Surabaya, 07 Mei 2012
dear all,
berikut catatan perjalanan seminggu terakhir di Kabupaten Kepulauan Aru.
semoga bisa meninggalkan sesuatu yang berguna... semoga
***
Dobo_Kepulauan Aru, 04 Mei 2012
Siang
itu, saat jam 16.30 waktu setempat, di sela teduhnya cuaca sehabis
diguyur gerimis, kami mendarat di bandar udara Kota Dobo. Kesan pertama
yang tertangkap, ahh... Dobo belumlah layak disebut sebagai kota, meski
mereka menyebutnya sebagai ibukota kabupaten ini.
Sambutan
belasan tukang ojek merayu kami untuk bersegera meninggalkan bandara
yang tak lebih besar dari balai desa di Pulau Jawa. Tak perlu waktu lama
menentukan pilihan, tak lebih sepuluh menit kami telah sampai di depan
Hotel Suasana Baru, hotel yang menurut kami lebih layak disebut losmen.
Tak apalah... toh penginapan ini adalah salah satu yang terbaik yang
dimiliki kota ini.
Sepuluh menit dari bandara ke hotel?
Yak! Bukan karena jarak bandara ke hotel yang terlalu dekat, tetapi memang keseluruhan Kota Dobo bila di
ubek-ubek dari ujung ke ujung memerlukan waktu yang tak lebih dari satu jam saja.
Cukup besar bukan?
Saya
bertandang di kabupaten ini ditemani mas Setia Pranata, seorang
anthropolog, peneliti senior di tempat saya bekerja. Sedianya kami
sedang dalam persiapan daerah penelitian untuk melaksanakan tugas dari
kantor, melakukan evaluasi terkait Jaminan Persalinan (Jampersal).
Seperti
judul tulisan yang saya pilih di atas, Kabupaten Kepulauan Aru
merupakan salah satu kabupaten ‘Daerah Tertinggal, Perbatasan dan
Kepulauan’ (DTPK) yang juga merupakan kabupaten yang tergolong sebagai
kabupaten ‘Daerah Bermasalah Kesehatan’ (DBK).
Untuk yang belum paham DTPK dan DBK silahkan baca tulisan pada catatan-catatan sebelumnya.
Kabupaten
Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten dari propinsi seribu pulau,
Propinsi Maluku. Meski sebenarnya di Kabupaten Kepulauan Aru saja jumlah
pulaunya sudah mencapai 547 pulau dengan 458 diantaranya yang tidak
berpenghuni. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 3 pulau besar (Pulau
Wokam, Kobror dan Trangan), dan 8 pulau lain yang merupakan pulau kecil
terluar, antara lain Arapula (tidak berpenghuni); Karawaiala (tidak
berpenghuni); Panambulai (berpenghuni); Kultubai Utara (tidak
berpenghuni); Kultubai selatan (tidak berpenghuni); Karang (tidak
berpenghuni); Enu (tidak berpenghuni) ; dan Batu goyang (berpenghuni).
Secara
geografis, di sebelah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru adalah Laut
Arafura, di sebelah Utara dan Timur berbatasan laut dengan bagian
Selatan Papua Barat, sedang bagian timur berbatasan laut dengan bagian
Timur Pulau Pulau Kei Besar (Kabupaten Maluku Tenggara) dan Laut
Arafura.
Dalam catatan harum kepahlawanan, Laksamana Laut Yos
Sudarso gugur di perairan Laut Arafura saat menolak dievakuasi pihak
Belanda ketika kapal yang dikomandaninya dibom dan ditenggelamkan di
laut ini.
Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh)
kecamatan dengan jumlah puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah
puskesmas dibanding dengan jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan
kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi lebih dikarenakan terlalu
banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja dinas kesehatan di sana.
Untuk
mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga bisa
dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi
dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana
Air, setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air)
menarik diri dari jalur tersebut.
Jalur pesawat terbang
yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Aru dari Kota
Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota yang sebelum
memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak
tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan jarak tempuh
Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan tersebut kita tempuh
melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung di
lautan.
Bila kita membayangkan mencapai kabupaten
kepulauan ini sulit, maka sesungguhnya mencapai wilayah kerja di
kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur laut adalah jalur
transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat tergantung
dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat. Iklim
dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga
dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian
Selatan sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang
ekstrim.
Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru
sudah cukup baik untuk golongan DTPK. Sudah ada jaringan Telkom dan
komunikasi seluler. Telkomsel sebagai satu-satunya provider yang
bernyawa di daerah ini telah hadir dengan sinyal cukup kuat, meski
terbatas hanya jaringan GSM.
Setidaknya saya masih bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Pengakuan
dari Kamelia Assagaf (pengelola Jampersal Kabupaten Kepulauan Aru)
cukup mengejutkan, bahwa dari 21 (dua puluh satu) puskesmas yang ada di
Kabupaten Kepulauan Aru pada akhir tahun 2011, sampai pada saat tulisan
ini dibuat hanya 11 (sebelas) puskesmas yang memiliki tenaga bidan di
wilayahnya, itupun tidak merata di seluruh desa. Di wilayah Puskesmas
Marlasi misalnya, dengan 16 (enam belas) desa yang menjadi wilayah
kerjanya, hanya tersedia 3 (tiga) tenaga bidan. Entah bagaimana mereka
membagi beban kerjanya?
Pengakuan inipun setidaknya diamini
Haryati Kubangun selaku Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan
Kabupaten Kepulauan Aru.
Sedang 10 (sepuluh) puskesmas
lainnya yang tidak memiliki bidan sama sekali di wilayah kerjanya,
terdiri atas Puskesmas Kaben, Puskesmas Wakua, Puskesmas Kobadangar,
Puskesmas Koijabi, Puskesmas Longgar Apara, Puskesmas Mesiang, Puskesmas
Panambulai, Puskesmas Doka Barat,
Puskesmas Ngaibor,
dan Puskesmas yang terletak di wilayah paling selatan Kabupaten
Kepulauan Aru, Puskesmas Batu Goyang. Prihatin sekali membayangkan
berapa desa yang kosong tanpa ada tenaga kebidanan sama sekali.
Kekosongan
bidan ini bukan tidak disadari oleh Dinas Kesehatan sebagai masalah
yang harus segera diselesaikan, untuk itu Dinas Kesehatan membuat usulan
pengangkatan semua lulusan Akademi Kebidanan setempat sejumlah 21 bidan
pada tahun 2012 ini. Semua usulan pengangkatan adalah sebagai tenaga
bidan PTT dengan usulan pembiayaan dari pusat. Usulan pembiayaan tenaga
bidan PTT dengan pembiayaan dari daerah sepertinya gamang dilakukan.
Dengan anggaran bidang kesehatan yang hanya 5,68% dari total APBD
sebesar Rp. 521.397.899.791,- dirasa tidak cukup untuk membiayai
keperluan tersebut, meski APBN juga telah andil sebesar Rp.
7.283.177.000,- untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Aru
ini.
Lulusan bidan tahun 2012 ini merupakan lulusan
reguler pertama Akademi Kebidanan satu-satunya di Kabupaten Kepulauan
Aru. Tahun 2011 sebelumnya, Akademi Kebidanan ini sempat meluluskan 16
tenaga bidan, yang merupakan tugas belajar dari PNS Dinas Kesehatan dari
sekolah kebidanan yang lebih rendah.
Berdasarkan data
profil kesehatan Kabupeten Kepulauan Aru, jumlah ibu hamil pada tahun
2009 mencapai 2.004 ibu dan menurun sedikit pada tahun 2010 mencapai
angka 1.989 ibu hamil.
Pada tahun 2010 jumlah ibu hamil yang
memeriksakan diri saat kehamilan mencapai K1=1.596 ibu (80,2%) dan
K4=1.195 (60,1%). Dari sejumlah kehamilan pada tahun 2010, 52,8%nya
(1.013) ditolong oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan.
Capaian ini masih jauh dari target SPM provinsi sebesar 90% dan target
SPM nasional sebesar 95%.
Tidak jauh berbeda dengan data
pelaporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di atas, data survey
berbasis komunitas justru menunjukkan angka cakupan yang sedikit lebih
baik. Berdasarkan data Riskesdas 2007 cakupan ibu yang memeriksakan
kehamilan di Kabupaten Kepulauan Aru mencapai sebesar 83,3%. Sedang yang
melakukan pemeriksaan neonatus mencapai 33,3% untuk KN-1 (0-7 hari) dan
42,9% (8-28 hari) pada KN-2.
PELAYANAN JAMPERSAL
Berbeda
dengan laporan capaian cakupan pelayanan kesehatan ibu, laporan cakupan
pelayanan penggunaan Jampersal menunjukkan angka yang sangat rendah.
Sejatinya,
pelayanan Jaminan Persalinan (Jampersal) mulai masuk dan ada klaim
untuk jasa pelayanan di Kabupaten Kepulauan Aru pada bulan Agustus 2011.
Tetapi pencapaian pelayanannya relatif sangat sedikit dan tidak
menunjukkan pola kecenderungan seperti daerah ‘normal’ lainnya. Entah
dikarenakan sosialisasi yang kurang intensif, atau karena kondisi
geografis kepulauan yang sangat ekstrim, atau karena ketersediaan tenaga
bidan yang minim, atau bahkan kolaborasi dari kesemua faktor tersebut.
Data
yang tersaji dalam grafik berikut memberi gambaran pelayanan kesehatan
ibu melalui Jampersal pada tahun 2011. Grafik tersebut merupakan hasil
rekapitulasi penulis atas klaim bulanan yang tercatat di pengelola
Jampersal Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2011.
Pola yang ditunjukkan antara jumlah cakupan K-1, K-4, persalinan, KF-1, KF-2,dan KF-3 naik turun menunjukkan tidak adanya ‘
continum of care’
pada pelayanan kesehatan ibu dan anak. Setiap pelayanan seakan berdiri
sendiri-sendiri, tidak ada kesinambungan. Hal ini diakui oleh bidan,
yang menurut mereka juga karena memang klaim Jampersal bukan sebagai
paket utuh, tetapi parsial per pelayanan.
Lalu bagaimana dengan klaim untuk transport rujukan?
Nol
besar! Bukan karena tenaga bidan di desa-desa kepulauan tersebut
terlalu pintar, tapi lebih dikarenakan ekstrimnya transportasi yang
harus ditempuh bila merujuk, yang bisa-bisa lebih memperparah kondisi si
ibu.
Akhirnya... tak sampai hati juga rasanya menunjukkan apa yang ‘seharusnya‘, dan menuntut mereka melakukannya.
Butuh lebih dari sekedar rasa prihatin untuk membuat pelayanan kesehatan menjadi ‘ADA’!
-ADL-