Surabaya, home sweet home, 23 April 2012
dear all,
Pagi
cerah seperti biasanya saat Bidan Istiwati baru saja sampai di ujung
meja kerjanya. Bertumpuk-tumpuk berkas pengajuan klaim Jaminan
Persalinan (Jampersal) yang diajukan seluruh bidan pemerintah maupun
bidan swasta yang punya kerja sama dengan dinas kesehatan, memenuhi meja
kerjanya yang hampir tak menyisa sedikit ruang untuk sekedar menulis.
Hari
ini, merupakan bulan ketujuhbelas sejak Mei tahun lalu, Bidan Istiwati
menjalankan tugas sebagai verifikator pengajuan klaim Jampersal.
Posisinya sebagai salah satu staf di Bidang Kesehatan Keluarga (Kesga)
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur serta profesinya sebagai
salah satu bidan di Kabupaten bekas Kerajaan Majapahit tersebut
membuatnya terpilih mengemban tugas yang memerlukan ketelitian extra.
Hari
ini, tahun ke-dua Bidan Istiwati menekuni berkas-berkas yang tak pernah
menyusut. Sosialisasi Jampersal yang semakin intens membuat jaminan
pembiayaan untuk ibu hamil, bersalin sampai nifas tersebut semakin
populer, yang berarti semakin banyak yang memanfaatkan, dan berarti pula
semakin tinggi tumpukan berkas pengajuan klaim yang memenuhi meja Bidan
bersahaja ini.
“Dulu berkas-berkas ini saya kerjakan
sendiri mas, tapi saat ini... yaaa saya sudah gak mampu lagi
mengerjakannya sendirian. Saat ini sudah dibentuk tim yang ikut membantu
saya memverifikasi berkas pengajuan klaim Jaminan Persalinan ini...” demikian Bidan Istiwati bercerita tentang tugas yang akhirnya menjadi pekerjaan rutinnya tersebut.
***
Keberhasilan
sosialisasi hingga penyerapan dana pertanggungan pembiayaan di wilayah
ini disinyalir masih belum bisa menggeser kematian ibu untuk menjadi
turun, seperti yang diharapkan dan menjadi tujuan dari jaminan
pembiayaan persalinan oleh pemerintah pusat. Kurun waktu yang telah
lewat setahun masih menjadi ajang perbaikan dari sisi manajemen serta
pembenahan administrasi yang carut marut pada tahun pertama saat
kebijakan ini diluncurkan.
Kebijakan
yang menimbulkan banyak permasalahan dan protes ini dinilai beberapa
aktor pelaksana lapangan sebagai kebijakan yang gagal, kebijakan yang
dinilai belum siap diluncurkan di area publik.
“Jampersal ini
kebijakan yang semrawut. Kebijakan gagal yang seharusnya belum siap di
lapangan. Sudah seharusnya kebijakan Jampersal ditarik kembali...” sungut
salah satu aktor pelaksana lapangan dari Rumah Sakit Sukandar, salah
satu rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Mojokerto.
Sebuah pernyataan yang tak sepenuhnya salah, meski juga tak sepenuhnya benar.
“Sampai kapan
kita menunggu kebijakan ini diluncurkan? Nunggu ibu dan bayi yang mati
semakin banyak? Kapan kita dikatakan siap? Kita tidak akan pernah bilang
benar-benar siap untuk itu. Lebih baik kita jalankan saja, kita
perbaiki segala sesuatunya sambil jalan... sebelum semakin banyak ibu
dan bayi yang mati akibat proses persalinan...” demikian putusan yang diambil policy maker (pembuat
kebijakan) di tingkat pusat pada saat akhirnya benar-benar memutuskan
untuk mengambil kesempatan peluncuran kebijakan jaminan persalinan ini.
Banyak keluhan yang disampaikan saat kebijakan yang dikatakan prematur ini benar-benar diimplementasikan di lapangan.
“Jampersal itu jaminannya terlalu kecil. Ga sesuai dengan standar pasaran.”
“Jampersal itu yang ditanggung kok hanya paket itu saja ya? Seharusnya kan semuanya secara lengkap...”
“...ini bahan habis pakai kenapa tidak dibayar? Kenapa harus kita yang sediakan?”
“Bila tidak dicukupi semua biayanya, lebih baik Jampersal dibubarkan saja!”
Huft... fiuuhhh...
Mari kita buka kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang “Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”.
Pada Pasal 2 ayat 4 dalam kebijakan tersebut menyebutkan bahwa bidang
kesehatan merupakan salah satu dari 31 bidang yang merupakan urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah Kota/Kabupaten. Secara lebih tegas lagi
pasal 7 ayat 2 menyebutkan bidang kesehatan sebagai salah satu urusan
wajib urutan ke-dua setelah kesehatan.
So... pada saat
Kementerian Kesehatan memberikan jaminan pertanggungan pada persalinan,
maka sesungguhnya hal tersebut adalah suplemen, bukan yang utama.
Kewajiban yang utama ada pada pemerintah Kabupaten/Kota.
Jadi,
pada saat ada segala sesuatu yang kurang tentang Jampersal, maka yang
bertanggung jawab seharusnya adalah Pemerintah Kabupaten/Kota, bukannya
Kementerian Kesehatan sebagai perwakilan pusat.
Pemerintah
Pusat sendiri, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, boleh dikatakan
telah melanggar aturan yang telah ditetapkan, yaitu mencampuri apa yang
menjadi urusan dan kewenangan wajib pemerintah daerah, dalam hal ini
Pemerintah Kabupaten/Kota, semata-mata hanya karena ketidaktahanan
Menteri Kesehatan melihat ibu dan bayi yang mati mengenaskan di Republik
ini.
“Mereka yang mati itu, ibu dan bayi yang mati itu... mereka rakyatku...” desisnya.
***
*muhun ma'af, maunya nulis cerpen tapi keburu hari senin, jadinya dipake sebagai bahan diskusi aje
-ADL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar