Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus menyusuri Sungai Barito.
Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.
Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid yang terlihat klasik dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat jama’ah sholat subuh berjamaah baru bubar di masjid ikonik tersebut.
Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu tercapai. Kami mendapat harga Rp.250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.
Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.
Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak seberapa lama di sisi kiri nampak Sermaga Penumpang Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.
Ketika kami tiba di lokasi PasarTerapung, masih belum banyak perahu para pedagang yang biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan ‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis barang dagangannya. Terlihat sangat eksotik, saat perahu para pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang mulai menampakkan hidungnya.
Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami. Woww… surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok!
Untuk mengambil gorengan yang tersedia di atas perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda. Panjang galah lak lebih dari 1,5meter. Pembeli tinggal mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut. Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat. Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih brasa seperti mancing.
Kami pun asyik menyantap gorengan yang ditawarkan. Saya sendiri menghabiskan dua potong bakwan dan satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk sarapan pagi.
Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering, sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai. Menggunakan sabun juga memang, tapii…
Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh. Coklat.
Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali, di sepanjang aliran sungai yang kami lalui. Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup, tapi…
Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan hanya karena saya saja yang terlalu lebay.
Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada, sudah sampai ke rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah disediakan pak.”
Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%. Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%. Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan perilaku yang dinampakkan.
Angka cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut? Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei yang dilakukan secara cross sectional.
Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang lebay.
(ADL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar