by Agung Dwi Laksono
Salah satu indicator yang paling krusial di dalam kebijakan pembiayaan kesehatan adalah indicator equity (keadilan), yang kalo menurut saya… sekali lagi menurut saya, ‘adil’ itu tidak harus sama dengan ‘sama rata’, equity tidak sama dengan equality. Yang miskin dan yang kaya tidak harus mendapat hak yang sama, harusnya ada pembedaan. Tapi ini kan menurut saya, sedang saya bukan ‘penggedhe’ pengambil keputusan, cuman peneliti yang hobby ‘nggrundel’.
Sedang menurut Bravement dan Gruskin (2003) equity adalah;
“Equity means social justice or fairness; it is an ethical concept, grounded in principles of distributive justice. Equity in health can be—and has widely been—defined as the absence of socially unjust or unfair health disparities. However, because social justice and fairness can be interpreted differently by different people in different settings, a definition is needed that can be operationalised based on measurable criteria“.
WHO (2008) lain lagi, secara praktis mendefinisikan equity atau keadilan di dalam akses terhadap pelayanan kesehatan (Equity in Accessibility) adalah sebagai rasio pemanfaatan pelayanan kesehatan antara tingkat ekonomi perkapita terendah (paling mlarat) terhadap tingkat ekonomi perkapita tertinggi (paling sugih). Artinya bahwa distribusi frekuensi antar tingkatan ekonomi mempunyai rasio yang seimbang atau hampir seimbang.
Belajar dari Kasus Banyuwangi
Kebijakan sistem pembiayaan kesehatan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi adalah penggantian biaya yang ditanggung oleh pemerintah daerah untuk biaya rawat jalan sampai pada pelayanan dasar di tingkat puskesmas. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh penduduk, sugih mlarat podho wae… sama saja! Semua gratis!!!
Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dibesut oleh Badan Litbang Depkes dan saya kompilasi dengan data Susenas tahun 2007 besutan Badan Pusat Statistik sehingga kita bisa mendapatkan gambaran distribusi frekuensi tingkat ekonomi (pengeluaran) dari masyarakat Banyuwangi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas, sebagai berikut;
Kuintil Tingkat Pengeluaran
Kuintil 1 (paling mlarat) --> 27.3%
Kuintil 2 --> 16.8%
Kuintil 3 --> 19.9%
Kuintil 4 --> 19.2%
Kuintil 5 (paling sugih) --> 16.8%
Berdasarkan gambaran komposisi persentase di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan fasilitas rawat jalan di puskesmas yang biayanya ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi terbanyak ada pada tingkat pengeluaran terrendah (kuintil 1 ato paling mlarat). Meski perbedaan distribusi persentasenya terpaut tidak terlalu jauh.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan system pembiayaan yang diberlakukan di Kabupaten Banyuwangi sudah memiliki tingkat keadilan terhadap akses pelayanan kesehatan yang dijamin (equity in accessibility) sangat baik. Saya memutuskan ‘baik’ ini secara obyektif, karena target kebijakan pembiayaan kesehatan di Banyuwangi adalah memang untuk seluruh penduduk, sama rata!
Tapi itu pandangan obyektif saya! Secara subyektif saya blas gak setuju pwoooll! Harusnya ada pembedaan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, tidak hantem kromo semua mendapat hak yang sama. Dan lagi-lagi ini akibat janji politik, dan lagi-lagi saya juga harus mengakui ‘public health is a policy’
Tapi lagi-lagi ini menurut saya, sampeyan bebas berpendapat lain, kalo bisa juga memang berpendapat lain, biar diskusinya agak rame!
Piye? Yang lain yo… please..
Pustaka
Braveman, P and S Gruskin, 2003. Defining equity in health. Journal Epidemiology Community Health 2003;57; halaman 254-258
World Health Organization, 2008. Primary Health Care; Now More Than Ever. World Health Organization, Geneva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar