Agung Dwi Laksono
Kupang, 02 Mei 2015
Kupang, 02 Mei 2015
Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten berpulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi sasaran eksplorasi.
Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten baru ini dimulai pertanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota kabupaten ini bukanlah tujuan saya kali ini, Pulau Raijua, pulau yang jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, yang menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini.
Dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI., Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Sementara di dalam level Provinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat akselerasi pembangunan di wilayah setempat.
Untuk menuju Sabu Raijua saya setidaknya saya harus melalui dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Dari home base saya tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE), karena tercatat ada tiga maskapai yang mengoperasikan jalur ini. Hal ini berbeda dengan jalur Kupang-Sabu, yang tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis kepunyaan seorang menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu. Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua. Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur satu-satunya yang tersedia, jalur laut.
Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi saja saat saya datangi.
***
MEMULAI PERJALANAN
Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-Kupang, bukanlah perjalanan yang istimewa, biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik untuk diceriterakan. Hanya saja saya menginap di Hotel La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di dekat bandara, yang ternyata membuat saya surprised, bahwa saya satu-satunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka lembaran-lembaran dokumen yang ada di gengaman tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts keyboard didepannya.
Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12 orang, yang hanya berisi 10 penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari Australia.
Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.
Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua, saya percaya dengan rencana-rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil yang menjemput Sofyan, diantar melihat kalau-kalau masih ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada akhirnya.
Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.
HARI KE-TIGA. SAATNYA MENUJU RAIJUA
Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.
Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada,menurut informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar sa, jam 9.00 kapal baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke penginapan.
Jam11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sudah sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak tunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.
Jam13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi (minuman keras khas penduduk NTTdan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.
Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai ketinggian empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.
Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter. Bukannya apa-apa, saya sedikit trauma dengan pola "transfer" model begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke permukaan dermaga. Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik.
Ke-Maha Baik-an-Nya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua orang yang ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu, satu-satunya Puskesmas yang adadi Pulau Raijua yang bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat di wilayah ini. Saya diajak bareng dengan mobil ambulan untuk menuju Desa Kolorae, dimana dua rekan peneliti sedang grounded disana.
Belum selesai percakapan ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak untuk bersama menumpang dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya dustakan?
Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai pagar.
Rumah tradisional model ini masih cukup mendominasi di wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa sudah berganti dengan tembok.
Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak. Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas saja bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat sama sekali orang luar tidak diperbolehkan untuk memasukinya, bahkan pada rumah-rumah ada tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.
Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan-pelatihan budidaya rumput laut.
Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Tapi kali ini sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.
Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman sertauntuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.
Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di republik ini.
HARI KE-EMPAT; MEMULAI PAGI DI RAIJUA
Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh menuju angka enam, saat riuh suara ina-ina (ibu-ibu) bercengkerama di sumur sambil menimba air. Menimba air dan membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan salah satu urusan ‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu (seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu, selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Pagiitu matahari menampakkan dirinya dengan gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian dimulai. Ina-ina mulai sibuk di dapur setelah urusan menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak, ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah, sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab ina untuk menyelesaikan.
Dalam pengamatan anak-anak Raijua tumbuh normal sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan tahun 2013.
Dalam
pengamatan saya banyak sekali potensi sumber bahan makanan lokal yang
bisa dijadikan sumber nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat
biasa didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar, sementara
bahan makanan lokal yang tersedia adalah sorgum, meski keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh curah hujan.
Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.
Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil pickup. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.
Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.
Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil pickup. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.
Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas. Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti memencet tombol shutter kamera sambil berdiri di atas pickup yang terguncang.
Hamparan rumput yang demikian luas dengan beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah. Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak! Karena sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di atasnya.
Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.
Kami bergegas menuju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak. Sepertinya memang bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa menaikinya, body montok ini terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja.
Tak jauh dari mercusuar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang sengaja dibuat untuk membuat garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.
Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet plus bonus celana sobek. Tapi upaya kami menyusuri barisan bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak kagum.
Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu sekali.
Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan untuk menginang.
Malam semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.
***
Ahh… akhirnya saya harus pulang juga. Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya. Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa dengan surga kecilmu.
(ADL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar