Baubau, 14 Oktober 2012
Lanscape view from Benteng Hills
dear all,
Wakatobi, demikian kabupaten baru pemekaran Kabupaten Buton ini
disebut. Nama kabupaten yang diambil berdasarkan singkatan nama empat
pulau besar yang ada di wilayah ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia, dan yang terakhir serta terjauh adalah Pulau
Binongko.
Kabupaten yang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam
kriteria DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan) ini
beribukota di Wanci yang berada di pulau pertama, Pulau Wangi-wangi,
yang merupakan pulau terbesar dan paling ramai dari ke-empat pulau besar
di wilayah ini.
Kabupaten Wakatobi memiliki dunia ‘lain’ yang begitu menarik bagi wisatawan penggemar lanscape bawah laut. Dunia yang merupakan surga bagi penggemar dunia diving ataupun snorkelling, atau
mungkin bahkan bagi yang tidak bisa berenang sekalipun. Bagaimana
tidak? Lautan yang mendominasi wilayah kepulauan ini begitu jernih dan
menampilkan spot-spot indah yang cukup dangkal di beberapa titik.
Menampilkan indahnya biota laut, yang bahkan tanpa kita perlu
berbasah-basah dengan hanya nangkring di atas ketinting.
Tomia Dive Centre, salah satu penyedia layanan wisata dasar laut yang dikelola investor asing
Wakatobi yang merupakan salah satu destinasi bawah laut yang sedang
mendunia ternyata prestasinya dalam bidang kesehatan kurang begitu
menggembirakan. Wakatobi merupakan salah satu wilayah DBK (Daerah
Bermasalah Kesehatan). Setidaknya Wakatobi menempati urutan ke-340 dari
440 kabupaten/kota saat pemeringkatan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) tersebut dibuat, atau rangking 7 dari 10
kabupaten/kota di Propinsi Sultra.
Dalam bidang pergizian, setidaknya di kabupaten kepulauan ini
didominasi oleh balita stunting (pendek atau sangat pendek) sebesar
52,67%. Indikator yang dihitung berdasarkan angka tinggi badan dibanding
umur ini seharusnya tidak boleh terjadi di Kabupaten yang sumber
protein hewani dari ikan begitu sangat melimpah ini. Masalah gizi
lainnya, gizi buruk dan kurang juga masih cukup tinggi, yaitu 30,21%
dari seluruh balita yang ada di kabupaten ini.
Indikator lain, yang memiliki bobot tinggi dalam IPKM, juga mempunyai
masalah yang cukup berat, baik pada masalah kesehatan ibu dan anak
maupun sanitasi dan ketersediaan air bersihnya.
Propinsi Sulawesi Tenggara dalam IPKM
JAMPERSAL DI WAKATOBI
Kedatangan kami sebagai tim di kabupaten kepulauan ini memang
sedianya mengemban tugas untuk mengevaluasi pelaksanaan Jaminan
Persalinan (Jampersal) di wilayah ini, meski juga akhirnya kami membuka
mata sedemikian lebar serta memasang telinga dengan sungguh-sungguh
untuk lebih banyak melihat dan mendengar apa yang menjadikan kabupaten
ini bisa sedemikian terpuruk dalam bidang kesehatan.
Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di kabupaten ini kami
berani mengatakan bahwa dalam hal mekanisme pembayaran klaim dan
persyaratan jaminan, Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di
Indonesia! Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota yang
kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini. Bagaimana tidak?
Kabupaten kepulauan ini begitu berani menetapkan (sesuai Juknis) bahwa
persalinan yang bisa dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya
dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah
keberanian yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana
dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup luas.
Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten Wakatobi memberikan
seratus persen klaim langsung kepada pemberi layanan (bidan), tanpa ada
potongan atau pajak apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa
kabupaten/kota yang kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan
yang melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes). Biasanya
di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan apapun bisa terjadi hanya
pada ‘bidan swasta’ yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Dinas
Kesehatan.
Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten Wakatobi memang berbeda
dengan kabupaten/kota lainnya yang kami temui. Di kabupaten ini aliran
keuangan Jampersal tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari
Dinas Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui pengelola
Jampersal di Puskesmas.
Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim bukan berarti
implementasi kebijakan Jampersal dalam hal pelayanan menjadi lebih mudah
di wilayah ini. Adat budaya untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya
jumlah dukun bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang
begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam
memberi pelayanan.
Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di rumah cukup
merepotkan untuk mewujudkan cita-cita persalinan di fasilitas kesehatan.
Pada akhirnya memaksa petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil
yang mau melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk dibawa
ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ, momennya pun harus
tepat! Minimal harus menunggu pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap,
atau kalau tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan nggrundel karena menunggu terlalu lama di Puskesmas.
Jumlah dukun bayi dan trust (kepercayaan) masyarakat yang
begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut menjadi tantangan
tersendiri bagi petugas kesehatan. Kepercayaan yang sedemikian tinggi
pada dukun bayi benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah
ini. Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada pelayanan gratis
di Puskesmas.
Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang sekedarnya seperti layaknya
dukun bayi di wilayah lain. Di wilayah ini sedemikian tingginya trust
masyarakat kepada dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat
prestis. Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar Rp.
400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya mencapai angka Rp.
900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun bayi di ibukota kabupaten?
Sangat fantastis! Mencapai tiga kali lipat tarif pelayanan Bidan yang
ditanggung oleh Jampersal. Rp. 1.500.000,-.
KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN
Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan
kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah
Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6
desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap
bidan harus mampu mencover dua desa.
“Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk enam desa...” demikian keluh salah satu tokoh masyarakat.
Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga
menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan
sarana dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.
“Saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu ditingkatkan lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau...” usul salah satu Kelapa Lingkungan kepada kami.
Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan
tranfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di
kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai
satu-satunya Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk
sekedar bank darah. Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah
tersedia tenaga untuk pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang
masih belum tersedia.
Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam
perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya
beroperasi sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus
bersabar dengan jadwal yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau
sewa kapal sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi penduduk wilayah
ini, karena harga sewanya mencapai kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per
kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu hamil dengan faktor penyulit
yang dirujuk ke Baubau harus pass away sebelum sampai ke tempat rujukan.
Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih
pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa
mencapai tiga sampai tiga setengah jam perjalanan. Hanya saja memang
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak
selengkap di Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia dokter obgyn
di RSUD Kabupaten Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan.
Saat kedatangan kami pada hari Rabo (10 Oktober 2012) untuk wawancara
dengan dokter obgyn di Wanci, beliau menyatakan sedang di Kota Baubau
karena ada keluarganya yang sakit. Kami kejar untuk bisa wawancara di
Kota Baubau, beliau mengatakan akan berangkat ke Kota Makassar. Kami
kejar kembali untuk dapat wawancara di Makassar, beliau menyatakan akan
ke Jakarta untuk membeli obat-obatan. Akhirnya kami dapatkan janji
beliau untuk wawancara di Jakarta hari Senin ini (15 Oktober 2012).
Semoga wawancara tersebut benar-benar bisa berlangsung.
Sebelum kelupaan, di wilayah Pulau Tomia ini, yang meskipun
kepulauan, belum tersedia Puskel Laut (Puskesmas Keliling) atau Puskes
Terapung. Semoga Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan) membaca tulisan ini.
Meski sebenarnya sudah ada bantuan dari BUK sebuah Puskel laut untuk
Kabupaten Wakatobi yang saat ini ditempatkan di wilayah Pulau Binongko,
pulau terjauh. Tapi melihat kondisi dan wilayah yang harus dijangkau,
minimal wilayah Wakatobi memerlukan dua lagi Puskes laut untuk Pulau
Tomia dan Pulau Kaledupa.
PERKAMPUNGAN SUKU BAJO
Di Kabupaten Wakatobi bisa dikatakan didominasi oleh Suku Buton. Hal
ini bisa dimaklumi, karena memang wilayah ini merupakan salah satu
wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Sedang suku lain yang cukup mewarnai
kabupaten ini adalah Suku Bajo, yang memiliki ciri khas selalu
menempati wiayah pesisir, dengan membuat bangunan di atas laut.
Perkampungan Bajo Nelayan Bakti di Desa Mola
Di Kabupaten Wakatobi setidaknya Suku Bajo menempati tiga dari empat
pulau besar yang ada di kabupaten pemekaran ini. Di Pulau Wangi-wangi
sendiri ada satu koloni yang terdiri dari lima desa, komunitas dengan
jumlah Suku Bajo yang terbesar. Pulau Ke-dua, yaitu Pulau Kaledupa,
setidaknya ada tiga koloni yang bermukim di pesisir pulau, di sebelah
utara satu koloni dan di sebelah selatan terdapat dua koloni. Pulau
ke-tiga, yaitu Pulau Tomia, komunitas ini membentuk koloni di salah satu
pulau di wilayah Kecamatan Tomia, yaitu di Pulau Onemoba’a. Sedang
Pulau terakhir dari keempat pulau besar di Kabupaten Wakatobi adalah
Pulau Binongko, yang sama sekali tidak terdapat komunitas Suku Bajo yang
bermukim di pesisir pulau ini.
Ke’khas’an Suku Bajo ini dalam pengamatan kami bisa menjadi hambatan
tersendiri bagi Kabupaten Wakatobi bila ingin terlepas sebagai Daerah
Bermasalah Kesehatan, atau sebut saja sebagai tantangan tersendiri bila
kita ingin berpandangan optimis!
Di Pulau Onemoba’a yang penduduknya didominasi Suku Bajo, menurut
pengakuan bidan pengampu wilayah tersebut, tidak ada satupun ibu yang
bersalin ke tenaga kesehatan setahun terakhir. Mereka lebih memilih
dukun bayi sebagai penolong persalinan. Kenyataan ini masih ditambahi
dengan kondisi sanitasi lingkungan yang khas perkampungan nelayan yang
buruk, serta ketersediaan air bersih yang cukup menyulitkan.
Fasilitas pelayanan kesehatan sebenarnya sudah tersedia di tengah-tengah perkampungan Suku Bajo, tapi trust belum
bisa didapatkan bidan yang masih relatif muda tersebut. Dalam
pengamatan kami yang sempat berbaur di salah satu kampung Suku Bajo di
Perkampungan Bajo Nelayan Bakti, ketersediaan sarana pembelajaran
anak-anak pun sudah tersedia, bahkan menurut petugas dari Dinas
Kesehatan, perkampungan ini sempat dikunjungi Menteri Kelautan tahun
lalu.
Ceria Anak-anak Suku Bajo Bermain di Sore Hari
Yak, optimisme tersendiri melihat cerianya anak-anak Suku Bajo
bermain di senja itu. Berlalulalangnya muda-mudi Suku Bajo yang pulang
dari kuliah di Universitas Muhammadiyah setempat membersitkan banyak
harap, semoga bisa membawa perubahan bagi komunitasnya. Semoga...
-ADL-