Wakatobi kali ketiga!



Makassar, 24 November 2012


dear all,

Tulisan kali ini mirip dengan beberapa tulisan terdahulu tentang perjalanan menjelajah nusantara.
Tak usah berharap lebih dengan isinya. Ringan saja.
Tulisan versi saya, bercerita apa adanya dengan gaya saya. Jadi jangan juga protes dengan bahasanya yang ngepop, kan sudah saya bilang ini tulisan versi saya!
Ah sudahlah...



***
Matahora, Senin, 19 November 2012

Siang itu, sekitar jam 10.20 WITA, kami bertiga -saya dan dua peneliti muda lain- tiba dan mendarat di Bandara Matahora, bandara satu-satunya di Pulau Wangi-wangi, ibukota dari Kabupaten Kepulauan Wakatobi. Perjalanan kali ini kami tempuh sekitar dua jam perjalanan dari Bandara Hasanudin-Makassar. Perjalanan bersama Wings Air yang harus transit dulu di Kota Kendari, ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, yang saya lihat dari ketinggian langit tak lebih dari pinggiran Kota Surabaya tempat saya tinggal dan menetap.

Hujan deras menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah, hujan rahmat menyertai perjalanan kami sampai di Hotel kami biasa menginap, Wisata Beach Hotel di Wanci. Ini adalah kali ke-tiga saya menjejakkan kami di tanah Wakatobi, tidak ada yang istimewa, sesuatu yang berbeda dari perjalanan sebelumnya. Hanya saja semakin mengikat, kecintaan saya pada Republik ini, kecintaan yang selalu saja membuat saya terharu pada setiap momen. Keindahan Pertiwi yang telah melahirkan anak-anak negeri.

Sebelum saya kelupaan, saya hendak bercerita tentang dua orang yang pergi bersama saya, dua orang peneliti muda perempuan yang sangat istimewa. Ehh... bukan berarti saya bukan peneliti muda lho. Saya peneliti muda! Sangat muda malah! Baru 20 tahun...
Ehh... kembali lagi ke rekan saya. Mereka adalah dua peneliti muda kesehatan dari kantor saya bernaung -Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-, yang seorang adalah Rozana Ika Agustiya, seorang psikolog lulusan, dan satunya lagi Yunita Fitrianti, seorang anthropolog.

Peneliti kesehatan? Heeiii... tentu sajaa! Kesehatan tidak melulu berisi urusan medis, obat dan alat suntik saja. Bidang kesehatan adalah bidang multi dimensi yang berisi determinan sosial yang sungguh bejibun, dan kami terlahir untuk melengkapi itu, ‘Bidang Humaniora Kesehatan’. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sih, humaniora diartikan ”memanusiakan manusia”. Artian bebasnya adalah menjadikan setiap komponen dalam bidang kesehatan kembali seperti halnya seorang insan, seorang manusia. Tidak melulu sebagai sebuah ‘barang’, sebuah mesin, sebuah komoditi, atau sebuah angka, sekedar statistik dengan bar chart yang berwarna-warni.

Ehh... sebelum kelupaan lagi. Mereka jomblo lho...

***

Wanci, Selasa, 20 November 2012

Perjalanan kami kali ini untuk turut hidup dan berbaur di Perkampungan Bajo. Koloni Kampung Bajo yang dalam perjalanan sebelumnya didapatkan realitas selama dua tahun terakhir tidak tercatat satupun persalinan di kampung ini yang dilakukan di tenaga kesehatan. Entahlah... tapi sebaiknya kita bicarakan nanti saat sudah bersama mereka.

Tepat pukul sembian pagi perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200PK ini menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam.

Perjalanan kali ini jauh lebih nyaman, karena kapal lengang, hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal sekitar 40-an orang dengan. Hal ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang cukup lama dan membuat jengah. Bagaimana tidak? Dikurung dalam ruang tertutup selama 3 jam, bersama lebih dari 10 lelaki tak tau diri yang berlagak seperti lokomotif tiada henti.

Pernah sekali waktu saat perjalanan kembali dari Pulau Tomia, saya tidak betah dengan kepulan asap yang sungguh membikin pengap, saya memutuskan untuk keluar dari speed dan nongkrong, berpura-pura gagah, duduk di atas speed. Awalnya cukup mengasyikkan, karena speed melaju pelan di atas air yang sungguh bening sampai ke dasar laut. Dengan mata telanjang tanpa perlu snorkell saya bisa melihat karang laut yang dipenuhi ikan yang berwarna-warni bersliweran. Si nemo, clown fish yang meliuk di antara rumpul laut, atau biota laut lain yang bertebaran sepanjang pantai, atau sebuah cumi-cumi kecil yang berenang, melaju pelan, tak terganggu oleh lajunya speed. Sekitar setengah jam yang mengasyikkan duduk di atas speed, sampai akhirnya speed bergera melesat dengan kecepatan penuh, dan lalu... basah kuyuplah saya di atas speed. Brrrrrr...!

Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.

***

Lamanggau, Rabo, 21 November 2012

Kedatangan kami di Pulau Lamanggau disambut hangat oleh Bapak La Haniu, Kepala Puskesmas Onemobaa. Puskesmas Onemobaa adalah Puskesmas induk yang melayani seluruh wilayah Lamanggau ini, termasuk di dalamnya Suku Bajo yang menempati pesisir timur pulau ini.



Di wilayah Lamanggau ini, Suku Bajo secara resmi tercatat hanya sejumlah 84 Kepala Keluarga, atau sekitar 299 jiwa. Jangan salah! Jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, karena kebanyakan Suku Bajo masih suka berpindah tempat, demikian keterangan dari Sekretaris Desa Lamanggau, Bapak La Ode Mastu. Sedang total penduduk Lamanggau sendiri berkisar 900 ribuan.


Secara administratif Suku Bajo menempati wilayah yang disebut Lasohilo, atau masyarakat biasa menyebut sebagai daerah bawah. Sedang penduduk asli setempat menempati wilayah daratan, atau biasa disebut daerah atas. Meski demikian dua masyarakat ini sudah membaur, juga dalam beberapa perkawinan.

Kami tinggal di salah satu rumah penduduk Suku Bajo. Berbaur dengan mereka. Asik juga berbaur dan bercengkerama dengan mereka.

***

Onemobaa, Kamis, 22 November 2012

Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.

Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa, wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.

Puskesmas Onemobaa ini sudah 3 (tiga) tahun mangkrak tidak ditempati. Karena kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih mendekati permukiman penduduk.

Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi Dive Resort’.

Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapiiiiiiiiii! Harus menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut. Mohon ma’af, saya harus misuh-misuh untuk proses perijinan ini. Ma’af juga saya ga mau bercerita banyak tentang resort ini. Saya masih sakit hati!



Kita langsung saja ke urusan Puskesmas. Puskesmas Induk Onemobaa secara fisik masih sangat bagus dan terawat. Tiga tahun tanpa dihuni hanya meninggalkan jejak tumbuhan perdu liar yang merimbun di depannya.

Di bagian belakang gedung Puskesmas dibangun rumah dinas yang sangat megah. Berkesan mewah dan berkelas. Rumah panggung yang secara keseluruhan dibangun dengan bahan kayu yang di-finishing dengan plitur berkilat. Mewah dan berkelas.



Tapi sungguh, secara keseluruhan saya gagal paham dengan pikiran para pengambil kebijakan yang memutuskan untuk membangun Puskesmas Onemobaa di wilayah ini.
Mungkin mereka tidak tahu?
Siapa bilang?!!
Bukannya Gubernur yang meresmikannya?
Bupati juga pasti turut hadir saat itu.

Bila benar Puskesmas ini nantinya akan difungsikan, maka bisa dipastikan tidak pernah akan ada penduduk yang akan sampai di sini. Kalaupun ada yang sampai, mereka sudah akan kering di pintu gerbang resort.

***

Usuku, Jum’at, 23 November 2012

Hari ini adalah hari ke-tiga kami tinggal dan berbaur di Perkampungan Bajo. Sa’atnya saya pergi, mengikhlaskan dua peneliti muda yang bersama saya, untuk tinggal, setidaknya sampai sepuluh hari ke depan, untuk lebih lebur dan berbaur dengan Suku Bajo. Merekalah yang akan menggali lebih dalam banyak hal terkait adat budaya Suku Bajo di bidang kesehatan.

Mereka yang akan menggali tentang bagaimana ibu-ibu Suku Bajo dan ibu-ibu di Lamanggau lainnya survive dalam persalinan tanpa adanya bidan di wilayah ini. Adik-adik peneliti saya itu akan menggali peran pangulleh, dukun asli Suku Bajo dalam menjalankan aksinya. Ataupun peran sando, dukun bayi orang asli Lamanggau dalam menggantikan peran pangulleh yang sudah mulai tua.

Sudah Bajo, aku pergi. Suatu saat aku pasti kembali. Pasti!

Jambore Kader; Momentum Pemberdayaan Masyarakat Lombok Barat



Senggigi, 10 November 2012


Hari ini, tepat tanggal 10 November 2012, saat Hari Pahlawan, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat juga tengah mengelu-elukan pahlawannya. Pahlawan yang bukan hanya tanpa tanda jasa, dan bahkan bisa dikatakan pahlawan tanpa tanda biaya.



Saya hadir bersama rekan peneliti senior saya, bu WDA, yang turut berbaur dengan seribu orang lebih yang terdiri dari kader kesehatan dari 123 desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Meninting, kepala desa, camat, kepala SKPD se Lombok Barat, Puskesmas serta tidak ketinggalan dari Dinas Kesehatan. Eh.. hampir lupa! Juga turut hadir Pokja AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) dari 9 kabupaten/kota sepropinsi NTB, perwakilan dari propinsi, serta bu Cristin, perwakilan dari P2PL.

Semua tumplek blek pake kaos kuning memenuhi lapangan di pinggir pantai tersebut. Bu WDA juga ikutan pake kaos kuning berbaur dengan para kader. Saya? Yaaa... karena tubuh terlalu kurus, akhirnya ga ada ukuran yang sesuai. Hiks...



Dengan mendirikan tenda-tenda komando yang didatangkan dari Dinas Sosial, Basarnas, maupun SKPD lain, para kader akan bermalam di sini sampai hari Minggu besok. Menggalang kebersamaan, menumbuhkan kebanggaan para kader sebagai salah satu aktor pahlawan pembangunan.

Berpusat di  Coco Beach_Kerandangan, acara yang dibuka oleh Bupati Lombok Barat tersebut menggusung setidaknya 5 (lima) kegiatan sampai dua hari ke depan. Lima kegiatan tersebut menurut dr. Astarini, selaku koordinator acara Jambore Kader ini adalah;
1)      Orientasi Kader
2)      Deklarasai ODF (Open Defecation Free)
3)      Cerdas Cermat Kader Kesehatan
4)      Bakti Sosial, serta
5)      Pelayanan atau Pemeriksaan Kesehatan untuk Kader

Open Defecation Free??? Yak! Pada momentum kali ini ada deklarasi dari seluruh Desa dan Kelurahan di Kecamatan Meninting yang mendeklarasikan bahwa Kecamatan Meninting sebagai Kecamatan ODF. Di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat hal ini biasa disebut oleh Gubernur sebagai BASNO (Buang Air Besar Nol).



Sejatinya di wilayah Kabupaten Lombok Barat setidaknya sudah ada 29 desa/kelurahan yang sudah ODF. Tapi, untuk kecamatan yang seluruh desa/kelurahannya sudah ODF baru Kecamatan Meninting yang pertama. Daaaan... peran kader dan masyarakat sungguh sangat besar dalam mewujudkan ini. Saya sendiri dan bu WDA sempat berbaur saat ada kerja bakti menggali tanah untuk septictank di wilayah Meninting ini saat kunjungan sebelumnya.

Balik maning ke Jambore yak! Acara Jambore Kader ini full acara khusus untuk kader kesehatan sewilayah Kabupaten Lombok Barat. Acara banyak berisi tentang capacity building ataupun refreshing kemampuan kader tentang Posyandu dan upaya pemberdayaan lainnya.

Dalam kesempatan ini banyak diberikan penghargaan bagi kader, terutama bagi kader lestari, kader yang telah lebih dari 10 tahun mengabdikan dirinya untuk kesehatan di masyarakat.



Sebuah kesempatan yang langka, kesempatan yang tidak ada duanya. Disebutkan namanya di depan seribu orang lebih sebagai kader yang berprestasi. Diberikan kesempatan untuk bersalaman, bertatap muka, sekaligus menerima bingkisan dari Bupati maupun ibu Bupati selaku Ketua Tim Tim Penggerak PKK.
Ahh... saya bisa ikut merasai endorphin yang seakan meledak memenuhi setiap pori tubuh, membesarkan kepala yang brasa membengkak tiada tara.

Jumlah kader kesehatan di kabupaten ini semestinya 4.000 orang, tetapi yang bisa dihadirkan hanya sekitar 800 kader. Dalam rencana, menurut Kadinkes Lombok Barat, Pak Rahman, hal ini akan direplikasi dan dibagi dalam 5 (lima) regional wilayah Lombok Barat. Untuk penjadwalannya masih menunggu konfirmasi dari pihak protokoler Bupati.



Matahari telah tenggelam, acara masih berlangsung dengan seru, wajah-wajah sumringah kader masih bertebaran.

Dan saya harus pergi,
mencari sinyal yang pasti,
kerna saya tak tahan lagi,
untuk upload dan berbagi,
cerita bahagia ini...


-ADL-

KABUPATEN NATUNA, DONGENG IRONI POJOKAN NEGERI


Ranai_Natuna, 02 November 2012


Secara umum kondisi Kabupaten Natuna tidak bisa kita dapatkan hanya bila bertandang ke ibukotanya saja. Hal yang seringkali selama ini dilakukan oleh banyak pejabat saat kunjungan ke wilayah ini.
Hahaha... mohon ma’af bila memulai tulisan dengan kalimat yang sedikit pedes, karena saya sungguh sangat berharap banyak.



Bila mendengar kata ‘Kabupaten Natuna’, maka imej yang ada di kepala adalah kabupaten kaya raya! Bagaimana tidak? Sumber daya alam tambangnya sungguh benar-benar melimpah. Belum lagi cadangan gas alam Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Kabupaten kaya? Tentu saja! Hanya mungkin perlu banyak sentuhan oleh pemimpin-pemimpin yang punya hati. Karena setidaknya sudah dua periode pemerintahan, dua mantan Bupati berhasil ‘disekolahkan’ oleh Kejaksaan. Mantan Bupati periode ketiga sepertinya juga harus deg-degan.



Pemerintahan daerah Kabupaten Natuna saat ini adalah periode ke empat pasca pemekaran Kabupaten Natuna dari Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Kabupaten Kepulauan Riau sendiri berkembang menjadi Propinsi tersendiri dari hasil pemekaran Propinsi Riau.

Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape view yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).



Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon tetap (fixed landlines), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya, sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah berharap akan ada sinyal yang sampai.

Untuk Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, secara nasional Kabupaten Natuna menempati urutan ke 306 dari 440 kabupaten/kota yang ada saat dilakukan pemeringkatan pembangunan kesehatan tersebut. Sedang secara propinsi Kabupaten Natuna menempati posisi kunci, atau urutan terakhir dari 6 kabupaten/kota yang yang ada di Propinsi Kepulauan Riau. Kondisi yang demikian menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan).


Jaminan Kesehatan Daerah

Kabupaten Natuna adalah salah satu dari sekian banyak Kabupaten/Kota yang memiliki dan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan sendiri. Secara umum jaminan semacam ini di Indonesia biasa disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna membiayai Jamkesda-nya murni dari dana APBD. Dengan paket layanan yang menyeluruh Pemerintah Daerah mencantumkan seluruh penduduk tanpa kecuali sebagai peserta Jamkesda. Penduduk hanya perlu membawa Kartu tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk mendapatkan tanda Kartu Peserta khusus Jamkesda.

Dalam pengakuan petugas kesehatan, pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2009 ini di lapangan cukup disiplin. Provider, dalam hal ini Puskesmas dan Rumah Sakit cukup tegas untuk menanyakan Kartu Peserta saat ada pasien yang datang. Bila pasien lupa atau tidak mempunyai Kartu Peserta, maka provider akan menarik tarif pelayanan sesuai Perda.

Meski demikian, realitas berbeda diungkap oleh tokoh masyarakat setempat. Pak Ayat, salah satu tokoh masyarakat setempat yang baru saja memanfaatkan pelayanan di Puskesmas mengaku,
“...menurut saya tidak terlalu ketat pak. Kemarin, dua hari yang lalu, saya sempat mengantar ibu saya berobat ke Puskesmas. Begitu datang langsung dilayani tanpa ditanyakan tentang Kartu Perserta Jamkesda...”
Sebuah peluang untuk kebocoran dana Jamkesda.

Beberapa keluhan sempat terlontar saat berdiskusi dengan para bidan di Puskesmas Ranai dan Puskesmas Percontohan Sedanau. Sistem klaim Jamkesda yang rumit, serta waktu pencairannya yang cukup lama, antara 3 bulan sampai dengan 1 tahun. Belum lagi masalah berkas yang hilang.


Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak;Jamkesda versus Jampersal

Pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Natuna dalam pandangan saya seperti sebuah judul parodi, ‘Maju Kena, Mundur Kena’, semuanya serba setengah-setengah. Magak.

Keberanian Kabupaten Natuna untuk tidak ikut mengambil sumber pembiayaan kesehatan ibu dan anak yang di-launching Pemerintah Pusat, dalam benak saya sebelumnya lebih dikarenakan alasan Pemerintah Daerah (Pemda) sudah merasa cukup mampu dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang cukup besar, sekitar satu setengah trilyun rupiah, sehingga Pemda Kabupaten Natuna sudah bisa mandiri dalam semua pembiayaan daerahnya.

Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan beserta Kasie Kesehatan Keluarga, didapatkan beberapa alasan yang menjadi ke’tidakmampu’an Kabupaten Natuna mengadopsi Jampersal.
“Pada saat Jampersal di-launching oleh Kementerian Kesehatan sekitar bulan April 2011, di Kabupaten Natuna telah ada Perda Nomor 2 Tahun 2009 yang mengatur tentang ketentuan tarif pelayanan kesehatan. Perbedaan tarif pelayanan antara yang ditanggung oleh Jampersal dengan Jamkesda seperti diatur dalam Perda tersebut menurut Dinas Kesehatan tidak bisa diadaptasi oleh Perda. Hal ini dikarenakan penulisan (wording) Perda yang tidak ada celah untuk kompromi tarif. Sedang untuk merubah Perda dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga akhirnya diputuskan untuk tetap membiayai pelayanan persalinan melalui Jamkesda.”
Pernyataan ini setidaknya telah dibenarkan oleh Kasie Jaminan Kesehatan serta verivikator Jamkesda.

Tarif pelayanan sesuai ketentuan Jampersal, untuk persalinan normal pada tahun 2011 sebesar Rp. 350.000,-, dan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi Rp. 500.000,-. Besaran tarif pelayanan persalinan normal ini saja sudah membuat Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna berpikir ulang untuk bersegera mengadaptasi Jampersal.

Sebagai perbandingan, tabel berikut memaparkan tarif pelayanan tindakan kebidanan yang ditanggung oleh Jamkesda sesuai dengan Perda Nomor 2 tahun 2009;



Dengan tingginya kesenjangan tarif layanan yang ditanggung ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan bidan. Ketidakpuasan ini terlontar saat diskusi dengan para bidan, setidaknya bidan di wilayah Puskesmas Ranai dan Puskesmas Sedanao. Hal ini juga setidaknya di’amin’i oleh Ketua IBI setempat.

Di wilayah Puskesmas Sedanao sendiri, tidak ada satupun persalinan dilakukan di dalam Puskesmas, meski Puskesmas Percontohan Sedanao adalah Puskesmas rawat inap yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan lebih baik dibanding Puskesmas lainnya. Bidan lebih senang menolong di rumah penduduk, karena Jamkesda tidak mengcover persalinan yang tidak dilakukan fasilitas pelayanan kesehatan. Jadi bidan bisa menarik biaya persalinan yang berkisar Rp. 500.000,-. Meski menurut pengelola Jamkesda di Puskesmas Sedanao, klaim Jamkesda tetap juga dilakukan oleh Bidan. Dobel klaim yang pada akhirnya diakui lirih oleh pengelola Jamkesda Puskesmas.

Ke depan, pada tahun 2013, dalam rencana akan diambil langkah strategis untuk merubah Perda yang mengatur tentang tarif tersebut. Sehingga diharapkan nantinya Pemda Kabupaten Natuna nantinya bisa mengadopsi Jampersal sebagai salah satu sumber pembiayaan kesehatannya.


Ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan          
                                            
Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja, kecuali di ibu kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat kabupaten. Gambaran utuh kombinasi antara RSUD sebagai satu-satunya pelayanan kesehatan lanjutan serta ketersediaan sarana transportasinya, bisa didapatkan setelah pembaca membaca topik ‘Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan’.

Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini. Dengan jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70an bidan menumpuk di Ranai.

Gambaran sisi lain pelayanan kesehatan bisa didapatkan saat saya berkunjung ke Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTD-RS), satu-satunya UTD yang ada di Kabupaten tersebut. Saat itu tanggal 1 November 2012, stok darah untuk golongan darah A tinggal satu kantong, golongan darah B satu kantong, golongan darah AB tujuh kantong, dan golongan darah O juga tersisa satu kantong.

Saya pun tergerak ingin ikut merasakan pelayanan UTD-RS ini. Saya mendaftar untuk ikut mendonorkan darah. Pelayanan dilakukan tanpa pemeriksaan awal yang berbelit, seperti layaknya sebuah UTD yang saya biasa lalui di UTD PMI Surabaya. Hanya dilakukan pengukuran tekanan darah, tanpa pemeriksaan golongan darah, tanpa pemeriksaan kadar HB, tanpa pengukuran berat badan/tinggi badan, tanpa ditanyai sedang sehat atau sakit, juga tanpa inform consent. Saya berpikiran positif saja, mungkin darah akan diperiksa pasca layanan penyadapan darah.

Tak terlalu lama, kantong darah berisi 250 cc telah terisi penuh! Saatnya pulang, saatnya berpamitan. Dan saya pulang dengan dibekali empat kaleng susu kental manis dan satu papan telur ayam mentah, yang berisi sekitar 30 butir telur. Kompensasi untuk pendonor darah yang sangat ‘mewah’ dibanding dengan daerah lain.
Siapa biang Natuna tidak kaya???


Ketersediaan Sarana Transportasi Rujukan

Berbicara tentang sarana transportasi di Natuna, rasanya kita perlu sering berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas dengan sangat dalam.
Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai, dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan kesabaran untuk mencapainya.

Paparan berikut saya harap mampu memberi sedikit gambaran tentang beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya, berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna;
  1. Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga bergantung dengan tingkat keamanannya.
  2. Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi sekitar 15 hari sekali.
  3. Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya, cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.
Dalam benak saya, bagaimana sistem rujukan bisa berjalan dengan ketersediaan sarana transportasi yang sedemikian? Buat apa ada jaminan kesehatan daerah yang mengcover semua jenis pelayanan bila aksesnya tidak cukup tersedia? Bagaimana bila ada ibu hamil yang butuh rujukan dengan segera? Harus menunggu satu minggu lagi? Dua minggu lagi? Ahh...

Dalam kesempatan wawancara dengan Kabid Yankes ini juga sempat terlontar adanya janji dari Kementerian Kesehatan (sie DTPK) yang menjanjikan speedboad untuk daerah perbatasan lau, khususnya Pulau Laut, yang sampai dengan saat ini belum ada realisasinya. Padahal menurut pengakuan Kabid Yankes tersebut, telah sempat untuk disuruh mengajukan spesifikasi kapal yang sesuai dengan kondisi setempat.


Local Wisdom

Dalam sebuah diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan, kepada desa/lurah, serta dukun bayi, terungkap budaya masyarakat Natuna yang selalu harus didampingi bidan kampung (dukun bayi) pada saat melahirkan. Ke’harus’an ini juga tetap berlaku meski pertolongan persalinannya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan).

Bidan kampung memang memiliki posisi strategis dan cukup berpengaruh bagi masyarakat Suku Melayu yang mendominasi penduduk Natuna (sekitar 87%). Dalam satu kali persalinan masyarakat mau merogoh kocek sampai dengan Rp. 500.000,- untuk jasa bidan kampung ini. Halifah, salah satu bidan kampung yang biasa dipanggil ‘Mak Pah’ ini telah berpraktek sebagai bidan kampung selama 35 tahun di wilayah Bunguran Timur. Bidan kampung yang sudah nenek-nenek tapi masih kenes ini mengaku dalam sepanjang karirnya belum pernah ada satu pun ibu atau bayi yang meninggal dalam ampuannya.

Kondisi lain yang cukup menarik di Kabupaten Natuna adalah komposisi penduduknya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah 17.961 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 69.319 jiwa. Hal ini berarti bahwa banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga secara rata-rata sebanyak 3,86 orang, atau dengan kata lain dalam satu rumah tangga, dengan dua orang tua, hanya ada satu atau dua anak dalam rumah tangga tersebut.



Rata-rata anggota rumah tangga ini di setiap kecamatan cukup bervariasi, berkisar antara 3,55 orang sampai dengan 4,22 orang. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga terendah adalah di kecamatan Midai yakni 3,55 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni 4,22 orang.

Sudah hampir waktu subuh, kita cukupkan dulu tulisan ini. semoga kearifan lokal ini bisa menjadi modal untuk memulai sebuah perubahan. Semoga.

-ADL-