Ruteng, Manggarai, 09 Juni 2016
Pada perjalanan kali ini kami berkesempatan untuk mendampingi ibu sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Ria Sukarno, SKM., MCN., untuk melakukan supervisi kegiatan lapangan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Kegiatan supervisi kali ini mengambil tempat di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari 25 kabupaten lainnya yang menjadi sasaran Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Riset yang digawangi oleh Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan ini ditujukan untuk menggali potensi lokal, terutama yang berbasis budaya, untuk dipergunakan bagi sebaik-baiknya status kesehatan masyarakat setempat.
Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari dua kabupaten pemekaran Kabupaten Manggarai. Kabupaten yang berada di antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada ini terlahir secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 per tanggal 17 Juli 2007.
Secara umum untuk menuju salah satu kabupaten di Pulau Flores ini tidaklah sulit. Bila kita berasal dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka kita bisa menggunakan pesawat udara tujuan Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo. Yup, Bandar Udara Komodo! yang merupakan pintu gerbang utama untuk menuju salah satu destinasi binatang purba dunia, komodo. Naik pesawat udara menuju Labuan Bajo, serasa kita adalah turis asing yang sedang melancong, betapa tidak? Pesawat ATR Garuda Indonesia yang kami tumpangi, sekitar 80% penumpangnya adalah orang bule, sementara pribumi Indonesia hanya beberapa gelintir saja.
Selanjutnya dari Labuan Bajo kita bisa menggunakan jalur darat selama kurang lebih empat sampai lima jam menuju Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Sebuah perjalanan dengan jalan yang membikin neg, isi perut serasa mau keluar, jalan yang naik-turun, berkelok-kelok. Meski selama perjalanan tidak terlalu panjang ini kita akan disuguhi lanskap alam yang menyejukkan mata. Kebun cengkeh, kebun coklat, kebun kopi, kebun jeruk, sawah sarang laba-laba, Danau Ranamese, sungai, gunung, dan hutan, semua tampil bergantian memamerkan keindahan lanskap suburnya tanah daratan Pulau Flores. Kondisi ini berbanding terbalik dengan daratan Pulau Timor, salah satu pulau besar lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang kering dan gersang.
Kali pertama kami menemui salah satu peneliti yang berada di Puskesmas Mano. Pada kesempatan ini kami berdiskusi cukup seru tentang tema yang diambil oleh peneliti etnografi yang ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur ini, tentang dukun patah tulang. Rupa-rupanya di wilayah ini kecelakaan lalu lintas cukup banyak terjadi. Track jalan yang berkelok yang naik-turun ternyata cukup banyak membawa korban.
Kejadian patah tulang sebagai akibat kecelakaan lalu lintas ternyata juga masih ditambah dengan kejadian karena jatuh dari pohon. “Iyaa paak… itu mereka panjat pohon cengkeh… itu tinggii… tapi dahan-dahannya lapuk too…,” cerita Ochi, salah satu peneliti asli Maumere yang live in di wilayah Puskesmas Mano ini.
Meski kejadian yang menyebabkan banyak terjadinya patah tulang, tetapi tidak terlalu banyak catatan resmi di Puskesmas tentang kejadian ini. “Mereka kalau patah tulang memang jarang ke sini pak. Hanya beberapa saja, kebanyakan langsung ke dukun yang bisa menangani patah tulang,” kata Helen, dokter cantik asli Ruteng yang sudah bertugas di Puskesmas Mano selama kurang lebih dua tahun tersebut. Keterangan dokter Puskesmas Mano tersebut dibenarkan oleh Bidan Yustina selaku Kepala di Puskesmas Mano, “Benar pak kata bu dokter, meski mereka ke sini… biasanya hanya minta obat untuk penghilang nyeri saja. Kalaupun kami rujuk ke rumah sakit jarang yang tuntas pengobatannya. Kebanyakan pulang paksa, karena tidak punya uang to…”.
Tidak tersedianya pelayanan kesehatan untuk menangani kejadian patah tulang di Puskesmas membuat dokter merujuk ke rumah sakit daerah di Ruteng (rumah sakit daerah milik Pemda Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur sendiri belum memiliki rumah sakit daerah). Meski menurut keterangan dokter Puskesmas Mano, di Rumah Sakit Daerah Ruteng pun tidak memiliki dokter spesialis orthopedi yang bisa menangani kejadian patah tulang ini. Jadi memang ada kekosongan pelayanan publik yang disediakan pemerintah untuk kejadian patah tulang di wilayah ini.
“…untuk kalau patah tulang memang orang-orang pada berobat ke pak tua (pengobat tradisional)… itu om Fikus ituu…,” ulang Kepala Puskesmas Mano tentang bagaimana masyarakat di wilayah ini mendapatkan pertolongan untuk penyakit akibat kecelakaan ini. Di wilayah ini, menurut keterangan peneliti yang live in, hampir di setiap desa ada pengobat tradisional yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan patah tulang. Para pengobat inilah yang mengisi kekosongan pelayanan kesehatan pengobatan patah tulang yang belum tersedia.
Tidak ada tarif khusus untuk mendapatkan pelayanan dari para pengobat patah tulang ini, atau bahkan gratis sama sekali. “Saya tidak tarik sepeserpun bayaran. Saya ikhlas seratus persen…,” terang om Fikus, panggilan akrab pengobat tradisional di Desa Mano yang sempat kami temui. Lebih lanjut om Fikus mengatakan, “Orang datang minta tolong harus ditolong. Orang haus harus dikasih minum… orang lapar harus dikasih makan… orang datang minta tolong harus kita tolong. Itu kewajiban kita…”.
Cara pengobatan yang dilakukan oleh pengobat tradisional patah tulang ini terlihat cukup sederhana. Ada dua jenis tahapan yang biasa dilakukan, yang pertama adalah kunyahan halia (jahe), kopra (kelapa kering), daun campa, daun tadak, dan daun angos yang disemburkan pada bagian yang patah. Selanjutnya ampas kunyahan tersebut dibalurkan ke bagian yang sakit dibebat dengan kain kasa atau kain biasa. Selain itu pasien juga diberi minum air putih yang sudah didoakan. “Itu saja ramuannya untuk patah tulang. Tapi macam bapak-ibu bisa kasih seperti bahan-bahan itu pada patah tulang, tapi tidak akan berhasil… karena ada doa yang tidak saya berikan…,” dalih om Fikus.
Meski pelayanan kesehatan untuk pengobatan patah tulang dirasakan minim di wilayah ini, tetapi tidak serta merta menutup upaya petugas kesehatan untuk tetap berusaha. “Kalau ada yang patah tulang terbuka, yaa kami rawat dulu sampai lukanya sembuh dulu… baru kalau sudah sembuh mau ke dukun patah tulang itu ya silahkan saja. Tapi kami tetap merujuknya ke rumah sakit…”
Konfirmasi tentang keberadaan para pengobat tradisional patah tulang sempat kami lakukan pada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, dr. Philipus Mantur, yang menyatakan, “Masyarakat di sini memang begitu. Mereka memilih ke dukun patah tulang bila harus membayar sendiri… misalnya kalau jatuh dari pohon. Tapi mereka sebenarnya mau operasi bila ada yang membayar. Misalnya kecelakaan… trus yang menabrak mau membiayai untuk operasi… dioperasi di Bali atau Jakarta…”.
Sementara berbicara tentang kosongnya pelayanan kesehatan di wilayah Manggarai Timur, Dinas Kesehatan setempat menyatakan bahwa sudah direncanakan untuk membangun sebuah rumah sakit daerah di wilayah Kecamatan Borong. Rencana pembangunan rumah sakit ini juga disertai dengan rencana pembangunan akses jalan dari tiga penjuru menuju arah rumah sakit. Menurut Bidang Pelayanan Kesehatan, pembangunan kemungkinan akan memakan waktu tiga tahun, karena minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah daerah untuk membangun dalam satu kali atau satu tahun anggaran.