Surabaya, home sweet home, 28 Mei 2012
Dear all,
Pagi ini kembali lagi kita kupas beberapa hal terkait Kabupaten Sampang untuk memetakan track record yang sudah dan akan dilakukannya untuk mencoba membawanya keluar dari dasar keterpurukan ranking IPKM di Propinsi Jawa Timur.
Seperti telah beberapa kali dituliskan, bahwa Kabupaten Sampang adalah kabupaten DBK yang menjadi penghuni dasar peringkatan IPKM di Propinsi Jawa Timur, yang data komparasinya dengan ranking satu Jawa Timur (Kabupaten Tulungagung) bisa dilihat pada dua grafik berikut;
Paparan data tersebut bersumber pada data survey Riskesdas pada tahun 2007. Pada saat ini, saya sangat berkeyakinan data tersebut telah berubah, kalau saya tidak boleh berlebihan dengan mengatakan melonjak drastis.
Atmosfir yang saya rasakan langsung di Kabupaten Sampang sangat positif, antusiasme para petugas kesehatan untuk memberikan yang terbaik sangat kentara. Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan berdasarkan pengakuan masyarakatnya.
Good Governance
Dalam era desentralisasi dan keterbukaan seringkali para penggiat pemerintahan mendengung-dengungkan jargon good governance, di Kabupaten Sampang good governance bukan sekedar jargon, setidaknya di Dinas Kesehatan. Perbaikan dari sisi administrasi dan manajerial begitu sangat terasa. Tidak hanya berdasarkan pengakuan policy maker di level Dinas Kesehatan saja, tapi setidaknya hal tersebut dirasakan oeh bidan sebagai pelaksana sekaligus sasaran kebijakan, yang juga dirasakan juga oleh masyarakat sasaran secara langsung.
Paling cepat proses klaim dari seluruh kabupaten/kota yang saya tahu.
“Pastikan (ibu hamil) lahir ke kamu (bidan), pastikan tidak mati, jadi saya akan memastikan pembayarannya...”
Dalam sebuah diskusi dengan para bidan yang terlibat dalam Jampersal, rata-rata bidan mengungkapkan bahwa proses pencairan klaim dana Jampersal sangat cepat. Mereka mengaku proses tersebut jauh lebih cepat dibanding dengan ‘saudara-saudara’ lainnya di wilayah Kabupaten lainnya di Pulau Madura. Bahkan untuk proses pencairan dari BPS (Bidan Praktek Swasta) yang melakukan PKS (perjanjian kerja sama) dengan Dinas Kesehatan proses bisa selesai dalam satu hari. Sebuah capaian good governance yang tidak pernah saya jumpai di banyak wilayah manapun di pelosok negeri ini yang saya datangi khusus untuk pengelolaan Jampersal.
Tata kelola yang menarik lainnya adalah kemauan pemerintah setempat untuk memberi pelayanan terbaik bagi warganya. Hal ini direalisasikan dengan pengadaan rumah singgah bagi masyarakat Kabupaten Sampang yang sakit dan memerlukan rujukan sampai ke tingkat propinsi, rawat inap di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya. Disediakan ambulan sampai ke lokasi, dan juga disediakan rumah singgah untuk para pengantar atau penunggu pasien. Rumah tunggu yang beralamat di
Dharmahusada Gang 1 Nomor 17 tersebut selain menyediakan fasilitas akomodasi juga menyediakan konsumsi untuk 2 (dua) orang penunggu per pasien.
Banyak Bicara Banyak Kerja
Berbeda dengan jargon yang berhubungan dengan kinerja yang selalu diucapkan untuk memotivasi, yaitu ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja!’. Hal ini tidak berlaku untuk petugas kesehatan di Kabupaten Sampang, setidaknya di wilayah Puskesmas Robatal.
“Banyak bicara banyak kerja...” demikian jargon yang ditekankan oleh Totok Sudirman, selaku Kepala Puskesmas Robatal kepada para petugas kesehatan di jajarannya.
Pendekatan jargon ini yang coba diterapkan dalam keseharian pelaksanaan tugas bukannya tanpa sebab. Berdasarkan data profil tahun 2011, dari seluruh penduduk di Kabupaten Sampang yang berjumlah 803.866 jiwa, sebanyak 86% tidak sekolah, tidak tamat SD, maupun tamat SD. Dengan tingkat pendidikan yang demikian maka media sosialisasi maupun promosi yang berisikan tulisan bisa dibilang menjadi kurang efektif, kalau tidak mau disebut sia-sia.
Budaya masyarakat kita cenderung pada budaya oral (percakapan) daripada budaya baca, apalagi dengan tingkat pendidikan yang mayoritas lulusan sekolah dasar ke bawah. Sudah tentu penyebarluasan informasi yang berupa buku panduan, leaflet, maupun baliho yang besar sekalipun, akan dianggap sebagai angin lalu.
Pendekatan paling efektif adalah ‘banyak omong’. Pendekatan penyampaian informasi yang getok tular dirasa paling efektif untuk dilakukan. Untuk itu petugas kesehatan yang jumlahnya terbatas sudah tentu tidak bisa bergerak sendiri, kerja sama dengan pak klebun, mbah modin, kader dan tokoh masyarakat lainnya menjadi mutlak diperlukan.
Community Empowerment
Dukungan tokoh masyarakat ini sangat nyata di Sampang. Setiap akan dilakukan kegiatan Posyandu, speaker di Masjid atau di beberapa tempat pelaksanaan Posyandu yang sudah ada swadaya pembelian speaker akan selalu berkumandang seruan untuk para sasaran. Momen lain yang sering digunakan sebagai media cangkrukan info kesehatan adalah forum muslimatan, forum pengajian yang menjadi kegiatan umum bagi masyarakat muslim Madura yang cenderung agamis.
Di sisi lain, para tokoh masyarakat yang menjadi penggiat menjadi marketing hebat dalam menyarankan para ibu hamil untuk bersalin hanya ke bidan. Hal ini disertai dengan keikhlasan mengantar ibu hamil dan melahirkan ke bu bidan secara ber’jamaah’, bisa dengan cara digotong, ataupun sekedar naik motor bila lokasi jauh.
Penggiat lain yang berada di jajaran pemerintahan desa ikut membantu menyiapkan kelengkapan persyaratan administrasi bagi warga sasaran. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Madura banyak yang tidak mempunyai KSK (Kartu Susunan Keluarga) atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Untuk keperluan tersebut, Klebun (lurah) bersedia di’ganggu’ kapan saja, 24 jam, untuk pengurusan Surat Keterangan Domisili sebagai pengganti KSK atau KTP untuk kelengkapan persyaratan untuk mendapatkan Jampersal atau Jaminan Kesehatan lainnya.
Strategi-strategi ini terbukti efektif. Dengan keberadaan jumlah dukun bayi yang mencapai 516 dukun, hampir dua kali jumlah bidan yang 'hanya' mencapai 314 bidan (184 bidan PNS, sisanya bidan praktek swasta), ibu hamil yang melakukan persalinan tidak ke tenaga kesehatan hanya mencapai 5%. Capaian yang sungguh menjadi prestasi tersendiri bila melihat situasi dan kondisi yang ada.
Strategi lainnya adalah pembentukan ‘bagas’ (pembantu petugas). Bagas sendiri diambil dari para kader yang dinaikkan derajatnya dengan insentif sekedarnya dari bidan desa. Berdasarkan pengakuan bagas dalam diskusi, ada yang berinisiatif untuk menghimpun dana dari masyarakat. Yang telah terrealisasi adalah menghimpun ‘jimpitan’ Rp. 1.000,- perkali datang ke Posyandu, selain juga menghimpun dana donatur untuk membantu pelaksanaan Posyandu. Saat ini di salah satu Posyandu di wilayah Puskesmas Batulenger telah berhasil mempunyai kas mencapai tujuh juta, yang juga dikelola sebagai ‘simpan pinjam’ untuk anggota Posyandu yang memerlukan biaya saat sakit.
Sebuah jalinan emosi yang telah terjalin cukup kuat antara petugas (bidan) yang bekerja penuh keikhlasan dengan masyarakatnya...
"bu bidan itu semuanya baik-baik pak, gak ada yang sadis...""bu bidan itu suka memakai kata-kata... 'gini sayang... gini sayang...', gitu paak!”"kalau jam 6 pagi atau jam 3 sore di rumah Bidan itu seperti rumah sakit pak, saking sukanya masyarakat dengan bidan...""bu bidan itu lebih hapal siapa saja ibu yang hamil di wilayahnya daripada saya yang jadi kadernya pak...""bu bidan itu tetap melayani dengan baik pak, meski kadang hanya dibayar dengan jagung, kacang atau bawang..."
Apalagi yang bisa saya katakan?
ghirah itu telah saya rasakan... telah saya temukan di sini, Sampang.
-ADL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar