“Tengger Bertahan dalam Adat”, demikian judul
yang disarikan dari penelitian dengan mengambil tema tentang ukuran keluarga
pada masyarakat suku Tengger. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif secara etnografis. Pendekatan etnografi lebih menekankan
pandangan masyarakat setempat atas dunia yang melingkupinya (konsep emik), yang
bisa jadi pandangan tersebut berbeda dengan perkembangan pada saat ini (konsep
etik).
Dengan
sengaja pendekatan etnografi dipilih dalam studi ini, untuk menggali potensi
kearifan lokal yang ada pada suku Tengger. Kearifan lokal yang mendorong
masyarakat suku Tengger dalam memilih ukuran keluarga kecil. Kearifan lokal
inilah yang terbukti membuat masyarakat suku Tengger bisa eksis dan bertahan di
tengah arus modern pariwisata yang melingkupi kawasan wisata Gunung Bromo.
Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri menganggap
sama saja antara anak laki-laki atau perempuan. Kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat Tengger di Desa Wonokitri
tidak hanya sebatas pengakuan, tetapi juga tampak pada sistem budaya yang
berlaku, pada sistem atau hukum waris misalnya dianggap memiliki kedudukan dan
hak yang sama dalam soal pembagian warisan.
Dua generasi terakhir keluarga Tengger
seringkali ditemukan hanya memiliki satu-dua anak saja. Secara empiris jarang
ditemukan keluarga inti yang memiliki anak lebih dari dua orang. Kalaupun
ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari dua, seringkali adalah keluarga
senior (berumur di atas 50 tahun), atau keluarga muda yang mengaku kebrojolan.
Kehamilan yang tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal
di luar prediksi.
Selain alasan praktis dan jangka panjang yang
berterkaitan dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya dua orang saja.
Alasan ini berkaitan dengan masa depan
Suku Tengger secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan filosofis
dibanding alasan-alasan sebelumnya. Keyakinan yang dianut oleh masyarakat
Tengger bersumber pada leluhur. Keluar dari wilayah seputar Bromo, maka artinya
sama dengan meninggalkan tanah leluhur Tengger. Temuan baru dalam studi ini
adalah konstruksi sosial dari multi faktor yang ikut menyusun ukuran keluarga
kecil pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Dapat disimpulkan bahwa bagi Suku Tengger
keluarga tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga termasuk para
menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku Tengger tidak mempermasalahkan
jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada akhirnya mereka tetap akan mendapat
“anak” dengan jenis kelamin yang lengkap dari para menantunya. Konstruksi
sosial ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri
berujung pada keinginan mereka untuk mewujutkan keberlangsungan eksistensi Suku
Tengger. Dalam prosesnya, konstruksi sosial ukuran keluarga kecil berkaitan
dengan geografis tempat tinggal Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga
dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih ukuran keluarga
kecil sebagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kecukupan lahan.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga
berkaitan dengan kepercayaan Tengger yang bergantung pada leluhur. Ukuran
keluarga yang besar akan berdampak anak keturunan mereka harus meninggalkan
kawasan Gunung Bromo, karena lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi
tersebut terjadi maka konsekuensinya leluhur menjadi tidak terurus, karena
mereka harus meninggalkan dimana leluhur bersemayam. Proses terjadinya
konstruksi sosial ukuran keluarga kecil semakin mudah terjadi karena
karakteristik sosial dan budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri itu
sendiri. Nilai anak yang tidak mempermasalahkan preferensi gender, dan hukum
waris yang tidak memandang perbedaan gender, dan dukungan pemerintah dengan
ketersediaan pelayanan dan alat kontrasepsi turut memudahkan konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil tersebut terjadi.
Naskah lengkap buku ini dapat diunduh pada tautan berikut: