi, tetapi ABRI?
Untuk itu maka perlu adanya persepsi baru yang bisa menimbulkan kewaspadaan terhadap AIDS, disinilah peran media massa, baik media cetak ataupun elektronik, sangat besar perannya dalam membangun opini publik, yang pada akhirnya dapat mengarahkan persepsi tentang AIDS yang ada pada masyarakat secara benar dan terarah.
Dengan tidak men’cap’ AIDS sebagai penyakit golongan tertentu. AIDS bisa menular ke siapa saja, termasuk kita, dengan cara-cara penularan yang seharusnya kita pahami dan mengerti, sehingga kita bisa menjadi lebih waspada.
Perspektif gender bisa jadi merupakan salah satu kekuatan potensial yang efektif digunakan dalam penanggulangan AIDS. Perspektif gender bukan berarti hanya memandang dari sudut perempuan atau sudut laki-laki.
Daripada membicarakan tentang peningkatan peran serta salah satu jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, lebih baik membicarakan tentang peningkatan atau penurunan ketidaksetaraan antara mereka. Dengan demikian perspektif gender dapat dilihat sebagai salah satu hubungan sosial diantara jutaan interaksi sosial yang ada di masyarakat.
Sumber : 1)Djoeban, Zubairi. (1999). Membidik Aids, Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Galang Press. Yogyakarta; 2) Foster & Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan. Universitas Indonesia Press. Jakarta; 3) Sciortino, Rosalia. (1999). Menuju Kesehatan Madani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta; 4) Tjiong, Roy. (1991). Problem Etis Upaya Kesehatan, Suatu Tinjauan Kritis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta; 5) Zeitlin, Irving M. (1998). Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar