“Tengger Bertahan dalam Adat”, demikian judul
yang disarikan dari penelitian dengan mengambil tema tentang ukuran keluarga
pada masyarakat suku Tengger. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif secara etnografis. Pendekatan etnografi lebih menekankan
pandangan masyarakat setempat atas dunia yang melingkupinya (konsep emik), yang
bisa jadi pandangan tersebut berbeda dengan perkembangan pada saat ini (konsep
etik).
Dengan
sengaja pendekatan etnografi dipilih dalam studi ini, untuk menggali potensi
kearifan lokal yang ada pada suku Tengger. Kearifan lokal yang mendorong
masyarakat suku Tengger dalam memilih ukuran keluarga kecil. Kearifan lokal
inilah yang terbukti membuat masyarakat suku Tengger bisa eksis dan bertahan di
tengah arus modern pariwisata yang melingkupi kawasan wisata Gunung Bromo.
Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri menganggap
sama saja antara anak laki-laki atau perempuan. Kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat Tengger di Desa Wonokitri
tidak hanya sebatas pengakuan, tetapi juga tampak pada sistem budaya yang
berlaku, pada sistem atau hukum waris misalnya dianggap memiliki kedudukan dan
hak yang sama dalam soal pembagian warisan.
Dua generasi terakhir keluarga Tengger
seringkali ditemukan hanya memiliki satu-dua anak saja. Secara empiris jarang
ditemukan keluarga inti yang memiliki anak lebih dari dua orang. Kalaupun
ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari dua, seringkali adalah keluarga
senior (berumur di atas 50 tahun), atau keluarga muda yang mengaku kebrojolan.
Kehamilan yang tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal
di luar prediksi.
Selain alasan praktis dan jangka panjang yang
berterkaitan dengan lahan pertanian, ada argumentasi lain juga dilontarkan
masyarakat Suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya dua orang saja.
Alasanini berkaitan dengan masa depan
Suku Tengger secara keseluruhan. Alasan yang lebih mendasar dan filosofis
dibanding alasan-alasan sebelumnya. Keyakinan yang dianut oleh masyarakat
Tengger bersumber pada leluhur. Keluar dari wilayah seputar Bromo, maka artinya
sama dengan meninggalkan tanah leluhur Tengger. Temuan baru dalam studi ini
adalah konstruksi sosial dari multi faktor yang ikut menyusun ukuran keluarga
kecil pada Suku Tengger di Desa Wonokitri.
Dapat disimpulkan bahwa bagi Suku Tengger
keluarga tidak hanya meliputi anak kandungnya, tetapi juga termasuk para
menantunya. Kondisi ini membuat keluarga Suku Tengger tidak mempermasalahkan
jenis kelamin anak yang dimilikinya. Pada akhirnya mereka tetap akan mendapat
“anak” dengan jenis kelamin yang lengkap dari para menantunya. Konstruksi
sosial ukuran keluarga kecil pada masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri
berujung pada keinginan mereka untuk mewujutkan keberlangsungan eksistensi Suku
Tengger. Dalam prosesnya, konstruksi sosial ukuran keluarga kecil berkaitan
dengan geografis tempat tinggal Suku Tengger yang pegunungan. Berkaitan juga
dengan mata pencaharian sebagai petani. Orang Tengger memilih ukuran keluarga
kecil sebagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kecukupan lahan.
Konstruksi sosial ukuran keluarga kecil juga
berkaitan dengan kepercayaan Tengger yang bergantung pada leluhur. Ukuran
keluarga yang besar akan berdampak anak keturunan mereka harus meninggalkan
kawasan Gunung Bromo, karena lahan pertanian tidak lagi cukup. Bila situasi
tersebut terjadi maka konsekuensinya leluhur menjadi tidak terurus, karena
mereka harus meninggalkan dimana leluhur bersemayam. Proses terjadinya
konstruksi sosial ukuran keluarga kecil semakin mudah terjadi karena
karakteristik sosial dan budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri itu
sendiri. Nilai anak yang tidak mempermasalahkan preferensi gender, dan hukum
waris yang tidak memandang perbedaan gender, dan dukungan pemerintah dengan
ketersediaan pelayanan dan alat kontrasepsi turut memudahkan konstruksi sosial
ukuran keluarga kecil tersebut terjadi.
Naskah lengkap buku ini dapat diunduh pada tautan berikut:
Dengan gaya bertutur – feature –Nusantara Ethnographic diceritakan dengan cara memandang adat budaya Nusantara bukan sebagai sebuah kendala pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan. Tetapi adat budaya Nusantara justru dipandang sebagai sebuah potensi yang bisa diberdayakan untuk turut andil sebagai modal sosial pembangunan kesehatan.
Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan mengaku mencintai negeri ini, bila tak mau mengenal dan mengakui setiap adat budaya yang ada di Nusantara.
Adat budaya Nusantara adalah kearifan lokal yang menjadi ciri sosial setiap suku di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal justru akan menambah panjang nafas pembangunan itu sendiri. Pembangunan kesehatan menjadi lebih berkesinambungan karena memperlakukan masyarakat tidak hanya sebagai obyek pembangunan, tetapi justru masyarakat adalah subyek pembangunan itu sendiri.
Besar harapan Nusantara Ethnographic bisa menginfeksi setiap pembaca. Pembaca yang berkenan menyelesaikan buku ini sampai huruf terakhir, untuk lebih mencintai republik ini dengan segala adanya.
Berminat menyelesaikan buku ini? Sila download disini.
Baram adalah minuman tradisional beralkohol masyarakat Dayak. Baram mempunyai peran penting pada ritual adat Suku Dayak Ngaju serta ritual Kaharingan. Baram menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-sehari masyarakat di Katingan. Mabuk dan adiksi yang diakibatkan baram menjadi hal yang dianggap biasa pada acara formal atau informal. Laki-laki, perempuan dan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, usia, agama, menjadi bagian dari acara pesta baram.
Minum dari gelas yang sama secara bergantian merupakan wujud kebersamaan, kegotong-royongan, serta kekerabatan yang erat. Mereka minum baram dalam kuantitas yang tinggi, tanpa rasa takut pada dampak negatif yang dapat diakibatkan pada tubuh mereka. Satu hal yang ditakutkan, yaitu pulih atau racun yang mematikan. Baram seperti pisau bermata dua, ia baik tetapi sekaligus jahat. Baram adalah paradoks yang menawarkan satu kontroversi sulit yang harus dipecahkan, apakah ia madu atau racun?
Perjalanan kali ini disponsori oleh Kementerian Kesehatan via Pusat Perencanaan dan Penggunaan Tenaga Kesehatan (Pusrengun). Saya ditugaskan untuk menjadi pendamping adik-adik yang tergabung sebagai tim Nusantara Sehat Batch 4 dengan penempatan Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan.
Pada Batch 4 kali ini, Kabupaten Sorong Selatan mendapatkan dua tim, dengan penempatan selain Puskesmas Saifi, satu lagi di Puskesmas Seremuk. Total ada sekitar tujuh tim yang ditempatkan di Provinsi Papua Barat dengan penempatan di tiga kabupaten. Selain Sorong Selatan, dua kabupaten lain adalah Tambrauw dan Raja Ampat.
Tim Nusantara Sehat penempatan Puskesmas Saifi ini terdiri dari enam orang tenaga kesehatan dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Pendekatan team work memang menjadi ciri khas program Nusantara Sehat untuk menggantikan program PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang telah ada sebelumnya, dengan pendekatan per tenaga.
Menuju Kota Manokwari
Perjalanan kami harus dimulai dengan menyesuaikan dengan alur birokrasi setempat. Tujuan utama kami adalah Puskesmas Saifi di Kabupaten Sorong Selatan, tetapi kami harus menuju Kota Manokwari terlebih dahulu, meski untuk mencapai Kota Manokwari kami harus transit di Kota Sorong terlebih dahulu. Sebagai informasi, Kota Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat, dimana Dinas Kesehatan Provinsi berada.
Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan udara untuk mencapai Kota Manokwari, selain perjalanan yang lama, serta delay empat jam yang melelahkan karena kondisi cuaca Bandara Rendani di Manokwari yang cukup ekstrem dengan hujan lebatnya. Sisanya, adalah kebersamaan yang cukup menyenangkan bersama tim yang berasal dari berbagai penjuru republik ini.
Tawaran lanskap Manokwari dari kompleks perkantoran Gubernur yang menampilkan view laut cukup menghibur. Setidaknya memuaskan pandangan mata para pecinta fotografi lanskap. Gambar 2. Lanscape view dari Komplek Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, tim kembali mendapat pembekalan materi-materi muatan lokal. Sebelumnya mereka sudah dibekali dengan berbagai program kesehatan di Pusdikkes TNI AD selama empat puluh hari. Program yang menjadi andalan dan khas Papua Barat adalah “Kebas Malaria” (Keluarga Bebas Malaria), yang dimotori oleh dr. Victor selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan.
Menuju Kota Sorong
Setelah proses pembekalan perjalanan dilanjutkan sesuai dengan tujuan akhir masing-masing tim. Enam tim melanjutkan dengan jalur udara ke Kota Sorong, sedang satu tim lain dengan jalur darat ke wilayah Kabupaten Tambrauw di Distrik Miyah, yang memang lebih dekat bila ditempuh dari Kota Manokwari.
Dari Kota Sorong, tim berpencar dengan jalur masing-masing. Tiga tim dengan penempatan Kabupaten Raja Ampat menggunakan jalur laut menuju Waisai, ibo kota Kabupaten Raja Ampat. Satu tim dengan jalur darat menuju Sausapor, ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw, sementara ibu kota aslinya sedang dalam pembangunan infrastruktur. Dua tim terakhir dengan tujuan Kabupaten Sorong Selatan juga menggunakan jalur darat.
Tak kalah dengan Manokwari, kawasan pantai Kota Sorong juga menawarkan landscape view yang menarik. Bila Manokwari menawarkan view sunrise, maka Kota Sorong menawarkan view sunset.
Menuju Kota Teminabuan
Perjalanan menuju Teminabuan, ibukota Kabupaten Sorong Selatan, tidaklah menggambarkan imej ‘Papua’ yang terbelakang. Perjalanan 3-4 jam dengan jalan aspal dan beton yang terkelupas sana-sini relatif mudah digilas fortuner sewaan. Beriring-iringan empat Fortuner terasa gagah melaju di tengah-tengah hutan menuju Teminabuan.
Di Kabupaten Sorong Selatan rombongan tim Nusantara Sehat diterima dengan baik oleh bapak Bupati. Kami berdiskusi banyak hal, setelah sebelumnya sempat ikut apel bersama seluruh PNS kabupaten.
Menuju Distrik Saifi
Selesai urusan dengan kabupaten dan dinas kesehatan, saatnya kami mempersiapkan diri untuk menuju Distrik Saifi. Kami sewa mobil double gardan, karena Fortuner yang kami sewa sebelumnya tidak berani menempuh jalur seksi menuju Distrik Saifi.
Perjalanan menuju Distrik Saifi aman-aman saja pada awalnya, jalanan bergelombang bukan hal istimewa di Tana Papua. Tapi tentu saja tidak berlangsung lama. Bila tidak, kenapa mobil sekelas Fortuner menolak jalur seksi ini?
Jalur lumpur pertama, kedua, ketiga… dapat dilibas dengan mudah oleh Triton yang kami tumpangi. Daeng Idris terlihat lincah menguasi medan. Tentu saja dengan kondisi penumpang yang teraduk-aduk dengan jerit bersahutan.
Sampai tiba saatnya pada satu titik jalan berlumpur yang cukup panjang, mobil tak lagi mampu melawan. Sementara tak jauh di depan terlihat ambulance 4WD milik Puskesmas Saifi juga tertanam dengan sukses.
Banyak upaya ditempuh untuk mencoba mengeluarkan mobil dari lumpur. Mengganjal di depan ban mobil dengan batu, mendorong, menarik, semua tidak membuahkan hasil, roda berputar tanpa membuat mobil beranjak, sampai mengeluarkan bau asap ban yang terbakar. Upaya saling menarik antar mobil juga tidak bisa dilakukan, bagaimana tidak? Keduanya sama-sama tidak bergerak, tertanam dalam lumpur.
Drama mobil tertanam semakin tragis saat mendung datang dengan cepat. Tuhan, bila hujan turun, tidak saja kami basah kuyup di tengah-tengah antah berantah, tetapi mobil akan semakin tertanam. Segala rapalan doa terkembang. Ilmu pawang hujan terpaksa dikeluarkan.
Setidaknya dua jam kami berusaha seperti dalam kesia-siaan, tapi minimal hujan tidak jadi turun, berganti dengan terik matahari yang menyengat, yang membekaskan luka bakar di sekujur wajah dan leher. Cindera mata dari Saifi.
Dua jam terlewat, muncul sebuah harapan, saat datang mobil lain menuju arah kami. Semangat kembali tergali, berusaha kembali. Sampai saat harapan kembali pupus. Mobil ke-tiga tertanam kembali bersama kami. Tapi setidaknya bertambah lagi teman perjalanan mengasyikkan ini.
Setengah jam berselang, dua mobil datang dari arah yang berbeda. Tidak mau mengulang pengalaman mobil sebelumnya yang turut tertanam, kedua mobil ini bertahan di tempat yang lebih kering, mencoba menarik dengan tali tambang yang lumayan panjang.
Setelah berkutat satu jam lebih, dengan saling tolong dan tarik, akhirnya lima mobil bisa keluar dari kubangan lumpur itu, meski tali tambang besar yang dipakai menarik itu pada akhirnya juga terputus.
Meski masih banyak jalur lumpur lain, sisa perjalanan menuju Distrik Saifi terasa lebih ringan, karena jalur lumpur tak lagi membuat kami takut, kami telah melewati bagian terdalam. Anak-anak tim Nusantara Sehat ini tetap bersemangat, selalu terlihat bersemangat. Sepanjang perjalanan mereka berfoto, selfi, bernyanyi-nyanyi membangkitkan semnagt, dan merekam seluruh kejadian ini dengan tertawa-tawa. Baju tak lagi sesuai warna asli, berganti motif polkadot lumpur. Rambut pun bersemu merah dengan titik-titik lumpur yang menjadi rata bersama keringat.
Sampai di rumah dinas calon tempat tinggal tim Nusantara Sehat semua sampai dengan selamat tanpa luka sedikitpun. Korban hanya berupa bemper depan terlepas, besi pelindung bagian belakang patah, dan pengait serta rantai pengikat ban serep yang putus. Alhamdulillaah.
Masalah Kesehatan di Sorong Selatan
Secara umum Kabupaten Sorong Selatan menempati ranking 450 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Perankingan ini berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ke-dua yang dilakukan berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 yang dimotori Badan Litbangkes, dan data Survei Podes (Potensi Desa) dan Susenas (Survei Sosial ekonomi) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Apabila kita lakukan perankingan pada level Provinsi Papua Barat, maka Kabupaten Sorong Selatan berada pada ranking 10 dari 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua Barat. Ranking Kabupaten Sorong Selatan ini satu tingkat lebih tinggi dari ranking terbawah, Kabupaten Tambrauw yang menempati ranking 11 dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.
Indikator kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan secara keseluruhan menunjukkan kondisi yang kurang memuaskan. Kita ambil satu contoh tentang status gizi balita. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek (stuting) mencapai angka 60,70%. Angka cakupan balita stunting di Kabupaten Sorong Selatan ini jauh lebih tinggi dibanding angka nasional yang berada pada angka 37,2%, serta angka Provinsi Papua Barat yang berada pada kisaran 44,7%.
Secara umum prevalensi balita stunting ini meningkat tipis dibanding enam tahun sebelumnya. Data Riskesdas 2007 Kabupaten Sorong Selatan memiliki cakupan balita stunting sebesar 60,58%.
Tidak berbeda dengan prevalensi balita stunting, balita dengan status gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan juga cenderung memiliki cakupan cukup tinggi, sebesar 47,63%. Prevalensi balita gizi buruk dan kurang ini jauh lebih tinggi dibanding angka cakupan nasional yang berada pada kisaran 19,6%, serta angka cakupan balita gizi buruk dan kurang di tingkat Provinsi Papua Barat yang mencapai angka 30,9%.
Cakupan balita gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2013 meningkat tajam dibanding dengan enam tahun sebelumnya. Hasil survei Riskesdas pada tahun 2007 mencatat angka prevalensi sebesar 35,20%, artinya ada peningkatan kasus gizi buruk dan kurang sebesar 12,43% selama enam tahun.
Potensi Kebangkitan Distrik Saifi
Potensi Tana Papua untuk bangkit cukup besar, tak terkecuali di Distrik Saifi. Tanahnya cukup subur, sayuran dan tanaman pangan bisa ditanam dengan mudah. Sementara di sisi lain, kondisi geografis Distrik Saifi yang berbatasan dengan laut menawarkan potensi lain.
Bila kondisi Distrik Saifi diasumsikan sama dengan kondisi Sorong Selatan, maka agak mengherankan ketika prevalensi stunting demikian tinggi. Potensi Protein hewani dari laut sangat bagus. Kerang, lobster, cumi dan ikan laut tersedia demikian melimpah. Sudah seharusnya potensi ketersediaan lahan dan pangan ini bisa dijadikan modal bagi tim Nusantara Sehat untuk memulai kebangkitan status gizi balita di Distrik Saifi.
Potensi lain? Aparat setempat di level kampong dan distrik sangat bersahabat, mereka menyambut dengan antusias kedatangan tim Nusantara Sehat. Kader-kader kesehatan juga sangat ramah, mereka turut menyiapkan tempat tinggal bagi tim Nusantara Sehat yang akan menetap selama setidaknya dua tahun. Tentu saja bidang kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Perlu banyak kerja sama dan saling pengertian dengan bidang lain. Akses jalan yang buruk bukanlah tanggung jawab bidang kesehatan, meski pada akhirnya merupakan determinan utama akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Jangan bicara akses pelayanan kesehatan yang berkualitas, kalau akses jalan fisik belum bisa diselesaikan. @dl
Perjalanan kali ini saya bersama dua teman lainnya, ditugaskan untuk melakukan assessment wilayah penempatan tim Nusantara Sehat di salah satu wilayah Kabupaten Halmahera Barat, Puskesmas Talaga. Nusantara Sehat adalah salah satu program andalan Kementerian Kesehatan untuk mengisi atau memperkuat keberadaan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil dan sangat terpencil. Pada program ini pendekatan yang dipakai adalah team based (berbasis tim), yang menempatkan beberapa jenis tenaga kesehatan secara bersamaan sebagai sebuah tim untuk memperkuat Puskesmas pada wilayah tertentu.
Halmahera Barat merupakan salah satu kabupaten pemekaran Kabupaten Maluku Utara di wilayah Provinsi Maluku Utara, yang juga sebelumnya wilayah pemekaran dari Provinsi Maluku. Secara resmi Kabupaten Halmahera Barat berdiri mulai tanggal 25 Februari 2003. Dasar hukum pendiriannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Sula Kepulauan dan Kota Tidore Kepulauan.
Kabupaten seluas 2.755 km2 ini mulai dikenal secara luas oleh publik sejak mulai mengadakan even tahunan Festival Teluk Jailolo. Acara tahunan andalan Dinas Pariwisata ini biasa diselenggarakan pada bulan Mei setiap tahunnya. Festival ini menghadirkan tampilan ragam budaya dan juga kuliner khas wilayah Halmahera Barat.
Menuju Halmahera Barat
Menuju Halmahera Barat bukanlah sebuah perjalanan yang berat seperti layaknya beberapa wilayah lain yang masuk kategori terpencil. Dari Kota Ternate sebagai ibukota provinsi, kita bisa langsung menggunakan speed boat kapasitas 40 orang langsung menuju Jailolo, ibukota Kabupaten Halmahera Barat. Jalur laut seharga Rp. 50.000,- memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan dari Pelabuhan Dufadufa di Ternate menuju Pelabuhan Jailolo.
Menempuh perjalanan laut Ternate-Jailolo sangatlah menarik, sebanding dengan perjalanan saat saya menempuh perjalanan antara Ranai - Sedanau di Natuna, atau Wanci - Tomia di Wakatobi. Sebuah pengalaman perjalanan laut menawan yang dipenuhi dengan pemandangan lanskap birunya laut menyangga pulau-pulau yang berderet indah.
Speed boat yang langsung menuju Jailolo bukanlah satu-satunya jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Halmahera Barat. Jalur yang sama juga dilayani oleh kapal yang lebih besar. Hanya saja dibutuhkan waktu tempuh laut yang lebih lama untuk sampai ke Jailolo, sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan.
Alternatif lainnya, dari Ternate kita bisa melalui Pelabuhan Sofifi di wilayah Kabupaten Tidore Kepulauan. Waktu yang diperlukan sedikit lebih pendek, karena menuju pada Pulau Halmahera bagian Selatan dengan speed boat seharga Rp. 50.000,- per orang. Hanya saja kita masih harus menempuh tambahan perjalanan darat selama 1,5 jam menuju Jailolo seharga Rp. 75.000,-. Meski membutuhkan effort lebih, jalur ini dinilai lebih aman saat laut sedang tidak tenang, karena jarak tempuh lautnya yang relatif pendek.
Puskesmas Talaga di Kecamatan Ibu Selatan
Seperti rencana semula, kedatangan kami adalah untuk melakukan penilaian Puskesmas Talaga sebagai salah satu calon wilayah penempatan Tim Nusantara Sehat di wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Kami ditugaskan untuk menilai kelayakannya.
Dari Kota Jailolo kami ke arah Utara menuju wilayah Puskesmas Talaga. Perjalanan yang memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam dua puluh menit dengan menggunakan jenis mobil niaga. Jalanan yang ditempuh pun relatif aman, sekitar 80% jalanan beraspal yang masih cukup baik, dan sisanya jalanan beraspal yang sudah hancur, yang membuat perut serasa diaduk-aduk.
Puskesmas Talaga berada di wilayah Kecamatan Ibu Selatan. Menurut keterangan Dinas Kesehatan, ada dua Puskesmas yang melayani di wilayah Kecamatan Ibu Selatan, selain Puskesmas Talaga ada satu lagi Puskesmas Baru.
Puskesmas Baru merupakan pemekaran Puskesmas Talaga. “Puskesmas Baru ini memang benar-benar Puskesmas baru pak. Baru beroperasional tahun 2015. Belum terregistrasi di Kementerian Kesehatan, masih kita lengkapi syarat-syaratnya…,” kilah Sadik Umasangadji, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Kabid Yankes) Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat yang menemani perjalanan kami.
Kecamatan Ibu Selatan terdiri dari 16 desa. Kedua Puskesmas tersebut berbagi wilayah kerja menjadi masing-masing delapan desa. Puskesmas Baru memegang desa-desa di bagian Selatan, sementara Puskesmas Talaga di bagian Utara.
Secara umum kondisi geografis Kecamatan Ibu Selatan cukup potensial, di sebelah Barat diapit laut lepas yang langsung terhubung dengan Samudera Pasifik, sementara di sebelah Timurnya berdiri dengan kokoh sebuah gunung, salah satu gunung berapi yang masih aktif di wilayah Halmahera.
Kontur tanah di wilayah ini terbilang sangat subur. Tidak aneh bila mata pencaharian paling dominan di wilayah ini adalah petani kebun. “Rata-rata masyarakat sini bertani tanaman tahunan pak. Ada kelapa, pala, coklat, cengkeh, dan beberapa yang menanam jati. Hanya sedikit saja yang menjadi nelayan,” jelas James Mawea, Kepala Puskesmas Talaga yang seorang perawat.
Meski potensi bahari perikanan laut kurang tergali di wilayah Ibu Selatan, tetapi potensi bahari lainnya sudah terekspose sejak puluhan tahun lalu, Pelabuhan Laut Bataka. Pelabuhan ini melayani kebutuhan masyarakat sekitar yang dipasok dari pelabuhan di Manado dan Bitung.
Ada dua suku yang cukup dominan di wilayah Ibu Selatan, yaitu suku Wayoli dan Tabaru. Sementara suku-suku lain dari berbagai wilayah melengkapi keberagaman di wilayah ini. “Masyarakat sini cukup terbuka pak, mau menerima orang lain dengan ramah. Saya rasa tidak akan ada hambatan…,” jelas Kepala Puskesmas Talaga ketika kami menanyakan kemungkinan adanya hambatan budaya saat tim Nusantara Sehat ditempatkan di wilayah ini nantinya.
Dari delapan desa yang menjadi ampuan atau wilayah kerja Puskesmas Talaga, hanya dijumpai dua pemeluk agama saja, yaitu Nasrani dan Islam. Pemeluk agama Nasrani lebih dominan, lima dari delapan desa adalah pemeluk agama nasrani, sisanya baru pemeluk agama Islam. Kekhasannya adalah bahwa dalam satu desa seluruh pemeluk agamanya homogen, baik Nasrani maupun Islam.
Secara umum sulit dijumpai sinyal telepon seluler di wilayah ini. Diperlukan kesabaran tingkat tinggi untuk mencari sinyal Telkomsel di beberapa tempat yang terkadang muncul sinyal. Kalau mau aman bisa bergeser ke kecamatan sebelah, barang setengah jam perjalanan, untuk mendapat sinyal Telkomsel yang lebih stabil, satu-satunya operator yang bisa menjangkau wilayah tersebut. Tidak berbeda dengan sinyal telepon seluler, aliran listrik pun juga merupakan barang mewah di wilayah ini. Lampu baru bisa menyala pada pukul 19.00 WIT sampai dengan pukul 06.00 WIT pagi, itupun bila tidak sedang ngadat.
Puskesmas Talaga berdiri kokoh di depan sebuah lereng gunung yang membuatnya terlihat sebagai lanskap yang sangat eksotis. Dengan papan namanya yang mulai lapuk termakan usia, bendera merah putih berkibar dengan gagahnya di halaman depan Puskesmas. Di sekeliling Puskesmas hamparan rumput hijau tertata dengan sangat manis, menyejukkan setiap mata yang melihat.
Pasien terlihat sepi, hanya beberapa petugas Puskesmas saja yang bergerombol di bangku depan Puskesmas. “Setiap hari rata-rata pasien yang berkunjung ada 10 pak…,” jelas James Mawea. Dengan sejumlah 8.880 peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas ini, saya jadi mengernyitkan kening mendengar jumlah masyarakat yang berkunjung. Semoga hanya karena masyarakat benar-benar sehat. Semoga.
Secara ketenagaan, ada delapan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdi di Puskesmas Talaga, ditambah dengan dua tenaga Pegawai Tidak Tetap (PTT) Pusat, dan satu PTT Daerah. Total 11 petugas, plus 10 orang tenaga sukarelawan yang magang di Puskesmas Talaga.
Tidak ada fasilitas rawat inap di Puskesmas Talaga. Meski demikian, empat bidan yang ada melayani ibu hamil yang hendak melahirkan (partus) di empat tempat tidur yang tersedia di ruang partus, yang terkadang juga memerlukan menginap, meski hanya satu malam.
Di salah satu sudut ruang partus saya menemui sebuah alat sterilisasi yang masih sangat bagus, yang bahkan plastik pembungkusnya sebagian besar masih menempel. Menurut keterangan Sadik Umasangadji, Kabid Yankes yang menyertai perjalanan kami, “Itu alat drop-dropan dari pusat pak, datang beberapa waktu lalu… kan di sini tidak ada listrik yaa. Ada juga genset, tapi kan watt-nya tinggi kan… sekitar 1.500 watt, jadi ya genset tidak bisa. Listrik di sini pun (kalau malam), hanya 900 watt. Jadi yaa…”.
Saat mengecek keberadaan kamar mandi atau toilet, terlihat cukup bagus, sudah berporselen. Hanya saja tidak ada air sama sekali. Menurut keterangan petugas Puskesmas sumber air diambilkan dari sumur di rumah dinas, hanya saja memerlukan pompa air untuk mengalirkan ke Puskesmas. Sementara saat ini pompa air sedang rusak.
Satu-satunya tenaga dokter yang ada di Puskesmas Talaga adalah tenaga PTT Daerah. Itupun ternyata harus berbagi dengan Puskesmas Baru. Menurut keterangan Kepala Dinas Kabupaten Halmahera Barat hal tersebut memang terpaksa harus dilakukan, karena keterbatasan jumlah tenaga dokter. “Tidak ada dokter di Puskesmas Talaga pak. Kami hanya menempatkan dokter dari wilayah Puskesmas lain di sekitarnya untuk secara bergiliran melayani di Puskesmas Talaga. Jadi bergantian saja…,” jelas Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes.
Kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Halmahera Selatan
Dalam sebuah diskusi dengan Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat di Jailolo, Sadik Umasangadji, Kabid Yankes menjelaskan bahwa, “Dari 12 Puskesmas yang ada di wilayah Halmahera Barat kesemuanya bisa ditempuh melalui jalur darat, kecuali Puskesmas Kedi. Itu kalau ke sana harus jalur laut… ke wilayah-wilayah kerjanya juga semua jalur laut. Petugas kesehatan yang ditempatkan disana harus bisa berenang…”.
Lebih lanjut Kepala Bidang Yankes yang akrab dipanggil “Om Deki” ini menjelaskan bahwa tidak bisanya Puskesmas Kedi ditempuh dengan jalur darat ini bukan berarti bahwa Puskesmas tersebut berada pada daratan atau pulau yang berbeda. Puskesmas Kedi masih berada di Pulau Halmahera, hanya saja tidak ada jalur transportasi darat yang menghubungkan wilayah tersebut dengan wilayah lain di Halmahera Barat.
Pada kesempatan yang sama Dra. Atty Tutupoho, Apt., M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Barat, menjelaskan bahwa dari 12 Puskesmas yang ada kesemuanya masuk dalam kategori terpencil, kecuali Puskesmas Kedi yang masuk kategori sangat terpencil. Hal ini sesuai dengan Keputusan Bupati Halmahera Barat Nomor 133.A/KPTS/V/2016 tentang Penetapan Sarana Pelayanan Kesehatan yang Termasuk dalam Kriteria Terpencil dan Sangat Terpencil di Kabupaten Halmahera Barat.
Menutup diskusi kami, Kepala Dinas menitipkan pesan permohonan pada Kementerian Kesehatan agar Kabupaten Halmahera Barat diberi tambahan lagi dua tim Nusantara Sehat untuk Puskesmas yang berbeda. “Masih ada dua sampai tiga Puskesmas lagi yang sangat membutuhkan bantuan tenaga di wilayah Halmahera Barat ini, termasuk Puskesmas Kedi tadi. Saya sangat berharap ada bantuan lebih dari Kementerian Kesehatan…”
Baiklah, mari tetap bersemangat. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menghadirkan negara dalam pelayanan kesehatan di setiap sudut republik ini. (adl)