Melonguane, Selasa, 22 April 2014
Siang itu kami mendarat di Bandara Melonguane dengan hentakan roda pesawat keluaran Prancis, ATR72, yang cukup keras menghantam bumi. Pesawat berpenumpang 72 seat itu terbang tiga kali seminggu melayani rute Bandara Sam Ratulangi Manado ke Bandara Melonguane Talaud pulang pergi.
Kami datang disambut dengan rinai hujan yang ringan, seakan sebuah keramahan menyambut kedatangan tamu agung! Hahaha…
Eh…
tapi benar-benar tamu agung lho! Bersama kami ada rombongan dari Polda
Sulawesi Utara. Juga terselip Konsulat Jenderal (Konjen) dari Negara
seberang Philipina.
Kami… eh
Konjen Philipina ding! disambut dengan tiga tetua adat, yang disertai
dengan suara pukulan tambur yang mengiringi sembilan pemuda Talaud
meliuk-liuk dengan gerakan maskulin dan tegas membawakan tarian dengan
menggunakan pedang dan tameng. Benar-benar menyambut tamu agung!
Kedatangan
tamu-tamu agung ini pulalah yang membuat kami harus keliling
mutar-mutar Kota Talaud, untuk mencari penginapan yang sudah pada penuh
dibooking para tamu agung tersebut.
Kota
Talaud??! Jangan dibayangkan yang indah gemerlap yak! Hanya diperlukan
tidak sampai setengah jam saja kami diantar Regina, dokter wanita asli
putri daerah Talaud, untuk menghabiskan dari sudut ke sudut ibu kota
kabupaten paling Utara Republik ini.
PERHATIAN DAN RASA IRI
Sungguh
iri sebenarnya, melihat fakta empiris di depan mata, Pemerintah
Philipina yang diwakili oleh Konjennya begitu perhatian terhadap warga
negaranya. Mereka masih mau menyempatkan diri datang berkunjung ke
wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) republik ini
untuk melihat kondisi warga negaranya yang menyeberang dan tinggal di
wilayah ini.
Yaaa… jarak yang
teramat dekat antara wilayah Kabupaten Talaud dengan Philipina yang
hanya sekitar beberapa jam saja dengan kapal laut membuat terjadi banyak
pertukaran penduduk di wilayah ini. Hanya dibutuhkan KTP saja bagi
penduduk beberapa wilayah di perbatasan laut ini untuk dapat menyeberang
dan berkunjung di Negara tetangga ini. Tanpa paspor.
Apakah saya pantas iri dengan Warga Negara Philipina itu? Entahlah… tapi nyatanya saat saya menekan keyboard di lappy saya untuk tulisan ini saya benar-benar merasakan iri yang teramat sangat atas perhatian pemerintah Philipina.
Seandainya…
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN KEADILAN PELAYANAN
Sejatinya
kedatangan kami ke wilayah ini untuk melihat upaya implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional dari sisi regulasi. Tetapi seperti wilayah-wilayah
DTPK lain yang pernah saya saksikan di negeri ini, banyak hal yang
seharusnya benar-benar kita perbaiki sebelum kita menjalankan kebijakan
JKN. Seharusnya…
Upaya
implementasi JKN secara serentak untuk seluruh wilayah republik ini
harusnya disertai dengan upaya pemerataan pelayanan kesehatan terlebih
dahulu. Atau bahkan untuk beberapa wilayah terluar dan wilayah Timur
Indonesia disertai dengan upaya ketersediaan pelayanan kesehatan
terlebih dahulu. Jangan berkoar-koar tentang pemerataan pelayanan bila
tersedia pelayanan saja tidak!
Sebagai
sebuah kabupaten, Talaud termasuk salah satu daerah miskin yang kurang
mempunyai Pendapatan Asli Daerah. Meski demikian, kemauannya untuk
memenuhi hak rakyatnya dalam pelayanan kesehatan sangat kuat. Pemerintah
setempat mengalokasikan 2,5 juta bagi bidan yang mau dan bersedia
ditempatkan di wilayah tersebut. Untuk tenaga dokter umum disediakan
insentif tambahan 2 juta selain gaji 7,5 juta yang diterimakan. Bahkan
untuk wilayah Miangas disediakan take home pay rutin sebesar 11 juta per bulannya.
Apa
mau di kata? Gaji dan insentif yang cukup besar tak bisa membuat para
tenaga kesehatan betah dan tinggal di wilayah terluar paling Utara ini.
Meyke Maatuil, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Talaud, menyatakan bahwa
banyak tenaga kesehatan yang ‘hilang’ di wilayah ini. Semacam
jaelangkung, mereka datang dan pergi tak berjejak, sementara gaji dan
insentif jalan terus (transfer melalui rekening bank). Mekanisme kontrol
sangat lemah, hanya mengandalkan niat baik dan nurani dari tenaga
kesehatan yang telah berani tanda tangan kontrak dan terima uang
insentifnya.
Keterbatasan dan
minimnya fasilitas memang menjadi kendala utama untuk penempatan tenaga
kesehatan di wilayah ini. Untuk ke Miangas misalnya, hanya tersedia
kapal perintis yang datang 2 kali sebulan menyambangi wilayah terluar
tersebut. Bisa juga sih kita sewa kapal tongkang dari kayu untuk
mencapai Miangas, tapi harus merogoh kocek cukup dalam. Sangat dalam! 50
juta sekali pergi.
Untuk
komunikasi sebenarnya sudah ada Telkomsel yang bersedia merambah wilayah
ini, meski seringkali sinyalnya pergi ga pamit. Tapi setidaknya cukup
untuk menebus rasa kangen.
CERITA TENTANG VERIVIKASI DATA
Ada cerita yang… entah lucu… entah membikin trenyuh…
Adalah
Barnadus P. Timpua, Kepala Bidang Promosi Kesehatan, yang membawahi
masalah Jaminan Kesehatan Nasional di Dinas Kesehatan, yang
menceriterakan soalan verivikasi data kepesertaan.
Dahulu…
pada saat pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang
menanggung jaminan pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin,
Pemerintah Daerah setempat juga menanggung masyarakat miskin yang tidak
tercover Jamkesmas. Saat itu istilahnya adalah masyarakat miskin non
kuota.
Masyarakat miskin non
kuota inilah yang diwadahi dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Jamkesda menanggung masyarakat miskin yang tidak tanggung-tanggung,
mencapai 23 ribu penduduk (total jumlah penduduk sekitar 105 ribu
menurut Dinas Kependudukan, atau 97 ribu menurut BPS. Jumlah penduduk
pastinya hanya Tuhan yang tahu).
Untuk keperluan Jaminan Kesehatan Nasional maka data kepesertaan harus detail ‘by name, by address’.
Maka dilakukan verifikasi ulang untuk memutakhirkan data masyarakat
miskin tersebut. Hingga akhirnya didapatkan angka 8 ribu penduduk yang
terverifikasi. Nah lhoo! Artinya selama ini ada 15 ribu penduduk
‘siluman’ yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah.
Entahlah…
banyak mahluk jejadian di negeri ini. Bukan hanya sekedar jelangkung
atau siluman. Mungkin juga termasuk para dedhemit yang membaca tulisan
ini. Hihihi…
-ADL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar