Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015
Perjalanan
kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi
Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke
wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini
Kabupaten Tolikara.
Kabupaten Tolikara pada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2.
Kabupaten yang beribu kota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan
atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki
jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan
dengan KabupatenMamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya
dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di
sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil
Kabupaten Tolikara Tahun 2014).
Kabupaten
Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam
pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.
Indikator pembangun IPKM terdiri dari 30 indikator.
Hampir di semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus,
kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.
Dalam riset ethnografi kesehatan kali ini kami me’nanam’ dua peneliti untuk grounded di
sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi
anthropolog. Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan
masyarakat setempat di Distrik Bokondini.
Perjalanan menuju Distrik Bokondini dari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama dua bulan.
Selain
jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara.
Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, hot mix!
Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang
berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini
adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.
TENTANG BOKONDINI
Distrik
Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya
sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya
adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini
sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras
yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai
Bogo.
Memasuki wilayah
Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh
dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen
menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti
tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.
Distrik
Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain
di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota
Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut
wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa
depan.
Pada saat ini, suku
Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah
tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih
modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai
“honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah
berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih
memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.
KONDISI PEREKONOMIAN
Hampir
seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas
Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal
sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia
melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi
sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp.
10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan
hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong
atau kasbi, ketela atau ipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.
Masyarakat
Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang
masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi
yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya
perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup
miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan
yang lebih luas dari yang direncanakan.
Di pasar Kota
Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai
oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas
tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh
berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan
adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam
seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi
hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.
Sebagai gambaran
kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak
tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter.
Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral
merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil
(ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah
Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga
air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per
botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp.
45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya
seharga Rp. 35.000,-.
BERITA PEMEKARAN
Meski
demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat
Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan
melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah
kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.
Euforia pemekaran
ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus
komputer,“…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang
di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat
tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini.
Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini,
“Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…”
AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Pada
saat ini telah ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini,
Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah
ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur.
Menurut keterangan dokter Pobi Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini
merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. Lebih
lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada
tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan
kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada
sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak.
Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih
kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Pobi.
Puskesmas yang baru
pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para
petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat
distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang
masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo
Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23 tahun), perawat kontrak asal Palopo
yang bertugas di Puskesmas Bokondini.
Empat distrik! Suatu hal
yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di
pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang
lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Dalam satu distrik saja seringkali
masyarakat cukup sulit untuk mencapai Puskesmas sebagai akibat
topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik??? bener-bener pusing pala barbie.
Setidaknya
ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas
Bokondini.“Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah
ada pak…,”terang Habibi. Sejatinya menurut catatan kepegawaian,
Puskesmas Bokondini memiliki 26 petugas. Tetapi pada hari Rabo, tanggal
13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada
diPuskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan.
Semoga.
Untuk pelayanan balita Puskesmas
Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk seluruh wilayah
kerjanya pada setiap bulannya. Posyandu yang diselenggarakan di
Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka
menyesuaikan dengan hari pasaran. Pada pelaksanaan Posyandu terakhir
minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung.
Pelayanan
Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat
lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting
(pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini karena
pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan,
dan seringkali tanggal lahir dibiarkan kosong tak terisi.
Dalam
pelaksanaannya, Posyandu dimobilisasi oleh kader kesehatan untuk
menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Sementara seluruh
pelaksanaan Posyandu lainnya dilayani oleh petugas kesehatan. para kader
kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor yang lumayan, Rp.
500.000,- setiap bulannya. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan
rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp.
15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulannya.
Untuk
memperluas jangkauan pelayanan, menurut dokter Pobi, Puskesmas juga
melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat
Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang
dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan
tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam
diskusi kali ini.
Kondisi yang sangat
memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini,
sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru
HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini.
Sementara jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan
berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut.
Rupanya
praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit
yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu…
apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada
perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka
mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah
dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”,
bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan,
oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.
Banyak
hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar
dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini
Bokondini. Terlalu dini…
(ADL)
mencoba mendekati TOMA, untuk mengingatkan masyarakat secara perlahan untuk meminimalisir maupun menghentikan sementara tradisi yang berasal dari luar (oles).
BalasHapus