Makassar, 24 November 2012
dear all,
Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara.
Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...
***
Matahora, Senin, 19 November 2012
Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi-wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya tinggal dan menetap.
Hujan deras menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah, hujan rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri.
Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti, seorang anthropolog.
Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan, seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart yang berwarna-warni.
Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...
***
Wanci, Selasa, 20 November 2012
Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan. Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama mereka.
Tepat pukul sembian pagi perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam.
Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti lokomotif tiada henti.
Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk keluar dari speed dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...!
Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.
***
Lamanggau, Rabo, 21 November 2012
Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini.
Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan.
Secara administratif Suku Bajo menempati wilayah yang disebut Lasohilo, atau masyarakat biasa menyebut sebagai daerah bawah. Sedang penduduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini sudah membaur, juga dalam beberapa perkawinan.
Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka.
***
Onemobaa, Kamis, 22 November 2012
Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.
Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.
Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi Dive Resort’.
Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort ini. Saya masih sakit hati!
Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.
Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas.
Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di wilayah ini.
Mungkin mereka tidak tahu?
Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya?
Bupati juga pasti turut hadir saat itu.
Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.
***
Usuku, Jum’at, 23 November 2012
Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang kesehatan.
Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-adik peneliti saya itu akan menggali peran pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran pangulleh yang sudah mulai tua.
Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!
dear all,
Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara.
Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...
***
Matahora, Senin, 19 November 2012
Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi-wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya tinggal dan menetap.
Hujan deras menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah, hujan rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri.
Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti, seorang anthropolog.
Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan, seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart yang berwarna-warni.
Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...
***
Wanci, Selasa, 20 November 2012
Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan. Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama mereka.
Tepat pukul sembian pagi perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam.
Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti lokomotif tiada henti.
Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk keluar dari speed dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...!
Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.
***
Lamanggau, Rabo, 21 November 2012
Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini.
Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan.
Secara administratif Suku Bajo menempati wilayah yang disebut Lasohilo, atau masyarakat biasa menyebut sebagai daerah bawah. Sedang penduduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini sudah membaur, juga dalam beberapa perkawinan.
Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka.
***
Onemobaa, Kamis, 22 November 2012
Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.
Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.
Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi Dive Resort’.
Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort ini. Saya masih sakit hati!
Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.
Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas.
Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di wilayah ini.
Mungkin mereka tidak tahu?
Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya?
Bupati juga pasti turut hadir saat itu.
Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.
***
Usuku, Jum’at, 23 November 2012
Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang kesehatan.
Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-adik peneliti saya itu akan menggali peran pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran pangulleh yang sudah mulai tua.
Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar