by Agung Dwi Laksono
Surabaya, home sweet home, 11 Juni 2012
dear all,
Keberhasilan KB (Keluarga Berencana) pada masa lalu (baca; masa Pak Harto), bila tidak dengan segera diwaspadai pada akhirnya hanya akan menjadi monumen saja, monumen zaman keemasan keluarga berencana. Arah kebijakan keluarga berencana yang tidak lagi pada pembatasan jumlah anak, tetapi bergeser pada keluarga berkualitas, sepertinya saat ini memang lebih terlihat tidak ‘represif’ dibanding zaman orde baru dulu. Apalagi bila dikaitkan dengan ‘hak azasi manusia’!
Jargon ‘dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja’ digeser menjadi ‘dua anak lebih baik’, seperti menggeser ‘hukum’ keluarga berencana, dari ‘fardlu’ (wajib) menjadi ‘sunnah’ (sebaiknya dilakukan). Bahkan dalam beberapa kesempatan jargon tersebut diplesetkan menjadi ‘dua anak lebih, baik!’.
Bila tidak dengan segera dipikirkan solusi menyeluruh atas masalah ini, dapat dipastikan baby booming akan segera terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan 11,8% perempuan di Indonesia (perempuan pernah kawin usia 10-59 tahun) memiliki anak 5 orang atau lebih, dan celakanya persentasenya justru menumpuk pada keluarga miskin, yang jumlahnya mencapai 29,2%. Keluarga miskin di sini adalah yang berada pada kuintil 1 dan kuintil 2 berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per tahun pada tahun 2010.
Jumlah perempuan Indonesia yang memiliki anak 5 orang atau lebih ini juga lebih banyak terjadi di pedesaan yang mencapai 13,3%, sedikit di atas wilayah perkotaan yang mencapai 10,4%.
Kemiskinan dan kebodohan memang seperti uang receh yang tidak bisa dipisahkan di antara dua sisinya, dan tentu saja juga dampaknya bagi status kesehatan. Senada seirama dengan tingkat sosial ekonomi, kejadian yang sama juga berlaku pada tingkat pendidikan. Perempuan Indonesia tamatan Sekolah Dasar ke bawah 58,6% memiliki anak 5 orang atau lebih.
Bila dilihat berdasarkan propinsi maka Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase tertinggi sebesar 27,3% perempuan yang memiliki anak 5 orang atau lebih. Sedang persentase terrendah berada di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta sebesar 3,8%.
Fakta empiris di lapangan berdasarkan pengakuan provider (baca; bidan desa) menunjukkan bahwa kebijakan Kementerian Kesehatan juga turut andil dalam menyumbang angka tersebut.
Bagaimana bisa? Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang tidak melakukan pembatasan pembiayaan pada kehamilan yang ke-berapapun disinyalir ikut melapangkan jalan untuk memiliki anak yang banyak.
Kebijakan Jampersal yang dilahirkan dengan tujuan untuk mencegah kematian ibu ini justru juga berdampak pada terwujudnya baby booming.
Bila hanya melihat tujuan kebijakan Jampersal, sudah tentu kebijakan ini benar dan harus dilakukan. Bukankan kematian justru banyak terjadi pada perempuan dengan jumlah yang banyak?
Semakin banyak anak semakin beresiko kehamilannya.
Apapun... keputusan telah diambil!
Kebijakan adalah pilihan, kebanyakan bukan soal salah atau benar, tergantung kita mau memilih yang mana, yang terpenting adalah konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?
Piye jal?
-ADL-
Surabaya, home sweet home, 11 Juni 2012
dear all,
Keberhasilan KB (Keluarga Berencana) pada masa lalu (baca; masa Pak Harto), bila tidak dengan segera diwaspadai pada akhirnya hanya akan menjadi monumen saja, monumen zaman keemasan keluarga berencana. Arah kebijakan keluarga berencana yang tidak lagi pada pembatasan jumlah anak, tetapi bergeser pada keluarga berkualitas, sepertinya saat ini memang lebih terlihat tidak ‘represif’ dibanding zaman orde baru dulu. Apalagi bila dikaitkan dengan ‘hak azasi manusia’!
Jargon ‘dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja’ digeser menjadi ‘dua anak lebih baik’, seperti menggeser ‘hukum’ keluarga berencana, dari ‘fardlu’ (wajib) menjadi ‘sunnah’ (sebaiknya dilakukan). Bahkan dalam beberapa kesempatan jargon tersebut diplesetkan menjadi ‘dua anak lebih, baik!’.
Bila tidak dengan segera dipikirkan solusi menyeluruh atas masalah ini, dapat dipastikan baby booming akan segera terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan 11,8% perempuan di Indonesia (perempuan pernah kawin usia 10-59 tahun) memiliki anak 5 orang atau lebih, dan celakanya persentasenya justru menumpuk pada keluarga miskin, yang jumlahnya mencapai 29,2%. Keluarga miskin di sini adalah yang berada pada kuintil 1 dan kuintil 2 berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per tahun pada tahun 2010.
Jumlah perempuan Indonesia yang memiliki anak 5 orang atau lebih ini juga lebih banyak terjadi di pedesaan yang mencapai 13,3%, sedikit di atas wilayah perkotaan yang mencapai 10,4%.
Kemiskinan dan kebodohan memang seperti uang receh yang tidak bisa dipisahkan di antara dua sisinya, dan tentu saja juga dampaknya bagi status kesehatan. Senada seirama dengan tingkat sosial ekonomi, kejadian yang sama juga berlaku pada tingkat pendidikan. Perempuan Indonesia tamatan Sekolah Dasar ke bawah 58,6% memiliki anak 5 orang atau lebih.
Bila dilihat berdasarkan propinsi maka Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase tertinggi sebesar 27,3% perempuan yang memiliki anak 5 orang atau lebih. Sedang persentase terrendah berada di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta sebesar 3,8%.
Fakta empiris di lapangan berdasarkan pengakuan provider (baca; bidan desa) menunjukkan bahwa kebijakan Kementerian Kesehatan juga turut andil dalam menyumbang angka tersebut.
Bagaimana bisa? Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang tidak melakukan pembatasan pembiayaan pada kehamilan yang ke-berapapun disinyalir ikut melapangkan jalan untuk memiliki anak yang banyak.
Kebijakan Jampersal yang dilahirkan dengan tujuan untuk mencegah kematian ibu ini justru juga berdampak pada terwujudnya baby booming.
Bila hanya melihat tujuan kebijakan Jampersal, sudah tentu kebijakan ini benar dan harus dilakukan. Bukankan kematian justru banyak terjadi pada perempuan dengan jumlah yang banyak?
Semakin banyak anak semakin beresiko kehamilannya.
Apapun... keputusan telah diambil!
Kebijakan adalah pilihan, kebanyakan bukan soal salah atau benar, tergantung kita mau memilih yang mana, yang terpenting adalah konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?
Piye jal?
-ADL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar