Studi Kasus “Petronela Apai”
Studi
kasus pengasingan perempuan Etnik Muyu yang pertama, dilakukan pada
proses persalinan yang dialami oleh Petronela Apai. Penulisan secara
naratif dimulai dengan perasaan Petronela pada saat menerima berita
kehamilan, persalinan, dan sampai dengan tiga hari masa nifas.
Berita Kehamilan; Perasaan Seorang Istri
Di
saat mendapati dirinya sering merasa mual-mual dan pusing, Petronela
mulai berhitung. Petronela menelisik lebih jauh, kapan dia mendapat
menstruasi terakhirnya? Berapa lama dia tidak mendapatkan hal “kotor”
itu? “Ahh… apakah aku beruntung bisa mendapatkan anak ketiga?” pikirnya.
Kepastian
bisa didapatkannya setelah menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas
Mindiptana. Bidan Natalia Tuwok dan Suster Rosa Mianip yang memeriksanya
membuat senyum simpulnya terkembang seharian itu. Petronela dinyatakan
tengah mengandung, menginjak usia kehamilan bulan ke-tiga. Sungguh
keberkahan yang sangat disyukurinya. Anak ke-tiga ini akan melengkapi
hidupnya setelah Samorika Yukamoh (9 tahun) dan Engelbertus Yohanes (2
tahun 7 bulan) hadir terlebih dahulu dari rahimnya.
“Tapi…,“
Petronela menghela nafas panjang mengingat hal itu, tradisi pengasingan
itu, yang harus dijalaninya. Sungguh sesak dadanya membayangkannya.
Kelanjutan kehamilannya enam bulan ke depan, yang harus diakhirinya di
pengucilan. Bayangan tana barambon ambip yang sempit dan dingin
sungguh membuat kebahagiaan dengan berita kehamilan yang baru
diterimanya sekejap hilang. “Haruskah…?” keluhnya.
Sebagai
seorang perempuan yang terlahir di tengah Etnik Muyu, Petronela merasa
tidak bisa menghindar untuk menjalani persalinan di tana barambon ambip, yang oleh masyarakat di sekitarnya biasa disebut sebagai bévak. Mau tidak mau dia terjebak di dalam adat tradisi yang harus dijalaninya. Tidak ada tawar menawar untuk hal ini.
Petronela merasa lebih nyaman bila dia bisa melahirkan di rumah dibandingkan di bévak,
dan bahkan bila dibanding melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit
sekalipun. Bayangannya pada kesendirian di pondok pengasingan sungguh
membuat Petronela merasa tak nyaman, membuatnya merasa disingkirkan.
“ahh... seandainya bisa memilih... alangkah nyamannya bisa melahirkan di
rumah saja...,” bisik batin Petronela.
Tetapi
rumah yang ditinggali Petronela saat ini bukanlah rumahnya. Ini rumah
orang tuanya, dimana Petronela dan saudara-saudara dan ipar-iparnya yang
lain tinggal bersama-sama. Dia tak punya kuasa apapun atas rumah ini…
Laki-laki Muyu; Sikap Seorang Suami
Eduardus
Kimbum (35 tahun), adalah seorang suami yang sangat membanggakan bagi
Petronela. Suami yang dirasakan sangat mencintainya dengan sangat. Suami
yang mendukungnya dengan penuh, yang telah memberikan dua anak yang
sangat manis.
Eduardus
yang menikahinya pada tanggal 15 Juli 2013 secara Katolik, meski sudah
menikah secara adat sebelumnya, sangat menginginkan agar Petronela dapat
melahirkan di rumah saja, tidak perlu harus mengasingkan diri ke bévak. Eduardus sangat ingin bisa menemani istri yang sangat disayanginya pada saat-saat penting itu.
Sebagai
suami-istri, dan juga sebagai sebuah keluarga, Eduardus dan Petronela
sudah sangat jarang merengkuh kebersamaan. Kalau tidak karena kewajiban
untuk segera dapat melunasi hutang tukòn (Tukòn adalah
mahar untuk “membeli” perempuan pada Etnik Muyu) yang diminta kakak
laki-laki Petronela, Eduardus ingin bisa terus bersama-sama dengan
keluarga kecilnya.
Harga sensor (gergaji mesin) yang lima belas juta rupiah sebagai tukòn
saat Eduardus mempersunting gadis pujaannya, Petronela Apai, sungguh
berat bagi Eduardus Kimbum yang hanya bekerja sebagai buruh tambang
pasir di Kali Wet-Tanah Merah, yang membuatnya harus hidup terpisah
dengan keluarganya, harus menetap di Tanah Merah. Kalau seandainya kakak
iparnya tidak mengancam akan membongkar rumah bantuan pemerintah yang
hendak diterimanya, mungkin Eduardus akan mengulur waktu melunasi hutang
tukòn tersebut, semata agar bisa lebih sering menemani
istrinya, agar bisa lebih lama menikmati kebersamaan, bersama istri dan
juga buah hatinya.
Sungguh,
bagi Eduardus Kimbun dan Petronela Apai sangat mahal arti sebuah
kebersamaan. Kewajibannya sebagai orang Muyu untuk menjalani tradisi,
yang mengharuskan Petronela dikucilkan di bévak, membuat dada
Eduardus sesak. Lelaki Muyu itu menyadari bahwa dia harus mengikuti
tradisi yang sudah digariskan para leluhurnya, tapi sungguh Eduardus
merasa kebersamaan bersama istrinya juga sangat penting bagi mereka.
“Tidakkah
mereka mengerti kondisi ini?” keluhnya. Tapi tradisi yang hendak
dilawannya terlalu kuat. Masyarakat yang mengelilinginya tidak
memberinya sedikitpun kelonggaran. Keluarga yang diharapkan bisa
mengerti dengan kondisinya pun bersikap setali tiga uang, sama saja,
bersikukuh bahwa Petronela Apai harus dikucilkan di bévak.
Keluarga Muyu; Keteguhan pada Tradisi
Sikap
yang ditunjukkan ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di rumah
panggung turut membuat perasaan Petronela dan Eduardus Kimbum, suaminya,
tak menentu. Sebagian besar dari mereka terus mendesak agar Petronela
melahirkan di bévak. Keluarga besar Petronela tidak mau menanggung iptém persalinan yang mereka yakini akan memberi dampak buruk pada kesehatannya.
Petronela
dapat merasakan rasa sayang dan dukungan adik lelaki satu-satunya,
Agustinus Apai (22 tahun), yang sama sekali tidak mau berkomentar soal
keharusan pengucilannya saat bersalin nanti ke bévak. Tapi
apalah daya, satu suara sama sekali tidak berpengaruh banyak dibanding
seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah panggung kayu, tempat dia
dan suaminya menumpang. Victor Tenjab (52 tahun; ayah Petronela) dan
Poli Apai (36 tahun; kakak laki-laki) sama sekali tidak bergeming.
Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke bévak saat bersalin nanti.
Sementara
Yosefita Apai (29 tahun), adik perempuan satu-satunya, yang diharapkan
dapat mendukungnya sebagai sesama perempuan Muyu, untuk sebuah
kelonggaran terhadap tradisi yang sudah turun temurun itu, ternyata tak
juga bisa membesarkan harapannya. Yosefita seakan sama sekali tidak
peduli hal itu. Dia turut bersuara keras agar bévak segera
dibangun, agar tidak terlambat didahului sebuah kelahiran, seperti
dahulu, saat Petronela melahirkan yang anak yang pertama, Samorika
Yukamoh, yang keduluan lahir sebelum bévak sempat didirikan.
Theresia Kiripan (26 tahun), perempuan Muyu lainnya yang tinggal di
rumah kayu panggung pun bersikap sama saja dengan Yosefita Apai. Kakak
ipar Petronela itu turut mendukung suaminya, Poli Apai, untuk
mengasingkan Petronela di bévak.
Mau
tidak mau pengucilan harus dijalani Petronela. Meski jauh di lubuk
hatinya Petronela enggan, sangat enggan! Tradisi harus dijunjung tinggi
bila tidak mau dijauhi, adat harus dipegang kuat bila tak ingin
dilaknat, dan bahkan bila Petronela terpaksa harus sekarat.
Sebuah
ketakutan besar yang memenuhi kepala Petronela bila tradisi pengasingan
turun-temurun itu dilanggar, bila Petronela benar-benar harus dihukum,
dijauhi keluarganya. Dijauhi masyarakat Petronela masih merasa bisa
bertahan. Tapi dijauhi keluarga? Sungguh Petronela tak kuasa
membayangkan hal itu. Bagaimana bila dia diusir dari rumah panggung itu?
Bagaimana bila dia harus putus hubungan dengan keluarganya? Bagaimana
dia harus menjelaskan pada anak-anaknya bila bertanya tentang kakeknya?
Membangun Bévak; Rumah Pengasingan
Saat
itu, baru minggu ke-dua memasuki bulan April 2014, usia kehamilan
Petronela telah mencapai umur sembilan bulan, sebentar lagi saat-saat
menegangkan itu akan segera tiba. Suami Petronela didesak keluarganya
untuk segera mempersiapkan diri membuat bévak, gubuk kecil
sederhana yang akan menjadi ‘rumah tinggal’nya nanti selama beberapa
hari ke depan bersama anak yang akan dilahirkannya.
Petronela pun juga berharap, bévak yang
akan segera dibangun suaminya dapat segera selesai. Segera berdiri,
sebelum keburu jabang bayi yang dikandungnya lahir ke dunia. Tidak ada
alasan apapun bagi Petronela untuk mengharapkan segera terselesaikannya bévak
itu, kecuali ketakutan yang sangat besar akan konsekwensi bila
Petronela tidak ikut menjalankan tradisi ratusan tahun yang telah
mendarah daging di masyarakat Etnik Muyu tersebut.
Eduardus
pun bersegera membuat persiapan sederhana. Mengumpulkan daun-daun sagu
untuk dikeringkan, mengukur dan memotong sisa papan yang disimpannya di
bawah rumah panggung, dan mencari beberapa batang kayu berukuran sedang
dan kecil untuk tiang dan kerangka panggung dan atap bévak yang akan dibangunnya nanti. Tak lupa beberapa ruas rotan yang disiapkan untuk tali pengikat daun-daun sagunya nanti.
Eduardus,
dengan dibantu Poli Apai, kakak laki-laki Petronela, menjalin satu
persatu daun-daun sagu yang telah dikeringkan, yang dipergunakan sebagai
dinding, dan juga atap pelindung bévak. Sementara sisa papan yang telah dipotong rapi dipergunakan sebagai dasar lantai panggung bévak.
Entah, apakah dinding dan atap dari jalinan daun-daun sagu itu bisa
menahan hawa dingin hembusan angin wilayah Pegunungan Tengah?
Pada akhirnya berdirilah bévak itu! Rumah pengasingan yang sangat sederhana. Berukuran tak lebih besar dari 1,5 meter x 1,5 meter. Tidak tersedia fasilitas apapun di dalam bévak. Tidak tempat tidur, tidak meja, ataupun kursi. Bagaimana pula meubelair sederhana seperti itu bisa masuk dalam gubuk se”megah” bévak?
Sebenarnya bévak sederhana
itu dibangun berjarak tak lebih dari 15 meter dari rumah kayu utama
tempat Petronela dan saudara-saudaranya tinggal. Tetapi kondisi jalan
tanahnya yang sangat licin, dan langsung berupa turunan, serta dibangun
di tengah tegalan yang sepertinya tidak terurus, sungguh memerlukan
perjuangan untuk mencapainya. Apalagi bagi Petronela, perempuan Muyu
yang tengah mengandung sembilan bulan. Sembilan bulan!
Saat Persalinan
Siang itu, Kamis, 24 April 2014, Petronela memakan dengan lahab papéda
buatan suaminya. Dengan kuah ikan kesukaannya, bubur sagu itu terasa
nikmat sekali siang itu. Dengan ditemani Eduardus suaminya, makan siang
hari ini terasa sangat sempurna. Tiba-tiba saja Petronela merasakan
sakit pada perutnya. Pengalaman Petronela sebagai seorang ibu dengan dua
kelahiran sebelumnya membuatnya merasa yakin, bahwa sebentar lagi
waktunya akan tiba. Dia harus bergegas!
Menurut
perhitungan Bidan Natalia Tuwok dari Puskesmas Mindiptana saat datang
memeriksa pagi tadi, seharusnya Petronela baru akan melahirkan sekitar
jam dua siang. Sekarang masih kurang satu setengah jam lagi dari
perhitungan, tapi rasa-rasanya waktunya sudah dekat.
Dengan
memasang tanda salib di tubuhnya, Petronela dilepas suaminya dengan
pandangan yang lekat menatap tak berkedip, Petronela berjalan seorang
diri, menuruni jalan setapak tanah yang terjal itu, menuju rumah
pengasingannya, bévak. Tak lagi sempat memikirkan kesendirian yang hendak dijalaninya, yang ada hanya keinginan untuk segera sampai di bévak. Rasa di perutnya sudah tak tertahankan lagi. Rasanya ingin segera sampai!
Sebentar
terpeleset, sebentar berdiri tegak, dan sebentar kemudian tertatih
maju, selangkah demi selangkah. Petronela harus menguatkan tekad. Dia
harus segera sampai di bévak itu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya naik ke panggung bévak, Petronela
merasakan anaknya akan segera keluar. Rasanya sudah di ujung. Kepala
bayinya telah menyeruak keluar. Tak lagi sempat berbaring, dalam posisi
berdiri Petronela memegang kepala bayinya yang menyembul di jalan lahir.
Rasanya susah sekali memegang kepala bayinya dengan tangan melewati
belakang pahanya. Rasa sakit tak tertahankan tak lagi dihiraukannya,
”Anakku harus terlahir selamat!”
Demi melihat
Petronela yang berjuang sendirian, Eduardus berlari, secepat kilat
bergegas menghampiri Petronela. Persetan dengan tradisi! Persetan dengan
amòp (pamali atau pantangan) yang dalam keyakinan
Muyu bisa membuatnya sakit, yang Eduardus tahu istrinya sedang
membutuhkannya, istrinya sedang meregang nyawa melahirkan anaknya, darah
dagingnya!
Tak membutuhkan waktu lama,
jabang bayi merah salah satu penerus generasi Muyu terlahir dengan
selamat. Petronela berbaring dengan nafas yang masih terengah. Eduardus
mengambil alih bayi merah yang baru saja keluar dari rahim Petronela.
Nafas lega mengiringi keduanya, saat-saat genting telah lewat. Jabang
bayi yang masih merah itu diletakkan di lantai papan dengan dialasi
kain.
Tali pusat telah dipotong Eduardus
dengan gunting yang ditemukannya tergeletak begitu saja di rumah, dan
lalu mereka terdiam. Saling menatap dalam sepi. Mencoba memahami apa
yang baru saja terjadi. Tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan.
Untung
saja Bidan Natalia Tuwok segera datang. Rupanya ada yang memberitahu
Bidan Natalia bahwa bayi Petronela telah lahir. Meski terlambat,
Eduardus dan Petronela tetap saja senang dan bersyukur dengan kehadiran
bidan asli Muyu itu. Setidaknya Bidan Natalia Tuwok tahu apa langkah
selanjutnya yang harus dilakukan.
Natalia
Tuwok, bidan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Mindiptana
bergegas datang. Tak lebih dari setengah jam, jarak kurang lebih 15
kilometer dilahapnya dengan motor Honda Win ber-plat merah miliknya.
Seandainya saja jalanan sepanjang itu masih banyak lubang menganga yang
dipenuhi lumpur seperti tahun lalu, tentu saja Bidan Natalia Tuwok perlu
waktu lebih lama untuk mencapai rumah Petronela di Wanggatkibi. Bidan
putri mantan Camat Woropko ini tinggal di Kampung Mindiptana, di rumah
dinas yang bersebelahan dengan Puskesmas Mindiptana.
Tugas
selanjutnya untuk bersih-bersih, perawatan bayi serta ibunya, diambil
alih oleh Natalia Tuwok. Bidan yang masih saja betah membujang ini
merawat bayi Petronela dengan cekatan. Tali pusat yang dipotong Eduardus
dipotong kembali dengan rapi. Eduardus hanya membantu menyiapkan air
panas saja. Usapan lembut kain yang dicelup dengan air hangat untuk
membersihkan bayi Petronela seakan memancarkan kasih sayang dari hati
Bidan Natalia Tuwok yang tulus. Petronela merasakan ketulusan itu,
mereka terlibat obrolan hangat berjam-jam setelahnya.
Hari
itu berhasil dilalui dengan kelegaan. Bayi dan ibunya akhirnya selamat.
Kebahagiaan yang dirasakan Petronela seakan menghapus sementara
kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya. Yaa… hanya sementara.
Menjalani Pengasingan
Kelegaan
akan kelahiran bayi dan ibunya dengan selamat masih harus ditahan
sebagai sebuah kebahagiaan yang penuh dan sempurna. Beberapa hari ke
depan Petronela beserta bayinya harus tetap tinggal di pengasingan.
Malam pertama Petronela tinggal di bévak terasa
sangat asing. Ruangannya terasa sempit, bahkan kakinya harus sedikit
ditekuk saat berbaring, atau menjulur keluar ke arah pintu bila ingin
diluruskan. Petronela merasa dingin sekali malam itu. Anyaman daun pohon
sagu yang dibuat suaminya tak sanggup menahan hawa dingin yang
menyergap saat malam mulai turun, apalagi pintu bévak terbuka
begitu saja tanpa penutup. Yang diingat Petronela hanya bayinya saja.
Dia tidak boleh kedinginan. Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas
badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti
dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun
dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya.
Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.
Malam
ini terasa sangat gelap, halimun tipis mulai turun memenuhi tegalan
belakang yang lebih mirip hutan. Lentera yang dipasang suaminya sinarnya
tak mampu menembus kegelapan malam. Mendung bergayut
menutupi pantulan sinar rembulan. “Semoga malam ini tidak turun hujan…,”
bisik Petronela dalam harap, sambil merapatkan selimut anaknya.
Kekhawatiran Petronela bukannya tanpa alasan. Wilayah Pegunungan Tengah
ini adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di Propinsi
Papua. Hampir tiada hari yang terlewatkan tanpa turun buliran air dari
langit.
Lamunan
Petronela Apai terhenti, saat dengkur halusnya mulai terdengar pelan dan
teratur. Perjuangannya menyabung nyawa saat siang tadi cukup membuat
tubuh kecilnya kelelahan. Untung saja perempuan Muyu itu kuat. Petronela
tidak mau dikalahkan.
Pagi itu Petronela terbangun dengan suara anak gadisnya, Samorika Yukamoh yang datang menyusul ke bévak.
“Ahh… kunjungan pagi yang menyenangkan…,” desis Petronela lirih.
Bibirnya meengkung, senyumnya mengembang, gadis kecil itu mulai beranjak
besar rupanya. Cerewetnya sungguh minta ampun. Tapi kehadirannya
sungguh membuat hati Petronela bersinar. Sesekali tertawa tergelak
dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu.
Pagi
itu di bibir Petronela tersungging senyum yang manis sekali saat
suaminya datang membawakan panci berisi air panas. Ritual pagi untuk
memandikan bayinya terasa sangat menyenangkan bagi Petronela. Apalagi
dua buah hatinya, Samorika Yukamoh dan Engelbertus Yohanes, turut
bercengkerama, ikutan nimbrung di bévak. Mereka ikut-ikutan repot, atau malah merepotkan? Entahlah... meski bévak yang sempit makin terasa sempit, tapi tak sanggup mengurangi kegembiraan yang dirasakan Petronela saat ini.
Pagi ini suaminya membakar sagu kering untuk akét
(semacam kue sagu kering) dan menjerang air untuk segelas teh manis.
Suguhan sarapan pagi sederhana khas masyarakat Etnik Muyu. Rasanya
nikmat sekali dirasakan oleh Petronela. Kebersamaanlah yang menjadi
resep utama kelezatan olahan masakan suaminya. Apalagi tak berhenti
sampai di situ saja, siangnya tangan terampil Eduardus memasakkan
Petronela menu khusus untuk ibu-ibu menyusui, sayur katuk. Meski hanya
dimakan bersama sepiring besar nasi putih tanpa lauk, tetap saja terasa
sangat nikmat di lidah Petronela.
Petronela
sungguh bersyukur hari ini, tidak ada alasan apapun untuk tidak selalu
mengucap rasa syukur pada Sang Penciptanya. Tuhan sungguh sangat baik
padanya. Di saat Petronela harus menjalani pengasingan seperti ini,
diberiNya seorang suami yang sangat pengertian. Alam pun seakan turut
mendukungnya, hujan yang diturunkan pun hanya berupa gerimis kecil saja,
itupun hanya pada siang hari. Seandainya buliran-buliran air itu
diturunkan pada malam hari, tak terbayangkan di benak Petronela siksaan
dingin yang harus dihadapinya bersama Herman Kewok, demikian bayi
mungilnya itu diberi nama oleh suaminya.
Hari menjelang sore, Somarika Yukamoh tetap bertahan di bévak.
Dia memaksa ingin menemani mamanya malam ini. Petronela sungguh merasa
tak tega, tapi sekaligus juga merasa bahagia... sangat bahagia! Anak
gadisnya sungguh-sungguh dirasakan sangat menyayanginya.
Hari ini, malam ke-dua Petronela tinggal di bévak.
Kegaduhan hari kemarin sudah mulai terredam. Ketenangan dan sepi
mencekam yang ditunjukkan malam, membuatnya punya banyak waktu untuk
berpikir dan merenung. Dalam kesepiannya di bévak, Petronela
terbenam dalam lamunan panjang, bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
”Dimanakah saudara-saudaraku? Kemanakah gerangan adik perempuanku?
Kenapa mereka enggan menjengukku? Tidakkah mereka merasa perlu melihatku
di pengasingan ini…?”
Petronela heran,
Yosefita, adik kandung perempuannya tidak juga datang menjenguknya, juga
Theresia Kiripan, kakak ipar perempuannya, tak kelihatan batang
hidungnya sama sekali. Kalau saudara laki-laki dan ayahnya yang tidak
datang menjenguk, Petronela memaklumi, sangat memaklumi. Adat masyarakat
Muyu yang menggariskan amòp (pamali) bagi laki-laki mendekati
perempuan yang sedang bersalin. Tapi Yosefita? Kak Theresia? Bukannya
mereka perempuan? Pertanyaan itu seperti berdengung mengisi kepalanya,
menggantung tanpa jawaban...
Dielusnya rambut
anak sulung yang setia menemaninya malam ini. Rambut ikal gadis kecil
yang belum genab berusia sembilan tahun itu dimain-mainkannya. “Semoga
engkau juga kuat menjalani tradisi ini nak…,” bisiknya. Lidahnya terasa
kelu membayangkan pada saatnya nanti, Samorika Yukamoh, anak perempuan
satu-satunya itu, juga harus menanggung beban berat pengucilan seperti
yang dijalaninya saat ini.
Di antara lamunan
kesedihan karena kesendirian, Petronela masih sempat menyungging
senyum. Dia trenyuh dengan kesungguhan kasih sayang yang ditunjukkan
Eduardus Kimbun, suaminya. Lelaki Muyu kecintaannya itu dengan setia
memasakkannya setiap hari. Meski dengan menu-menu sederhana macam akét
dan segelas teh panas untuk sarapan pagi tadi. Tetapi ketelatenan
Eduardus itu semakin saja membuatnya merasa beruntung dipersunting
lelaki Muyu pujaannya itu. Terkadang makanan itu dibawakan anak
gadisnya, Somarika Yukamoh, dari rumah, tak jarang juga diantar sendiri
oleh suaminya.
Pagi itu hari ke-tiga sejak
Herman Kewok lahir ke dunia. Di saat Petronela asik bercengkerama dengan
anak-anaknya, Eduardus datang sambil membawakan kembali akét
dan segelas teh manis. Eduardus datang dengan senyum lebar membawa kabar
yang cukup menyenangkan. Viktor Tenjab, ayah Petronela, meminta agar
Petronela kembali ke rumah panggung hari ini, kembali berkumpul bersama
keluarga besarnya.
Biasanya, perempuan Muyu yang sedang mengungsi si bévak,
diperbolehkan kembali ke rumah induk setelah tali pusat bayinya lepas.
Tapi hal ini belum terjadi pada Herman Kewok, bayi Petronela. Hanya saja
Viktor Tenjab merasa kasihan. Kakek dari bayinya ini tidak tega
membiarkan anak beserta cucunya tinggal lebih lama lagi di bévak
yang gelap dan dingin. “Saya tak tahan lagi... kasihan mereka, sudah
dua hari mereka tinggal di sana...,” bisiknya lirih dengan mata
menerawang jauh. Bagaimanapun Petronela Apai dan Herman Kewok adalah
anak dan cucunya, darah dagingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar