Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015
Perjalanan
kali ini masih dalam rangkaian supervisi kegiatan Riset Ethnografi
Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya harus kembali menempuh perjalanan ke
wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini
Kabupaten Tolikara.
Kabupaten Tolikara pada tahun 2014 memiliki luas wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2.
Kabupaten yang beribu kota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan
atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang memiliki
jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data tahun 2013) ini berbatasan
dengan KabupatenMamberamo Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya
dan Kabupaten Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di
sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah Timur (Profil
Kabupaten Tolikara Tahun 2014).
Kabupaten
Tolikara merupakan kabupaten peringkat 497 dari 497 kabupaten/kota dalam
pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei Riskesdas ini dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.
Indikator pembangun IPKM terdiri dari 30 indikator.
Hampir di semua indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus,
kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.
Dalam riset ethnografi kesehatan kali ini kami me’nanam’ dua peneliti untuk grounded di
sana, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi
anthropolog. Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur dengan
masyarakat setempat di Distrik Bokondini.
Perjalanan menuju Distrik Bokondini dari Wamena ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama dua bulan.
Selain
jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa ditembus melalui jalur udara.
Sudah ada bandara dengan landasan yang cukup bagus, hot mix!
Hanya saja tidak tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang
berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering mendarat di bandara ini
adalah jenis pesawat carter dari maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air. Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.
TENTANG BOKONDINI
Distrik
Bokondini dihuni masyarakat asli yang didominasi oleh suku Lany. Hanya
sebagian kecil saja masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya
adalah para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama Bogondini
sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang merujuk pada sungai deras
yang melintasi wilayah Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai
Bogo.
Memasuki wilayah
Distrik Bokondini saat pagi seperti mendapati suatu lokasi yang penuh
dengan aura magis. Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen
menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari pun seperti
tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang, sekitar jam 10 pagi.
Distrik
Bokondini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan distrik-distrik lain
di wilayah Pegunungan Tengah yang sepi dan minim fasilitas. “Kota
Bokondini”, demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut
wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan untuk masa
depan.
Pada saat ini, suku
Lany di Bokondini sudah mulai meninggalkan honai sebagai model rumah
tinggal. Mereka memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih
modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi ini sebagai
“honai semi modern”. Beberapa honai yang masih tersisa rata-rata sudah
berumur cukup tua. Sementara generasi yang lahir belakangan lebih
memilih rumah papan sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.
KONDISI PEREKONOMIAN
Hampir
seluruh masyarakat asli bermata pencaharian menjadi petani kebun. Nanas
Bokondini merupakan salah satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal
sangat manis. Di sini lain, buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia
melimpah. Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi
sekitar 5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga Rp.
10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir sama dengan
hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya, yang terdiri dari singkong
atau kasbi, ketela atau ipere atau batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.
Masyarakat
Bokondini membuka lahan baru yang akan dijadikan kebun dengan cara yang
masih sangat tradisional, dibakar. Mereka membakar di beberapa lokasi
yang cenderung tidak terlalu rapat dengan tanaman keras, hanya
perdu-perduan dan rumput liar. Meski tetap juga terkadang merasa cukup
miris, masih terselip ketakutan, api akan merambat menjilat pepohonan
yang lebih luas dari yang direncanakan.
Di pasar Kota
Bokondini, pedagang hasil kebun dan sayur mayur seratus persen dikuasai
oleh warga asli, masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas
tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan Bugis, boleh
berjualan komoditas lainnya di kios-kios di sekeliling pasar, kebanyakan
adalah komoditas hasil pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam
seminggu, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi
hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.
Sebagai gambaran
kondisi perekonomian di wilayah ini, harga bensin, solar dan minyak
tanah cenderung sama di wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter.
Harga air mineral 600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral
merek lain Rp.10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun 2012 di Oksibil
(ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu kabupaten di wilayah
Pegunungan Tengah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga
air mineral 600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per
botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga Rp.
45.000,-. Jauh lebih mahal daripada harga solar per liter yang hanya
seharga Rp. 35.000,-.
BERITA PEMEKARAN
Meski
demikian, harapan tak pernah putus, saat ini para tokoh masyarakat
Bokondini sedang mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan
melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri menjadi sebuah
kabupaten tersendiri, Kabupaten Bogoga, dengan ibukota Kota Bokondini.
Euforia pemekaran
ini sangat terasa di Bokondini. Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus
komputer,“…nanti saya bisa jadi anggota DPR to!” celetuk salah seorang
di antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya menjamu mewah saat
tim yang mengupayakan pemekaran datang berkunjung ke Bokondini.
Menyembelih babi seperti menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini,
“Saya dijanjikan menjadi kepala desa pak…”
AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Pada
saat ini telah ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini,
Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh seorang putri daerah
ini merupakan Puskesmas perawatan dengan kapasitas tiga tempat tidur.
Menurut keterangan dokter Pobi Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini
merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten Tolikara. Lebih
lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau yang masa baktinya habis pada
tahun 2015 ini menjelaskan bahwa pada saat ini kondisi pelayanan
kesehatan di Distrik Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada
sebelumnya. “Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak.
Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di Puskesmas lebih
kondusif, semua dibicarakan secara terbuka…” jelas dokter Pobi.
Puskesmas yang baru
pindah ke gedung baru pada tahun 2014 ini menurut pengakuan para
petugas setidaknya melayani empat distrik. “Iya pak, kami melayani empat
distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski kadang
masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di Puskesmas Mamberamo
Tengah…,” kilah Habibi Mahmud (23 tahun), perawat kontrak asal Palopo
yang bertugas di Puskesmas Bokondini.
Empat distrik! Suatu hal
yang mustahil! Distrik adalah sebutan lain dari “kecamatan” di
pemerintahan daerah di Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang
lebih luas dan lebih ektrem di Papua. Dalam satu distrik saja seringkali
masyarakat cukup sulit untuk mencapai Puskesmas sebagai akibat
topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat distrik??? bener-bener pusing pala barbie.
Setidaknya
ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi kepanjangan Puskesmas
Bokondini.“Ooo… Pustu ya pak? Ada dua Pustu, tapi… petugasnya gak pernah
ada pak…,”terang Habibi. Sejatinya menurut catatan kepegawaian,
Puskesmas Bokondini memiliki 26 petugas. Tetapi pada hari Rabo, tanggal
13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas saja yang ada
diPuskesmas. Semoga mereka sedang dinas luar atau kunjungan lapangan.
Semoga.
Untuk pelayanan balita Puskesmas
Bokondini menyelenggarakan satu Posyandu saja untuk seluruh wilayah
kerjanya pada setiap bulannya. Posyandu yang diselenggarakan di
Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua yang dibuka
menyesuaikan dengan hari pasaran. Pada pelaksanaan Posyandu terakhir
minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang dan berkunjung.
Pelayanan
Posyandu mencakup timbang badan dan pemberian vaksin. Tidak ada
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat
lain. Menurut pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting
(pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini karena
pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada pengukuran tinggi badan,
dan seringkali tanggal lahir dibiarkan kosong tak terisi.
Dalam
pelaksanaannya, Posyandu dimobilisasi oleh kader kesehatan untuk
menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita. Sementara seluruh
pelaksanaan Posyandu lainnya dilayani oleh petugas kesehatan. para kader
kesehatan ini setiap bulan mendapatkan honor yang lumayan, Rp.
500.000,- setiap bulannya. Angka ini cukup fantastis dibandingkan dengan
rekan-rekannya di Jawa yang setahu saya berada pada kisaran Rp.
15.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- setiap bulannya.
Untuk
memperluas jangkauan pelayanan, menurut dokter Pobi, Puskesmas juga
melatih para kader untuk dapat memberikan terapi pengobatan. Perawat
Puskesmas, Habibi, menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang
dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan pengobatan
tersebut. Ahh… kita tidak sedang membahas UU Praktek Kedokteran dalam
diskusi kali ini.
Kondisi yang sangat
memprihatinkan pada saat ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini,
sejak Januari sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru
HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas Bokondini.
Sementara jenis penyakit menular seksual lainnya juga diketemukan
berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS tersebut.
Rupanya
praktek seks bebas di masyarakat turut mempercepat persebaran penyakit
yang lekat dengan stigma ini. “Itu pak… masyarakat di sini itu suka itu…
apa… ‘tukar gelang’…”. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada
perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah dilakukan, maka
mereka bebas untuk melakukan “hubungan”. Hal ini masih belum ditambah
dengan tradisi lain yang di’import’ dari Wamena, “goyang oles”,
bergoyang dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan badan,
oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih intim.
Banyak
hal yang masih harus dibenahi sebelum pemekaran benar-benar
dilanjutkan. Banyak PR yang seharusnya diselesaikan. Terlalu dini
Bokondini. Terlalu dini…
(ADL)
Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat??!
Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus menyusuri Sungai Barito.
Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.
Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid yang terlihat klasik dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat jama’ah sholat subuh berjamaah baru bubar di masjid ikonik tersebut.
Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu tercapai. Kami mendapat harga Rp.250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.
Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.
Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak seberapa lama di sisi kiri nampak Sermaga Penumpang Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.
Ketika kami tiba di lokasi PasarTerapung, masih belum banyak perahu para pedagang yang biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan ‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis barang dagangannya. Terlihat sangat eksotik, saat perahu para pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang mulai menampakkan hidungnya.
Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami. Woww… surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan kopi! Hahaha… warung kopi terapung bok!
Untuk mengambil gorengan yang tersedia di atas perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda. Panjang galah lak lebih dari 1,5meter. Pembeli tinggal mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut. Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat. Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih brasa seperti mancing.
Kami pun asyik menyantap gorengan yang ditawarkan. Saya sendiri menghabiskan dua potong bakwan dan satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk sarapan pagi.
Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering, sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai. Menggunakan sabun juga memang, tapii…
Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh. Coklat.
Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali, di sepanjang aliran sungai yang kami lalui. Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup, tapi…
Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh… jangan-jangan hanya karena saya saja yang terlalu lebay.
Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke rumah-rumah penduduk. “Iya pak, air bersihnya sudah ada, sudah sampai ke rumah-rumah… hanya saja masyarakat sini sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan aktivitasnya di sungai… MCK juga sudah disediakan pak.”
Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%. Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%. Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan perilaku yang dinampakkan.
Angka cakupan “PENGAKUAN” perilaku buang air besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut? Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei yang dilakukan secara cross sectional.
Ahh… jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang lebay.
(ADL)
SURGA KECIL RAIJUA; Sebuah Catatan Perjalanan
Agung Dwi Laksono
Kupang, 02 Mei 2015
Kupang, 02 Mei 2015
Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten berpulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi sasaran eksplorasi.
Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten baru ini dimulai pertanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota kabupaten ini bukanlah tujuan saya kali ini, Pulau Raijua, pulau yang jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, yang menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini.
Dalam pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI., Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Sementara di dalam level Provinsi Nusa Tenggara Timur Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat akselerasi pembangunan di wilayah setempat.
Untuk menuju Sabu Raijua saya setidaknya saya harus melalui dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Dari home base saya tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE), karena tercatat ada tiga maskapai yang mengoperasikan jalur ini. Hal ini berbeda dengan jalur Kupang-Sabu, yang tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis kepunyaan seorang menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu. Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua. Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur satu-satunya yang tersedia, jalur laut.
Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan seorang lagi psikolog. Mereka di’tanam’ di sana tak terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi saja saat saya datangi.
***
MEMULAI PERJALANAN
Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, Surabaya-Kupang, bukanlah perjalanan yang istimewa, biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik untuk diceriterakan. Hanya saja saya menginap di Hotel La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di dekat bandara, yang ternyata membuat saya surprised, bahwa saya satu-satunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka lembaran-lembaran dokumen yang ada di gengaman tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts keyboard didepannya.
Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12 orang, yang hanya berisi 10 penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari Australia.
Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.
Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua, saya percaya dengan rencana-rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil yang menjemput Sofyan, diantar melihat kalau-kalau masih ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada akhirnya.
Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.
HARI KE-TIGA. SAATNYA MENUJU RAIJUA
Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.
Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada,menurut informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar sa, jam 9.00 kapal baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke penginapan.
Jam11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sudah sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak tunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.
Jam13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi (minuman keras khas penduduk NTTdan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.
Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai ketinggian empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.
Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter. Bukannya apa-apa, saya sedikit trauma dengan pola "transfer" model begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke permukaan dermaga. Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik.
Ke-Maha Baik-an-Nya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua orang yang ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu, satu-satunya Puskesmas yang adadi Pulau Raijua yang bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat di wilayah ini. Saya diajak bareng dengan mobil ambulan untuk menuju Desa Kolorae, dimana dua rekan peneliti sedang grounded disana.
Belum selesai percakapan ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak untuk bersama menumpang dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya dustakan?
Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai pagar.
Rumah tradisional model ini masih cukup mendominasi di wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa sudah berganti dengan tembok.
Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak. Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas saja bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat sama sekali orang luar tidak diperbolehkan untuk memasukinya, bahkan pada rumah-rumah ada tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.
Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan-pelatihan budidaya rumput laut.
Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Tapi kali ini sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.
Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman sertauntuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.
Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di republik ini.
HARI KE-EMPAT; MEMULAI PAGI DI RAIJUA
Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh menuju angka enam, saat riuh suara ina-ina (ibu-ibu) bercengkerama di sumur sambil menimba air. Menimba air dan membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan salah satu urusan ‘domestik’, urusan ibu-ibu suku Sabu (seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu, selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Pagiitu matahari menampakkan dirinya dengan gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian dimulai. Ina-ina mulai sibuk di dapur setelah urusan menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak, ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah, sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab ina untuk menyelesaikan.
Dalam pengamatan anak-anak Raijua tumbuh normal sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan tahun 2013.
Dalam
pengamatan saya banyak sekali potensi sumber bahan makanan lokal yang
bisa dijadikan sumber nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat
biasa didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar, sementara
bahan makanan lokal yang tersedia adalah sorgum, meski keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh curah hujan.
Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.
Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil pickup. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.
Sumber bahan makanan yang mengandung protein cukup banyak tersedia, baik hewani maupun hayati. Sebagai wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak “nasi kacang merah” (memasak nasi yang dicampur dengan kacang merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah satu penghasil gula Sabu yang cukup terkenal.
Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi. Keberadaannya masih di wilayah Kolorae juga, hanya saja jalanan yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat bergoyang-goyang di atas bak terbuka mobil pickup. Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.
Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas. Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti memencet tombol shutter kamera sambil berdiri di atas pickup yang terguncang.
Hamparan rumput yang demikian luas dengan beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah. Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak! Karena sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di atasnya.
Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua saat ini. Ahh… kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.
Kami bergegas menuju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak. Sepertinya memang bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa menaikinya, body montok ini terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja.
Tak jauh dari mercusuar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang sengaja dibuat untuk membuat garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.
Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet plus bonus celana sobek. Tapi upaya kami menyusuri barisan bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak kagum.
Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu sekali.
Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan untuk menginang.
Malam semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.
***
Ahh… akhirnya saya harus pulang juga. Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya. Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa dengan surga kecilmu.
(ADL)
Langganan:
Postingan (Atom)