Benjina, 16 September 2012
Perjalanan kali ini kami berkesempatan menembus lebih jauh di wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan ‘termudah’ di wilayah ini, menjadi target sasaran. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’ untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini.
Perjalanan kali ini dalam rangka evaluasi pelaksanaan Jampersal di wilayah ini. Pada kesempatan ini kami berangkat berdelapan. Tiga orang dari Pusat Humaniora, seorang dosen Poltekkes Mataram, dua orang dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, serta dua orang driver speedboat milik Dinas Kesehatan yang kami pinjam. Pada saatnya nanti di wilayah Puskesmas Benjina kami ditemani lagi oleh dua orang enumerator yang berasal dari perawat Puskesmas Benjina sendiri.
Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa, dengan bentangan wilayah yang cukup luas.
Pertama kali merapat di daratan Benjina, kami disambut oleh ‘mbak-mbak’ yang sedang bergerombol menunggu ‘suami’nya bertandang. Kesan awal yang kurang manis, dan benar-benar menjadi kurang manis pada saat semua cerita terkuak pada akhirnya. Tapi kali ini kita simpan sebentar catatan kurang manis itu.
JAMPERSAL DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus untuk assessment dengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini. Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja. Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga dukun bayi.
Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3 Pustu (Puskesmas Pembantu), yaitu di Namara, Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada tenaga perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih kosong. Di wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), yaitu di Maririmar yang juga tersedia tenaga perawat laki-laki.
Puskesmas Benjina dikepalai oleh seorang dokter, yang merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di Dobo dan Makassar daripada di Benjina.
Selanjutnya kami banyak melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas yang menggunakan fasilitas Jampersal. Dalam pelaksanaan penelusuran kami percayakan pada petugas dari Dinas Kesehatan serta petugas dari Puskesmas Benjina. Pada wilayah Rumah Kayu Indonesia atau biasa disingkat RKI, kawasan berpenduduk paling ramai, kami menemukan fakta sekitar 15 dari 30 nama yang tertera di kohort Puskesmas tidak ada sama sekali di wilayah dimaksud. Tidak validnya data kohort untuk klaim Jampersal ini menyebabkan kami melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas secara langsung ke masyarakat dengan tidak bergantung lagi secara penuh pada kohort Puskesmas.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang dihadiri oleh pendeta, kepala desa, kepala dusun, kader, dukun bayi, tokoh wanita serta seorang tokoh pemuda, mereka mengaku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jaminan Persalinan atau yang lebih populer disingkat dengan Jampersal. Mereka bengong dan terdiam seribu bahasa ketika ditanyakan tentang apa itu Jampersal? Dalam kesempatan lain Kepala Puskesmas mengaku menyelenggarakan pertemuan lintas sektor secara rutin tiga kali sebulan dengan mempergunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
Pada kesempatan diskusi tersebut para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat juga sempat melontarkan usulan pengadaan pos-pos siaga di beberapa titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu dan anak yang mengandalkan satu titik di puskesmas saja menjadi salah satu faktor penyulit akses masyarakat di wilayah ini. Dalam forum diskusi yang sama, Kepala Desa Benjina menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tanah di wilayahnya untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang menarik adalah usulan dari bapak pendeta yang untuk memberi perhatian dan penghargaan bagi dukun bayi. Usulan yang sangat manusiawi dari masyarakat yang merasakan manfaat keberadaan dukun bayi di tengah ketidaktersediaan tenaga kesehatan.
Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang di’amin’kan oleh rekan Puskesmas lainnya, menyatakan bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk berkeliling di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang didominasi dengan jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini bersentuhan dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit saat baru saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus bersabar menunggu satu bulan kemudian untuk mendapatkan pengobatan.
Dalam kesempatan ini kami juga sempat berkunjung dan berbaur dengan masyarakat di beberapa lokasi. Setidaknya 7 titik lokasi yang menjadi ampuan Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina, wilayah RKI-Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili, Desa Namara, Desa Selilau, Desa Fatujuring, dan wilayah Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas kesehatan sebulan sekali sesuai dengan jadwal Posyandu, tetapi seringkali juga mundur, sampai pada akhirnya terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka bercerita dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada petugas kesehatan, dan bahwa memang menurut mereka kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas kesehatan.
Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak meninggalkan Desa Gulili pada salah satu kunjungan, di dermaga seorang kakek berjalan terbungkuk menggunakan tongkat hendak melompat ke speedboat kami, posisinya sudah duduk di bibir dermaga dengan kaki hendak menjangkau speedboat. Kakek yang sedang sakit itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan berharap mendapat pengobatan dari mantri yang menyertai perjalanan kami. Sungguh tak tertahan hati menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak Ning, mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten memberi penjelasan sekaligus memupuk harapan si kakek, dan meyakinkan bahwa dia akan kembali menjumpai kakek itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan?
Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas tentang penjadwalan Posyandu ini, kami mendapat jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling itu rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya membutuhkan Rp. 600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai empat hari berkeliling Posyandu di wilayah-wilayah ampuan Puskesmas tersebut.
Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris mendengar jawaban ini. Bukannya Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dana BOK ke semua Puskesmas? Yang setelah re-check ke petugas Dinas Kesehatan menemukan kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK sekitar 250 juta. Itu belum termasuk dana operasional Puskesmas yang berasal dari APBD.
Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini. Bila dibutuhkan 3 kali perjalanan untuk menjangkau Posyandu yang memerlukan biaya transportasi laut, yang sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-, maka sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk transportasi laut hanya membutuhkan Rp. 1.800.000,-, dan dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp. 250.000.000,-? Yang sekali lagi setelah konfirmasi dengan Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di Puskesmas Benjina mencapai 100%.
Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk sewa longboat dari nelayan. Puskesmas Benjina sendiri sebetulnya sudah mempunyai speedboat sendiri, hanya saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut keterangan Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal kerusakan speedboat ini dengan beberapa Puskesmas yang mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup memperbaiki speedboatnya sendiri tanpa diambil alih oleh Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas Benjina sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada perbaikan sama sekali.
Gambaran lain adalah rencana pengembangan Puskesmas Benjina menjadi Puskesmas Rawat Inap. Pada tahun 2006 Pemerintah Propinsi membangunkan gedung rawat inap yang berjarak sekitar setengah kilo dari Puskesmas yang ada sekarang. Dan kenyataannya sampai sekarang, tahun 2012, enam tahun kemudian, pembangunan gedung yang asal-asalan dan dipaksakan menjadi mangkrak dan tidak berpenghuni, yang menurut informasi Kepala Puskesmas Benjina kuncinya baru diserahkan sekitar bulan lalu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru juga membangun gedung rawat inap yang dibangun persis di sebelah gedung yang dibangun Pemerintah Propinsi. Proses pembangunannya sampai dengan saat ini sudah mencapai 60%.
Ada beberapa opsi kebijakan praktis yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan dan atau menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan di wilayah Benjina. Opsi kebijakan ini bisa dipilih salah satu sebagai sebuah kebijakan yang dijalankan, atau bisa juga dilaksanakan secara bersamaan. Tergantung dengan kemampuan yang ada serta skala prioritas dari pengambil kebijakan.
Pertama. Melihat fasitas umum yang ada di desa-desa wilayah Benjina yang sangat memprihatinkan, maka bisa dimaklumi jika apa tenaga kesehatan pun akan sangat manusiawi bila dia menolak untuk ditempatkan di sana. Maka sudah seharusnya pemerintah daerah mulai memikirkan ketersediaan sarana pendukung dan fasilitas umum. Hal ini memerlukan waktu, yang bisa dijadikan sebagai sebuah langkah jangka panjang.
Kedua. Memperbanyak frekuensi jadwal puskesmas terapung keliling. Langkah ini cenderung praktis dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada. Hanya diperlukan penambahan biaya operasional sewa longboat yang cukup besar sesuai dengan frekuensi yang diharapkan.
Ketiga. Pengadaan speedboat sebagai kendaraan operasional. Langkah ini harus disertai pula dengan pengadaan tenaga teknis awak boat untuk menjamin operasionalisasi puskesmas terapung keliling. Pada opsi kebijakan ini secara jangka panjang lebih mengirit biaya operasional daripada opsi sewa longboat.
DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN DI BENJINA
Pada awalnya Benjina merupakan salah satu wilayah sasaran transmigrasi di Kepulauan Aru. Transmigran di sini dengan kekhususan pada dua jenis mata pencaharian, yaitu nelayan dan petani. Nelayan berlokasi di pinggiran pantai, sedang transmigran petani berada jauh lebih ke dalam pulau. Pada salah satu dusun transmigran petani yang sempat saya kunjungi, berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari bibir pantai, dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak yang disemen dengan kondisi berlubang di sana-sini.
Dahulu, di wilayah ini, di seberang Desa Benjina, di Pulau Maekor, berdiri beberapa perusahaan perikanan yang pada saat jaya-jayanya menyerap pekerja sekitar 8.000 orang lebih yang ditempatkan di mess-mess perusahaan. Pada saat-saat tersebut para transmigran juga turut berjaya dengan menjadi supplier hasil bumi untuk kebutuhan konsumsi para karyawan, serta supplier hasil perikanan sebagai core bussiness perusahaan tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang dimodali asing ini banyak mendatangkan pekerja penangkap ikan beserta kapal-kapalnya dari Thailand. Kondisi ini menjadikan kondisi ekonomi pada saat itu menjadi sangat bergairah, dan memacu berduyun-duyunnya pendatang dari luar wilayah, termasuk di dalamnya para mbak-mbak yang menjadi penghibur pelepas lelah nelayan-nelayan Thailand yang telah bekerja seharian.
Tak cukup sampai di sini, para nelayan Thailand tersebut banyak yang pulang pergi di wilayah ini, dengan tenggang waktu yang cukup lama dan sering, sesuai dengan kontraknya pada perusahaan. Maka lahirlah ‘kebutuhan-kebutuhan’ baru. Kultur baru ‘kawin kontrak’ pun mulai bermunculan dan bertumbuh.
Seiring berjalannya waktu, pasca krisis moneter yang melanda republik ini, perusahaan perikanan ini bangkrut, dan mengurangi pekerjanya secara besar-besaran. Efeknya sungguh membuat miris, para transmigran banyak yang pulang kembali ke daerahnya, karena hasil pertaniannya tidak mampu terserap lagi oleh perusahaan. Para ‘janda’ Thailand pun banyak ditemui di mess-mess sekitar perusahaan yang beralih fungsi menjadi rumah-rumah bedeng dengan kondisi yang jauh dari layak, yang menurut rekan peneliti senior yang bersama saya lebih mirip (ma’af) kandang kambing. Kondisi lebih layak justru ditemui pada tempat tinggal mbak-mbak penghibur, meski juga tidak terlalu jauh berbeda. Bila Menteri Kesehatan yang seorang aktivis penanggulangan HIV/AIDS serta Gender ada di sini, saat ini, tentu akan merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan, betapa perempuan-perempuan kita diperlakukan menjadi lebih mirip (ma’af) tempat sampah di sini.
Saat ini, kamipun masih sering menemui orang Thailand yang tinggal di sini, yang seringkali berjalan sempoyongan, mabuk sopi (minuman keras khas Aru). Dari cerita-cerita penduduk dan teman-teman Puskesmas, banyak orang-orang Thailand yang melarikan diri dan tinggal di hutan, karena kontraknya telah habis, dan mereka tidak mau kembali atau dideportasi ke Thailand.
Dalam hati sempat terlintas tanya,
”Kenapa harus mendatangkan orang Thailand?“
“Kenapa tidak pakai orang kita?”
“Apakah orang kita tidak mampu?”
“Apakah sudah tidak ada pengangguran di Republik ini?”
CERITA TENTANG MBAK-MBAK DARI JAWA
Sore itu kami berkesempatan hunting foto sunset di dermaga dekat lokasi mbak-mbak itu. Kami duduk-duduk biasa saja bersama mereka, seperti layaknya tetangga, toh di situ juga berbaur ibu rumah tangga lain beserta anak-anak. Dari kejauhan terlihat ada kapal penangkap ikan yang masuk dan mau merapat di perusahaan, seketika sekelompok mbak-mbak itu berteriak spontan...
“Horeeeee... kapal dataaang! Kapal dataaaaang! Bojoku tekooo...”
Teriakan spontan yang membuat kami trenyuh pada akhirnya, dengan bibir yang tak henti-hentinya mengepul asap putih dari rokok yang melekat erat pada sela-sela jari, mereka bergerombol membunuh waktu. Hampa. Suwung.
Tarif short time yang berlaku dengan rata-rata Rp. 100.000,-. Kebanyakan tamu yang berkunjung berasal dari nelayan Thailand. Menurut driver speedboat yang kami bawa, sempat ditawari dengan promosi diskon, dan mereka pun bisa banting harga sampai dengan Rp. 30.000,- saat tidak ada kapal nelayan Thailand yang merapat. Harga yang cukup murah untuk sebuah harga diri.
Tarif long time dipatok seharga Rp. 500.000,- untuk waktu kebersamaan semalam suntuk sampai dengan pagi hari. Si Lelaki akan mendapat perlakuan khusus sampai dengan suguhan sarapan pagi yang dimasak oleh tangan mbak-mbak itu sendiri. Mengisyaratkan kerinduan mereka untuk memberi pelayanan selayak suami sesungguhnya.
Yaaah... bisa dibilang seluruh mbak-mbak itu berasal dari Pulau Jawa. Kata-kata mereka begitu halus saat kita pun menyapanya dengan sopan.
“Nyuwun sewu mbaak, permisi numpang lewaaat...”
“Oooo... tiyang Jawi tooo? Monggo maaas...”
Sekilas percakapan saat melintas dari dermaga di sebelah rumah tinggal mereka. Dari jendela terlihat poster ‘walisongo’ terpampang di sudut kamar mbak-mbak itu. Isyarat apa lagi yang saya bisa maknai selain kerinduan mereka untuk kembali dalam kehidupan normal?
Saat ini menurut rekan pejabat dari Dinas Kesehatan sudah terdeteksi 6 orang mbak-mbak di wilayah itu yang mengidap HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin setiap tiga bulan sekali dilakukan oleh petugas P2 (Pemberantasan Penyakit) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, yang menurut cerita beberapa rekan mereka melakukan pemeriksaan sekaligus pemakai gratis mbak-mbak itu. Saya berusaha untuk tidak kaget dan memasang ekspresi datar saja mendengarnya. Terdiam. Membatu.
***
Sebuah kunjungan singkat yang memunculkan banyak pertanyaan besar di kepala!
Bagaimana seharusnya mengantisipasi culture shock sebagai dampak dari industrialisai? Bagaimana berpikir tentang pemerataan pelayanan kesehatan (equity), bila pelayanan saja tidak tersedia? Bagaimana berkoar tentang jaminan kesehatan semesta (universal coverage), bila lagi-lagi pelayanan kesehatan dasar saja tidak ada wujudnya? Tentu saja penyerapan dana hanya akan terserap di wilayah-wilayah yang pelayanan kesehatannya sudah tersedia, dan pada akhirnya akan lebih memperparah ketidakadilan yang sudah subur.
Saya salah satu pendukung gagasan universal coverage, jaminan kesehatan untuk semua orang, tapi...
“saat ini beta su pi dari tanah Aru, tapi kenangan seng hilang dari ingatan. Suatu saat beta akan datang lai... akan datang lai...“
-ADL-
Perjalanan kali ini kami berkesempatan menembus lebih jauh di wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan ‘termudah’ di wilayah ini, menjadi target sasaran. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’ untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini.
Perjalanan kali ini dalam rangka evaluasi pelaksanaan Jampersal di wilayah ini. Pada kesempatan ini kami berangkat berdelapan. Tiga orang dari Pusat Humaniora, seorang dosen Poltekkes Mataram, dua orang dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, serta dua orang driver speedboat milik Dinas Kesehatan yang kami pinjam. Pada saatnya nanti di wilayah Puskesmas Benjina kami ditemani lagi oleh dua orang enumerator yang berasal dari perawat Puskesmas Benjina sendiri.
Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa, dengan bentangan wilayah yang cukup luas.
Pertama kali merapat di daratan Benjina, kami disambut oleh ‘mbak-mbak’ yang sedang bergerombol menunggu ‘suami’nya bertandang. Kesan awal yang kurang manis, dan benar-benar menjadi kurang manis pada saat semua cerita terkuak pada akhirnya. Tapi kali ini kita simpan sebentar catatan kurang manis itu.
JAMPERSAL DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus untuk assessment dengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini. Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja. Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga dukun bayi.
Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3 Pustu (Puskesmas Pembantu), yaitu di Namara, Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada tenaga perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih kosong. Di wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), yaitu di Maririmar yang juga tersedia tenaga perawat laki-laki.
Puskesmas Benjina dikepalai oleh seorang dokter, yang merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di Dobo dan Makassar daripada di Benjina.
Selanjutnya kami banyak melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas yang menggunakan fasilitas Jampersal. Dalam pelaksanaan penelusuran kami percayakan pada petugas dari Dinas Kesehatan serta petugas dari Puskesmas Benjina. Pada wilayah Rumah Kayu Indonesia atau biasa disingkat RKI, kawasan berpenduduk paling ramai, kami menemukan fakta sekitar 15 dari 30 nama yang tertera di kohort Puskesmas tidak ada sama sekali di wilayah dimaksud. Tidak validnya data kohort untuk klaim Jampersal ini menyebabkan kami melakukan penelusuran ibu hamil-bersalin-nifas secara langsung ke masyarakat dengan tidak bergantung lagi secara penuh pada kohort Puskesmas.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang dihadiri oleh pendeta, kepala desa, kepala dusun, kader, dukun bayi, tokoh wanita serta seorang tokoh pemuda, mereka mengaku sama sekali tidak tahu menahu tentang Jaminan Persalinan atau yang lebih populer disingkat dengan Jampersal. Mereka bengong dan terdiam seribu bahasa ketika ditanyakan tentang apa itu Jampersal? Dalam kesempatan lain Kepala Puskesmas mengaku menyelenggarakan pertemuan lintas sektor secara rutin tiga kali sebulan dengan mempergunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
Pada kesempatan diskusi tersebut para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat juga sempat melontarkan usulan pengadaan pos-pos siaga di beberapa titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu dan anak yang mengandalkan satu titik di puskesmas saja menjadi salah satu faktor penyulit akses masyarakat di wilayah ini. Dalam forum diskusi yang sama, Kepala Desa Benjina menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tanah di wilayahnya untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang menarik adalah usulan dari bapak pendeta yang untuk memberi perhatian dan penghargaan bagi dukun bayi. Usulan yang sangat manusiawi dari masyarakat yang merasakan manfaat keberadaan dukun bayi di tengah ketidaktersediaan tenaga kesehatan.
Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang di’amin’kan oleh rekan Puskesmas lainnya, menyatakan bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk berkeliling di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang didominasi dengan jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini bersentuhan dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit saat baru saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus bersabar menunggu satu bulan kemudian untuk mendapatkan pengobatan.
Dalam kesempatan ini kami juga sempat berkunjung dan berbaur dengan masyarakat di beberapa lokasi. Setidaknya 7 titik lokasi yang menjadi ampuan Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina, wilayah RKI-Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili, Desa Namara, Desa Selilau, Desa Fatujuring, dan wilayah Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas kesehatan sebulan sekali sesuai dengan jadwal Posyandu, tetapi seringkali juga mundur, sampai pada akhirnya terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka bercerita dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada petugas kesehatan, dan bahwa memang menurut mereka kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas kesehatan.
Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak meninggalkan Desa Gulili pada salah satu kunjungan, di dermaga seorang kakek berjalan terbungkuk menggunakan tongkat hendak melompat ke speedboat kami, posisinya sudah duduk di bibir dermaga dengan kaki hendak menjangkau speedboat. Kakek yang sedang sakit itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan berharap mendapat pengobatan dari mantri yang menyertai perjalanan kami. Sungguh tak tertahan hati menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak Ning, mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten memberi penjelasan sekaligus memupuk harapan si kakek, dan meyakinkan bahwa dia akan kembali menjumpai kakek itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan?
Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas tentang penjadwalan Posyandu ini, kami mendapat jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling itu rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya membutuhkan Rp. 600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai empat hari berkeliling Posyandu di wilayah-wilayah ampuan Puskesmas tersebut.
Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris mendengar jawaban ini. Bukannya Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dana BOK ke semua Puskesmas? Yang setelah re-check ke petugas Dinas Kesehatan menemukan kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK sekitar 250 juta. Itu belum termasuk dana operasional Puskesmas yang berasal dari APBD.
Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini. Bila dibutuhkan 3 kali perjalanan untuk menjangkau Posyandu yang memerlukan biaya transportasi laut, yang sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-, maka sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk transportasi laut hanya membutuhkan Rp. 1.800.000,-, dan dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp. 250.000.000,-? Yang sekali lagi setelah konfirmasi dengan Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di Puskesmas Benjina mencapai 100%.
Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk sewa longboat dari nelayan. Puskesmas Benjina sendiri sebetulnya sudah mempunyai speedboat sendiri, hanya saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut keterangan Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal kerusakan speedboat ini dengan beberapa Puskesmas yang mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup memperbaiki speedboatnya sendiri tanpa diambil alih oleh Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas Benjina sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada perbaikan sama sekali.
Gambaran lain adalah rencana pengembangan Puskesmas Benjina menjadi Puskesmas Rawat Inap. Pada tahun 2006 Pemerintah Propinsi membangunkan gedung rawat inap yang berjarak sekitar setengah kilo dari Puskesmas yang ada sekarang. Dan kenyataannya sampai sekarang, tahun 2012, enam tahun kemudian, pembangunan gedung yang asal-asalan dan dipaksakan menjadi mangkrak dan tidak berpenghuni, yang menurut informasi Kepala Puskesmas Benjina kuncinya baru diserahkan sekitar bulan lalu dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru juga membangun gedung rawat inap yang dibangun persis di sebelah gedung yang dibangun Pemerintah Propinsi. Proses pembangunannya sampai dengan saat ini sudah mencapai 60%.
Ada beberapa opsi kebijakan praktis yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan dan atau menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan di wilayah Benjina. Opsi kebijakan ini bisa dipilih salah satu sebagai sebuah kebijakan yang dijalankan, atau bisa juga dilaksanakan secara bersamaan. Tergantung dengan kemampuan yang ada serta skala prioritas dari pengambil kebijakan.
Pertama. Melihat fasitas umum yang ada di desa-desa wilayah Benjina yang sangat memprihatinkan, maka bisa dimaklumi jika apa tenaga kesehatan pun akan sangat manusiawi bila dia menolak untuk ditempatkan di sana. Maka sudah seharusnya pemerintah daerah mulai memikirkan ketersediaan sarana pendukung dan fasilitas umum. Hal ini memerlukan waktu, yang bisa dijadikan sebagai sebuah langkah jangka panjang.
Kedua. Memperbanyak frekuensi jadwal puskesmas terapung keliling. Langkah ini cenderung praktis dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada. Hanya diperlukan penambahan biaya operasional sewa longboat yang cukup besar sesuai dengan frekuensi yang diharapkan.
Ketiga. Pengadaan speedboat sebagai kendaraan operasional. Langkah ini harus disertai pula dengan pengadaan tenaga teknis awak boat untuk menjamin operasionalisasi puskesmas terapung keliling. Pada opsi kebijakan ini secara jangka panjang lebih mengirit biaya operasional daripada opsi sewa longboat.
DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN DI BENJINA
Pada awalnya Benjina merupakan salah satu wilayah sasaran transmigrasi di Kepulauan Aru. Transmigran di sini dengan kekhususan pada dua jenis mata pencaharian, yaitu nelayan dan petani. Nelayan berlokasi di pinggiran pantai, sedang transmigran petani berada jauh lebih ke dalam pulau. Pada salah satu dusun transmigran petani yang sempat saya kunjungi, berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari bibir pantai, dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak yang disemen dengan kondisi berlubang di sana-sini.
Dahulu, di wilayah ini, di seberang Desa Benjina, di Pulau Maekor, berdiri beberapa perusahaan perikanan yang pada saat jaya-jayanya menyerap pekerja sekitar 8.000 orang lebih yang ditempatkan di mess-mess perusahaan. Pada saat-saat tersebut para transmigran juga turut berjaya dengan menjadi supplier hasil bumi untuk kebutuhan konsumsi para karyawan, serta supplier hasil perikanan sebagai core bussiness perusahaan tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang dimodali asing ini banyak mendatangkan pekerja penangkap ikan beserta kapal-kapalnya dari Thailand. Kondisi ini menjadikan kondisi ekonomi pada saat itu menjadi sangat bergairah, dan memacu berduyun-duyunnya pendatang dari luar wilayah, termasuk di dalamnya para mbak-mbak yang menjadi penghibur pelepas lelah nelayan-nelayan Thailand yang telah bekerja seharian.
Tak cukup sampai di sini, para nelayan Thailand tersebut banyak yang pulang pergi di wilayah ini, dengan tenggang waktu yang cukup lama dan sering, sesuai dengan kontraknya pada perusahaan. Maka lahirlah ‘kebutuhan-kebutuhan’ baru. Kultur baru ‘kawin kontrak’ pun mulai bermunculan dan bertumbuh.
Seiring berjalannya waktu, pasca krisis moneter yang melanda republik ini, perusahaan perikanan ini bangkrut, dan mengurangi pekerjanya secara besar-besaran. Efeknya sungguh membuat miris, para transmigran banyak yang pulang kembali ke daerahnya, karena hasil pertaniannya tidak mampu terserap lagi oleh perusahaan. Para ‘janda’ Thailand pun banyak ditemui di mess-mess sekitar perusahaan yang beralih fungsi menjadi rumah-rumah bedeng dengan kondisi yang jauh dari layak, yang menurut rekan peneliti senior yang bersama saya lebih mirip (ma’af) kandang kambing. Kondisi lebih layak justru ditemui pada tempat tinggal mbak-mbak penghibur, meski juga tidak terlalu jauh berbeda. Bila Menteri Kesehatan yang seorang aktivis penanggulangan HIV/AIDS serta Gender ada di sini, saat ini, tentu akan merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan, betapa perempuan-perempuan kita diperlakukan menjadi lebih mirip (ma’af) tempat sampah di sini.
Saat ini, kamipun masih sering menemui orang Thailand yang tinggal di sini, yang seringkali berjalan sempoyongan, mabuk sopi (minuman keras khas Aru). Dari cerita-cerita penduduk dan teman-teman Puskesmas, banyak orang-orang Thailand yang melarikan diri dan tinggal di hutan, karena kontraknya telah habis, dan mereka tidak mau kembali atau dideportasi ke Thailand.
Dalam hati sempat terlintas tanya,
”Kenapa harus mendatangkan orang Thailand?“
“Kenapa tidak pakai orang kita?”
“Apakah orang kita tidak mampu?”
“Apakah sudah tidak ada pengangguran di Republik ini?”
CERITA TENTANG MBAK-MBAK DARI JAWA
Sore itu kami berkesempatan hunting foto sunset di dermaga dekat lokasi mbak-mbak itu. Kami duduk-duduk biasa saja bersama mereka, seperti layaknya tetangga, toh di situ juga berbaur ibu rumah tangga lain beserta anak-anak. Dari kejauhan terlihat ada kapal penangkap ikan yang masuk dan mau merapat di perusahaan, seketika sekelompok mbak-mbak itu berteriak spontan...
“Horeeeee... kapal dataaang! Kapal dataaaaang! Bojoku tekooo...”
Teriakan spontan yang membuat kami trenyuh pada akhirnya, dengan bibir yang tak henti-hentinya mengepul asap putih dari rokok yang melekat erat pada sela-sela jari, mereka bergerombol membunuh waktu. Hampa. Suwung.
Tarif short time yang berlaku dengan rata-rata Rp. 100.000,-. Kebanyakan tamu yang berkunjung berasal dari nelayan Thailand. Menurut driver speedboat yang kami bawa, sempat ditawari dengan promosi diskon, dan mereka pun bisa banting harga sampai dengan Rp. 30.000,- saat tidak ada kapal nelayan Thailand yang merapat. Harga yang cukup murah untuk sebuah harga diri.
Tarif long time dipatok seharga Rp. 500.000,- untuk waktu kebersamaan semalam suntuk sampai dengan pagi hari. Si Lelaki akan mendapat perlakuan khusus sampai dengan suguhan sarapan pagi yang dimasak oleh tangan mbak-mbak itu sendiri. Mengisyaratkan kerinduan mereka untuk memberi pelayanan selayak suami sesungguhnya.
Yaaah... bisa dibilang seluruh mbak-mbak itu berasal dari Pulau Jawa. Kata-kata mereka begitu halus saat kita pun menyapanya dengan sopan.
“Nyuwun sewu mbaak, permisi numpang lewaaat...”
“Oooo... tiyang Jawi tooo? Monggo maaas...”
Sekilas percakapan saat melintas dari dermaga di sebelah rumah tinggal mereka. Dari jendela terlihat poster ‘walisongo’ terpampang di sudut kamar mbak-mbak itu. Isyarat apa lagi yang saya bisa maknai selain kerinduan mereka untuk kembali dalam kehidupan normal?
Saat ini menurut rekan pejabat dari Dinas Kesehatan sudah terdeteksi 6 orang mbak-mbak di wilayah itu yang mengidap HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin setiap tiga bulan sekali dilakukan oleh petugas P2 (Pemberantasan Penyakit) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, yang menurut cerita beberapa rekan mereka melakukan pemeriksaan sekaligus pemakai gratis mbak-mbak itu. Saya berusaha untuk tidak kaget dan memasang ekspresi datar saja mendengarnya. Terdiam. Membatu.
***
Sebuah kunjungan singkat yang memunculkan banyak pertanyaan besar di kepala!
Bagaimana seharusnya mengantisipasi culture shock sebagai dampak dari industrialisai? Bagaimana berpikir tentang pemerataan pelayanan kesehatan (equity), bila pelayanan saja tidak tersedia? Bagaimana berkoar tentang jaminan kesehatan semesta (universal coverage), bila lagi-lagi pelayanan kesehatan dasar saja tidak ada wujudnya? Tentu saja penyerapan dana hanya akan terserap di wilayah-wilayah yang pelayanan kesehatannya sudah tersedia, dan pada akhirnya akan lebih memperparah ketidakadilan yang sudah subur.
Saya salah satu pendukung gagasan universal coverage, jaminan kesehatan untuk semua orang, tapi...
“saat ini beta su pi dari tanah Aru, tapi kenangan seng hilang dari ingatan. Suatu saat beta akan datang lai... akan datang lai...“
-ADL-
luar biasa... padahal minngu depn saya akn di tempatken di kabupaten kepulauan aru, dalam rangka mendristibutorkan buku2 ke sekolah
BalasHapussemoga kegiatan anda bisa menjadi sumbangsih positif bagi republik ini
BalasHapuslama tinggal di aru mas?
HapusTerima kasih untuk cerita tentang bagaimana keprihatinan nya kepada Pulau ARU khusus nya desa Benjina yang sudah lama menjadi Pusat kecamatan dengan pergantian Camat udah beberapa kali Invrastruktur yang paling penting seperti Puskesmas yang untuk kesehatan tidak terlalu di perhatikan. Salam dari saya anak Aru asli dari Desa Benjina, salam kenal God Bless You
Hapus